Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Adzan Dhuhur terdengar sayup-sayup. Dokar yang ditumpangi Sanikem, tergoncang-goncang, karena jalan aspal yang bergelombang dan penuh lubang, persis seperti hidupnya yang penuh jebakan.
“Beginilah Neng kalau jalan dikorupsi itu,” kata kusir dokar.
Sanikem, hanya tersungging sedikit. Lesung pipinya tertutup kerudung hitam yang dikenakannya. Matanya melihat-lihat sekitar. Pikiranya juga masih mereka-reka, apakah orang tuanya masih ada atau tidak?
Kini Sanikem sudah berubah. Ia tidak sehitam dulu. Kini kulitnya sudah kuning langsat. Badanya terawat, dan kelihatan seperti Mulan Jamaela. Wajahnya polesan metropolitan. Rambutnya bergaya Krisdayanti. Tidak salah kalau kusir dokar tak mengenalinya.
Namun Sanikem masih merekam segala kenangan dengan desanya, meski kini telah berubah total. Apalagi wajah Paryono, laki-laki berkacamata tebal yang ambisinya menjadi lurah melebihi keinginannya untuk berumahtangga.
Begitu juga bapaknya, yang ambisinya menjadi lurah, melebihi cintanya pada istri dan anaknya. Ambisi itulah yang membuatnya menghalalkan segala cara. Bahkan Sanikem yang masih kencur, dijadikan taruhan.
“Kalau aku kalah, ambilah anakku, sebagai istri, Paryono,” kata Bapaknya, kala itu.
“Ya, itu artinya meskipun kamu tidak menjadi lurah, tapi punya Bu Lurah,” ledek Paryono.
Mendengar rencana Bapaknya itu, Sanikem merinding. Lebih merinding lagi, nasibnya ditentukan dalam suasana pesta minuman keras, di tengah dentuman musik dangdut koplo. Dan yang lebih menakutkan, rencana itu bukan basa-basi. Setelah dinyatakan menang di Pilkades, Paryono menagih janji.
“Sastrotomo, mana calon Bu Lurah, saya?”
Sanikem memberontak. Jelang Subuh, Sanikem nekat menerobos kabut dan hutan, minggat ke kota.
***
Dokar berhenti di depan rumah gedhong magrong-magrong bercat kuning. Pohon petai, rambutan, dan nangka tumbuh di pekarangan. Sanikem hanya ingat, pohon petai dan rambutan itulah, pohon yang pernah ditanam Bapaknya. Tetapi rumah itu rumah siapa?
“Apakah ini benar rumahnya, Pak Sastro?” tanya Sanikem, sembari memberikan uang pada kusir dokar.
“Sastrotomo, maksud, Neng?” Sanikem membenarkan. “Lo, dia kan sudah meninggal enam tahun yang lalu. Ini rumah mantan lurah sini, Pak Paryono,” lanjut kusir dokar itu.
Sanikem ragu-ragu melangkah ke rumah gedhong magrong-magrong itu. Dalam hatinya bertanya, apakah itu rumahnya yang dulu? Pintu dari kayu jati diketuknya. Seorang laki-laki berkacamata tebal muncul dari balik pintu. Kumisnya yang tebal, bertabur warna putih. Dahinya tiba-tiba berkerut. Ada sesuatu yang diingatnya. Berselang lima belas tahun, tak membuatnya lupa. Karena gadis itu masih melekat dalam hatinya.
“Kamu pasti Sanikem?” tanyanya tiba-tiba.
“Apakah ini benar rumahnya, Pak Sastro?” tanya Sanikem, tanpa menghiraukan pertanyaan, laki-laki setengah tua.
“Sudah aku duga, kamu Sanikem. Saya, Paryono. Silahkan masuk,” kata Paryono.
“Tidak. Saya ingin bertemu Ibu,” sahut Sanikem sambil mengangkati barangnya kemudian pergi begitu saja.
Paryono, tersenyum kecut. Ia masih terpikat betul dengan kecantikan Sanikem.
“Hai, Ibumu ada di belakang sana!” seru Paryono.
Sanikem segera menuju belakang rumah Paryono. Sebuah tempat mirip kandang sapi. Dari celah gedheg, ia mendengar dengus napas tersengal-sengal. Segera ia membuka pintu. Seorang perempuan tua, tengah berbaring di tikar butut, di atas amben reot.
“Ibu, ini aku. Sanikem, anakmu!”
Mendengar kata Sanikem seketika Ibunya bergairah. Tubuhnya yang menua segera bangkit memeluk anak satu satunya. Isak tangisnya, njujeh ati. Di dalam isak tangisnya itulah Ibunya menumpahkan segalanya.
“Nafsunya menjadi lurah, telah merubah semuanya,” kata Ibunya memulai kisah penderitaannya.
Setelah kalah taruhan saat menjadi lurah, hutang Bapaknya menumpuk. Sawah, dan rumah terpaksa dijual untuk menutup hutang taruhan.
“Yang belum terbayar, hanya balasan cintamu, Nduk,” kata Ibunya. “Untuk menebus cintamu itu, Paryono meminta rumah kita. Namun karena kamu tak juga pulang, Ibu dan Bapak diusir,” lanjut Ibunya.
Karena diusir, terpaksa Ibu dan Bapaknya menempati bekas kandang sapi yang berada tak jauh dari rumah Paryono. “Bapakmu, mati ngenes. Karena dimasa tuanya ia harus menderita seperti ini.”
Sementara Sanikem sendiri tak kuasa berbicara apa-apa. Kerudung hitam yang dikenakannya telah menjadi saksi perjalanannya selama menggelandang di Surabaya, Pontianak, Batam, dan Medan. Lima belas tahun, telah menjadi catatan panjang yang tak akan habis-habisnya untuk diceritakan. “Astafirullah. Jangan kau katakan itu pada Ibu,” bisik hatinya.
“Ehem!” tiba-tiba Paryono, nyelonong masuk. Laki-laki ini masih memendam bara cinta di hatinya. Meski sudah udzur ternyata cintanya pada Sanikem masih segar.
“Nak Paryono, dia baru pulang dari jauh, mungkin masih lelah, “ kata Ibu.
“Nanti mampir ke rumah, Kem,” kata Paryono, kemudian pergi begitu saja.
“Istrinya sudah meninggal setahun lalu. Kayaknya ia masih berharap padamu,” bisik Ibu.
Sampai malam, Sanikem bergeming. Ia duduk di kursi reot. Paryono hanya berdehem-dehem di luar gubuk. Ibunya mendorong Sanikem agar mau menemui Paryono. Namun, Sanikem telah menjadi batu.
“Nanti kita diusir!” bisik, Ibunya.
“Sebernarnya ia sudah membunuh kita!” sahut Sanikem.
Di luar terdengar deheman. Namun tak membuat hati Sanikem gentar. “Kalau kamu mau usir saya dan Ibu, usir saja!” serunya.
Paryono terdiam. Suara burung hantu membelah malam. Napas Paryono tersengal-sengal. “Kalau tidak mau, ya pergi sana!” kata Paryono. Suara dehemnya kini berganti batuk rejan.
***
Hidup yang keras, membuat Sanikem memilih kembali ke Surabaya bersama Ibunya. “Apa kamu sudah punya rumah, punya suami, atau punya anak, Nduk?” Tanya Ibu.
“Apakah perempuan kalau tidak punya suami, tidak disebut perempuan,” kata Sanikem. Ibunya Sanikem tidak tahu apa yang dikatakan anaknya itu.
“Ini tempat apa, Nduk?” tanya Ibunya.
Sanikem tidak menjawab. Kerudung hitam, ia lepas. Rambutnya berwarna-warni. Kaca mata hitam ia kenakan. Ibunya linglung dengan perubahan penampilan anaknya.
“Mari Non, saya bawakan?” kata pemuda tinggi besar yang menghampiri Sanikem, yang baru turun dari taxi.
“Apa dia suamimu?” bisik Ibunya.
“Dedy, ini Mamaku, kenalkan?” kata Sanikem, yang dipanggil Nona Ike.
“Saya Dedy, anak buah Nona Ike.”
Sejenak Ibunya, mengerutkan kening. Bahkan sesampai di ambang pintu rumah yang gedhong magrong-magrong seperti kerajaan itu, air mukanya bertambah pucat pasi, karena puluhan pemuda, menyambut kedangatan Non Ike. Mereka semua memberi tabik.
“Sssttt…mereka semua bojomu, Nduk?”
“Mereka pengagum saya,” jawab Non Ike, sekenanya.
Jawaban anaknya itu membuatnya pusing. Lebih pusing lagi, setiap malam, ada saja tamu yang datang ke rumah anaknya itu. Mereka adalah perempuan-perempuan seusia anaknya.
Tapi yang tak kalah memusingkan setiap malam di rumah anaknya ini berdentum suara musik. Di lantai dansa perempuan-perempuan seusia anaknya berjoget bersama laki-laki kekar. Musik itu baru berhenti tengah malam. Kemudian rumah kembali sepi, Sementara laki-laki dan perempuan-perempuan itu menghilang seperti ditelan malam.
“Ah peduli amat dengan semuanya ini,” kata Ibu, yang kini sering dipanggil Mama.
“Ya, aku bisa!” Serunya.
Ibunya, memoles wajah dengan make up, sembari bergoyang ke kiri dan ke kanan. “Yah, aku bisa!”
“Selamat datang di kota buaya!” seru Nona Ike.
Musik berdentum keras, ditingkai suara manja. Malam semakin malam. Ibu dan Non Ike merasakan ada kunang-kunang di keningnya.
“Apa ini yang namanya mabuk, Nduk? Eh..Non…?”
“Iya, Bu…eh, maksudku, Ma…..”
Kerudung hitam itu membuka mesterinya.
Sidoarjo, Akhir Tahun 2007.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar