Minggu, 11 Januari 2009

Perempuan Penanti Jibril

Syarif Hidayatullah
http://www.lampungpost.com/

Kaukah itu yang datang di malam hari atau itu hanya angin belaka? Entahlah, yang jelas perempuan itu selalu menanti Jibril lantaran tahajud terus mengalir di tubuhnya dan malam selalu membisikinya tentang arti kehidupan.

Sejenak ia renungi angin gurun, mencoba menaksir apakah ada kehidupan yang lebih indah tanpa ada cobaan? Siluet api bergerak, membenturkannya kembali untuk mengingat Jibril, adakah kau yang datang malam hari?

Belum sempat air matanya menitik menjelma bongkahan kesedihan. Perempuan itu tergerak seketika setelah mendengar geliat anaknya di atas kasur. Dilihatnya anak itu seperti malaikat yang terbaring. Akankah kau menjadi malaikat, anakku? Ia mengecup kening anaknya. Anaknya kembali terdiam.

Di kamar yang kecil itu, kembali ia rebahkan tubuhnya. Kerut kening di wajahnya semakin membias. Wajahnya menampakan luka yang semakin mendalam. Ia raba punggungnya perih. Bekas luka terkena air panas itu masih belum kering juga. Jam berdetak semakin cepat. Tengah malam sudah ia lewatkan. Pagi benar ia harus segera bangun atau luka di tubuhnya akan bertambah lagi. Ia berusaha memejamkan matanya. Namun semakin keras ia paksakan dirinya untuk tidur, matanya semakin kehilangan rasa kantuk. Ia semakin khawatir. Ia tidak mau kejadian itu menimpanya lagi. Kejadian yang membuatnya dimarahi habis-habisan oleh Hazayeb yang tidak lain adalah mertuanya sendiri.

Hazayeb terperanjak kaget ketika melihatnya pingsan. Bukan karena ia merasa kasihan, bukan pula karena iba, melainkan ia begitu dongkol. Tamunya yang datang malah bersimbah air teh yang seharusnya dijamukan.

"Fatimah, apa yang kau lakukan?!" hardiknya kasar. Fatimah yang terjatuh karena kelelahan hanya memandangnya samar. Mikail melihatnya di kejauhan. Sejenak ia terhenti untuk memainkan kafayeh yang diberikan Fatimah. Anaknya itu menghampiri ibunya. Menatap Hazayeb dengan tatapan penuh amarah.

"Apa yang Kakek lakukan. Kenapa Kakek selalu memperlakukan ibu dengan kasar?!" Anak berumur 12 tahun itu menatap kakeknya dengan wajah yang garang.
"Jangan sebut aku Kakek! Ingat, kau dan ibumu hanya pembantu!" Jawabnya dengan nada angkuh.
"Tapi ayah adalah anakmu?!" kembali Mikail menentang.
"Dasar anak kurang ajar."

Satu pukulan keras menghantam pipi Mikail. Mikail jatuh linglung di samping ibunya. Ibunya mendekapnya penuh kasih sayang, sambil kemudian bangun dan pergi dengan tertatih-tatih.

Perempuan itu memeluk erat tubuh Mikail, malaikat kecilnya. Sejenak malam menjadi hening, kemudian perasaan itu kembali datang. Kaukah itu yang datang di malam hari atau itu hanya angin belaka?

"Fatimah, ambilkan aku segelas kopi!" Belum selesai ia menghangatkan air panas, Hazayeb kembali memanggilnya dengan teriakan yang terdengar mirip seperti auman serigala.

Sambil membawa segelas kopi hangat, Fatimah menghampiri Hazayeb yang berada di ruang tamu. Di atas meja ada selembar surat, Hazayeb segera mengambil surat itu setelah menyadari Fatimah sedang berusaha membaca surat itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Hazayeb kasar.

Fatimah segera meninggalkan Hazayeb sendirian. Namun sebelum jauh ia meninggalkan, terdengar jerit marah-marah dari kamar mandi. Ternyata itu istrinya Hazayeb, Shafra. Dengan tubuhnya yang tambun ia memaki-maki Fatimah.

"Ada apa istriku?" tanya Hazayeb.
"Biasa, Fatimah," ujarnya ketus. Fatimah menunduk.
"Sudah kubilang! Setiap aku mandi kau harus menyiapkan air hangat untukku!"

Kembali hal sepele dipermasalahkan. Dulu hanya karena perempuan itu pergi tanpa izin, perempuan itu dimarahi habis-habisan. Padahal, perempuan itu keluar semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang telah menipis. Namun, penjelasannya itu tak diterima mereka sama sekali. Mereka malah terus mencaci makinya tanpa ampun dan tidak jarang ocehan mereka itu diikuti oleh pukulan-pukulan yang cukup keras.

Fatimah tidak bisa berontak, ia hanya bisa menunduk dan bersabar. Karena itulah yang selama ini diperintahkan Jibril. Ya Allah, sampai kapan kau menakdirkanku untuk hidup bersama dua orang tua ini. Kapan Jibril kau kirim untukku? Kapan ia akan datang untuk membawaku terbang? Terbang hingga menuju arsy-Mu! Gelisah hati Fatimah kembali membahana di relung jiwanya.

Namun, hanya omelan dua orang suami-istri yang didengarnya. Di luar angin semakin gaduh meramalkan cuaca. Tapi tak sebegitu gaduh hatinya.

Malam kembali melajang, bintang berkedip sesaat sebelum akhirnya kembali terang. Suara radio terdengar serak-serak basah mengilhami malam. Radio bercerita tentang meledaknya perang antara tentara intifada di Al-Quds terjajah dan Negehev, diikuti dengan kabar mundurnya pasukan Israel. Hatinya membahana. Akankah kau mengetuk pintu malam ini, lalu mencium keningku?

Malam kembali tak berbicara. Tidak pula memberinya kepastian esok matahari akan terbit sempurna. Kini tahajud kembali menenggelamkan dirinya dalam ayat-ayat Tuhan. Sederet tangis menjelma gerimis.
***

Dari ruang dapur, perempuan itu sudah bisa menebak bahwa ada tamu di depan. Namun, kenapa Hazayeb tidak pula memanggilnya? Perempuan itu menjadi begitu penasaran. Air panas yang sedang bergemuruh segera ia tuangkan ke dalam bak kamar mandi. Kali ini, Shafra tidak akan mengomel lagi padaku, ujarnya dalam hati.

Perempuan itu bergegas menuju ruang tamu. Beberapa orang berbaju tentara sedang berdiri di depan pintu. Wajah mereka ditutupi oleh kafayeh. Ya Allah! Kejutan apa yang kau kirim kepadaku? Pasti kau mengirim Jibril kepadaku! Pasti! Fatimah membatin.

Namun tak pula ia menemukan mata khas Jibril, mata yang selalu menggodanya ketika ia pulang dari masjid. Mata yang membuatnya memutuskan untuk menjadi bidadari di sisinya. Mata yang selalu memberikan dirinya secercah cahaya.

Masih teringat di otaknya ketika ia dan suaminya membangun rumah bersama. Ketika itu Mikail tersenyum bahagia walaupun umurnya masih menginjak 8 tahun. Mikail berteriak begitu senang, semua tersenyum memandangnya. Perempuan itu tersenyum sedikit mengenang hal tersebut.

Namun senyumnya tiba-tiba pudar, ketika ia mengingat pada suatu malam suaminya datang dengan membawa ayah dan ibunya, entah apa yang membuat mereka mau berkunjung pada keluarganya yang selama ini tidak pernah mereka restui.

Semula perempuan itu begitu senang menyambut mereka, karena itu berarti pernikahan mereka telah direstui. Suaminya menjelaskan bahwa rumah yang selama ini dijadikan tempat tinggal oleh mereka di Al-Quds terjajah telah digusur secara paksa oleh tentara Israel. Hal itu semata-mata dilakukan oleh tentara Israel demi menjalankan program Cleaning Etnic. Padahal, itulah satu-satunya kekayaan mereka. Hal inilah yang membuatnya bertambah yakin. Mertuanya pasti akan benar-benar menerimanya sebagai menantu.

Sebetulnya ia tidak pernah mengira hal ini benar-benar terjadi pada dirinya. Setelah suaminya memutuskan untuk bergabung dengan tentara intifadah di daerah tempat rumah mereka selama ini tinggal. Ini pasti bujukan kedua orang tuanya, mereka masih tidak rela harta mereka dirampas. Salah satu alasan yang membuatnya yakin adalah karena selama ini suaminya tidak pernah mengikuti perang.

Beberapa hari setelah kepergian suaminya, keadaan sedikit demi sedikit berubah. Kedua orang tuanya memperlakukannya seperti pembantu. Bahkan, ketika ia sakit karena kelelahan mereka masih memaksa dirinya untuk bekerja. Beberapa kali ia melihat Mikail dipukul lantaran membela dirinya. Ternyata, anggapan yang selama ini diyakininya salah. Hazayeb dan Shafra tidak pernah menerima dirinya sebagai menantu walaupun diri mereka kini tidak mempunyai apa-apa, kecuali harta anaknya.

Perempuan itu tersadar dari alam khayalnya ketika anaknya Mikail datang lalu memeluknya. Ia kembali mencari mata Jibril dari balik kafayeh yang menutupi tentara khas Palestina.

"Jibril tidak pernah berbohong," kata seorang yang kafayeh-nya mulai dibuka.
"Ya, kau seperti bidadari. Tidak salah lagi, kau seperti bidadari," ujar yang lain yang juga mulai membuka kafayeh-nya.

Ketiga orang tamu itu masih berdiri di sana, wajah mereka tampak begitu lelah. Pasti bermil-mil telah mereka lewati. Perempuan itu tersipu sedikit lantaran pujian yang selama ini tidak pernah ia terima.

"Kau juga Nak, kau mirip seperti Jibril," kini seorang telah memegang dagu Mikail. Mikail tersenyum.

"Apakah ayah seperti saya?" tanya Mikail pada perempuan yang terus mencari bayangan mata suaminya. Hazayeb tampak diam membisu di depan pintu.
"Ya tentu," jawab salah seorang dari mereka. "Kau akan menjadi malaikat sepertinya!"
"Di mana ayah sekarang?" tiba-tiba Mikail bertanya. Pertanyaan yang sebetulnya membenak sedari tadi di dada perempuan itu.

Tiga orang itu tiba-tiba memasang muka sedih. Perempuan itu dapat membaca, pasti ada yang tidak beres dengan suaminya.

"Kenapa? Ada apa dengan suamiku?"
Mereka bisu. Mikail bertanya-tanya dengan matanya yang berkilau.
"Di mana suamiku?" tanya perempuan itu dengan suara yang terdengar sangat panik.

Mereka masih bisu. Tak ada kata yang harus diucapkan, kecuali wajah yang menunduk untuk ikut membelasungkawa.

"Maaf, kami hanya bisa memberikan ini," suara seseorang memecahkan keadaan.

Sebuah surat yang sama persis dengan surat yang sering ia lihat disembunyikan oleh Hazayeb ketika ia ingin mengetahuinya. Perempuan itu meraba surat itu. Sebelum pergi, ketiga orang itu berbicara bahwasanya mungkin ini surat terakhir darinya. Jibril selalu membuat surat seperti itu untuk istrinya. Sejenak perempuan itu memandang Hazayeb, Hazayeb tampak diam membisu seakan ingin terus menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Perempuan itu kembali masuk ke dalam kamarnya yang kecil. Mikail berjalan di sampingnya.

"Apakah itu dari ayah?"
Perempuan itu tidak menjawab. Hanya kesunyian yang dapat memahami jawabnya.

Ia buka surat itu. Sebuah foto kumal berisi dirinya, Mikail serta Jibril yang berdiri di depan rumah yang baru saja dibangun. Ia menitikan air mata. Kembali ia mengambil secarik kertas dari dalam surat itu. Beberapa baris puisi menggaris di atasnya. Tulisan khas Jibril, yang tak pernah ia lupakan.

Kelak surga akan mempertemukan kita/Seperti ziarah lautan menuju benua
Tapi tidak sekarang, tidak pula esok/Karena sekarang dan esok hanyalah kekekalan yang fana.

Air matanya makin menderas. Mikail memeluknya hangat, air matanya pun berlinang. Terdengar teriakan Shafra menggelegar di kamar mandi, diikuti teriakan kemarahan Hazayeb yang melihat istrinya melepuh. Tapi tak ia hiraukan. Sebab tiada hal yang lebih perih selain penantian, penantian menunggu Jibril.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae