Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/
Bahasa teater tak sepenuhnya bisa diwakili dengan kata-kata. Jika teater hanya berkutat pada kata-kata, teater hanyalah aktualisasi dari sastra. Teater memiliki bahasanya sendiri sebagai eksplorasi ruang dan tubuh, dengan penekanan pada artikulasi dan pemahaman kemungkinan pada gerak dan distorsi tubuh, latar, kostum, musik juga tata lampu. Pada titik ekstrim, komunikasi teater bergaung secara metafisis dan spiritual tanpa perlu dibahasakan secara utuh dan verbal. Hanya saja jika teks naskah terlalu dominan dan teks terkesan berbeban makna dan diskursif, dengan sendirinya bisa menyita komunikasi yang seharusnya berlandasan pada pencerapan indra, untuk menangkap momen-momen dan kemungkinan dari menghidupkan tubuh dan ruang di panggung. Setidaknya itulah kesan sebagian dari pentas monolog Djarot B. Darsono di Gedung Utama Balai Pemuda, akhir April 2005.
Pentas itu berlandaskan naskah ‘Kapal Terbang dari Bantal’ karya Afrizal Malna. Bisa ditebak, naskah tidak hanya mendesakkan serangkaian penafsiran berlapis, karena naskah bertaburan akrobatik kata-kata dengan paradigma ‘keterpecahan antroposentrisme di belantara hiperreal khas Afrizal’ seakan-akan mengundang paradoks-paradoks sekaligus memberi daya sugesti tersendiri. Jika ini dituang dalam puisi, mungkin ‘kekekalan’-nya ada dan tafsir serta penciptaan makna bisa diulang, tetapi karena digarap dalam teater maka ‘kefanaan’-nya yang bicara. Ada unsur yang pada satu momen terlepas, kemudian pada momen selanjutnya tertangkap, begitu pula sebaliknya. Itu sangat tampak ketika Djarot bermain dan mengulang-ngulang dengan ekspresi yang hampir sama dalam beberapa adegan: “Ikan-ikan di akuarium itu harus diberi makan, kalau tidak diberi makan ikan-ikan di akuarium itu akan mati. Tapi di mana akuariumnya?”
Pada ungkapan selanjutnya pun seakan terkesan memberondongkan serangkaian mantra ‘mutakhir’ untuk mencuri, menyerang dan ‘menguasai’, dengan cara menjejer benda-benda sebagai satu rangkaian parade. Malah pada momen tertentu menyentak dengan membalik logika, baik lewat permainan kata dan sintaksis yang berefek filosofis dan mampu meledakkan ambiguitas tafsir. Satu sisi seakan mengembalikan teater pada akar purbaninya, sebagai pengejawantahan tindak komunikasi komunal dengan alam; upacara dilakukan oleh shaman dipandu dengan nyanyian, mantra dan tarian, apalagi aktor yang berlatarbelakang tari itu terus berikhtiar berkomunikasi dengan teks naskah dengan bahasa gerak dan tubuh.Tapi di sisi lain juga melesakkan kesadaran baru perihal kekinian: terutama ketika simbol-simbol Indonesia didesakkan di panggung, baik pada ungkapan: “Indonesia di dalam akuarium”, atau “akuarium di dalam Indonesia”; serta pada kostum pemain yang bergaris merah putih serta guling yang diandaikan sebagai tabung oksigen yang digantung: berwarna merah dan putih, juga soal kuasa dan kekuasaan, pelanggaran hukum, terlebih korupsi.
Untunglah, meski jejalan teks-teks itu sangat diskursif, aktor tidak berhenti, ia masih terus mencari dan mencoba membahasakannya dengan tafsir tubuh, gestur, serta gerakan-gerakan eksplore yang dimungkinkan bisa mengembalikan aura pertunjukan pada satu bentuk tontonan. Pada titik tertentu, tafsir teks pemain dengan bahasanya sendiri memang tidak maksimal. Tetapi mengingat ia berhadapan dengan teks Afrizal yang pada beberapa adegan terasa mencengkeram dan sangat disadari oleh aktor sampai-sampai ia menyebut nama “Afrizal” dalam pentas, hasil yang dicapai cukup bisa dijadikan acuan, karena pada beberapa momen artikulasi tubuh dan ruang tidak hanya berupaya mengatasi kata-kata, tetapi bahkan mampu menghidupkan kata-kata. Apalagi terkesan pencarian itu belum berhenti dan dialog antara aktor dan naskah tetap berjalan secara substansial.
Sebenarnya bukan satu soal yang mendesak untuk segera mendikotomikan antara sastra dan teater secara konfrontatif, dan belum saatnya ‘teater anti sastra’ dilesakkan sebagai satu sikap terhadap ketergantungan dan dominasi sastra dalam teater. Bagaimana pun teater memang bermula dari naskah dan naskah ditulis oleh kebanyakan penulis naskah yang juga sastrawan. Selama ini, peran keduanya pun sangat proporsional, tanpa berupaya berebut kuasa dan hubungannya pun tidak terjalin dalam konsepsi dominasi abdi-penguasa demikian.
Tetapi sebagai satu pilihan, teater tanpa kata ---atau melepas kata-kata dari panggung--- bisa jadi sebagai tawaran esensial demi kepentingan estetik; apalagi jika dirasa kata-kata tak lagi bisa menyumbang lebih pada pentas dan terkesan membatasi, bahkan mengganggu. Apa yang telah dirintis WS Rendra dengan konsep ‘Mini Kata’, merupakan penyikapan yang ekstrim terhadap kata-kata yang bisa ditafsirkan sebagai ‘penjara’ di pentas teater. Dengan mini kata dan mendayagunakan tubuh sampai batas sebagai satu bahasa di panggung, komunikasi yang terbangun lebih bergaung, melesak ke ruang-ruang kesadaran dan mampu memberi ‘terapi’ pada mata, juga telinga. Pilihan ini, bukan karena aktor malas dan bebal untuk menghapal naskah atau menghayati peran, tetapi konsepsi ini sebagai satu tawaran atau pilihan dalam berteater.
Seorang dramawan Surabaya dari Teater Gapus, Muhammad Aris pernah juga mencanggihkan konsep ‘mini kata’ itu dengan konsep baru teater fana’ (inklusif); berpatok pada ‘proses’ menuju keadaan ketika kesadaran pada keterbatasan diri tidaklah tetap ada, tetapi pada titik tertentu kesadaran itu kembali. Ia mengembalikan teater pada kodrat manusia yang paling murni: antara menangis dan tertawa, yang berparalel dengan ekspersi sedih dan gembira. Dua batas yang sebenarnya tak bisa dimaknai sebagai satu penanda perasaan: karena keduanya juga riskan untuk dimanipulasi atau bertukar tempat. Menangis tidak hanya sedih tapi bisa pula karena terlalu gembira. Sebaliknya tertawa tidak hanya gembira tetapi bisa karena kelewat nelangsa. Dalam pentas garapannya bertajuk “Plung” yang sempat beberapa kali pentas di kampus-kampus Surabaya, beberapa waktu lalu, konsep itu pun dijadikan acuan dengan eksplore tangis dan tawa pada titik ekstrim. Mulut dibisukan dari artikulasi kata-kata yang menyaran pada satu pengertian dan bisa menyulut proses pencerapan kognisi. Suara dikembalikan pada dikotomi ekstrim: hanya bertaruh pada erang dan gelak. Satu tarikan radikal untuk mengembalikan teater pada posisi yang paling subtil dan menyublim ke ranah ketaksadaran. Secara bentuk, eksplorasi Muhammad Aris juga mengembalikan ciri teater pada titik awalnya: sebagai sebuah upacara.
Apalagi gerak yang diacu dari konsep itu adalah gerak melingkar ---sebuah pandangan yang terkait dengan konsep waktu, takdir, juga keberadaan semesta yang sebenarnya tak bisa direka, diduga atau diraba seluruhnya tetapi tetap hadir meski tak disadari kehadirannya. Posisi aktor bisa jadi sebenarnya diam, tapi diam yang bergejolak. Kiranya eksplorasi gerak melingkar memberikan kemungkinan untuk diembannya dua paradoks itu; seperti permukaan air yang diganggu: kelihatan bergerak, tapi esensinya tetap dan tidak ke mana-mana. Apalagi gerak yang dilakukan para aktor pun menghantar pada satu momen penting yang dilakukan oleh para darwish dalam tarian berputar Maulawiyah dari Maulana Jalaluddin Rumi. Satu tarian yang mampu menghantar pada satu titik: ektase, yang berakar pada kesetimbangan tubuh yang tak terpahami secara nalar, saat ia ikut berputar dan berpusar seperti bumi pada porosnya.
Kiranya pilihan tak bersuara atau tak menggunakan kata-kata bisa menjadi satu pilihan eksperimental, karena bila perpaduan antara gerak-gerak tadi dengan membahasakan gambar dengan eksplore tubuh terpadu; maka terjemalah satu bahasa teater, satu bahasa yang tidak memerlukan kata. Kehadiran kata malah mengganggu dari pencapaian teater yang diinginkan: satu momen yang ingin ditangkap, dirasa, tapi terlepas oleh daya serap indra yang terbatas dan sekilas.
Kembali pada pentas Djarot, pada dasarnya sebagai satu teater, pentasnya bisa dikatakan berhasil. Jika ada bagian adegan yang terkesan dikuasai teks naskah, kiranya itu sebuah keniscayaan karena naskah Afrizal memang berbobot dan bagus. Tetapi jika dicermati lebih jauh, pergulatan aktor pada naskah, dan mungkin gagasan yang ingin didesakkan naskah itu, bisa diantisipasi dan dibahasakan dengan bahasa aktor sendiri di panggung. Djarot tidak sekedar menjiplak naskah secara harfiah, tetapi melakukan proses internalisasi tanpa terjebak pada aspek-aspek puitis dan gelap.
Di pentas, terkesan ada kesejajaran dan saling menghidupi antara aktor, seting panggung, musik, tata cahaya, serta teks naskah dan menjadi teks panggung yang utuh. Musiknya pun tak berlebihan, bahkan seakan-akan menafsirkan sendiri naskah, tanpa kehilangan momen untuk saling bertemu dan bersapa dengan gerak dan ekspresi aktor. Tafsir ini pun termanifestasi pada pilihan seting. Jika naskah mengacu pada ruang-ruang penjelajahan yang dipenuhi dengan belukar benda-benda dan berjejal wacana, panggung bisa menampilkan sebaliknya: minimalis. Tetapi bukan distorsi yang terjadi, karena dengan pilihan minimalis dan memberi titik tekan pada simbol, setting semakin efektif mendukung gagasan dan imaji yang ingin ditawarkan.
Adapun, terkait dengan judul pentasnya: pentas monolog, kiranya, monolog hanyalah satu teknik pementasan dalam berteater.
* Pernah dimuat di Media Indonesia
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar