Selasa, 07 Oktober 2008

FILSAFAT PICASSO; STRATEGI REVOLUSI, PROSES KREATIF

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=64


{Pandangan Picasso dari ingatan Christian Zervos (yang ditulis miring), diperolehnya saat-saat percakapan di musim dingin bersama pelukis kubisme tersebut. Lantas dimasukkan ke dalam majalah “Cahiers d’ Art” pada tahun 1935. Dan saya mendapatkannya dari buku yang berjudul The Creative Process, yang disusun oleh Brewster Ghiselin}.

Sindiran dari seseorang yang menyatakan, bahwa tidak ada lebih berbahaya dari beradanya alat-alat perang di tangan para jenderal, dan kita dapat mengubahnya dalam arti yang disesuaikan lagi cocok bagi para seniman. Dalam artian yang sama, tidak ada lebih berbahaya daripada keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk melukiskan di tangan pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.

Dayacipta merupakan kemampuan membahayakan sekaligus berkeindahan. Saya jadi teringat sewaktu tahun 1996, saat di puncak Gunung Gambar (letak petilasan Samber Nyawa). Persisnya di tepian jurang sebelah barat, bunga-bunga mengembang penuh kesegaran. Yang menjelma tawanan angan bagi badan terlena, terperosok ke jurang. Hampir satu lusin sketsa saya rampungkan di puncak itu, sambil mendengar iring-iringan gending yang berasal dari lereng pegunungan (termasuk wilayah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kebetulan ada hajatan melangsungkan pernikahan).

Tidakkah angan ketika telah mencapai intinya yakni realitas, maka menjelmalah sebilah keris, sebatang bara. Dan kemampuan para empu mengasosiasikan daya ritualnya, spiritualitas nilai jiwa cipta. Adalah benar, terkadang seorang empu membuat keputusan lekukan keris, sejumlah yang diinginkan pemesannya. Lalu ingatan kita terlempar kepada sosok yang berkwalitas seperti Ken Arok, yang memesan kepada Pu Ganding, akan sebilah keris pembunuhan sejarah. Realitas selanjutnya. Saat kemampuan terkuasai identitasnya, anatomi kesadarannya dalam kepalan tangan kuasa, kehendak untuk apa saja dapat dimulai. Penciptaan sebagai katup pembuka, mencanangkan kuasa. Dan saya menyebutnya sebagai dunia berjubel kemungkinan.

Tapi dewasa ini kita tidak punya semangat untuk melarang para penyair dan pelukis, karena kita tidak punya gambaran mengenai bahaya yang bisa menimpa apabila mereka itu tetap bebas berkeliaran di dalam kota.

Kota yang penuh hiruk-pikuk atmosfir, berdesakan uap keringat obsesi dari kelenjar sejarah lama, bersama pemberontak. Getar grafitasi berasal dari lengkingan berulang, hingga karakter yang muncul atas paradigma lama. Gagasan yang remuk direproduksi, sampai akar-akar kesejatiannya tercerabut, pingsan berkali-kali. Daerah tidak tersentuh, desa tetap menyanyikan gending-gending purba, ketika umat manusia masih merindu damai kelestarian jiwa.

Menyedihkan bagi saya, tapi mungkin juga menyenangkan bahwa saya menyusun & mengatur segala sesuatunya itu sesuai dengan nafsu perasaan saya. Betapa menyedihkannya bagi seorang pelukis yang menyukai wanita-wanita pirang tapi tidak memasukkan mereka itu dalam lukisannya, oleh karena mereka tidak cocok dengan keranjang buah yang ada di gambar itu. Betapa sengsaranya seorang pelukis yang tidak menyukai buah apel tapi terpaksa mesti juga melukiskannya oleh karena buah itu serasi dengan taplak meja yang dilukisnya.

Saat dua arus diketemukan, benturan nyaman dan tiadanya keamanan menjadi tuntutan jiwa pencari, dan manusia sering merubah identitas. Yang sejatinya tidak diharapkan, tetapi itulah keinginannya untuk menemukan kepuasan dari kepincangan yang terus didapati di tengah jalan. Sapaan iseng dan keseriusan, sebab rindu terbuyarkan saat jarak tidak menyediakan tempat perenungan. Keterasingan dan paling terakrabi, terpaksa disatukan. Namun tidakkah lewat itu keterpaksaan sakit hati, cemburu, kedongkolan, waktu dilebur dalam warangka warna kesungguhan. Sarang makna akan menemukan nilainya tersendiri, tidak sekadar datar ataupun liris. Di sini pergemulan nafsu serta jalannya naluri, perpecahan dipadatkan untuk mencapai corak yang pasti. Yang tentunya bermuara kepada identitas-identitas baru yang bersebutkan temuan.

Saya sendiri memasukkan dalam lukisan saya apa saja yang saya senangi. Memang obyek-obyek lukisan saya itu “bernasib buruk”, karena mereka terpaksa harus berada berdampigan satu-dengan-lainnya, apakah mereka itu dirasa cocok atau tidak untuk itu.

Komposisi ruangan yang menentukan ganjil atau terasa banal, ketika mata tersedot oleh obyek. Lalu kebinalan inspirasi menentukan, membuat terobosan sedari obsesi yang lama terbendung. Melukis itu kumparan mutu di dalam pencarian masa lalu, angan terpendam dipersatukan dengan keadaan ciptaan, lantas menerimanya sebagai kekinian. Terciptanya ruang-ruang sakral dari gundukan yang profan oleh keintiman. Kerahasiaan yang menyelimuti kedirianlah yang membuat hal tidak mungkin menjadi terlahir. Dan sangkaan dari daya kemarin tidak diketahui, lantas menjelma wacana luhur, semisal karya abadi dari kerja sekarang.

Selama ini sebuah lukisan tumbuh ke arah penyelesaian dengan melalui suatu perkembangan. Setiap hari lukisan itu bertambah dengan sesuatu yang baru. Sebuah lukisan adalah jumlah dari penambahan-penambahan yang dilakukan itu.

Apa yang tertera di atas ialah realitas-realitas hidup. Penambahan serta anganlah yang membentuk perkalian. Sedangkan pengurangan sebagai hilangnya sesuatu seperti lupa.

Tapi bagi saya, sebuah lukisan ialah jumlah dari pengrusakan-pengrusakan. Saya menggambar sebuah lukisan dan melanjutkan untuk merusaknya. Tapi pada akhirnya tidak ada apa pun yang hilang. Warna merah yang saya pindah dari satu bagian muncul di bagian lain.

Ternyata pembongkaran itu melawan lupa untuk ditempatkan di suatu sudut berbeda, agar hantu kelupaan tidak hinggap kembali. Menjadi benar bahwa kompleksitas mendukung kebenaran realitas kesadaran. Dan saya tidak akan mendukung, jika tidak berangkat bersama-sama dari perkembangan diri menjejakkan logika, yakni realitas demi masa depan.

Akan sangat menarik untuk membikin foto dari sebuah lukisan, bukannya tingkat-tingkat perkembangan penyelesaiannya, melainkan perubahan-perubahan bentuknya.

Selesainya suatu unsur ketika sudah tidak dapat dimaknai kembali, itulah pandangan. Memaknai akibat ialah dekadensi moral yang membahayakan. Sebab proses merupakan hidup, atau nyawa dan pandangan terbuka.

Barangkali orang kan melihat jalur mana pikiran menemukan jalannya ke arah kristalisasi dari impiannya. Tetapi sesungguhnya paling ingin diketahui, adalah melihat apakah gambar itu tidak berubah secara mendasar, bahwa gambaran pertama tetap hampir utuh bagaimana pun ujud akhir gambar tersebut.

Di sini ditemukan, pengalamanlah yang menentukan warna selanjutnya. Wewarna rasa sempat terbentuk, terus berkelanjutan menuju perkembangann. Namun tidak menjadi terhilangkan identitas kenangan silam. Saya sebut hantu ingatan kerap menggoda. Sedangkan dengan latihan keras, hal yang semula salah arah, dapat dimasukkan ke bagian tersendiri. Atau peletakan komposisi warnanya tetap tidak hilang, terkendali pada dasar-dasar akhir fikiran, disaat merampungkan suatu karya.

Saya sering melihat cahaya dan kegelapan, yang saya masukkan dalam lukisan saya; saya berbuat apa yang bisa saya lakukan untuk meniadakannya, dengan menambahkan sebuah warna yang menciptakan efek tandingan.

Lewat berbagai teknik percobaan, kehidupan senantiasa bugar, produktifitas semakin tinggi beraroma harum. Efek tandingan itu peniadaan dari sebelumnya, tetapi bukan berarti menghilangkan yang lama. Hanya saja karakter yang pertama dibatasi cahaya, atau kegelapan lebih dari gagasan tandingan. Seperti bertumpuknya peristiwa yang terekam, bukan berarti penghilangan ingatan. Tapi penambahan yang menciptakan lebih tajamnya suatu obyek lukisan.

Apabila karya ini difoto karena saya merasa bahwa apa yang telah saya lakukan untuk memperbaiki gambaran saya yang pertama telah lenyap, dan bahwa pada akhirnya apa yang ditunjukkan oleh hasil pemotretan tersebut adalah sesuai dengan gambaran saya yang pertama, sebelum munculnya perubahan-perubahan yang digerakkan oleh kemauan saya sendiri.

Pemotretan ialah kerja mengabadikan momen tanpa proses berkelanjutan, atau sesuatu di dalam foto itu tidak dapat bergerak. Kecuali kita menciptakan dramatisasi pada gambar tersebut, lewat beberapa penalaran. Dan pemotretan berulangkali, nilainya tetap sama kalau penyajiannya terputus-putus, sebab memiliki bingkai dunia masing-masing. Tetapi ketika obyek digerakkan alam fikiran, sejatinya obyek itu telah melampaui tubuhnya seperti seniman dengan sayap-sayap angan kreatifitasnya. Atau ini sejenis perbincangan dalam diam, dialog-dialog sungguh berat yang menghabiskan energi fikiran serta perasaan terdalam mengenai penggaliannya.

Lukisan itu tidak dipikirkan dan tidak ditentukan sebelumnya; lebih tepat dikatakan adalah bahwa selama lukisan itu dibikin dan diselesaikan, lukisan itu mengikuti gerak mobilitas pikiran. Pabila gambar itu selesai, ia berubah lebih lanjut, sesuai dengan kondisi dari yang melihatnya.

Bagaimana pun sikap ketaksengajaan muncul, bukan berarti kebetulan tersebut tidak diciptakan sebelumnya. Sebab selembut apapun timbangan kita miliki, telah menciptakan penghakiman nilai. Dan penentuan itu kadang luput dari logika pengembangan, jika tidak disuntuki mempelajari dari mana kebetulan-kebetulan itu hadir. Olehnya, hukum yang berkelonggaran tetap memiliki daya ikatan, mampu menjelaskan sebagai kehendak melangsungkan jalan temuan, atau keluar dari bingkai lama kepada sudut pengamatan obyektif.

Sebuah lukisan menjalani kehidupan seperti juga makhluk hidup, mengalami perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh hidup sehari-hari. Hal ini adalah alamiah, oleh karena sebuah karya lukisan hanya hidup, lewat siapa yang melihatnya.

Obyek lukisan sebagai karya visual, jauh lebih mudah dimengerti kalau menggunakan indera penglihatan, yakni alat untuk mencapai media tersebut bisa difahami. Obyek adalah benda-benda yang tidak bergerak jika melihatnya secara sekilas. Tetapi saat pengamatan tentang obyek kian akrab, obyek-obyek itu bergerak sendiri, inilah daya cipta proses kreatif.

Apabila saya sedang menggarap lukisan, saya memikirkan tentang warna putih dan menggunakan warna putih. Tapi saya tak bisa meneruskan kerja, berpikir dan menggunakan warna putih; warna-warna sebagaimana halnya dengan ciri-ciri pokok, mengikuti perubahan-perubahan emosi.

Wewarna memiliki pribadi masing-masing, kalau belum bergumul antara warna satu dengan yang lain. Perubahan warna dari sebelumnya atas kerja bersama (pencampuran) ialah dinaya hidup yang menciptakan ruh lebih matang dari warna asalnya. Warna, karakter, corak pembentuknya yang menimbulkan catatan bengis atau kalem, pudar atau pun sifat tajam, dasar ini serupa pancaran manusia di dalam pencampuran atau pernikahan. Dan kelahiran baru itu berangkat dari wewarna yang dikawinkan, sedang pergerakan coraknya sejauh wewarna itu bersatu, disamping seberapa banyaknya plototan dari warna cat yang lain. Maka ukuran plototan cat juga yang menentukan tajam atau lembutnya sifat perkawinan, dari nilai warna cat atas sifat dasar sebelumnya.

Anda melihat sketsa yang saya bikin mengenai sebuah gambar dengan semua warna yang ditunjukkannya. Apa yang tinggal? Warna putih yang terpikir oleh saya, dan juga warna hijau yang saya pikirkan, masih ada pada lukisan itu, tapi tidak di tempat yang semula ditentukan untuk warna-warna tersebut, juga tidak dalam kuantitas yang diharapkan sebelumnya.

Yang bermain rasa ialah komposisi, atau komposisi itu ditentukan oleh perasaan yang sedang menyuntuki wajah kanvas. Penentuan tersebut memproyeksikan hal sebelumnya yang terkadang gagal ditengah jalan, saat warna yang dipersatukan itu tidak mau seiring dengan penalaran untuk prosesi lanjut. Dan seorang pelukis merasakan sakit sekaligus nikmat dalam suntuk, ketika pekerjaan bathinnya memberat di dalam pencampuran karakter. Dan penemuan solusi yang gemilang, memuaskan kerja seorang seniman. Ini tantangan terberat para arsitektur tata letak kota penalaran, disaat warna imajinya dihadirkan dalam realita kehidupan.

Tentu saja, lukisan bisa dibikin dari bagian-bagian kecil yang diserasikan, namun hasilnya tidak akan memiliki kwalitas yang dramatis.

Di sini dapat dibedakan. Jadwal yang sudah ada, bukan tidak mungkin malah mengekang munculnya temuan baru, sebab sifat dasar kehidupan itu penuh dramatis. Ini pergolakan prakmatis dan dialektik, juga sang naturalis bertatanan hidup yang terbentuk praktis. Dalam kapasitas ini saya tidak mau menjawab secara gegabah dengan pandangan pribadi, sebab hal ini merupakan idealitas para penerjemah pribadi masing-masing.

Saya ingin mengembangkan kemampuan untuk membikin lukisan sedemikian rupa, hingga tidak seorang pun akan bisa melihat bagaimana lukisan itu dibikin. Dengan tujuan apa? Apa yang saya kehendakkan adalah agar lukisan saya itu bisa membangkitkan hanya emosi saja.

Berkarya ialah memindahkan emosi diri yang pertama. Pencipta yang memindahkan gagasaan serta energinya untuk dituangkan lewat karya. Berusaha mati-matian agar karyanya dapat hidup sendiri. Saat jemari tangannya (pencetus suatu karya tersebut) sudah tidak ada lagi dalam galeri lukisan. Atau tidak tampak dalam perpustakaan, bagi sang penulisnya. Tidak sedikit seniman yang gagal mentransfer emosionalnya ke dalam bentuk karya. Ketika di dalam berproses kurang memiliki pengalaman, yang timbul ialah kepincangan. Tidak sepadu-padan seimbang dengan harapannya. Maka pembelajaran mengenai ruang dan waktu, serta wewarna emosi kejiwaan yang harus benar-benar tertata sebelumnya, sedurung menginjak realitas kerja.

Kerja adalah keharusan bagi manusia. Kuda tak akan berjalan memasuki terowongan atas kemauan sendiri. Manusia menciptakan weker.

Kita dapat menyaksikan bahwa kemampuan itu didorong oleh rasa kebutuhan. Dan tentu semakin banyak merasakan kekurangan, daya kreatifnya akan bertambah tinggi. Satuan bentuk kebutuhan dan kerja ialah saat manusia mampu berfikir, demi apa ia mengusahakan sesuatu(?). Lantas kembali kepada dirinya ialah manfaat-manfaat.

Pada permulaan saya menggambar setiap kali ada orang yang bekerja sama dengan saya. Menjelang penyelesaian pekerjaan itu saya mempunyai kesan seakan-akan bekerja tanpa pembantu.

Pada permulaan melangkah, mau tidak mau harus mengakui atau menggunakan tongkat orang lain untuk menelusuri jalan. Saat keyakinan semakin kuat, tongkat tidak diperlukan lagi atau telah dilupakannya. Dan tersadarlah dirinya sudah tidak ada tongkat dalam genggaman. Jalan-jalan pencarian sungguh mengasyikkan, jiwa dibimbing kepada obyek yang sedang tersuntukan, lalu keluar dengan selamat. Saat melepaskan satuan ikatan dari apa yang sudah terkerjakan. Inilah yang dimaksud dengan kerelaan melepaskan sebuah hasil karya.

Apabila seseorang mulai melukis seringkali dia menemukan hal-hal yang bagus. Dia harus menyadarinya, merusak gambarnya dan membikinnya kembali beberapa kali. Pada setiap perusakan sesuatu yang bagus, seorang seniman bukannya menekannya, inilah kebenarannya; ia bahkan merombaknya, meringkasnya, membikinnya lebih pokok lagi. Pokok persoalan merupakan hasil dari penolakan-penolakan penemuan. Jika tidak demikian halnya, maka seseorang akan menjadi pengagum dari dirinya sendiri.

Itulah kesaksian seorang Pablo Picasso. Keberanian menggagalkan suatu acara yang senyata-nyatanya akan sukses di depan mata. Hal itu dilakukan demi menghadirkan hasil lain yang tidak terkendali, dramatik dan seolah-olah tanpa sebab. Jiwa revolusioner melewati lahan-lahan gerilya, tidak menyayangi capaian sebelumnya. Tapak-tapak kaki yang lalu bukan berarti cermin masa depan. Dengan menggunakan jalan serupa sama, akan mengetahui sejauh mana berhenti melangkah. Dan sosok Picasso mengaburkan hasil-hasil yang ia peroleh, demi mendapatkan yang ia sendiri tidak bisa mendeteksi kecuali masa. Yakni jaman-jamannya, saat ia sudah tak ada dalam ruangan kerja.

Saya tidak menjual apa pun kepada diri saya sendiri.

Ini berat dilakukan para seniman pemula. Merelakan dirinya tidak menikmati kekayaan, apalagi mengambil madunya terus-menerus dengan menciptakan sokongan untuk mendukung argumentasi karyannya. Atau mengharap teman-temannya mengidungkan puja-pujian. Kerelaan menjelma dramatisasi sebuah sandiwara kesuksesan; legowo menghapus mimpi-mimpi diri untuk diselesaaikan pada lembar-lembar perdebatan. Masa-masa akan datang yang menentukan ia benar-benar terpenggal atau luput kerelaan.

Dalam kenyataannya seseorang bekerja dengan menggunakan jumlah warna yang sedikit. Apa yang mengesankan adanya banyak warna ialah bahwa warna-warna itu telah disapukan pada tempat-tempat yang tepat di atas kain kanvas.

Dalam kamus kehidupan Picasso. Tidak ada kata pemborosan, sebab kesemuaannya mencapai nilai tertinggi masing-masing kalau benar-benar merelakan telah pergi. Ia sudah mencoba berbagai gerak gaya demi mendapati puncak-puncaknya dari berbagai segi kualitas yang tengah dihadapi. Sebab perasaan canggung seringkali menggagalkan hadirnya nilai-nilai baru. Maka kesungguhan itu salahsatu bentuk keberhasilan jiwa.

Seni abstrak hanyalah melukis. Dan drama?

Saya lebih jauh berpendapat. Setiap kerja mencanangkan lahan-lahan kemungkinan, itulah dramatisasi murni yang berangkat dari jiwa-jiwa yang senantiasa dahaga dalam realitas impian yang di hadapinya.

Tak ada seni abstrak. Seseorang selalu harus memulai dengan sesuatu. Dia kemudian bisa memindahkan semua pengejewantahan dari kenyataan. Dan tidak menempuh resiko apa-apa, oleh karena gagasan mengenai obyek lukisan itu meninggalkan kesan yang tidak dapat dihapuskan.

Penancapan nilai kesan, akan membimbing ingatan kepada prosesi yang sedang terkerjakan. Dan memang benar, abstraksi yang terhadirkan itu berkat model-model yang sudah ada. Sebab abstraksi sendiri berawal dari kejiwaan meledak-ledak, percepatan yang diperturutkan demi suatu realitas karya. Atau ketergesaan itu kesengajaan yang menciptakan himpitan masa. Masa-masa sempit menekannya ke sudut kreatifitas puncak atau mencengangkan. Karya yang dipastikan berangkat dari pergumulan bathin atas realitas masa lalu, di saat pada dataran proses kreatifitas akan menemukan dirinya. Perasaan yang bergumul lama telah mendapati pribadinya sebagai obyek merasai.

“Sesuatu” itulah yang gairahkan seorang seniman, membangkitkan gagasan-gagasannya, menggerakkan emosinya. Gagasan &emosi pada akhirnya akan menjadi tawanan dari karyanya; apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak akan bisa melarikan diri keluar dari lukisan itu; mereka telah menjadi bagian-bagian yang tiada terpisahkan dari karya itu, sekalipun kehadirannya tidak lagi kelihatan dalam gambar tersebut.

Bagaimana pun Picasso merasakan juga. Ketidakrelaan jiwanya yang sedang dihadapkan pada realitas lukisannya yang telah terbeli kolektor. Dan kesombongan itu hadir, sedikit banyak menimbulkan coretan timpang. Tetapi ketika masa-masa bertumpuk, penghalusan karakter dari lupa serta peredaran masa akan memuncratnya nilai-nilai tersendiri. Begitu bening menambah murninya kerja yang dihasilkan dari kesungguhan jiwa. Itulah pergumulan asyik-masyuk di dalam jiwa seniman, memahami realitas hayat menurut dayadinaya lambung otak kalbunya.

Apakah dia menyukai atau tidak, orang adalah alat dari alam; alam itulah yang menentukan sifat, dan penampilannya. Dalam lukisan-lukisan Dinard sama dan juga dalam lukisan Pourville saya telah menggunakan pandangan yang hampir sama.

Bukan berarti Picasso menganggap insan ialah obyek, sedangkan alam sebagai penggerak atau subyek. Tentu yang dimaksud sifat penampilan mendasar kehidupan ialah alam dan insan, di dalam menciptakan nilai-nilai tersendiri pada alam fikirannya, sebagai pencerminan kaca bening hayat atau air kehidupan. Orang bijak laksana perahu, air mengalir ke tempat terendah. Kerendahan itulah yang memunculkan benih padi, memekarkan mawar, mengharumkan kelopak melati.

Tapi anda melihat sendiri betapa berbedanya suasana dari gambar-gambar yang dibikin di Britania dan di Normandy, karena Anda telah mengenali cahaya mercusuar dari karang Dieppe. Saya tidak mencari cahaya itu; saya tidak menaruh perhatian yang khusus terhadap cahaya tersebut. Saya bermandikan cahaya tersebut. Mata saya telah melihatnya dan bawah sadar saya mencatat pandangan tersebut; tangan ini merekam perasaan saya.

Dalam karya-karya lukisan Picasso menghadirkan pandangan tiga dimensi, pencahayaannya tidak dikendalikan oleh jarak plototan cat yang berwarna cerah. (Saya bermandikan cahaya…); adalah kefahaman insan yang penuh dengan nilai-nilai pencerahan. Hingga kadang terkesan kurang menampilkan sinar yang semestinya sebagai aturan melukis (hukum cahaya tidak musti berangkat dari obyek, namun yang terlebih penting dari subyek pengamatan). Ia telah menguasai sentuhan perasaan jemari tangan, anggang-anggang juga tegas di dalam mengikuti perasaannya yang lama terpendam, sedari kumpulan memori tentang apa yang sedang dikerjakan. Jiwa pelukis itu bergelimang semangat bara, memuncratkan ekspersinya ketika mendapati cat serta kanfas. Tidak berhenti tetap berlari sebelum mencapai gerak ekstasi, ekspresi penggalian terdalam. Lalu terpuaskan saat diangkat ke permukaan, dan hasil proses tersebut menambah kebahagiaan.

Kita tidak bisa menentang alam. Alam jauh lebih kuat dari manusia yang terkuat sekalipun. Kita sendiri berkepentingan untuk memelihara hubungan yang baik dengan alam. Kita boleh saja mempunyai kebebasan dalam hubungan kita dengan alam, tapi hanya dalam hal-hal yang kecil saja.

Walau gairah semangatnya berlimpah dalam mengekspesikan jiwa, insan tidak akan sanggup menghirup lebih lama kedalamannya daripada pernafasan kehidupan pepohonan, gunung serta lautan. Di sini alam sebagai maha guru pembimbing, mengatur pernafasan dikala berkreasi agar yang tercipta senafas kelanggengan, yang menghampiri kelestarian alam. Keteraturan jiwa merdeka adalah kumpulan maksud yang sama dalam diri alam, bagi insan yang ingin bernafaskan kesejahteraan.

Selanjutnya, tidak ada seni yang bersifat perlambang dan yang bersifat bukan perlambang. Segalanya muncul di depan kita dalam bentuk lambang-lambang. Sekalipun dalam metafisika gagasan diungkapkan dalam bentuk lambang; jadi, anda bisa mengerti betapa mustahilnya untuk berpikir mengenai lukisan tanpa bayangan lambang.

Ia beranggapan bahwa nilai suatu karya seni berangkat dari kehalusan budhi, lewat perasaan tersebut dapat tertangkap dan atau pun tertuangkan. Bayangan lama itu nilai rasa dalam mengidentifitasikan bentuk. Saat dipergunakan sebagai lukisan kekinian, akan terjelaskan pengertian tersebut berasal dari pengalaman. Dan semakin halus menerjemahkan pengalaman, bertambah banyak mendapati bulir-bulir pengertian. Serta dada serasa lapang penerimaan, sedangkan iri hati ialah segoresan ketak hati-hatian, atau ketidak mampuan di dalam mengamati pengalaman lewat perasaan.

Manusia, obyek, lingkaran, semuanya itu lambang. Mereka berpengaruh kepada kita dengan daya kekuatan yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya berada dalam jarak lebih dekat dengan perasaan kita, menghasilkan emosi yang menyentuh kemampuan kepekaan kita, sementara yang lain lebih berbicara pada otak kita.

Seorang seniman memanfaatkan kepekaan perasaannya saat berkarya, ia mengunyah setiap apa saja yang diterima; menjadikan obyek yang dirasakan lebih terasa atas kesungguhannya. Perasaan yang telah terlatih, terbina atau pun terawat akan menjadikan pertimbangan antara perasaan yang satu dan lainnya. Lantas otak bergerak menyusun diagram perasaan, agar dapat diterima khalayak. Namun kerjanya nalar bukanlah penentu dalam peletakan batu perasaan, sebab perasaan juga mendapati dirinya memiliki logika tersendiri. Kerjanya penalaran di sini ialah memilah kadar kualitas yang tengah dimakan, dikunyah atau pun dimuntahkan.

Semua itu harus diterima, oleh sebab semangat saya membutuhkan emosi yang sama banyaknya seperti indera-indera saya.

Penerimaan yang baik menentukan corak pemberian lebih lanjut akan baik pula. Yang berjiwa lapang menerima ketimpangan bukan sebagai hal jempalitan, sebab segalanya memiliki timbangan keadilan di hadapan kebijakan. Di sini saya tidak bermaksud menggurui tetapi inilah yang terjadi. Energi yang besar seharusnya mempunyai kualitas daya alir emosional yang baik. Nalar menciptakan tanggul, sedangkan perasaan mengalirkan kemungkinan lebih luas di dalam menghidupi wawasan yang terkembang, seperti aliran parit kepada tangga pesawahan lembah.

Apakah anda berpikir bahwa saya akan tertarik kepada pertanyaan apakah gambar ini melukiskan adanya dua orang? Dua orang itu pernah ada, tapi mereka tidak ada lagi. Pandangan mengenai mereka itu pada mulanya membangkitkan emosi saya; sedikit demi sedikit kehadiran mereka jadi kabur; berubah menjadi khayalan bagi saya, kemudian mereka itu lenyap, atau lebih tepat dikatakan mereka telah mengalami perubahan bentuk, menjelma bermacam-macam masalah.

Kenangan pun dapat merubah wujud menjelma mitos, ketika kerja yang dihadapi semakin padat bertumpuk. Pengertian yang semula bertengger di pusaran otak, lama-kelamaan membuyar menjadi ingatan abadi, yang tidak tersentuh kecuali bertangankan kelembutan. Tentu jika menarikannya bukan melewati nalar realitas yang terhadapi. Namun memboyong ingatan-ingatan itu ke meja persidangan perasaan. Yakni terciptanya angan dan kenangan itu dipersatuankan menjadi bentuk keserupaan, atau hasil mimpi ialah berasal dari endapan perasaan serta nalar yang tertekan.

Bagi saya mereka bukannya dua orang lagi, tetapi menjadi bentuk-bentuk dan warna-warna, tapi bukannya sembarang bentuk dan warna, melainkan yang “menjumlahkan” gagasan mengenai adanya dua orang itu dan menyimpan getaran dari hidup mereka.

Kehidupan itu sesuatu yang bergerak dramatik, teaterik. Maka prosesi pengembangan bukan berarti angan memutus, namun realitas masa depan (ternyata) ingin digarap dalam waktu kekinian. Dan terkerjakan menampakkan kehadiran masa, serta angan yang lewat. Atau kenangan yang menghimpun gagasan memukau, ditariknya dengan kail pengertian sebagai bagian penambahan.

Saya perlakukan lukisan saya seperti saya memperlakukan barang-barang.

Lukisan adalah tuangan logika perasaan, atau hasil daripada logika serta perasaan sang seniman. Di dalamnya tersimpan kerahasian, kesakralan dalam pembagian bentuk-bentuk ruang profan. Penulis menggali pengertian tersebut sebagai hal pribadi di dalam kerja menciptakan karya.

Saya menggambar sebuah jendela, sama halnya seperti saya melihat melalui jendela. Apabila jendela ini, jika terbuka, tidak kelihatan bagus dalam lukisan saya, saya akan memasang sebuah tirai dan menutupnya seperti yang saya lakukan dalam kamar saya.

Lukisan sama halnya dengan puisi. Ia memiliki logika ruang tersendiri, pula terkait dengan bahan-bahan yang dipergunakan, seperti cat atau kata-kata. Membangun dunia tersendiri, mendiami kemapanan jiwa, ketenangan suntuk mengolah data, untuk dikhususkan menjadi nilai seni. Atau kesakralan bentuk tersebut, berasal dari tempaan jiwa yang matang, dari ketergebuan menggeluti waktu-waktu, ketika membangun dialektika dengan sejarah.

Orang harus berlaku dalam melukis, seperti dia juga berlaku dalam hidup. Secara langsung diakui bahwa melukis mempunyai konvensi-konvensinya, yang harus diperhatikan dan diperhitungkan, oleh karena kita tidak bisa berbuat lain.

Kesadaranlah yang menghadirkan jawaban, dan para hakim bijak merawat kesadaran undang-undang agar tetap di jalur obyektif sebagai alat pencari keadilan. Gagasan temuan atau jawaban yang gemilang, ternyata berasal dari orang-orang yang sungguh memperhatikan kesadaran laku, demi mencapai tangga tertinggi kemanusiaan. Menciptakan dunia lain dari yang kita diami adalah merawat momen sebagai trasportasi kepada dunia lain tersebut, agar senantiasa bergerak seperti teater kolosal dalam dunia yang terawat. Di sana, meski tidak dalam gerakan fisik, kita mengolah bahan mentah dunia ini untuk diusung menjadi bahan lebih bernilai dalam dunia tersendiri tersebut. Dengan selalu merawat kesadaran, dunia tetap terjaga ingatannya. Dan kita bergerak serasi-seirama antara dunia lahir (proses tubuh di ambang profan) serta dunia bathin (wilayah kreatifitas penciptaan).

Oleh karena itu orang harus tetap selalu di depan matanya menghadapi kehadiran hidup itu sendiri.

Ketetapan merawat kesadaran sebagai jalan menuju kebahagiaan, ini kesuksesan besar disamping kesenangan berproses. Dua mata memiliki jawaban, agar merawat dunia lahir dan dunia bathin dengan seimbang. Dan makna hidung di tengah sebagai penunjuk konsentrasi. Sedangkan dua lubang penciuman, membantu kerjanya indra penglihatan di dalam menelusuri dunia-dunia tersebut. Dan para seniman merawatnya sebagai kekayaan jiwa dan jasad atas jagad semesta.

Seorang seniman ialah “wadah” penerimaan emosi yang datang dari mana-mana: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, seorang yang berlalu, sebuah jaringan laba-laba. Itulah sebabnya maka tidak boleh diadakan perbedaan antara segala apa yang ada. Tiada tingkat di antara kesemuanya itu.

Ialah tidak ada pengertian kesia-siaan dalam diri seniman. Masa-masa berjalan di hadapannya seperti gelombang dan ketika diam laksana karang, namun bukan sejenis batu yang tidak memiliki inisiatif. Sebab ia sadar, setiap proses berkarya dengan penuh konsentasi, hasilnya akan melegakan. Ini saya maksud sebagai daya cipta, dinaya penilaian di dalam setiap hal memiliki fungsi juga bobot tersendiri. Di mana yang satu dengan lainnya tidak dapat dibanding secara serampang, atau tidak bisa dikelompokkan dengan sebutan keserupaan. Sebab bunga-bunga kehidupan itu menaburkan warna-warna tersendiri, yang ketika bergabung memberikan manfaat (nilai) baru, bukannya peleburan nilai-nilai yang menghilangkan identitas awalan.

Orang harus mengambil yang baik baginya di mana dia menemukannya, kecuali dalam karyanya sendiri. Saya merasa ngeri untuk meniru diri saya sendiri.

Seorang revolusioner selalu tidak puas temuan-temuannya, menganggap sepele capaiannya, namun ia terus meneliti, mencipta berulangkali. Sebab kepuasannya ada dalam proses, sedangkan hasil akhir menurutnya hanya kesenangan sementara. Maka seringkali ia menghindar dari cermin, karena wajah ia miliki telah lama berakrab. Dan khawatir jikalau keterlaluan akrab bisa mengeroposkan jiwanya, hal ini setelah cukup mendapati kedekatan paling intim dalam diri.

Tapi saya tidak akan ragu-ragu, apabila saya, umpamanya saja, dihadapkan kepada satu tas yang berisi penuh dengan lukisan-lukisan kuno, untuk mengambil dari gambar-gambar tersebut apa yang saya kehendakkan.

Selain berkarya, Picasso juga mengoleksi karya-karya orang lain. Ini suatu cara membasmi ego atau kedirian yang terkadang kelewat tajam menghunus langit harapannya. Sedangkan polarisasi yang terbangun dalam dirinya, kekomplitan segi yang dimiliki insan. Dan para seniman mengembangkan jiwanya, sehingga tampak di luar sebagai keliaran menterjemahkan alam makna dari hayat. Dalam membangun pribadinya seakan tidak mau ada celah kecuali bernafas dan istirah. Ia terus menghamparkan jiwanya selaksa pasir di pantai, pori-pori udara mengendus waktu. Rabaan perasaan mangagumkan, saat butiran-butiran pasir menyamai bentuk dari bagian-bagian hidup manusia.

Pada waktu kita menciptakan kubisme, kita tidak ada niat untuk menciptakan kubisme; kita hanya sekadar mengungkapkan apa yang ada dalam diri kita. Tiada seorang pun yang menyiapkan suatu program aksi, dan sekalipun teman-teman kita, para penyair, mengikuti usaha-usaha kita itu dengan perhatian besar, mereka tak pernah mendikte kita.

Yang ada di depan kita adalah anggapan masa sekarang. Jarak antara masa kekinian dengan masa yang ada di depan nanti seakan sungguh berlainan. Namun perlahan-lahan kita bisa menikmatinya tanpa merasakan adanya perubahan. Atau saat-saat berjalan bukanlah satuan program, melainkan realitas murni insan dalam mengembankan kehidupan. Tuntutan itu setelah sadar milik kita telah terbaca, bukannya bersungguh-sungguh ingin menampilkan sesuatu setelah berlatih. Saya kira itu dinamakan proses peradilan daripada pengertian temuan.

Pelukis-pelukis muda masa kini sering membikin pokok program bagi mereka sendiri untuk memenuhi dan mencoba melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka secara tepat seperti anak-anak sekolah yang berkelakuan baik.

Ketika bertempat dalam jadwal waktu tertentu, kita mendapati sudah ketuk palu menyebut semua dengan ukuran. Atau nilai-nilai yang kita hakimi seakan tidak ada celah terobosan kemungkinan lain, sebab terpatok jadwal acara yang ditempati. Namun saat bertempat di suatu waktu dengan membuka ruang diri selebar-lebarnya, nilai-nilai hayat berkembang dengan kwalitas masing-masing. Dan terus mendapati nilai-nilai itu berproses. Maka jiwa seperti spon, bisa menyerapi segenap air berwarna.

Seorang pelukis melalui tingkat kepenuhan dan kekosongan. Itulah rahasia sepenuhnya dari pada seni. Saya berjalan-jalan di hutan daerah Fontainebleau. Dalam hutan itu diri saya penuh dengan kehijauan. Saya harus kosongkan perasaan ini dalam lukisan. Warna hijau menguasainya.

Saat diri dikosongkan, timbullah daya kekuatan seperti bunglon. Di kedalaman pribadinya yang penuh, menganggap semua hal itu biasa. Dan tidak merasa aneh ketika dirinya sanggup melebur di dalam ruangan. Ia terkadang merasa terhilangkan dirinya saat sapaan-sapaan itu menguat. Dengan melewati kesaksian mata, ia merasakan kehadiran atau tersadarkan kembali.

Seorang pelukis menggambar seakan-akan dalam keadaan terdesak untuk mengosongkan diri dari perasaan & pandangannya.

Di saat obyek mendadak hadir dalam kesadaran. Diri menjelma air danau yang tenang mendamaikan dan ia seakan terlupa sebagai danau tersebut. Daun terjatuh di permukaannya merupakan penyatuan kesadaran diri dengan obyek membayang. Kesadaran daun mencipta bulatan gelombang itu bernama sergapan. Kadang membuyarkan penilaian, jika belum hatam atas obyek tersadarkan dari kesadaran penciptaan.

Manusia mengambil segala sesuatunya itu sebagai sarana demi menutupi ketelanjangan dirinya sekadarnya. Mereka mengambil apa yang mereka dapat dan kapan mereka dapat.

Yang dimaksud manusia ialah insan-insan pembuka kemungkinan. Saat pengalaman membuka telah terejawantah, akan sanggup menceritakan sejauh mana respon ketelanjagan diri dari terbentangnya pakaian atas penerimaan. Di suatu waktu tertentu diri menjelma pembuka, serupa alam membukakan dirinya untuk diresapi.

Saya percaya bahwa pada akhirnya mereka tak mendapatkan apa pun; mereka hanya memotong baju menurut ukuran ketidak-mengertian mereka sendiri. Dalam angan-angan, mereka ambil segala-galanya dari tuhan untuk dituangkan dalam lukisan mereka itu. Itulah sebabnya mengapa paku merupakan perusak gambar.

Namun bagaimana? Manusia memotong kain menurut ukuran yang disukanya, dan lebih celaka lagi bila mengikuti tuntutan pasar. Hal ini manusiawi jika didasarkan pada manfaat. Namun manfaat dan impian yang diharapkan, seringkali berdialog demi menemukan kesepakan yang kadang menimbulkan nilai yang kurang manusawi. Berbeda jauh jika bentangan kanvas itu seluas langit kita pandang, sebab bintang-bintang di langit, bukanlah paku penjaga bentangan.

Lukisan selalu mempunyai sesuatu yang penting, sekurang-kurangnya pentingnya orang yang membikinnya. Pada hari lukisan itu dibeli dan digantungkan di tembok benda itu menjadi penting dalam arti yang lain, untuk kepentingan mana lukisan itu memang dimaksudkan.

Pengertian penting atas kegunaan manfaat dari impian pelukis. Nilai-nilai mengikuti ukuran penilai, maka standarisasi itu pengakuan yang distempel, untuk menggagalkan berita di luar acara nilai eklusif. Di sini kita bisa mencari, mana penjual gambar dan mana pencipta karya seni. Perbedaan ini lama-kelamaan terkikis, saat berkacamata pragmatis. Atau menilai suatu karya hanya melewati segi manfaat semata, lantas mengaburkan impian pencipta atas kemewahan pameran. Maka yang berbicara di sini, tata letak profan yang menentukan penilaian lebih lanjut.

Pelajaran akademis mengenai keindahan adalah palsu. Kita telah dibohongi, tapi begitu baik dibohonginya, sehingga tidak mungkin untuk menemukan kembali sekalipun hanya bayangannya saja dari kebenaran.

Jika keindahan diungkapkan, terlihatlah banyak kebohongan. Sebab senyatanya tidak dapat digambar atau dituliskan, kalau masih ingin bau kesakralan dari keindahan. Namun bagaimana kabel pengertian untuk disambungkan; apa yang kita saksikan indah dengan di benak merasakan keindahan. Mau tidak mau jembatan harus ada, walau dipihak lain dianggap pelayaran palsu. Tentunya kita memiliki tempat masing-masing. Antara yang kita anggap palsu, murni dan yang disebutkan pemurnian dari kepalsuan.

Keindahan-keindahan dari Pathenon, Venus, bidadari, Bunga Bakung, merupakan sederetan kebohongan. Seni bukannya pengeterapan dari peraturan mengenai keindahan, tapi mengenai apa yang bisa dibayangkan oleh naluri dan kecerdasan secara bebas lepas dari peraturan itu.

Hendaknya yang dipelajari dari kesenian, bukanlah keindahan hasil karya semata. Namun bagaimana bergumul dengan kelembutan perasaan, berbathin ketenangan. Sehingga merasakan kemurnian karya dari kedalaman jiwa, bukannya dari wacana yang beredar, yang mencemari nalar pencari. Inilah yang dimaksud Picasso, kita tidak membutuhkan sekolah formal, untuk mempelajar keindahan.

Apabila seseorang mencintai wanita, dia tidak lantas mengambil alat-alat untuk kemudian mengukurnya; dia menyintai dengan suatu keinginan, dan sekalipun demikian segala-galanya telah dilakukan untuk memperkenalkan peraturan tersebut, sekalipun dalam hal bercinta.

Ini sebagai contoh, bahwa keindahan tidak dapat difahami secara tekstual, atau ditelaah langsung. Perlu adanya satuan kesadaran kepada yang tercintai. Sehingga tahap mencintai bukanlah suatu jadwal rutinitas, tetapi dari desakan diri pecinta. Maka ukuran yang diterima, bukan kita memotongnya.

Untuk berbicara yang sebenarnya atau untuk menyatakan kebenaran, Pathenon tidak lain hanyalah sebuah rumah petani yang beratap; barisan tiang yang menopang atap dan pahatan-pahatan ditambahkan pada bangunan tersebut oleh karena di Athena ada orang-orang yang bekerja dan yang ingin untuk mengungkapkan diri mereka sendiri.

Sekali lagi, fungsi bahan-bahan bangunan atau alat penciptaan, akan lebih bernilai jikalau memaknai diri dalam mengerjakannya.

Yang masuk hitungan bukannya apa yang diperbuat oleh si seniman, melainkan apa dan bagaimana si seniman itu sendiri. Cazanne tidak akan pernah menarik perhatian saya, apabila dia hidup dan berpikir seperti Jacques Emile Blanche, sekalipun buah apel yang digambarnya adalah sepuluh kali indahnya.

Inilah dialog pencarian, dan sejauh mana itu berbekas ke dalam diri pencari. Juga sebagai penanda, ketika disebutkan orang lain. Kualitas akan tersemat di pundak setia, jiwa yang meneguk ketabahan dalam mengidentifikasi diri, sebagai sesuatu yang berharga.

Yang menarik perhatian kita adalah ketidaktenangannya Cezanne, ajaran yang sebenarnya dari padanya, kesengsaraan Van Gogh, ialah drama dari manusia Van Gogh. Segala yang lain adalah palsu.

Titik berat identitas, ternyata muncul dari kesengsaraan berulang, yang terus dalam tempaan. Pukulan bertubi-tubi seringkali menggagalkan rencana. Maka, bagi mereka yang berpengalaman, perencanaan itu serupa menyemprotkan air. Dan efek warna-warni pelangi, merupakan hasil yang tak tersangkakan sebelumnya, yang berasal dari sangkaan-sangkaan aneh.

Setiap orang ingin mengerti melukis. Mengapa tidak ada usaha untuk memahami nyanyian burung? Mengapa seseorang tidak mencintai malam hari, bunga, segalanya yang ada di sekeliling manusia, dengan tanpa mencoba memahaminya sama sekali?

Terkadang kefahaman kita berlaku sempit, sedangkan penerimaan menjelma kefahaman purna. Maka terimalah segalanya, dengan tidak harus bernafsu ingin faham, apalagi mengikuti imosional pencarian. Sejatinya jalan pencarian itu berlahan, membimbing jiwa pada kehendak-kehendak realitas di luar diri. Dan kita memasukkannya ke dalam diri untuk menemukan kebajikan, timbangan keadilan dari kasih sayang.

Sedangkan orang ingin mengetahui tentang lukisan? Agar dimengerti, bahwa di atas segalanya seorang seniman bekerja karena keharusan, dan bahwa juga dia itu merupakan unsur yang paling kurang berarti dari dunia ini, sehingga tidak perlu kepadanya diberikan arti penting daripada kepada barang-barang alamiah lainnya yang membikin hati kita senang tapi yang kita tidak menerangkannya kepada diri kita sendiri.

Nilai-nilai akan berguna, manakala mengerti kegunaannya. Dan para pencari selalu haus mengembara, dahaga pengalaman kepada dirinya terdalam. Ia merasakan tidak memiliki apa-apa, dan tidak berarti kalau tidak mencari. Dan ia akan mendapati dirinya memiliki nilai atas ikatan nilai-nilai. Maka sesuatu akan bernilai, manakala berkumpulnya pandangan. Memasukkan wawasan memberi penerangan akan nilai-nilai tersebut. Tentunya kita dapat membedakan, antara krikil dan batu mulia.

Mereka yang mencoba menerangkan sebuah lukisan lebih sering berada di jalan yang keliru. Beberapa waktu yang lalu Gertrude Sein dengan gembira menyatakan pada saya bahwa pada akhirnya dia mengerti apa yang dimaksud oleh lukisan saya: tiga orang musikus. Lukisan itu ialah suatu pemandangan alam yang tenang!

Yang dimaksud penilaian atau makna nilai, sebagaimana perkembangan yang selalu berproses. Dimana tetap aktual, jikalau menilai dengan bingkai pengertian kekinian. Dan masih membawa kesadaran demi pengembaraan esok, sebab makna sekarang barulah istirah. Agar percakapan tidak menguap di pagi hari. Seharusnya menjaga perasaan dari keterangan tersebut, untuk diperjalankan sampai esok, demi penilaian yang lebih bugar.

Bagaimana seorang penonton bisa menghayati lukisan saya seperti saya menghayatinya sendiri? Sebuah lukisan datang kepada saya dari jauh, tiada yang tahu berapa jauh; saya meramalkannya, saya melihatnya, saya membikinnya, namun, keesokan harinya saya sendiri tidak melihat apa yang telah saya lakukan itu.

Proses kerja mencipta karya itu ekstasi dengan gairah mencintai kedalaman jiwa. Maka lelangkahnya harus menyepakati aturan setia, agar menemukan sesuatu yang terbaru. Serupa seekor burung yang terbang cepat, ia tidak peduli sejauh mana. Dirinya hanya memastikan tetap terbang, melayang-layang pada skala kasih sayang, atas kehendak grafitasi rindu mencipta.

Bagaimana seseorang bisa menyelinap masuk ke dalam impian saya? Naluri saya? Keinginan-keinginan saya? Pikiran-pikiran saya? Semuanya itu memakan waktu lama untuk menguraikan sendiri masing-masing dan menampilkan kehadirannya sendiri keluar di atas permukaan kesadaran, di atas segalanya menangkap dari dalamnya apa yang saya hasilkan, barangkali, bertentangan dengan kemauan saya sendiri?

Kesadaran kita seringkali tersabet kehendak yang sempat terlupa, dan kemungkinannya hadir dari segenap penjuru masa. Kita membawa diri terkadang sempoyongan dan lepas kendari, akan apa yang terhasrati kemarin. Maka perenungan yang berulang akan menghadirkan ingatan, daya rindu untuk menggagalkan kelupaan. Dan setiap waktu bertarung dengan keadaan yang tidak stabil itu.

Dengan perkecualian beberapa orang pelukis yang sedang membuka cakrawala-cakrawala baru dalam dunia seni lukis, pemuda dewasa ini tidak mengetahui ke mana mesti pergi.

Membaca sejarah, kita akan mengetahui sejauh mana perkembangan serta kemerosotan yang dialami periode waktu-waktu pencetak jaman. Bertolak dari kesadaran mitos, kuasa sejarah, kita gali jiwa demi menghadirkan diri kepada realitas masa depan. Ini cara bagaimana agar tidak tersandung berulang, meski di pantai kemungkinanan berbeda. Dunia hadir ke hadapan kita dan kita disuruh mengerjakan, juga kita faham atas pengalaman masa silam.

Daripada menangani penyelidikan-penyelidikan kami untuk memberikan reaksi tajam terhadap kami, mereka menyesuaikan diri untuk menjiwai masa lampau.

Kita akan menjelma bagian mata rantai peradaban, ketika mereka sadar oleh perjuangan serta sejarah yang sedang kita kerjakan.

Tapi dunia terbuka di depan kita. Segalanya masih harus dilakukan dan bukannya diulang-ulang.

Kelapangan diri membuka kemungkinan penghakiman. Lantas menerobos dengan kemungkinan jauh yang tidak tertandakan. Demi mendapati dirinya terbebas atas kedirian, juga kejiwaan orang lain. Kita seperti anak-anak yang tenggelam, yang diselamatkan kecerdasan oleh siratan inspirasi cahaya tuhan.

Mengapa berpegang terus dengan tanpa harapan pada segalanya yang telah memenuhi janjinya? Berkilometer-kilometerlah panjang jalan yang telah dilalui itu; tapi jarang sekali kita saksikan seorang muda yang menempuh jalannya sendiri.

Jalan kita adalah keyakinan dalam menerobos alang-alang. Sedang jalan mereka berupa buku-buku pelajaran yang kita tanggalkan, saat niatan melangkah semakin kuat. Seberapa jauh manfaat sebuah peta? Kalau sudah percaya dapat menguasai keadaan, tentu akan sanggup menghadapi medan yang di depan. Dan para gerilyawan menghapus peta perjalananya, demi membuyarkan pengamatan musuhnya. Musuh itu salah satunya ialah lupa. Dan harapan sebagaimana melemparkan jala, sejauh kemungkinan yang ada. Sedangkan penarikan jala bukanlah tujuan, namun penelitian untuk mendapati perairan yang lebih baik nantinya.

Apakah ada pikiran bahwa seseorang tidak bisa mengulang dirinya sendiri? Mengulang adalah berjalan berlawanan dengan hukum-hukum semangat, geraknya yang maju ke depan.

Kejeniusan Picasso tidak mungkin menafihkan, bahwa pengulangan juga menghasilkan penambahan dari kekurangan awal. Dan bagaimana pun pengulangan, mampu menghadirkan kesemangatan lebih yang tidak berlawanan dengan hukum gerak ke depan, sebagai jalan perubahan. Yang tidak saya disetujui, adalah pengulangan jalan di tempat. Yang sekadar mengucurkan keringat lelah, tanpa suasana baru yang menimbulkan kebosanan. Meskipun dikala istirah mendapati masa-masa aneh seperti bayangan pencerahan. Dan seorang Picasso mengunggulkan jiwa-jiwa yang selalu berproses. Tidak puas hasil kemarin, sebab di kedalaman proses, jiwa senantiasa terawat muda dan bakal menggenggam kualitas mandiri sebagai pribadi utama.

Saya bukannya seorang pesimis.

Inilah realitas ketegasannya. Tidak menganggap keterjatuhan itu dikhawatirkan, dan atau diulanginya untuk tidak jatuh di satu tempat lagi. Begitu bersemangatnya jatuh bangun patah tulang bathinnya. Dan kesambillaluan merayunya untuk berhenti sejenak. Namun, ia tetap mampu menggagalkan perayuan, dengan membongkar dan mengisi kebutuhan jiwa. Bahwa hamparan alam ingin diterjemahkan, dalam proses tak henti-henti, seperti rel menjaga jalannya kereta sejarah.

Saya bukannya membenci seni, oleh karena saya tidak bisa hidup tanpa mengabdikan semua waktu saya kepadanya.

Berproses inilah seni agung yang menciptakan kemuliaan. Jalan terindah hidup manusia tanpa sungkan terus berjuang, sambil membawa bendera keyakinannya. Dikibarkan di setiap laluan dengan berlari, sejauh kaki-kaki realitas menjatuhkan umurnya, bukan usianya.

Saya mencintai seni sebagai tujuan keseluruhan dari hidup saya. Segalanya yang saya perbuat yang ada hubungannya dengan seni memberikan pada saya kegirangan luar biasa.

Karya seni merupakan hasil perasaan insan, yang penuangannya dengan penuh kesegaran pencarian. Dan perolehannya menambah kebugaran tubuh serta jiwa. Karnanya, perasaan yang baik menjelma gugusan ilmu pengetahuan. Dan juga semua orang boleh memetiknya, seperti memanen anggur dalam kebun kebijakan. Manusia bijak mengetahui, bahwa seni hidup ialah memberi. Sedangkan penerimaan, sebagai wujud terimakasih yang tidak bakal tuntas diterjemahkan.

Walaupun demikian saya tidak melihat mengapa setiap orang menyibukkan diri sendiri mengenai seni, memanggilnya untuk bertanggungjawab, dan dengan bebasnya memberitahu kebodohannya dalam masalah seni itu?

Ketakutan dianggap bodoh adalah pelajaran pertama bagi seorang pencari. Ketakutan tidak mampu mencipta karya lagi, adalah hantu yang paling tidak masuk akal, yang kerap menggoda seniman kapiran. Seharusnya menerima kembali menyuntuki kebodohan. Sebagaimana tak ada perasaan takut, bagi yang selalu berproses. Dan tidak ada gunanya kompromi, akan anggapan bodoh. Sejatinya kita sangat bebal, dalam kawanan yang senantiasa berproses. Sedang kemiskinan jauh lebih baik, daripada ketakutan akan kebangkrutan.

Museum-museum merupakan kebohongan yang demikian banyak, orang-orang yang menyibukkan diri dalam kesenian, kebanyakan hanyalah merupakan penipu atau orang-orang yang bersikap semu yang lihai.

Picasso menyindir orang-orang yang mengurusi karya seni, tetapi tidak faham sejauh mana seniman mengemban ketabahan dalam berproses menciptakan hasil seni, di dalam seni bermasyarakat. Adalah tangan yang tidak pernah berlumuran cat, tanah liat, atau yang tidak pernah berdebu keringat. Adalah tangan-tangan pengecut, pengacau, yang lebih membahayakan daripada para pengangguran. Padahal pengangguran itu, sudah merupakan wujud lain daripada dosa yang diemban anak manusia. Bukanlah kecerdasan bilamana seorang pecundang berhasil menipu, tetapi bertumpuknya kebodohan yang sampai menimbulkan karatan.

Saya tidak mengerti mengapa timbul lebih banyak prasangka mengenai seni dalam negara-negara revolusioner daripada dalam negara-negara yang mundur!

Di sini tangan-tangan lain telah terlatih mencopet. Dan berhasil menjiplak harya seni. Saat mata picik mereka sudah tidak sanggup memandang lahan-lahan memeras keringat kerja. Dosa-dosa para penganggur terus berulang, dosa-dosa para majikan yang tidak berkaki terus melayang. Maka tentunya, saudara harus dapat membedakan antara uap dan air, antara arus dan diam. Dan saya menyebutkan, semakin banyak yang takut akan kegagalan, bertambah pulalah lahirnya para seniman-pedagang.

Kita telah membebankan pada lukisan-lukisan yang bergantungan di museum-museum, semua kebodohan dan kesalahan kita, keinginan-keinginan dari semangat kita sendiri.

Semangat kemapanan atau pun standarisasi, jauh lebih mengerikan. Daripada gairah berkecukupan, yang terpantul dari kesahajaan jiwa, mengamati damainya berproses yang selalu merawat kesadaran. Dan bahwa hal-hal, uang yang kita hasilkan ialah sebuah kepasrahan. Bukannya lantas mengukur dengan timbangan standar penerimaan baik. Saya menyebut, ketidaktulusan itu wujud jiwa setengah matang. Atau jiwa yang belum jadi, akan menggagalkan perkembangan.

Lukisan-lukisan itu telah kita buat menjadi barang-barang yang menggelikan. Kita berpegang kepada mitos-mitos daripada memahami kehidupan kejiwaan dari manusia-manusia membikin lukisan-lukisan tersebut.

Serupa para pengagum mutiara. Ketika di tempat pameran, tidak peduli lagi darimana batu itu dihadirkan. Dari tangan siapa? Seperti melupakan begitu saja, keberadaan penggali makna, yakni para pemahat relief dalam goa. Seumpama bercermin di mulut sumur, lantas mengagumi wajah sendiri. Saat menceburkan diri untuk mengetahui lebih dekat keindahannya. Akan tidak lagi menemukan kehalusan rupa, tersebab paksaan tubuh menutupi lobang sumur. Hendaknya memiliki jarak, ketika memahami kelembutan gunung, karena kalbu bertempo untuk menelisik mencari makna sejati.

Seharusnya ada suatu kediktatoran yang mutlak.…kediktatoran para pelukis… kediktatoran seorang pelukis…untuk menindas semua mereka yang menipu para pelukis, untuk menindas para pembohong, untuk menindas hal ihwal penipuan, untuk menindas kebiasaan, untuk menindas daya tarik, untuk menindas sejarah, dan untuk menindas banyak hal lainnya.

Ketika melihat dari kejauhan, jarak menciptakan kelembutan, kehalusan, keindahan juga tipudaya. Lantas bagaimana, untuk memperoleh keakraban yang lebih indah dari sebuah jarak? Maka pastikan, menceburlah ke dalam sumur, meski nantinya kecewa. Atau jangan-jangan bahagia? Dengan begitu, kita tidak sekadar dapat menceritakan perkiraan-perkiraan sementara. Kita harus benar-benar mencicipi gula, kalau ingin tahu manisnya. Harus sedikit banyak memahami bagaimana berkarya, jika seorang kritikus tidak ingin dianggap pembohong. Manakala mengomentari hasil karya, meneliti relief dalam goa, atau lukisan di ruangan pameran.

Tapi pikiran sehat selalu akan menang.

Pikiran sehat inilah yang pernah suntuk. Yang berkali-kali melampaui ambang kegilaan. Kesungguhan meneguk keringat berproses. Yang terus-menerus tidak berkesudahan. Menumpahkan gairah demi memperoleh gairah kembali. Bukan sakit kepala tapi tercenung.

Di atas segalanya orang harus mengobarkan revolusi melawan pikiran sehat tersebut.

Namun ketika nilai-nilai telah tertata, tidaklah pantas merasa puas, dengan sudut pandang satu proses pengertian. Sebab nalar yang benar-benar sehat, laksana arus tidak ada kesempatan mengendap. Yang membuat perubahan warna air atau drajat kesakitan. Maka menggelinjaklah terus dalam berproses. Penalaran yang benar senantiasa sehat, sebab hidup merupakan proses yang terus-menerus.

Diktator yang sejati akan selalu dikalahkan oleh akal sehat…tapi barangkali tidak!

Saya menyamakan diktator dengan doktrin nilai, standarisasi, strukturalisasi. Namun benarkah mereka, telah mewakili secara keseluruhan akal sehat? Selamat berfikir, berontak!

*) Pengelana asal Indonesia, Jatim, Lamongan. 31 Mei 2006.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae