Selasa, 07 Oktober 2008

Artikulasi Tubuh dan Penjara Kata-kata

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

Bahasa teater tak sepenuhnya bisa diwakili dengan kata-kata. Jika teater hanya berkutat pada kata-kata, teater hanyalah aktualisasi dari sastra. Teater memiliki bahasanya sendiri sebagai eksplorasi ruang dan tubuh, dengan penekanan pada artikulasi dan pemahaman kemungkinan pada gerak dan distorsi tubuh, latar, kostum, musik juga tata lampu. Pada titik ekstrim, komunikasi teater bergaung secara metafisis dan spiritual tanpa perlu dibahasakan secara utuh dan verbal. Hanya saja jika teks naskah terlalu dominan dan teks terkesan berbeban makna dan diskursif, dengan sendirinya bisa menyita komunikasi yang seharusnya berlandasan pada pencerapan indra, untuk menangkap momen-momen dan kemungkinan dari menghidupkan tubuh dan ruang di panggung. Setidaknya itulah kesan sebagian dari pentas monolog Djarot B. Darsono di Gedung Utama Balai Pemuda, akhir April 2005.

Pentas itu berlandaskan naskah ‘Kapal Terbang dari Bantal’ karya Afrizal Malna. Bisa ditebak, naskah tidak hanya mendesakkan serangkaian penafsiran berlapis, karena naskah bertaburan akrobatik kata-kata dengan paradigma ‘keterpecahan antroposentrisme di belantara hiperreal khas Afrizal’ seakan-akan mengundang paradoks-paradoks sekaligus memberi daya sugesti tersendiri. Jika ini dituang dalam puisi, mungkin ‘kekekalan’-nya ada dan tafsir serta penciptaan makna bisa diulang, tetapi karena digarap dalam teater maka ‘kefanaan’-nya yang bicara. Ada unsur yang pada satu momen terlepas, kemudian pada momen selanjutnya tertangkap, begitu pula sebaliknya. Itu sangat tampak ketika Djarot bermain dan mengulang-ngulang dengan ekspresi yang hampir sama dalam beberapa adegan: “Ikan-ikan di akuarium itu harus diberi makan, kalau tidak diberi makan ikan-ikan di akuarium itu akan mati. Tapi di mana akuariumnya?”

Pada ungkapan selanjutnya pun seakan terkesan memberondongkan serangkaian mantra ‘mutakhir’ untuk mencuri, menyerang dan ‘menguasai’, dengan cara menjejer benda-benda sebagai satu rangkaian parade. Malah pada momen tertentu menyentak dengan membalik logika, baik lewat permainan kata dan sintaksis yang berefek filosofis dan mampu meledakkan ambiguitas tafsir. Satu sisi seakan mengembalikan teater pada akar purbaninya, sebagai pengejawantahan tindak komunikasi komunal dengan alam; upacara dilakukan oleh shaman dipandu dengan nyanyian, mantra dan tarian, apalagi aktor yang berlatarbelakang tari itu terus berikhtiar berkomunikasi dengan teks naskah dengan bahasa gerak dan tubuh.Tapi di sisi lain juga melesakkan kesadaran baru perihal kekinian: terutama ketika simbol-simbol Indonesia didesakkan di panggung, baik pada ungkapan: “Indonesia di dalam akuarium”, atau “akuarium di dalam Indonesia”; serta pada kostum pemain yang bergaris merah putih serta guling yang diandaikan sebagai tabung oksigen yang digantung: berwarna merah dan putih, juga soal kuasa dan kekuasaan, pelanggaran hukum, terlebih korupsi.

Untunglah, meski jejalan teks-teks itu sangat diskursif, aktor tidak berhenti, ia masih terus mencari dan mencoba membahasakannya dengan tafsir tubuh, gestur, serta gerakan-gerakan eksplore yang dimungkinkan bisa mengembalikan aura pertunjukan pada satu bentuk tontonan. Pada titik tertentu, tafsir teks pemain dengan bahasanya sendiri memang tidak maksimal. Tetapi mengingat ia berhadapan dengan teks Afrizal yang pada beberapa adegan terasa mencengkeram dan sangat disadari oleh aktor sampai-sampai ia menyebut nama “Afrizal” dalam pentas, hasil yang dicapai cukup bisa dijadikan acuan, karena pada beberapa momen artikulasi tubuh dan ruang tidak hanya berupaya mengatasi kata-kata, tetapi bahkan mampu menghidupkan kata-kata. Apalagi terkesan pencarian itu belum berhenti dan dialog antara aktor dan naskah tetap berjalan secara substansial.

Sebenarnya bukan satu soal yang mendesak untuk segera mendikotomikan antara sastra dan teater secara konfrontatif, dan belum saatnya ‘teater anti sastra’ dilesakkan sebagai satu sikap terhadap ketergantungan dan dominasi sastra dalam teater. Bagaimana pun teater memang bermula dari naskah dan naskah ditulis oleh kebanyakan penulis naskah yang juga sastrawan. Selama ini, peran keduanya pun sangat proporsional, tanpa berupaya berebut kuasa dan hubungannya pun tidak terjalin dalam konsepsi dominasi abdi-penguasa demikian.

Tetapi sebagai satu pilihan, teater tanpa kata ---atau melepas kata-kata dari panggung--- bisa jadi sebagai tawaran esensial demi kepentingan estetik; apalagi jika dirasa kata-kata tak lagi bisa menyumbang lebih pada pentas dan terkesan membatasi, bahkan mengganggu. Apa yang telah dirintis WS Rendra dengan konsep ‘Mini Kata’, merupakan penyikapan yang ekstrim terhadap kata-kata yang bisa ditafsirkan sebagai ‘penjara’ di pentas teater. Dengan mini kata dan mendayagunakan tubuh sampai batas sebagai satu bahasa di panggung, komunikasi yang terbangun lebih bergaung, melesak ke ruang-ruang kesadaran dan mampu memberi ‘terapi’ pada mata, juga telinga. Pilihan ini, bukan karena aktor malas dan bebal untuk menghapal naskah atau menghayati peran, tetapi konsepsi ini sebagai satu tawaran atau pilihan dalam berteater.

Seorang dramawan Surabaya dari Teater Gapus, Muhammad Aris pernah juga mencanggihkan konsep ‘mini kata’ itu dengan konsep baru teater fana’ (inklusif); berpatok pada ‘proses’ menuju keadaan ketika kesadaran pada keterbatasan diri tidaklah tetap ada, tetapi pada titik tertentu kesadaran itu kembali. Ia mengembalikan teater pada kodrat manusia yang paling murni: antara menangis dan tertawa, yang berparalel dengan ekspersi sedih dan gembira. Dua batas yang sebenarnya tak bisa dimaknai sebagai satu penanda perasaan: karena keduanya juga riskan untuk dimanipulasi atau bertukar tempat. Menangis tidak hanya sedih tapi bisa pula karena terlalu gembira. Sebaliknya tertawa tidak hanya gembira tetapi bisa karena kelewat nelangsa. Dalam pentas garapannya bertajuk “Plung” yang sempat beberapa kali pentas di kampus-kampus Surabaya, beberapa waktu lalu, konsep itu pun dijadikan acuan dengan eksplore tangis dan tawa pada titik ekstrim. Mulut dibisukan dari artikulasi kata-kata yang menyaran pada satu pengertian dan bisa menyulut proses pencerapan kognisi. Suara dikembalikan pada dikotomi ekstrim: hanya bertaruh pada erang dan gelak. Satu tarikan radikal untuk mengembalikan teater pada posisi yang paling subtil dan menyublim ke ranah ketaksadaran. Secara bentuk, eksplorasi Muhammad Aris juga mengembalikan ciri teater pada titik awalnya: sebagai sebuah upacara.

Apalagi gerak yang diacu dari konsep itu adalah gerak melingkar ---sebuah pandangan yang terkait dengan konsep waktu, takdir, juga keberadaan semesta yang sebenarnya tak bisa direka, diduga atau diraba seluruhnya tetapi tetap hadir meski tak disadari kehadirannya. Posisi aktor bisa jadi sebenarnya diam, tapi diam yang bergejolak. Kiranya eksplorasi gerak melingkar memberikan kemungkinan untuk diembannya dua paradoks itu; seperti permukaan air yang diganggu: kelihatan bergerak, tapi esensinya tetap dan tidak ke mana-mana. Apalagi gerak yang dilakukan para aktor pun menghantar pada satu momen penting yang dilakukan oleh para darwish dalam tarian berputar Maulawiyah dari Maulana Jalaluddin Rumi. Satu tarian yang mampu menghantar pada satu titik: ektase, yang berakar pada kesetimbangan tubuh yang tak terpahami secara nalar, saat ia ikut berputar dan berpusar seperti bumi pada porosnya.

Kiranya pilihan tak bersuara atau tak menggunakan kata-kata bisa menjadi satu pilihan eksperimental, karena bila perpaduan antara gerak-gerak tadi dengan membahasakan gambar dengan eksplore tubuh terpadu; maka terjemalah satu bahasa teater, satu bahasa yang tidak memerlukan kata. Kehadiran kata malah mengganggu dari pencapaian teater yang diinginkan: satu momen yang ingin ditangkap, dirasa, tapi terlepas oleh daya serap indra yang terbatas dan sekilas.

Kembali pada pentas Djarot, pada dasarnya sebagai satu teater, pentasnya bisa dikatakan berhasil. Jika ada bagian adegan yang terkesan dikuasai teks naskah, kiranya itu sebuah keniscayaan karena naskah Afrizal memang berbobot dan bagus. Tetapi jika dicermati lebih jauh, pergulatan aktor pada naskah, dan mungkin gagasan yang ingin didesakkan naskah itu, bisa diantisipasi dan dibahasakan dengan bahasa aktor sendiri di panggung. Djarot tidak sekedar menjiplak naskah secara harfiah, tetapi melakukan proses internalisasi tanpa terjebak pada aspek-aspek puitis dan gelap.

Di pentas, terkesan ada kesejajaran dan saling menghidupi antara aktor, seting panggung, musik, tata cahaya, serta teks naskah dan menjadi teks panggung yang utuh. Musiknya pun tak berlebihan, bahkan seakan-akan menafsirkan sendiri naskah, tanpa kehilangan momen untuk saling bertemu dan bersapa dengan gerak dan ekspresi aktor. Tafsir ini pun termanifestasi pada pilihan seting. Jika naskah mengacu pada ruang-ruang penjelajahan yang dipenuhi dengan belukar benda-benda dan berjejal wacana, panggung bisa menampilkan sebaliknya: minimalis. Tetapi bukan distorsi yang terjadi, karena dengan pilihan minimalis dan memberi titik tekan pada simbol, setting semakin efektif mendukung gagasan dan imaji yang ingin ditawarkan.

Adapun, terkait dengan judul pentasnya: pentas monolog, kiranya, monolog hanyalah satu teknik pementasan dalam berteater.

* Pernah dimuat di Media Indonesia

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae