Kamis, 30 Oktober 2008

MENGGUGAT SEJARAH SASTRA: MENELUSURI JEJAK CERPEN INDONESIAð

Maman S. Mahayanaó
http://mahayana-mahadewa.com/

Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Demikian judul buku yang ditulis Ajip Rosidi. Di dalam salah satu artikelnya, Ajip berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia lahir sekitar tahun 1920. Alasannya: pada saat itulah para pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll.) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan. Dalam hal ini, yang dimaksud kesusastraan Indonesia (modern), menurut Ajip, adalah karya-karya yang berkaitan dengan semangat dan elan nasionalisme keindonesiaan.[1]

Berbeda dengan Ajip, Zuber Usman secara eksplisit menunjuk bahwa Zaman Balai Pustaka (1908) sebagai awal kesusastraan Indonesia modern. Mengingat Balai Pustaka sebagai penandanya, maka tahun 1908 yang dimaksud tidak mengacu pada Budi Utomo, tetapi pada Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908 dan tahun 1917 berganti menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang lalu lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka.[2] Sedangkan A. Teeuw,[3] meski tidak secara tegas menyebutkan Balai Pustaka, ia menunjuk angka tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern.

Benarkah kesusastraan Indonesia modern lahir (sekitar) tahun itu? Menurut Teeuw, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide … yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa dan sastra lainnya yang lebih tua ….”[4] Sementara, Umar Junus lebih tegas lagi. Ia menandainya berdasarkan tahun kelahiran bahasa Indonesia, 28 Oktober 1928, “… sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada.” Karya sastra yang terbit sebelum itu, bagi Junus, hanya sebagai “sastra Melayu Baru/modern.[5]

Itulah beberapa pendapat tentang awal lahirnya sastra Indonesia modern. Gagasan itu secara membuta-tuli diikuti sejumlah pengamat sastra, ditanamkan dalam kerangka berpikir institusi sastra, dan terus merasuk sebagai sebuah paradigma yang tak tergoyahkan. Mengingat cara pandangnya hanya bertumpu pada karya yang dipublikasikan sebagai buku, apalagi Junus lebih sempit lagi pada lahirnya bahasa Indonesia, maka karya sastra di luar itu, ditiadakan. Jadi, ukurannya: karya sastra dalam bentuk buku atau yang menggunakan bahasa Indonesia selepas Sumpah Pemuda!

Kini, kita perlu mengajukan pertanyaan: Mengapa karya sastra yang bertebaran di media massa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tidak dianggap sebagai karya sastra? Mengapa peran penerbit swasta dilihat dengan memejamkan mata? Apakah alasan pemakaian bahasa Melayu pasar menjadi salah satu faktor penting untuk menyebut sastra di luar Balai Pustaka sebagai bukan sastra? Inilah bahayanya jika penentuan sastra dan bukan sastra hanya bertumpu pada publikasi buku atau tahun lahirnya bahasa Indonesia. Ia tak hanya menafikan sejumlah fakta sejarah dan dinamika sosiologis, tetapi juga berdampak pada peniadaan banyak nama yang mestinya tercatat sebagai bagian penting dalam perjalanan kesusastraan Indonesia.

Gagasan Teeuw, Ajip Rosidi, Zuber Usman, dan Umar Junus, dalam hal ini, secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia modern dengan mengabaikan fakta sosial dan peranan yang dimainkan media massa. Cara berpikir yang hanya mendasari pada karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku, tidak hanya menenggelamkan cerpen, cerita bersambung, dan puisi yang menempatkan media massa sebagai wadahnya, tetapi juga memutuskan hubungan sastra dengan dunia pers dan dengan demikian membenamkan kontribusi pers dalam perkembangan pemikiran kultural bangsa ini.[6] Karya sastra yang terbit dalam majalah dan surat kabar telah dianggap bukan bagian sastra Indonesia. Oleh karena itu, pelacakan lebih lanjut mengenai sumbangan media massa bagi kesusastraan Indonesia merupakan tuntutan yang mendesak dan perlu segera dilakukan.[7]

***

Di manakah tempat cerpen Indonesia dalam perjalanan kesusastraan negeri ini? Sebenarnya, sangat mungkin kehadiran cerpen Indonesia mendahului penerbitan novel, drama, bahkan juga puisi jika ukuran ciri-ciri kemodernan diterapkan di sana. Jejak puisi Indonesia modern memang gampang kita telusuri lewat komparasi dengan pantun, syair, dan puisi tradisional lainnya. Jejak itulah yang menempatkan puisi Indonesia modern dianggap lebih jelas perjalanannya. Padahal, puisi Indonesia dengan ciri-ciri modern, juga sudah banyak muncul di berbagai media massa.[8] Belakangan, Muhammad Yamin membuat sintesis pola pantun dan soneta. Dan itu terjadi pada dasawarsa pertama abad ke-20.

Di bidang drama, F. Wiggers lewat Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901) boleh dikatakan sebagai pemicu lahirnya drama Indonesia modern.[9] Jika pada masa sebelumnya pementasan-pementasan tonel tanpa pegangan naskah, selepas itu golongan peranakan Belanda dan Tionghoa memulai tradisi penulisan naskah drama. Dan Rustam Effendi lewat Bebasari-nya (1926), lalu dianggap sebagai penerus dimulainya drama Indonesia modern.

Proses perjalanan novel dimulai lewat para penulis Tionghoa dan tokoh pergerakan yang karya-karyanya diterbitkan pihak swasta. Pihak pemerintah kolonial Belanda kemudian secara sepihak menyebut para novelis itu sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan para agitator.” Merekalah sesungguhnya yang merintis lahirnya novel Indonesia modern. Karena dianggap berbahaya dan dapat membawa pengaruh buruk bagi pemerintah Belanda, pemerintah Belanda kemudian mendirikan Balai Pustaka sebagai usaha untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta itu. Jadi, novelis-novelis itulah yang mendorong pihak pemerintah kolonial Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka (1908; 1917) yang kemudian secara gencar menerbitkan sejumlah novel. Oleh karena itu, sangat mungkin sastrawan-sastrawan Balai Pustaka menyerap juga pengaruh para novelis yang muncul lebih awal.[10]

Harus diakui, bahwa kita tidak dapat menafikan peranan penting Balai Pustaka bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Tetapi tak adil pula jika kita meniadakan kontribusi yang diberikan penerbit di luar lembaga itu. Akibatnya, sejarah sastra Indonesia seolah-olah bermula dari Balai Pustaka dan tidak dari penerbit-penerbit swasta. Padahal, para penerbit swasta itulah yang mendorong pihak Belanda mendirikan lembaga penerbitan. Jadi, bagaimana mungkin sastra Indonesia lahir begitu saja tanpa sebab, tanpa pengaruh yang melatarbelakanginya? Mengapa peranan penerbit swasta itu dikesankan sebagai fakta sejarah yang harus dikubur dan dijauhkan dari materi pelajaran sekolah?

Pola berpikir yang seperti itulah yang yang pada gilirannya menenggelamkan peranan media massa (majalah dan koran) yang terbit akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dampaknya, tersisihlah kehadiran cerpen Indonesia yang memanfaatkan koran dan majalah sebagai wadahnya. Inilah sebabnya, kelahiran cerpen Indonesia seolah-olah seperti tidak ada kaitannya dengan media massa yang menerbitkannya. Padahal, sejak kelahirannya cerpen telah menjadi bagian yang tidak terlepas dari kehadiran media massa.

***

Pada awalnya, konsep cerpen memang tidak begitu jelas. Sketsa, fragmen, buah tutur, esai-esai yang mengangkat kehidupan sehari-hari, cerita ringan dan lucu, cerita bersambung (feuilleton) atau kisah tragedi percintaan yang diambil dari suatu peristiwa yang pernah menjadi berita aktual, semua disebut cerita. Baru memasuki dasawarsa kedua abad ke-20, cerita-cerita yang pendek itu diberi label cerita pendek, meski penyebutan singkatan cerpen[11] belum banyak digunakan. Ajip Rosidi[12] yang menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia, menelusuri jejak cerpen dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.[13]

Pandangan itu niscaya perlu didiskusikan lagi. Masalahnya, Ajip hanya menyimak Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu Muhammad Kasim yang belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu (Teman Duduk, 1936). Padahal, sebelum terbit Pandji Poestaka, sejumlah suratkabar atau majalah –termasuk Sri Poestaka (1918), banyak pula yang memuat cerita-cerita ringan seperti itu, meski tak semuanya berupa cerita lucu.[14] Oleh karena itu, penelusuran pada jejak cerpen Indonesia yang lebih awal, perlu memperhatikan kehadiran koran dan majalah yang terbit mendahului Pandji Poestaka.

Menjelang berakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ada sekitar 60-an surat kabar dan majalah berbahasa Melayu yang terbit. Sebut saja beberapa di antaranya: Biang-lala (Batavia, 1868, dwimingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891, terbit tak teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900, bulanan), Bintang Hindia (Bandung, 1903, dwimingguan) atau Bok-Tok (Surabaya, 1913, mingguan). Beberapa di antaranya, memuat cerita bersambung (feuilleton), cerpen, dan puisi. Majalah Sahabat Baik, misalnya, mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.” Surat kabar Selompret Melajoe (terbit di Semarang, 1860–1910) malah sering memuat surat-surat pembacanya dalam bentuk puisi. Cara demikian, ternyata juga kita jumpai dalam majalah Poetri Hindia (terbit di Bogor, 1908) dan beberapa media yang terbit masa itu.[15]

Jika bahasa Melayu pasar yang menjadi alasan, sebagaimana yang jadi keberatan Teeuw, maka majalah Bintang Hindia (1903) dan Wanita Swara (terbit di Kediri, 1912), harusnya dipertimbangkan betul, karena ia tidak memakai bahasa Melayu pasar. Perlu diketahui pula, Poetri Hindia justru menolak pemakaian ejaan van Ophujsen semata-mata lantaran ejaan itu dianggap tidak sesuai dengan bahasa anak negeri.[16]

Dalam hampir setiap penerbitan media itu, selalu muncul cerita-cerita ringan yang ringkas dan pendek dengan tema sekitar kehidupan sehari-hari. Jadi, sejumlah media waktu itu telah secara sadar menyediakan ruang bagi pemuatan model cerita seperti itu yang belakangan baru disebut cerita pendek. Dalam majalah Wanita Swara (No. 8, 15 April 1914), pemuatan cerita ringan itu berada di bawah judul “Boeah Toetoer” meski sebelum itu, Bintang Hindia, Sahabat Baik, Bok Tok dan Sinpo, dalam setiap penerbitannya mencantumkan label Cerita Pendek. Penulisan nama samaran merupakan salah satu ciri yang menonjol dari cerpen-cerpen yang terbit waktu itu. Rustam Effendi, misalnya, dalam cerpen yang dimuat Asjarq, (No. 6-7, Th. IV, Juni-Juli 1928), menggunakan nama Rineff.[17]

***

Jika sastrawan Balai Pustaka dianggap memperlihatkan kecenderungan semangat menggugat kultur-etnis, maka sastrawan di luar Balai Pustaka justru mengangkat peristiwa sosial pada masa itu, sekaligus mengungkap semangat zamannya. Ada yang mengusung persoalan emansipasi, edukasi bagi penduduk pribumi, bahkan ada juga yang menunjukkan

elan kebangsaan. Malahan, dari tanggapan dan surat pembaca yang diterima berbagai surat kabar dan majalah itu, tampak jelas terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan bahwa mereka menyadari kontribusi media massa dan pentingnya pendidikan. Di antaranya ada yang justru telah memperlihatkan mekarnya semangat dan kesadaran kebangsaan.

Dilihat dari struktur ceritanya, cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa saat itu, tak diragukan lagi sudah merupakan karya modern. Sebagian besar membicarakan tema sosial; masalah pernyaian, tragedi kehidupan rumah tangga, percintaan dan peristiwa yang pernah menjadi berita aktual.[18] Dalam hal yang disebut terakhir itulah, media massa sengaja memuat cerita pendek sebagai salah satu nilai jual media itu. Pasalnya, cerita seperti itu justru paling banyak mendapat sambutan masyarakat. Ini dapat dipahami mengingat berita umumnya disajikan lebih ringkas dan sering tidak mengungkapkan latar belakang terjadinya peristiwa itu. Cerpen justru memenuhi tuntutan itu. Oleh karena itu, di bawah judul cerpen atau cerita bersambung yang dimuat media massa, lazim tertulis keterangan “Satu cerita yang sungguh sudah terjadi di Jawa” yang mencantelkan cerita itu dengan peristiwa yang pernah menjadi berita media bersangkutan.

***

Dengan dasar pemikiran tersebut di atas, maka sejarah sastra Indonesia, terutama yang menyangkut kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, mutlak ditinjau kembali. Banyak fakta yang mengecoh, dan lebih banyak lagi yang ditenggelamkan, di dalamnya termasuk keberadaan cerpen dan peran media massa. Terlalu lama membiarkan persoalan ini tanpa usaha perbaikan, sama halnya dengan ikut membiarkan sejarah sastra Indonesia tetap berada dalam kondisi carut-marut.

Beberapa langkah berikut ini bolehlah dipandang sebagai usaha untuk mendudukkan sejarah perjalanan cerpen Indonesia secara “baik dan benar”.

Pertama, menolak gagasan Ajip Rosidi mengenai kelahiran dan perkembangan cerpen Indonesia sebagaimana yang telah dibicarakan tersebut di atas.[19]

Kedua, menolak gagasan Jakob Sumardjo yang menempatkan Muhammad Kasim dan Suman Hs sebagai Bapak Cerpen Indonesia.[20]

Ketiga, menolak pembabakan yang dilakukan Jakob Sumardjo, sebagaimana yang dikatakannya berikut ini:

… saya membagi sejarah cerita pendek Indonesia menjadi empat dekade selama waktu empat puluh tahun. Pembagian itu sebagai berikut:

Dekade 30-an, yaitu masa pertumbuhan cerita pendek yang dimulai sekitar pertengahan tahun 1930-an sampai permulaan tahun 1940-an. Dalam dekade ini kita temui beberapa penulis cerita pendek yang dapat saya anggap sebagai bapak-bapak cerita pendek kita, seperti Muhammad Kasim, Suman Hs, Armijn Pane, dan Idrus.

Dekade 40-an, yang meliputi masa antara tahun 1945 sampai tahun 1955. Dalam dekade ini kita temui penulis-penulis cerpen kita seperti Parmoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, dan sebagainya.

Dekade 50-an, yang meliputi penulis-penulis dari majalah Kisah dan Sastra. Dari masa ini kita temui penulis-penulis sebagai berikut: Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardojo, Riyono Pratikto, Nh. Dini, Trisnoyuwono, Ajip Rosidi, Bur Rasuanto, Alex Leo, A.A. Navis, S.M. Ardan, Djamil Suherman, Motinggo Boesje, dan banyak lagi yang lain.

Dekade 60-an, yang meliputi masa antara 1964 sampai sekarang ini, yaitu mereka yang rata-rata kemudian tumbuh dalam majalah sastra Horison. Nama-nama mereka antara lain, Wildam Yatim, Umar Kayam, Budi Darma, Wilson Nadeak, dan sebagainya.[21]

Pandangan Jakob Sumardjo itu tentu saja tidak dapat kita terima mengingat ada sejumlah kelalaian yang dilakukannya.

Dengan mengawali dekade 30-an sebagai masa pertumbuhan cerpen Indonesia, Jakob telah menafikan keberadaan cerpen yang muncul pada dekade sebelumnya. Mengingat kelahiran cerpen Indonesia bergandengan dengan tumbuhnya penerbitan media massa (surat kabar dan majalah) maka kelahiran cerpen Indonesia sesungguhnya sudah dimulai akhir abad ke-19 dan mulai tumbuh pada dua dasawarsa abad ke-20.

Pada dasawarsa ketiga abad ke-20 sampai masuknya Jepang (1930—1942), penulisan cerpen makin semarak dengan bermunculannya suratkabar dan majalah yang terbit tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah, terutama Medan dan Surabaya. Pada masa itu juga terbit beberapa majalah cerita yang di dalamnya banyak memuat cerpen. Dengan demikian, periode ini dapat dikatakan merupakan masa perkembangan cerpen Indonesia.

Keempat, menolak pandangan Jakob Sumardjo yang sama sama sekali tidak menyinggung periode zaman Jepang. Padahal, sebagaimana dikatakan H.B. Jassin, “Menafikan kesusastraan dalam zaman Jepang adalah menafikan suatu wajah kehidupan dalam perjalanannya membentuk sejarah.”[22] Pada zaman Jepang itu, banyak sastrawan Indonesia yang memilih menulis puisi dan cerpen daripada novel. Di samping itu, pada zaman Jepang itu pula dimulai sayembara penulisan cerpen. Adanya sayembara-sayembara itu pula yang memungkinkan munculnya cerpenis baru.[23] Chin Yook Chin mencatat bahwa dalam masa pendudukan Jepang (Maret 1942— Agustus 1945) dari tiga suratkabar (Asia Raja, Sinar Baroe, dan Soeara Asia) dan dua majalah (Djawa Baroe dan Pandji Poestaka) paling sedikit telah dimuat sekitar 190 cerita pendek.[24] Dengan demikian, menghilangkan periode zaman Jepang dalam peta perjalanan sastra Indonesia, khasnya dalam menelusuri jejak cerpen Indonesia sama halnya dengan menghilangkan satu fase penting yang justru sangat berpengaruh bagi perkembangan kesusastraan Indonesia itu sendiri.

Selepas merdeka, terutama pada dasawarsa tahun 1950-an, cerpen Indonesia seperti mengalami booming. Sejumlah majalah seperti Kisah, Pujangga Baru, Panca Raya, Arena, Seniman, Zenith, Seni, Sastra, Indonesia dan Prosa boleh dikatakan tidak pernah luput memuatkan cerpen. Menurut catatan E.U. Krazt yang meneliti 55 majalah yang terbit dalam dasawarsa tahun 1950-an itu, cerpen (: prosa) yang dimuat berjumlah 5043 cerpen, hampir mendekati pemuatan puisi yang berjumlah 6291 buah.[25] Jumlah itu tentu saja akan membengkak jika kita menyisir majalah-majalah yang terbit di Indonesia pada dasawarsa itu yang mencapai jumlah 568 majalah. Belum terhitung suratkabar yang terbit waktu itu.[26] Kondisi itu terus berlangsung hingga tahun 1964. Dalam dasawarsa tahun 1950-an itu pula tradisi penerbitan antologi cerpen mulai memperoleh tempat. Meskipun bentuk dan kedudukan cerpen pada periode itu sudah lebih mantap, peranan cerpenis sendiri masih tetap dipandang sebagai “latihan bagi penulisan roman yang besar,” begitulah komentar H.B. Jassin dalam melihat keberadaan cerpenis waktu itu.[27]

Selepas tahun 1966, kesusastraan Indonesia seperti dilanda gerakan eksperimentasi. Lewat majalah Sastra –yang akibat kasus “Langit Makin Mendung”, Kipanjikusmin terpaksa bubar—dan kemudian Horison, cerpen seperti memperoleh tempat bereksperimen. Muncullah nama-nama Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya, Umar Kayam, dan sederet panjang nama penting. Sampai akhir dasawarsa tahun 1970-an, majalah Horison tetap menempatkan dirinya sebagai majalah sastra yang berwibawa. Tambahan lagi, sayembara penulisan cerpen yang diselenggarakan Horison, tidak hanya sekadar melahirkan sejumlah cerpenis, tetapi juga membuka ruang bagi pengembangan estetik cerpen itu sendiri.

Ketika makin banyak surat kabar membuka ruang cerpen –dengan terbitnya edisi Minggu—, lambat-laun pilihan para cerpenis untuk mengirimkan tulisannya cenderung bersifat pragmatis. Sementara itu, tak rapinya administrasi Horison ketika itu dan honorarium yang “sekadarnya” merupakan faktor lain lagi. Itulah sebabnya, suratkabar Minggu menjadi semacam pilihan pertama bagi cerpenis kita untuk mengirimkan karyanya. Dalam kondisi seperti itu, adanya lomba penulisan cerpen, disusul kemudian dengan penerbitan antologi cerpen, makin memicu signifikansi suratkabar edisi Minggu dalam perkembangan cerpen Indonesia. Keadaan seperti itulah yang terjadi saat ini.

Perkembangan yang sangat kondusif itu, tentu saja berdampak sangat luas. Cerpen tidak lagi dipandang –seperti dikatakan Jassin—sebagai “latihan bagi penulisan roman yang besar.” Penulis cerpen tiba-tiba saja tak gagap menyebut dirinya sebagai sastrawan. Sangat kebetulan pula, tidak sedikit cerpenis kita yang hidup “hanya” dari menulis cerpen. Dengan begitu, cerpen sebagai salah satu ragam sastra telah menempati kotaknya sendiri dalam konstelasi kesusastraan Indonesia. Cerpen Indonesia pada periode ini telah mempunyai kotaknya sendiri, estetikanya sendiri, dan kekuasaannya sendiri.

Ternyata, menulis cerpen dengan orientasi pada suratkabar atau majalah, melahirkan ketidakpuasan yang lain lagi. Ada sejumlah kompromi yang juga harus dipikirkan para cerpenis ketika ia bermaksud menulis cerpen untuk suratkabar. Adanya pembatasan jumlah halaman –menurut sejumlah cerpenis—dianggap membatasi eksplorasi ruang-ruang estetik. Munculnya isu sastra koran sesungguhnya merupakan representasi dari kegelisahan itu. Maka, cerpenis yang mengalami kegelisahan seperti itu mencoba bermuka dua: menulis cerpen untuk suratkabar, dan menulis cerpen untuk buku. Atau bersiasat melakukan kompromi-kompromi. Sayangnya, pada tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 1990-an, banyak penerbit yang kurang begitu antusias menerbitkan antologi cerpen (perseorangan). Maka hingar-bingar cerpen tetap terjadi seputar suratkabar edisi Minggu.

Selepas pertengahan tahun 1990-an –dan terutama setelah tahun 2000—penerbitan antologi cerpen seperti mengalami ledakan dahsyat. Tidak sedikit cerpenis yang tiba-tiba menerbitkan antologinya. Tambahan lagi, adanya Jurnal Cerpen dan penyelenggaraan Kongres Cerpen, makin mengukuhkan cerpen sebagai salah satu ragam sastra yang patut diperhitungkan. Itulah yang terjadi dalam peta cerpen Indonesia kini.

***

Uraian tadi sesungguhnya dimaksudkan hendak memberi gambaran mengenai peta perjalanan cerpen Indonesia sejak kelahirannya hingga kini. Atas dasar itulah, menurut hemat saya, pembabakan yang dilakukan Jakob Sumardjo perlu direvisi. Inilah pembabakan yang saya tawarkan:

1. Periode Kelahiran (1880-an—1928). Pada periode ini penamaan cerita pendek masih tumpang tindih dengan cerita, hikayat, selingan, sketsa, atau buah bibir.

2. Periode Pertumbuhan (1928—1945). Pada periode ini, penamaan cerita pendek relatif merujuk pada cerita-cerita yang lebih ringkas dan pendek. Jadi, sudah ada konsistensi atas penamaan cerita pendek. Bahwa Armijn Pane –sebagaimana terlihat dalam antologinya Kisah Antara Manusia— menulis cerpen yang relatif panjang, hal yang sama juga dilakukan oleh para penulis cerpen pada zaman Jepang. Dengan demikian, memperlihatkan juga adanya pertumbuhan yang signifikan dibandingkan pada periode sebelumnya.[28] Belakangan, Idrus, dan kemudian Umar Kayam tidak sedikit pula menghasilkan cerpen yang cukup panjang.

3. Periode Perkembangan (1945—1965). Pada periode ini penulisan cerpen seperti mengalami booming. Cerpen sudah mulai diterima sebagai bagian dari ragam kesusastraan Indonesia yang juga penting. Meskipun demikian, adanya anggapan bahwa miring tentang penulisan cerpen dibandingkan penulisan roman, menempatkan kedudukan cerpenis –seolah-olah—berada di bawah novelis.

4. Periode Kebangkitan (1965—1980). Pada periode ini, kedudukan cerpenis seperti bangkit menunjukkan jati dirinya. Maka, posisi cerpenis dengan sastrawan yang berkarya dalam ragam sastra yang lain, mulai diterima secara sejajar.

5. Periode Kesemarakan (1980—sekarang). Pada periode inilah cerpen dan cerpenisnya benar-benar seperti telah memperoleh dunia dan wilayah kekuasaannya sendiri.

Berdasarkan pembabakan periodesasi yang seperti itu, dilihat dari gerakan estetiknya, saya melihat adanya perkembangan sebagai berikut.

1. Pencarian Bentuk (1890-an—1945). Penulisan cerpen pada periode ini seperti masih mempersoalkan bentuk. Meskipun tema-tema yang diangkatnya begitu beragam, keinginan untuk konsisten pada bentuk yang ringkas menjadikan cerita pendek itu, benar-benar sebagai cerita yang pendek. Menggambarkan sebuah peristiwa keseharian atau salah satu bagian dari fragmen kehidupan.

2. Pembentukan Identitas (1945—1965). Para penulis cerpen pada masa ini, meskipun tak mempersoalkan pengakuan dan legitimasi profesi kesastrawanannya, terkesan juga adanya hasrat untuk menunjukkan bahwa cerita pendek mempunyai dunianya sendiri yang berbeda dengan drama, novel atau puisi. Oleh karena itu, mempertentangkan kegiatan menulis cerpen dengan kegiatan menulis ragam sastra yang lain, seperti masih berhadapan dengan problem identitas. Oleh karena itulah, periode ini merupakan masa pembentukan identitas cerpenis sebagai profesi yang sejajar dengan para penulis ragam sastra yang lain.

3. Penggalian Ruang Estetik (1965—1990). Usaha yang dilakukan Danarto, Umar Kayam, Budi Darma dengan berbagai eksperimentasinya memperlihatkan, betapa pentingnya penggalian ruang estetik dalam penulisan cerpen. Dalam hal ini, cerpen tidak sekadar sebagai cerita yang pendek, melainkan sebagai karya yang di dalamnya tersimpan berbagai nilai estetik.

4. Pendalaman Estetik (1990—sekarang). Terbukanya ruang eksperimentasi di dalam cerpen, seperti memberi kesadaran pada cerpenis generasi berikutnya untuk juga melakukan hal yang sama. Maka, estetika cerpen makin melebar tidak hanya pada persoalan tema, tetapi juga style, gaya, dan penyampaian ekspresi narasinya.

Demikianlah, gerak estetik cerpen Indonesia seperti terus-menerus hendak melakukan penggalian. Itulah yang terjadi dalam konstelasi peta cerpen Indonesia sekarang.

***

Uraian ini niscaya masih memerlukan pendalaman lebih lanjut. Bagaimanapun, sejumlah persoalan yang dikedepankan dalam tulisan ini, patut kiranya dipertimbangkan untuk mencari dan menemukan duduk perkara perjalanan cerpen Indonesia modern. Dari sanalah kita akan lebih mudah menelusuri perjalanan gerak estetiknya.

Demikianlah!

Msm/mkl/kongrescpn-lampung/3/07/2003

ð Makalah Kongres Cerita Pendek Indonesia III, diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung, Lampung , 11—13 Juli 2003.

óMaman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

[1] Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 1—8. Dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1978: 16–19), Ajip menyinggung karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka, tetapi mengingat bahasa yang digunakannya bahasa Melayu pasar, Ajip cenderung menempatkan awal lahirnya kesusastraan Indonesia dengan titik tolak pada penerbitan buku-buku Balai Pustaka. Persoalan ini kemudian ditegaskan lagi dalam artikel Ajip Rosidi, “Mas’alah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia,” Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1970), hlm. 9—27. Gagasan Ajip Rosidi ini sejalan dengan pembagian yang dilakukan Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya di FSUI 1963 yang juga melandasi penentuan batas awal kesusastraan Indonesia berdasarkan paham nasionalisme.

[2] Zuber Usman, Kesusasteraan Baru Indonesia (Djakarta: Gunung Agung, 1957), hlm. 27—30

[3]A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1978)

[4] Ibid., hlm. 15—18.

[5]Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’” Medan Ilmu Pengetahuan, I/3, Juli 1960, 245—260.

[6] Sebelum Balai Pustaka berdiri, banyak surat kabar dan majalah yang memuat cerpen (cerita) dan pantun yang isinya menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dunia pers waktu itu sengaja memuat karya sastra, justru untuk meningkatkan oplah majalah atau suratkabar itu. Kini problemnya tentu lain. Tetapi, peranan suratkabar dan majalah dalam perkembangan cerpen Indonesia, jelas sangat penting. Oleh karena itu, perlulah melakukan penelitian lebih jauh mengenai masalah ini.

[7] Penelitian mengenai suratkabar dan majalah yang terbit pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 niscaya akan mengungkapkan benang merah hubungan kesusastraan Indonesia lama dan sastra Indonesia modern. Perkembangan sastra Indonesia lama, misalnya, dapat dilacak dan ditelusuri dari tradisi sastra lisan, kemudian sastra tulis melalui penyalinan dan tulisan tangan yang memakai huruf Arab—Melayu, dan terakhir melalui cetak batu (litografi). Pengenalan dari cetakan batu ke cetakan mesin inilah sesungguhnya yang menghubungkan kesusastraan Indonesia lama ke kesusastraan Indonesia modern. Awal berbagai tulisan yang menggunakan cetakan mesin ini justru dilakukan para pengelola suratkabar. Jadi, tradisi penerbitan buku dimulai setelah dikenal penerbitan suratkabar dan majalah.

[8] Tradisi pembacaan pantun dengan tema-tema sosial sesungguhnya sudah berkembang sekitar tahun 1880-an. Pada dekade itu, menurut Kwe Tek Hoay, misalnya, di Bogor pernah muncul tradisi pembacaan pantun dalam pesta keluarga Tionghoa. Dalam suratkabar Poetri Hindia, tidak jarang muncul surat pembaca yang ditulis dalam bentuk pantun atau syair. Beberapa dari pantun atau syair itu mengungkapkan sambutannya atas penerbitan suratkabar Poetri Hindia. Jadi, bentuknya pantun, isinya tentang masalah sosial. Jika demikian, bukankah itu yang kemudian disebut sebagai puisi?

[9] Beberapa suratkabar atau majalah sebelum itu, justru pernah memuat cerita pendek. Jadi, sesungguhnya kesusastraan Indonesia lahir pada akhir abad ke-19, mengikuti kemunculan penerbitan suratkabar dan majalah.

[10] Pembicaraan mengenai Balai Pustaka lebih jauh, periksa K. St. Pamuntjak, “Balai Pustaka Sewadjarnja 1908—1942”; (Djakarta: (?), 1948), “Apakah Balai Poestaka” Pengantar bagi lid-lid congres Bestuur Boemipoetera jang ke-III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka; “Bureau voor de Volkslectuur: The Bureau of Popular Literature of Netherlands India, What it is, and what it does”. Ketiga artikel tentang Balai Pustaka ini, sampai kini belum dapat diketahui penerbit dan tahun penerbitannya. Mengenai latar belakang politik kolonial Belanda dalam pendirian Balai Pustaka, periksa Maman S. Mahayana, “Politik Kolonial Belanda di Balik Pertumbuhan Balai Pustaka,” Makalah Seminar Antarbangsa Kesusasteraan Malaysia ke-VII, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 10—12 September 2001.

[11] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang pun, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel.

Kasus yang sama juga terjadi pada penyebutan suratkabar dan majalah. Poteri Hindia misalnya meskipun terbit dwimingguan, dikatakan oleh pengelolanya sebagai suratkabar. Beberapa suratkabar ada pula yang formatnya seperti majalah atau sebaliknya ada pula majalah yang formatnya seperti suratkabar. Jadi, waktu itu penyebutan suratkabar dan majalah masih sering tumpang-tindih. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen pun belum begitu tegas benar.

[12] Ajip Rosidi, Tjerita Pendek Indonesia, (Djakarta: Gunung Agung, 1968: Cet. I, 1959).

[13]Ajip Rosidi beranggapan bahwa karena karya-karya Mohammad Kasim dan Suman Hs yang menyajikan cerita-cerita lucu, sangat mungkin ada hubungannya dengan cerita-cerita lucu si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog. Hipotesis Ajip ini tentu saja masih harus dibuktikan. Tetapi, mengingat sejak akhir abad ke-19, sudah ramai penerbitan suratkabar atau majalah yang di dalamnya sering juga termuat cerita pendek, maka tentu saja menempatkan Mohammad Kasim dan Suman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia, mesti dipertanyakan kembali.

Dari mana pula Ajip Rosidi menyimpulkan bahwa Muhammad Kasim dan Suman Hs terpengaruh cerita lucu si Kabayan, jika cerita itu sendiri pada waktu itu belum begitu populer di kalangan masyarakat non-Sunda.

[14] Pada tahun 1921, misalnya, di Surabaya terbit sebuah majalah yang khusus memuat cerita pendek. Nama majalah itu Roepa-Roepa Tjerita Pendek (Surabaja: Bookhandel Pek Pang Ing, Grisee, 1921). Salah satu cerpen yang termuat dalam majalah itu berjudul “Oetang, Moesti Bajar” karya Wan Po Wan, sama sekali tidak mengungkapkan hal-hal yang lucu. Dengan demikian, hipotesis Ajip Rosidi gugur dengan sendirinya.

[15] Periksa Maman S. Mahayana, “Angkatan Sastra 2000,” Republika, 10 Oktober 1999.

[16] Maman S. Mahayana, “Majalah Wanita Awal Abad XX,” Depok: LPUI, 2000. (Laporan Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan)

[17] Ibid.

[18] Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini: Cerpen “Boeah Toetoer” karya anonim (mungkin Ki Hadjar Dewantara, salah seorang redaktur majalah Wanita Swara, No. 7, Th. III, 1 April 1914) mengisahkan pentingnya hidup rajin, cerpen “Djiwa Manis Haloes Tipoenja …” karya Delima (Bintang Hindia, No. 23, 1923) mengisahkan percintaan Effendi dan Siti, cerpen “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” karya Rineff (mungkin Rustam Effendi) (Asjraq, No. 6—7, Th. IV, Juni—Juli 1928) menceritakan percintaan tokoh Aku dan Nel, seorang wanita terpelajar, cerpen “Salah Wissel” karya Kwie Hwa (Doenia Istri, 15 Mei 1928) menceritakan seorang anak gadis yang salah memahami nasihat orang tuanya. Penelitian yang dilakukan Pusat Bahasa (Atisah, dkk., Analisis Struktur Cerita Pendek 1935—1939. Jakarta: Pusat Bahasa, 1999) atas 60 cerita pendek dari 163 cerita pendek yang dimuat majalah Pandji Poestaka, Pandji Islam, Poedjangga Baroe antara tahun 1935—1939 memperlihatkan, betapa tema-tema yang diangkat dalam cerpen-cerpen itu sangat beragam.

[19] Gagasan Ajip Rosidi ini merupakan semacam uraian ringkas tentang perjalanan cerpen Indonesia (“Seledjang Terbang”) yang terdapat dalam bukunya Tjerita Pendek Indonesia (Djakarta: Gunung Agung, 1968; Cet. I, 1959). Tulisan ini dengan perubahan judul, “Pertumbuhan dan Perkembangan Cerpen Indonesia” dimuat lagi dalam Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik (Pamusuk Eneste (Ed.), Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 10—26.

[20] Jakob Sumardjo, “Mencari Tradisi Cerpen Indonesia” dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 27—34. Dalam kasus ini, tampak jelas Jakob Sumardjo mengikuti gagasan Ajip Rosidi.

[21] Ibid., hlm. 29—30.

[22] H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 7.

[23] Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994. Pada masa pendudukan Jepang, ada sekitar 10 suratkabar dan delapan majalah yang diterbitkan pemerintah Jepang. Semua yang berkaitan dengan bidang publikasi ini berada di bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Periksa juga H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) dan H.B. Jassin, Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) Cet. II, 1955.

[24] Chin Yook Chin, “Cerpen Indonesia pada Zaman Jepang (Maret 1942—Agustus 1945): Suatu Tinjauan Ekstrinsik” (Jakarta: Skripsi Sarjana, FSUI, 1975) (tidak dipublikasikan).

[25] Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988).

[26] Menurut catatan M.C. Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992) jumlah suratkabar yang beredar mengalami peningkatan dua kali lipat dari sekitar 500.000 eksemplar pada tahun 1950 menjadi sekitar 933.000 pada tahun 1956. Sementara oplah majalah dalam kurun waktu yang sama, dari sekitar 1,1 juta eksemplar meningkat menjadi sekitar 3.3 juta eksemplar. Pada dasawarsa tahun 1950-an itu, cukup mengherankan, jumlah majalah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah suratkabar. Mengenai konstelasi kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001)

[27] H.B. Jassin, Analisa Sorotan atas Cerita Pendek, (Jakarta: Gunung Agung, 1963), hlm. X. Tulisan ini dengan pergantian judul menjadi “Kisah” Bulanan-Cerpen Pertama di Indonesia,” dimuat pula dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 3—9.

[28] Beberapa nama yang cerpen-cerpennya cukup panjang, antara lain, Andjar Asmara (“Setinggi-tinggi Terbang Bangau” (Djawa Baroe, No. 1—7, 1 Januari 1943—1 April 1943), M. Dimyati “Tangan Mencencang Bahu Memikul” (Djawa Baroe, No. 9—12, 1 Mei 1943—15 Juni 1943), A.S. Hadisiswoyo “Hamid Pahlawan Perkumpulan Anti AVC (Di Bawah Bayang-Bayang Jembatan)” (Djawa Baroe, No. 13—15, 1 Juli 1943—1 Agustus 1943), Rosihan Anwar “Radio Masyarakat” (Djawa Baroe, No. 16—19, 15 Agustus 1943—1 Oktober 1943), N.R. Hadidjah Machtoem “Karena Bom” (Pandji Poestaka, No. 7—8, 23—30 Mei 1942), Matu Mona “Gegap Gempita di Medan Perang Timur” (Pandji Poestaka, No. 20—21, 22–29 Agustus 1942).

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

Kehendak Pengingkaran

seorang ibu menolak melahirkan anaknya
sebagai manusia baru
atas kehendak peradaban
zamannya
menjadi sekedar timbunan
dari sekian manusiamanusia rongsok
dari bayangbayang
kehidupan yang rapuh.

seorang ibu telah menenggelamkan
anaknya
dalam api
dalam pegingkaran.

Lamongan, 2000



Tentang Dendam

aku kelak kau tangkap
dalam misterimu
dalam hentakan sangat kerasnya

"akulah memukul roboh hotel
bertingkat itu"

tentang dendam
yang tak pernah kau mengerti
tentang samenanjung jiwa
di samudra sunyi

kepada tanah kelahiranku
harusnya kau tangkap juga
kristal mata ini
yang berpuluh tahun merangkum kenangan
kesejarahan
menjadi pantai nestapa

gelombang dan waktu kelak meringkus
segala
saat kita tidak lagi berdamai
dengan semesta akar jiwa sendiri
maka apa kan abadi
mengalir jauh keluar diri ini
jiwa agung lamongan kita.

Lamongan, 2004



Boom Bali

bali pada puncak teror boom
indonesia terkini
adalah kafe, hotel dan pantai

waktulah itu
dalam suatu ledakan sunyi
menyapa galungan
sebuah keheningan yang menyerupai kebutaan
pagi;
legian kala itu

aku di lantai paling bawah
aku di dalam kafe
bergayut pada pasirpasir waktu
menyerpih gelombang kuta
aku menyaksikan gelombang berderu dari pantai
suara gemerincing gelasgelas alkohol
dan logamlogam dan kaca yang beradu

"ada sesosok tubuh mencabikcabik sendiri
meledakkan serpih namanama membabi buta"

siapa dipersimpangan memilih ketersesatan
menuntun kalender mencuri hariharinya
dalam rongga kenangan

mengantongi bayangbayang ngeri
anak negeri
aku mengutukmu?….

Lamongan, 3 September 2005

BELAJAR DARI ANDREAS HAREFA

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Dengan setengah kelakar, Andreas Harefa menuliskan di belakang namanya dengan tulisan "WTS". WTS yang satu ini bukanlah akronim dari wanita tuna susila tetapi merupakan kependekan dari writer, trainer, dan speaker. Andrias Harefa, selama ini dikenal sebagai penulis buku yang tak hanya produktif tetapi juga pencetak buku laris. Sebelum dikenal sebagai penulis, Andreas Harefa memang lebih banyak bergelut sebagai trainer (instruktur) dan speaker (pembicara) di bidang pelatihan bisnis. Meskipun dia sudah senang menulis sejak di bangku kuliah, dia baru menulis buku mulai tahun 1998 atau saat krisis ekonomi mulai memorak-porandakan Indonesia. Sekarang, buku-buku yang lahir dari jemari lentiknya sudah lebih dari 25 judul. Tema buku-bukunya berkisar soal learnership (pembelajaran), lea¬dership (kepemimpinan), dan entrepreneurship (kewirausahaan).

Motivasi tampaknya lebih utama menggerakkan Andreas Harefa. "Aku ingin menguatkan hati orang," begitulah alasan ia dalam menulis buku. "Aku ingin menjangkau sebanyak mungkin orang karena sebagian besar mereka, karena alasan biaya atau waktu, tidak bisa ikut di pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar di mana aku jadi pembicara."
Permasalahannya adalah bagaimana Andreas Harefa dapat demikian produktif. Ada satu resep yang dilakukan Andreas Harefa sehingga ia bisa sangat produktif dalam menulis buku. "Aku punya target minimal, satu hari harus menulis antara satu sampai dua halaman. Jadi, kadang-kadang dalam seminggu aku bisa menulis dua artikel dengan panjang enam halaman. Itu cara mendisiplinkan diri," kata Ha¬refa. Namun, ia mengakui ada pula saat ia tidak aktif.

Untuk inilah, maka jika Anda ingin merentas jalan lempang kepenulisan, resep Andreas Harefa ini dapat dilakukan. Marilah kita berhitung secara matematis. Jika dalam satu hari kita mampu menuliskan dua halaman, misalnya, maka dalam satu bulan kita sudah memperoleh sekitar enam puluh halaman. Jika dua bulan, maka, sudah 120 halaman. Sebuah buku tipis, tentu, sudah layak dengan tebal 120 halaman ini. Kalau begitu, hitung punya hitung dalam setahun, seseorang dapat menghasilkan enam buku. Mengapa kita tidak melakukannya? Kalau orang lain dapat tentu, siapa pun kita dapat melakukannya.

Di tengah kesibukan kita (apa pun profesi kita), barangkali memang menarik untuk menerapkan resep menulis Andreas Harefa ini. Untuk inilah, maka mengapa tidak kita lakukan? Jika kita meminjam ungkapan para arif bijak tidaklah ada sesuatu hasil datang dengan tanpa usaha, demikian juga halnya dengan dunia kepenulisan. Kerja keras, etos, dan disiplin adalah hal terbesar yang akan menyumbangkan sukses seorang penulis.

Akhirnya, marilah kita mulai menulis dengan resep Andreas Harefa ini. Meskipun satu paragraf dalam sehari, maka jika dalam satu minggu, paling tidak kita sudah memperoleh satu tulisan pendek. Ibarat menulis sebagai naik sepeda, maka semakin hari keterampilan kita bersepeda semakin mahir. Bukankah menulis adalah keterampilan menuju kemahiran?

Untuk ini, marilah kita menekuni dunia menulis dengan sepenuh hati. Sebab membaca dan menulis sekali lagi, adalah amanah agama yang diisyaratkan dalam Al-Quran! Wallohu a’lam.

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos

Catatan Perjalanan "DIA-WALI" dari Balam

Nurel Javissyarqi

Cerita ini bermula saat saya habis ngelayap dari Bandar Lampung, kotanya penyair Opera Kebun Lada (judul antologi puisi Y. Wibowo). Sebelum berkisah jauh mengenai judul, sebaiknya saya mencuplik beberapa perolehan dari pelayaran Bakauheni menuju Merak.

Di tengah selat, dalam kantong kapal laut kelas ekonomi, saya melihat burung elang Jawa menyebrani ubun-ubun gulungan ombak samudera, kelepakan sayapnya seimbang perkasa, perutnya terisi tiada lebih, dan tak kurang di tengah lawatan.

Saya jadi berfikir, kenapa saat diri ini sudah berada dalam perut kapal menuju Merak, elang Jawa itu malah hendak menyebrang ke tlatah Sumatra. Jangan-jangan ada yang tertinggal dari perjalanan saya? Telapak kaki, kabut yang kan menjelma awan rindu. Atau ada sesuatu perjanjian dengan pulau sebrang itu?

Diri merasakan, burung itu kan hinggap di badan kapal yang sedang saya tumpangi sebab kelelahan, namun tak. Ia memilih mengapung di atas ketinggian gelombang sejarak sepuluh meter, sambil senantiasa mengimbangi hembusan angin yang membuatnya kesulitan mencapai tujuan bertempo cepat.

Sang burung telah ketahui bagaimana menguasai desakan bayu serta hasrat dirinya demi mencapai pantai, lawatannya kali itu seperti tak yang pertama. Dirinya tiada gentar keraguan meski menyimpan was-was di tengah tenaganya, yang suatu saat bisa habis ketika tiba-tiba angin kencang datang menghantam kelepakan sayapnya.

Atau mungkin sang elang coklat itu mengisyaratkan diri saya, untuk tandang kembali kepada kepulauan cantik di sana.

Baiklah, persoalan ini saya biarkan mengendap bagi referensi demi isyarat-isyarat lebih jelas ketika realitas dilalui bermata cerlang cemerlang.

Sebuah penerimaan kesadaraan akan pengalaman yang mampu menjadi penentu gerak selanjutnya bagi perhitungan. Saya biarkan segalanya mengalir dalam; apa itu keganjilan, misteri hayat serta realitas tampakan yang beredar di perjalanan.

Semuanya diri anggap harmoni, warna-warni kehidupan menyenangkan bagi sejati kembara.

Kapal saya tumpangi terus mendesak melaju ke Merak, sementara kepakan elang menjauhi kapal menuju Bakauheni. Ini riwayat tanda apa yang kan terjadi nanti?

Semuanya melangkah apa adanya, segalanya memuara pada tujuan masing-masing dengan resiko berbeda. Tubuh kapal menyibak kulit lautan, gelombang menari-nari dengan keindahan deru decak ombak.

Ibarat seluruh isi dunia tak perlu dimaknai, semua berjalan sederhana, nilai-nilai terbangun atas kepala anak-anak manusia. Seolah ocehan musim harus diterima, dan kita mengikuti perubahannya semacam wacana, menggelinding menghabisnya bola salju. Atau semakin membesar pada sebuah persoalan revolusi.

Batas dan puncak, besar dan kecil menuju titik-titik yang semuanya bermakna sama, ketika benar-benar mengiyakan kesadaran perjalanan hayat. Mungkin?

Ketika waktu terus berjalan, saya mengikuti keinginannya berkendaraan masa; dunia berjalan, semua melangkah berkeindahan. Carut-marut hanya milik orang-orang tergesa, berburu-memburu mangsa biasa, atau berlari dari kenyataan hutang berlimpah, sedang bias-bias hutang bangsa-negara dipikul anak-anaknya.

Lalu bathin ini berucap; bangsa maju itu seperti elang tak membawa bekal kecuali dalam perutnya saat hendak kembara, menembus cakrawala harapannya. Terpenting ialah tanggung jawab diri, keluarga serta tradisi, agar senantiasa lestari meski di kepulauan lain; inilah dunianya burung-burung elang.

Mata yang tajam, sanggup mengawasi kedalaman lautan, ada gerak ikan menjadi miliknya buat energi pacuan selanjutnya, demi waktu dan masa depan belulang.

Cerita pembuka saya hentikan di sini, saya turun di pelabuhan Merak. Hari itu dalam bulan suci ramadhan menginjak hari yang ke sepuluh.

Seperti biasa dalam tradisi kembara, tiada kewajiban menjalankan ibadah puasa. Apa yang seorang kembara sandang, bukan sebagai manusia dalam tempat yang sama. Dirinya tidak berada dalam satuan letak, ketika beredarnya matahari menunjukkan masa berbuka atau dimulainya puasa.

Atau ini sekadar alasan-alasan saja yang kurang tebal iman, sehingga gugurlah kewajiban untuk ngelayapkan segala persoalan diri yang diemban, demi lebih nikmat saat menyeruput segelas wedang.

Di pelabuhan Merak, saya berhenti di warung kaki lima yng pernah diri singgahi sewaktu akan ke Bakauheni. Saya terbiasa mengakrabi satu tempat, agar tampak rilek ketika akan menjalankan suatu lanjutan rencana.

Sebenarnya di semua tempat, ada wilayah-wilayah akrab ketika kita benar-benar merasa tak jauh dari rumah. Atau di mana pun tempat ialah bumi tuhan, wilayah kekuasaan kesadaran akan amahan, yang tengah dijalankan seorang kembara.

Dalam ruang-ruang terpencil dan asing, kita akan temukan diri yang tidak asing, ketika benar-benar dalam lingkaran kedekatan mata air nurani sebagai pandangan pejalan. Atau kita memang tidak berada di mana-mana, meski sedang ke mana saja dan jauh dari saudara.

Sebenarnya, saya dari Merak ingin mampir ke Tanara Banten. Namun, terkadang rencana juga perlu diubah, seperti cara elang meringankan tubuh agar tak terdesak hembusan angin kencang.

Teman saya sewaktu di Jombang, yang kini bermukim di Tanara, menyuruh mampir sepulang dari Balam (Bandar Lampung). Tetapi teman lain pernah bercerita, bahwa teman yang ada di Tanara itu, setengah bulan yang lalu pernah ke Jawa Timur, tepatnya Bojonegoro, namun ia tak mampir ke Lamongan.

Jadi seolah impaslah bila diri ini tak datang menuruti rencana ke bumi Tanara. Di Merak, saya memilih bus jurusan Bekasi Timur. Sebuah pilihan tak mampir ke Tanara, tetapi langsung ke teman satunya di Bekasi.

Ketika saya berada atau sampai di terminal Serang. Adzan magrib berkumandang atau waktunya berbuka. Seperti biasa di terminal, para penjual keluar-masuk ke bus yang berhenti, untuk menjajakan makanan ringan.

Para penumpang pada beli untuk melepaskan ikatan puasa, sesua-suap berbuka bagi kewajiban pengganjal perut dari seharian tak termasuki bahan kehidupan.

Saat penjual-penjual itu tawarkan dagangannya pada saya, saya hanya geleng-gelengkan kepala. Semua penjual yang menawarkan pada saya, berkata ke teman-temannya; Diawali (Bermakna saya sudah mengawali berbuka, alis tak berpuasa di hari itu. Atau saya awali buka sebelum waktunya, maka mereka menyebut saya “diawali” atau mendahului).

Karena saya sering main-main dengan kata-kata, kata “diawali” itu saya pisah menjadi “dia” dan “wali” atau para penjual itu menyebut saya Wali, he...

Kata yang saya putus itu mampu menghibur diri ini, yang sudah sakit gigi berhari-hari di Bandar Lampung, juga saat berada di senjakala Serang itu. Inilah salah satu kenang-kenangan sewaktu di terminal Serang dalam bulan suci.

Ketika sopir telah selesai menunaikan sholat magrib, lantas bus di jalankan kembali menuju Bekasi. Kala itu saya menulis sms buat kawan-kawan Balam, begini; “Saya menaiki Merak menuju Bekasi (bekas kekasih), & terimakasih perjamuannya saudara-saudaraku, yang bikin aku lupa rumah, ...ala maak.

Saya teringat selalu di Lampung; sakit gigi, sumur putri, pantai pasir putih, senyum mungil dan wajah-wajah pulau Sumatra yang aduhai…., kawan-kawan di Lada (Lembaga Advokasi Anak Jalanan), di SPL (Serikat Petani Lampung) serta SKL (Sekolah Kebudayaan Lampung).

Ya syukurlah, semua kawan-kawan di sana sudah bikin suara jaringan lembaga-lembaga yang mapan, tetapi saya masih suka keluyuran. Banyak orang berusaha ingin mapan, namun saya malah takut kemapanan, he...

Tidakkah kemapanan itu bisa pula bikin sakit udun, alis terkumpulnya darah kotor dibagian tubuh tertentu yang menyakitkan. Kalau resiko jalan-jalan tentu paling-paling masuk angin, sakit gigi juga pegal-pegal. Itulah hayat, semuanya mendapati resiko serta kenikmatan tersendiri.

Salam bagi kenikmatan dan derita. Saya yang kini menjadi burung elang, terbang di antara dua pulau Dwipa.

*) Pengelana. November 2005, Lamongan.
Keterangan: perjalanan kali itu adalah awal penyebaran buku-buku stensilan PUstaka puJAngga ke luar Jawa. Selepas dari Balam, saya membentuk Forum Sastra Lamongan bersama kawan-kawan; Rodli TL, Haris del Hakim, A. Syauqi Sumbawi, Imamuddin SA, dan Javed Paul Syatha.

Spektrum

A Rodhi Murtadho

Spektrum terus memancar. Mengaromakan anyir yang tak henti-henti. Menindas segala galau dan cemas. Suara-suara sumbang tak mendamaikan. Amarah Karti menambah keruh pikiran. Murka semua orang di kala kembang desa yang banyak dipuja lelaki tiba-tiba seperti orang gila. Semua lelaki diajaknya senggama. Membiarkan mereka menikmati tubuhnya yang dulu benar-benar dijaga kesuciannya agar benar-benar menjadi kembang desa tulen.

Dia selalu meramu rayuan yang sudah terdengar memuakkan. Tapi lelaki tak memperdulikannya, yang penting ujung-ujungnya mereka bisa menikmati tubuh pualam. Mencicipi bibir merah delima. Harum rambut yang tergerai menyapa. Sampai mereka bisa memasukkan nafsunya untuk merasakan kenikmatan yang telah banyak dicicipi.
***

Damai alam menyejukkan hati. Menyegarkan kepenatan yang terbawa. Damai. Karmi terus menyandarkan kepala di pundaknya. Harapan yang selama ini terus berpendar dalam dirinya. Cumbu rayu sudah tak begitu asing mereka lakukan. Pemuas nafas yang sudah jarang merasakan hangat nafas sendiri. Membiarkan diri mereka menyelam dalam segara. Saling memberi kelembutan, kesejukan, kenikmatan, kehangatan sampai mencapai puncak, kepanasan.

Pakaian mereka terlepas dengan mulut sudah terengah-engah, menyatu. Membuka BH mereka. Tangan mereka saling mengklentit dengan nada dan cibiran yang merindu, merenda dalam kamar Karti. Jendela sengaja dibiarkan terbuka. Membiarkan angin masuk. Mendinginkan tubuh mereka yang sudah basah dengan keringat.
***

Ia mengenal Katmo sudah setahun yang lalu. Pertemuannya di sawah membuat Katmo selalu datang di rumahnya ketika malam minggu. Melancarakan kata-kata ke benaknya. Ia tak juga tergugah. Ia ingat kalau kalimat manis selalu ia dapatkan. Selalu ibunya dapatkan dari ayahnya.

Kekaguman pada ayahnya, pada awalnya, membuat ia mempercayai begitu saja ucapan. Apapun itu. Satu-satunya orang yang dianggap mengerti dan selalu memenuhi kebutuhannya dan ibu. Tak menaruh curiga. Kenyataan berbicara lain. Ayahnya selalu tak menepati sendiri kata-katanya. Mengingkari segala janji dan sumpah. Ia terbius dalam kekecewaan yang dilihat dalam pertengkaran ayah dan ibunya setiap hari.

Ia hanya duduk termangu di beranda. Menyaksikan perang yang tak berujung. Ayah dan ibunya. Ia tahu kalau ayahnya selalu berkelakuan tak mengenakkan bagi ibu dan dirinya. Ia tahu kalau ibu yang dikenalnya penuh kelembutan dan kasih sayang. Selalu bersabar. Menceritakan tentang kedamaian meski setiap hari ia melihat ibunya tak bisa berdamai. Menceritakan kancil yang cerdik meski tiap hari ia melihat ibunya hanya pasrah menerima tamparan dari ayahnya. Tak bisa menghentikan segala kemunafikan. Ia hanya tahu tubuh ibunya lebam karena ayahnya.

Ketakutan tak menyurutkannya untuk selalu berusaha berbuat baik kepada ayahnya. Menawarkan segala kasih yang tak bisa diberikan lagi ibunya yang telah meninggal. Mungkin meninggal karena kesal disiksa. Ia melucuti pakaiannya sendiri di depan ayahnya yang tengah mabuk. Ia ingin menjadi pengganti ibu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ia memperlakukan ayahnya seperti ibu memperlakukannya. Dulu, ia pernah mengintip ibu dan ayahnya yang berada di kamar sedang terengah-engah penuh keringat. Saling tindih. Menawarkan segala kenikmatan tubuh untuk dikulum dalam bibir. Melumat segala tonjolan yang menjebak rasa nikmat. Ia tahu ibu tersenyum meski ayahnya memukul dan menggigitnya. Ia hanya heran.

Ayahnya sepeti dimasuki roh banteng. Menggosokkan kakinya siap meluncur. Hidungnya mulai mengendus aroma perawan anaknya. Hanya tahu kalau yang berada di hadapannya hanya seorang perempuan yang akan memberikan kenikmatan dari selangkangannya. Tak mengenal lagi darahnya juga mengalir di sana bersama istrinya.

Ia terus mengenduskan nafasnya yang tak juga teratur oleh tindihan ayahnya. Ia tahu ibu selalu tersenyum ketika ayahnya dengan erangan nafas babi berada di atasnya. Ia tersenyum.
***

Kembang desa sudah menjadi momok yang khas di desa Tanggul. Sosok yang melantunkan nama Karti. Mengalun dari berbagai percakapan. Banyak jejaka yang tak bisa melewatkan untuk tak membicarakannya. Membahas segala andai yang bisa dilakukan bersamanya. Sebagai pasangan atau kadang sebagai pembantu.

Semua orang ingin memiliki keindahannya. Karmi terus berusaha mendekati Karti dengan setangkup harap cemas. Mengetahui segala yang menimpanya. Ia tahu kalau dia punya masalah hampir sama dengannya. Lelaki. Tidak membencinya. Tapi kadang menjadi momok yang menakutkan. Ia banyak bercerita panjang lebar tentang dirinya. Kisah yang sama. Dia seperti mendengar bibirnya sendiri mengucapkan kata-kata. Dia merasakan kepedihan yang sama dengan ia.

“Kau tahu kalau aku tak pernah membenci lelaki, hanya saja jiwaku ini sudah terukir seolah sama dengan mereka. Ketika ayah merenda diriku dengan nada keras kemarahannya atau pukulan-pukulan di sekujur tubuh,” dia berucap.
“Kalau aku, harus menjadi pengganti ibu, suami ayah. Meninabobokkannya di antara selangkangan. Di atas tubuhku,” ia berucap.
“Aku sudah menjadi laki-laki.”
“Aku butuh lelaki sepertimu, bukan seperti ayahku.”

Tak ada pemandangan aneh yang menguras simpati. Mereka bersahabat. Bergantian saling mendatangi rumah. Mencibir setiap kelam di antara pengapnya udara kamar. Berbagi kasih. Bingung menerkam. Tak ada mangsa atau pemangsa. Hanya gesekan-gesekan lembut wangi tangan. Belaian halus mengalun dari rambut sampai kaki. Lidah-lidah mulai bergentayangan. Peluh mulai berleleran. Tak ada rasa canggung. Semua bentuk sama menyatu dalam kerinduan panjang.

Lenguhan selalu terdengar dari kamar ketika mereka bersama. Menadakan kebimbangan yang sama. Harus terpekur lama di atas ranjang untuk menunggu haru. Membentangkan pikiran tak menjelaskan apapun. Semua samar dalam semilir penat. Tak mengisyaratkan. Tak juga menandakan. Apalagi menghasilkan. Hanya kepuasan dan kebutuhan terpenuhi.

Desas-desus itu sudah terdengar sampai sudut-sudut desa. Bahkan sampai mancadesa. Dia pun mendengar. Tak memprotes atau mengumpat. Dia hanya pasrah pada yang ada. Merasa, mungkin tak ada kelayakan. Tahu dia dan ia sama.

“Katanya kau akan menikah dengan Katmo?” kata dia.
“Sebenarnya aku tak mau menikah dengan orang yang tak mengerti tentang diriku. Aku tahu tubuhku yang dibutuhkannya. Pemuas nafsu. Semua atas paksaan ayah. Maafkan aku.”
“Kau tidak salah. Tidak perlu minta maaf. Rasa kita yang salah, tak terarah dengan benar.”
“Tapi bagaimana pun aku masih tetap membutuhkan kelembutanmu bukan kekar otot darinya. Aku hanya akan terpuaskan denganmu. Aku yakin itu.”
“Kalau kita percaya, kita bisa melakukannya selagi kita mau. Toh tak ada yang curiga. Mereka hanya tahu kita adalah sahabat karib. Itu sudah jelas. Kita tak butuh pengakuan resmi masyarakat desa akan hubungan kita. Status hanya akan memperkeruh suasana. Lebih-lebih keadaan kita.”

Malam dingin walau tak berkabut serasa dingin menyelimuti. Hangat tubuh merapat memenuhi ihwal. Suara jangkrik terus menjadi penyemangat. Gurauan menjadi penghangat diantara nafas yang semakin cepat. Nyamuk tak berani mendekat lantaran takut lekat dengan keringat. Dia sengit melancarkan serangan mautnya. Mengulurkan lidah dan menggoyang-goyangkannya masuk ke dalam mulut ia. Beranjak ke tubuh. Menyapu bersih dan licin sampai masuk selangkangan. Ia hanya mengeluh tak karuan. Terdiam tubuh. Tetapi tangan ia selalu bergerak dalam tubuh dia.
***

Katmo telah menceraikannya. Perhatian yang ia berikan dirasakan Katmo sangat kurang. Kini ia hanya sendirian di rumah. Bersama ayahnya yang sudah tak berdaya. Kembang ranjang. Bicara pun sudah susah. Menggantung nyawa. Sudah tak berharap.

Ia semakin sulit menemui dia. Alasan kesibukan dari dia yang ia terima tak memuaskannya. Ia pernah tahu suatu malam kalau dia dibonceng seorang lelaki. Melekat tubuhnya. Tak jelas siapa lelaki itu karena kepulan pekat hitam malam menutup mukanya. Hanya suara dia yang bisa menunjukkan dengan jelas mukanya. Itu pun terlihat dari belakang.

Dia kaget dengan sangat saat pintu dibuka. Ia muncul tak permisi seperti biasanya. Dia bingung beranjak. Tubuh Katmo mendekapnya erat. Menindihnya. Dia hanya menyapa bingung. Dia tak bergerak sedikit pun. Mereka bertiga saling memandang. Mantan suami dilihat di atas tubuh dia. Tidak percaya ia rasakan.

Ia segera melarikan kakinya keluar kamar dan terbang keluar rumah. Ia sulit percaya kalau dia sudah berubah. Tapi mengapa dia memilih mantan suaminya. Ia meninggalkan Katmo demi dia. Mengapa dia tak mengerti juga. Ia menganggap dia adalah orang yang paling mengerti dirinya. Ia sampai di rumah dan kepedihan harus bertambah ketika ia tahu ayahnya sudah terbujur kaku di ranjang.

Lamongan, 9 Juli 2006

Selasa, 28 Oktober 2008

LAMONGAN BERTERIAK LEWAT SENI DAN SASTRA

Imamuddin SA

Lamongan! Mungkin nama ini terlalu tabu di tengah-tengah semua gendang pendengaran anak manusia. Atau bisa jadi anda akan mengerutkan dahi dan bahkan merasa takut ketika nama tersebut disebut. Ya, bagi saya itu wajar. Kota kecil yang terletak antara kota pudak Gersik dan kota Bojonegoro ini memang pada mulanya dipandang sebelah mata oleh kota-kota lain di sekitarnya.

BALADA SI LINTANG TELANJANG

Suryanto Sastroatmodjo

1
Hendak kemanakah tuan? Quo Vadis, Dominie?
Ah, seperti menampik sorgaloka. Sedenyar fajar
bagai himpit liang sinar
Tapi biarlah Tuan singkap katahati
dalam seruan tanpa tandapetik

2
Dan akulah penanda buka luwur-langse
di persemayaman abadi. Entah berantah, Tuan
lukukkan namadiri, pada gedebog akhir
dalam pagelaran Wayang Purwo Ruwatan

3
Maka beludru lazuardi di nur batinku
seakan mengekalkan kesaksian kuna
‘tika gempa-gempa menghujat
Risang Sahadewa di belantara Angsoka!

4
Kala ruwatan mengendali mengapucat Gunung Lawu
akupun tengadah seraya membaca mantram lelana
Wahai, Bapa Dang Hyang Wasesa
Kiraikan pedut selapis dari Cemarasewu
Kerana Si Lintang Telanjang menagih haknya!

5
Wiwekagaraning tyas. Wiweka dayaning tyas
pada pendar pengharapan terniscaya
kekerasan telah sirna. Dada kembali teduh
dari guruh gemontang mayapada

6
Si rindang pelindung anak manusia. Tertegun marak
dan sadar pada detik-detik lakunya bayangan
Oh, Tuan-tarik tali dari ujung Tri Sakti
Yang kini dan esok jadi petaruh dahaga Sri

7
Lamun penunjuk kumparan angin. Silau-kemilau
hingga titik cenung merundung atap benua murung
Ya, tuanku lanang! Gumilagnya gemunung sasakala
Singgah teleng jejantung. Sorai penyap di sudut sepi

8
Quo Vadis, Dominie? Alastua, o, Kyai Alastua di lembah
memercik sampana sakujur Gunung Giri
Demikian kidungku menyapu kawasan sepoi serasi

9
Lantun-lontang si lintang telanjang-seutuh korban-puja
entahkan di lintang suci ada lambaian. Dang Hyang Wasesa
bakal tiba di kala penobatan Anak Manusia
Hingga kirab lepas dinihari jumenengan diriku, Gusti
Mengarak bebanten sepanjang dusun putih.

Minggu, 26 Oktober 2008

SEJUMLAH MASALAH DALAM APRESIASI PUISI

Maman S. Mahayana
www.mahayana-mahadewa.com

Karya-karya agung dalam banyak kesusastraan dunia selalu memberi pencerahan. Ia mengajak kita untuk senantiasa bersikap kritis dalam menanggapi dunia sekitar kita atau merangsang pembacanya agar tumbuh kepekaan emosional ketika hakikat keberadaan ma-nusia dilecehkan. Di sebalik itu, ia juga menyodorkan kenikmatan estetik. Meski ia berbi-cara tentang manusia tertentu dengan identitas dan warna lokalnya yang khas, sangat mungkin ia berlaku universal mengingat masalahnya manyangkut keberadaan manusia dan hakikat kemanusiaan.

Puisi, mengingat bentuknya yang lebih padat dan ekspresif, konon paling mewakili kegelisahan emosional. Konon juga, manusia sering kali merasa lebih mudah mengungkap-kan kegalauan perasaan dan pikirannya lewat puisi daripada ragam sastra yang lain. Meski-pun persoalan itu masih dapat diperdebatkan, setidak-tidaknya fakta menunjukkan bahwa puisi lebih banyak ditulis orang daripada cerpen, novel atau drama. Lagu dolanan anak-anak, senandung timang-timang para ibu dalam meninabobokan bayinya, panggilan kepada angin ketika anak-anak bermain layang-layang, atau berbalas pantun para orang tua dalam upacara pelamaran, dan entah apalagi, adalah pola puisi yang diungkapkan secara spontan.

Meskipun hampir setiap orang dapat membuat puisi, niscaya tidak semua orang dapat menjadi penyair. Lalu, bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai penyair? Pertama-tama tentu saja predikat itu datang lantaran karya-karyanya dipandang berkualitas dan bukan sekadar menulis puisi. Kuantitas bukanlah yang menjadi ukurannya. Oleh sebab itu, banyak-tidaknya seseorang menulis puisi, belum menjadi jaminan untuk menyebutnya sebagai seorang penyair. Kepenyairan seseorang semata-mata ditentukan oleh kualitas kar-yanya yang mampu memberi pencerahan kepada pembacanya.
***

Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pe-mahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik dari perwu-judan teks itu sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhu-bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan berkaitan de-ngan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna semantis berkaitan dengan keda-laman makna setiap kata dan acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang menyertai di belakang puisi bersangkutan.

Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin dapat membantu pembaca menyelam ke dalam dunia puisi yang bersangkutan dan kemudian muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstual dan kontekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan lewat dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apre-siasi puisi, perlu kiranya kita memahami dahulu pengertian apresiasi itu sendiri, agar tidak terjadi pencampuradukan antara apresiasi puisi dan pengetahuan tentang puisi.
***

Apresiasi puisi atau apresiasi sastra pada umumnya merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya sastra (puisi). Sebagai penghargaan, maka langkah pertama yang mesti dilakukan adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri. Jika apresiasi dilaku-kan dengan cara pembacaan penggalan-penggalan teks, maka itu bukanlah apresiasi. Seba-gai pelajaran sastra atau sebagai usaha menyampaikan pengetahuan tentang sastra, hal itu boleh saja dilakukan. Tetapi sebagai sebuah apresiasi, tindakan itu justru keliru dan meren-dahkan kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya yang bersangkutan. Masalah-nya, bagaimana mungkin penghargaan terhadap karya sastra (puisi) dapat dilakukan jika membaca karyanya itu sendiri secara utuh tidak dilakukan. Dengan demikian, langkah pa-ling awal yang mesti dilakukan dalam apresiasi adalah pembacaan teks sastra.

Langkah kedua dalam apresiasi sastra (puisi) adalah penyisihan teori-teori atau konsep-konsep baku mengenai pengertian, rumusan atau definisi. Definisi pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan pemahaman abstrak mengenai apa yang didefinisikan. Apresiasi justru penghargaan terhadap wujud konkret karyanya itu sendiri. Dengan demi-kian, apresiasi yang diawali dengan pemberian --apalagi jika kemudian dijadikan sebagai hapalan mati-- definisi, justru tidak hanya melanggar hakikat karya sastra itu sendiri, me-lainkan juga memulainya dengan langkah yang dapat menyesatkan. Sebagai contoh, per-hatikan definisi puisi yang saya kutip dari beberapa buku pelajaran sastra: Puisi adalah ka-rangan yang terikat oleh: 1) banyaknya baris dalam tiap bait, 2) banyaknya kata dalam tiap baris, 3) banyaknya suku kata dalam tiap baris, 4) adanya rima, dan 5) irama.

Jika definisi ini dijadikan sebagai landasan dalam apresiasi puisi, maka bagaimana dengan puisi yang mungkin tidak sesuai dengan rumusan definisi tersebut? Perhatikan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Air Selokan” berikut ini:

AIR SELOKAN
“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung -- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu wak-tu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mandi.
+
Senja itu ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu-- alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

Apakah puisi “Air Selokan” itu memenuhi syarat sebagai puisi seperti yang menjadi kriteria definisi puisi tersebut di atas? Jika begitu, lalu apakah secara serta-merta kita me-masukkan puisi karya Sapardi Djoko Damono itu sebagai prosa atau cerpen? Tentu saja tidak. Hal yang sama berlaku juga bagi definisi dalam ragam sastra yang lainnya. Sebagai contoh, perhatikan definisi alur dalam cerita rekaan (prosa) berikut ini: Alur adalah rang-kaian peristiwa di dalam cerita rekaan yang mensyaratkan adanya hubungan sebab-aki-bat.” Definisi ini memang berlaku bagi prosa yang konvensional, tetapi bagaimana dengan novel atau cerpen karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma atau Danarto? Perhatikan kutipan berikut yang diambil dari cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto.

Saya yang telah memfosil, tua renta, dengan sisa-sisa tenaga dalam usia 1350 tahun, berlindung di balik batu besar itu dari tembakan, semburan api, maupun ledakan bom. Saya bukan tentara, bukan pula wartawan, melainkan penonton biasa. Penonton perang ....

“He! Jangan lupa, medan perang masih berkobar! Inilah berita tentang batu. Wartawan perang Anda siap mewawancarainya,” celetuk wartawan yang lain sambil mengarahkan mike-nya ke arah bongkahan batu besar di depannya itu.
“Siapa Anda dan kenapa teronggok di sini?” Kamera-kamera pun berebutan tempat.
“Sesungguhnya saya seorang ibu ...,” jawab batu itu.

Di dalam logika formal, logiskah tokoh “Saya” berusia 1350 tahun? Bagaimanakah pasalnya sehingga tokoh “Saya” yang mengaku seorang ibu itu, ternyata sesungguhnya sebuah batu? Demikianlah, dari dua kutipan di atas, terbukti bahwa apresiasi yang dimulai dari definisi akan mendatangkan bahaya penyesatan. Mengapa demikian? Di sinilah unik-nya karya sastra. Sebagai bahan pelajaran, definisi memang diperlukan. Tetapi manakala kita berhadapan dengan karya konkret sebagai bahan apresiasi atau kritik, maka definisi untuk sementara waktu mesti ditanggalkan dahulu. Apresiator atau kritikus harus membu-ka diri dari berbagai macam kemungkinan. Masalahnya, seperti yang dikatakan Prof. A. Teeuw, “Sastra senantiasa berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.” Artinya, di satu pihak sastra mengikuti konvensi sastra, dan di lain pihak, ia berusaha terus-menerus menampilkan pembaruan. Dan untuk menampilkan pembaruan inilah, ia harus memberontak dari konvensi yang berlaku. Itulah yang dimaksudkan sebagai inovasi; pemberontakan terhadap konvensi dan tradisi.

Dengan mempertimbangkan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan itu, maka definisi janganlah dijadikan sebagai landasan absolut. Ia mesti ditempatkan sebagai rumusan yang masih mungkin diperbarui jika ada karya sastra yang tidak sesuai dengan definisi itu. Dalam hal ini, apresiator atau kritikus harus selalu melihat berbagai perspektif yang memungkinkannya dapat menguak kekayaan karya yang bersangkutan. Di sini, yang dipentingkan dalam apresiasi bukanlah penghapalan definisi dan konsep-konsep, melainkan hubungan komunikasi antara teks dan pembaca. Lewat cara ini pula, setiap kita melakukan apresiasi, setiap itu pula sangat mungkin makna baru akan muncul.

Lalu, bagaimanakah jika terjadi pemaknaan yang berbeda-beda terhadap karya sas-tra yang sama? Justru dalam hal itulah tujuan apresiasi dilakukan. Setiap pembaca boleh memberi pemaknaan apapun. Tak ada keharusan bahwa hasil apresiasi itu seragam. Dalam hal ini, pemaknaan dari tindak apresiasi tidaklah menyangkut benar atau salah, melainkan logis atau tidak logis. Alasannya dapat diterima dan masuk akal atau tidak. Jika alasannya tidak meyakinkan, maka hasil apresiasinya meragukan, tidak terterima. Jadi, apresiasi sesungguhnya berkaitan pula dengan persoalan argumentasi yang logis atau tidak logis.
***

Dibandingkan apresiasi terhadap novel, cerpen atau drama, apresiasi puisi lebih memberi peluang pada terjadinya penafsiran yang beragam. Masalahnya, bahasa puisi lebih padat, langsung, lugas, dan tidak memerlukan deskripsi panjang lebar. Oleh karena itu, pada umumnya bahasa dalam puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Perhatikanlah sebait puisi yang berjudul “Di Meja Makan” karya W.S. Rendra yang dikutip di bawah ini:

DI MEJA MAKAN
...
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa
...

Larik pertama, Ruang diributi jerit dada, memberi pembayangan (imaji) kepada kita tentang kegelisahan yang tak terperikan. Mungkin hatinya sedang diliputi ketakutan atau penderitaan, mungkin juga sedang dilanda kemelut yang tak terpecahkan. Suasana hati yang demikian itu, disugestikan lewat larik berikutnya: Sambal tomat pada mata yang menyarankan kepedihan luar biasa; bagaimana rasanya jika sambal yang pedas itu menge-nai mata; perih dan panas. Larik ini juga mengasosiasikan kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik berikutnya seolah-olah menyimpulkan, bahwa penderitaan dan kegelisahan itu lebih disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa: meleleh air racun dosa. Jadi, ada semacam penyesalan yang mendalam.

Mengingat bahasa puisi yang bersifat sugestif, asosiatif, dan imajis inilah, maka para ahli sastra mengatakan, bahwa hakikat puisi adalah citraan (imaji); bagaimana puisi itu mengungkapkan banyak hal melalui bahasa yang padat, lugas, dan bernas. Akibatnya, terbuka peluang yang begitu luas kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri puisi yang bersangkutan. Dan semakin banyak tafsiran, semakin tinggi nilai karya itu.

Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam mengapresiasikan sebuah puisi, apresiator perlu juga membekali diri dengan pemahaman, bagaimana apresiasi itu dilaku-kan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang logis, argu-mentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diungkapkan lebih men-dalam. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan tindak apresiasi puisi.

Langka pertama lewat titik pandang (point of view) yang digunakan dengan men-cermati beberapa pertanyaan berikut ini::
(1) Siapa yang berbicara; aku liris, engkau liris, dia liris, atau subjek liris.
(2) Kepada siapa berbicara; kepada sesama manusia, alam, Tuhan atau dirinya sendiri.
(3) Apa yang dibicarakan; dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam atau apapun.
(4) Bagaimana ia berbicara; bersemangat, sedih, datar, marah atau gembira.

Perhatikan bait pertama puisi berjudul “Surat dari Ibu” karya Asrul Sani berikut ini:

SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau

Pertanyaan siapa yang berbicara dan kepada siapa ia berbicara, dalam puisi tersebut kiranya cukup jelas, yaitu seorang ibu yang berbicara kepada anaknya (melalui surat). Lalu, apa yang dibicarakannya dan bagaimana ia berbicara. Yang dibicarakannya adalah nasihat kepada anaknya yang pergi mengembara. Karena nasihat, tentu saja ia berbicara dengan nada yang halus dan penuh cinta kasih.
Perhatikan juga puisi berjudul “Doa si Kecil” karya Taufiq Ismail berikut ini:

DOA SI KECIL
Tuhan Yang Pemurah
Beri mama kasur tebal di surga

Tuhan yang Kaya
Berikan ayah pipa yang indah

Amin.

Yang berbicara dalam puisi “Doa si Kecil” adalah seorang anak yang berdoa kepa-da Tuhan. Sesuai dengan alam pikiran anak-anak, ia berdoa dalam bahasa yang sederhana. Adapun suasana yang hadir dalam puisi itu, tentu saja suasana khidmat, sebagaimana lazimnya ketika seseorang sedang berdoa.

Langkah kedua lewat pemahaman teks denonatif yang dapat ditangkap dari kata-kata yang digunakannya, termasuk diksi, ungkapan, urutan sintaksis, dan makna semantis. Larik Beri mama kasur tebal di surga, tentu saja pertama-tama harus dimaknai secara de-notatif. Kasur tebal di mata si anak adalah tempat yang memungkinkan ibunya dapat tidur nyenyak. Jika ibunya dapat tidur pulas, maka sangat mungkin mimpi-mimpi indah akan datang melengkapi kenikmatan si ibu. Untuk selanjutnya, dapat saja larik itu ditafsirkan sebagai kenikmatan atau kebahagiaan. Jadi, si anak sesungguhnya berdoa agar ayah-ibunya memperoleh kebahagiaan.

Setelah pemahaman makna teks denotatif, langkah berikutnya adalah pemahaman teks tersirat (makna konotatif) yang juga dapat dilakukan dalam dua tahapan.

Pertama, pemahaman teks tersirat (makna konotatif) yang pemunculannya berda-sarkan kesan yang dapat kita tangkap dari citraan (imaji), kisahan (narasi) dan gambaran peristiwa atau suasana yang mencuat dari dalam puisi yang bersangkutan. Pergi ke dunia luas, anakku sayang/pergi ke hidup bebas!Selama angin masih angin buritan/dan mata-hari pagi menyinar daun-daunan/dalam rimba dan padang hijau// mencitrakan kerelaan seorang ibu yang melepaskan anaknya untuk pergi mengembara menyeberangi lautan, panas terik matahari, hutan rimba pegunungan atau padang pesawahan. Kisahannya dapat kita tangkap dari keseluruhan teks puisi bersangkutan. Mengenai hal ini, puisi-puisi naratif, sangat kuat memberi kesan yang demikian. Adapun gambaran peristiwa atau suasana da-lam puisi, sangat bergantung pada tema dan pesan puisi itu sendiri. Selepas itu niscaya kita pun tidak akan mengalami kesulitan menangkap pesan dan amanat yang hendak disampai-kannya, setidak-tidaknya membantu pembaca mengarahkan pemahamannya pada tema atau amanat yang terdapat dalam puisi bersangkutan.

Kedua, penafsiran teks yang tidak dapat lain mesti dilakukan dengan cara memper-kaitkan makna tersurat dengan makna tersirat, acuan-acuan yang disarankan, dan kaitan makna tersurat-tersirat dengan tema dan amanat.

Mengapakah cara itu perlu dilakukan dalam apresiasi, analisis atau kajian kritis ter-hadap puisi? Sesungguhnya.lewat cara itulah berbobot tidaknya sebuah puisi dapat ditentu-kan. Soalnya sederhana. Bagaimanapun, puisi sebagai salah satu ragam sastra yang haki-katnya citraan (imaji) menyodorkan persoalan yang diangkatnya secara tidak langsung. Sa-ngat mungkin cara tidak langsung itu dilakukan lewat pergantian makna (displacing), pe-nyimpangan makna (distorting) atau penciptaan makna (creating of meaning).

Sekadar contoh, larik Aku ini binatang jalang, misalnya, merupakan bentuk peng-gantian arti. Binatang jalang digunakan untuk mengganti makna kegelisahan, keliaran, atau kegalauan perasaan yang sedang melanda si aku liris. Sedangkan penyimpangan arti, dapat kita perhatikan dari larik berikut: Kalau sampai waktuku. Sampai waktuku merupa-kan makna lain dari ajal atau kematian. Adapun penciptaan arti dapat kita perhatikan dari larik ini: ia hampir muntah karena bau sengit itu. Kata sengit yang mengikuti kata bau merupakan penciptaan makna baru untuk menggambarkan bau yang luar biasa.

Demkianlah, mengingat ketiga hal itu, puisi yang baik tidak hanya memberikan pencerahan dan nilai estetik, melainkan pemerkayaan makna kata-kata, ungkapan, dan ba-hasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, puisi sering juga dianggap sebagai karya yang banyak memberikan sumbangannya bagi kekayaan bahasa. Sebaliknya, jika ada puisi yang tidak memberikan ketiga hal itu, niscaya puisi itu sekadar tampil sebagai puisi. Ia sama sekali tidak memberikan apa-apa bagi perkembangan puisi itu sendiri, bagi kekayaan baha-sa, dan juga tidak menampilkan fungsi sosialnya. Ia hadir cuma sebagai puisi yang hanya penting bagi penulis puisinya sendiri.
***

Langkah-langkah apresiasi puisi sebagaimana dipaparkan di atas, tentu saja hanya sekadar pegangan agar apresiasi puisi yang kita lakukan dapat dilakukan secara sistematis dan logis. Jika dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan penafsiran dan pemaknaan, tentu saja hal itu sah-sah saja, sejauh alasan yang dikemukakannya logis. Jadi, perbedaan penaf-siran dalam apresiasi puisi, bukanlah hal yang tabu, bahkan justru sangat penting.

Perbedaan-perbedaan itulah yang mestinya dikembangkan dalam setiap kegiatan apresiasi, agar terbuka peluang kemungkinan pengungkapan makna karya. Dengan cara demikian, maka akan lahir berbagai penafsiran dengan argumentasi dan logikanya yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pintu pertama dalam apresiasi tidak lain adalah pemba-caan teks karya itu sendiri untuk membuka jalan terjadinya komunikasi antara pembaca dan teks. Nah, selamat mencoba!

*) Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok.

Monolog Alibi

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat.
Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi.

MALAM HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU BESAR MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA SAJA. DI ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH DARI LANGIT. MENGGENGGAM SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN KURSI MALAS. SEPASANG SEPATU. BEBERAPA BAJU TERGANTUNG DI KAPSTOK DEKAT PINTU. BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.



BAGIAN PERTAMA

LAMPU FADE IN PANGGUNG KANAN. SUASANA TEGANG MENCEKAM. SESEORANG MEMAINKAN SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA SAMUDERA. SULUK AMUK. SENANDUNG MERONTA.

SESEORANG: (SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena kusengaja, tapi ia menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa permisi.
SESEORANG: Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu kuat-kuat.
SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk?
SESEORANG: Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.
SESEORANG: Atau keluar dulu baru masuk.
SESEORANG: Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?
SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali.
SESEORANG: Ya, begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.
SESEORANG: (SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri hadir persis di depanku.

BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR MENGANGKAT TUBUHNYA

SESEORANG: Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini. Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku. Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi. Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.

SADAR DARI AMUK. MELOMPAT. MEMBERSIHKAN TUBUHNYA.

SESEORANG: Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang makin kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya?

MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI. MEMERIKSA PINTU.

SESEORANG: Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di luar sana saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini. Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi aku rasa cukup aman untuk sementara aku sembunyi dari orang-orang jahat itu. Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan buldozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani.

MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU

SESEORANG: Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang meraung-raung. Jadi benar-benar untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan seperti itu. Ya, kadang-kadang ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan bila malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya, lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malu-malu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer itu.

TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN.

SESEORANG: Apa? Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat dengan suatu kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi daripada kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang bisa anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng. Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya kotbah moral untuk anak-anak bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah. Anak-anak tidak tahu bahwa dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak. Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang berdiri gagah di depan ini. Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: nyali, keberanian.

KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI LAYAR

SESEORANG: Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu, siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun. Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira, pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya. Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi bukan.

SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS. KEPADA DIRINYA SENDIRI.

SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu? Pertanyaan itupun tak pernah kutemukan jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku juga tidak jadi lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, Aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa aku ini? Seperti ini, yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan?

KEPADA PENONTON

SESEORANG: Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan menunggu di luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku. Silakan-silakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai. Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis dengan kenyataannya.

DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU BERTUBI-TUBI

SESEORANG: Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar sedikit dong. Sssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benar-benar mewujudkan niatnya: Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya. Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku. Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apa-apa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh, lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia itu makan-makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu muncul, aku ingin memulai mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu airnya. Sruputttt…..

MENOLEH KE LUKISAN BESAR SEBENTUK LAYAR. PANGGUNG MULAI MENYATU

SESEORANG: Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga. Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku, itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur? Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.

PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS MIMPI - KENYATAAN

SESEORANG: Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau bukan aku yang bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa, masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru. Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan.
Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu memvonis aku orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorangpun lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu, dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagasan-gagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perut besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia.

TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS. DITANGKAP. DIMAINKANNYA DARI SISI PANGGUNG SATU KE SISI PANGGUNG LAIN.

SESEORANG: Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku jadi bisa berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini. Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya.

SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA

SESEORANG: Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya. Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya, bersenjata? Masak yang begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula.

MELEMPAR BOLA TINGGI-TINGGI. LALU SIBUK MENCARI KERTAS-KERTAS. MEMBACA.

SESEORANG: Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini. Dusun Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia. Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah digali itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu terjadi menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus Susianto Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu semula diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulang-belulang yang baru ditemukan itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat.

GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.

SESEORANG: Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa, tanpa sempat berpikir, tiba-tiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang. Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?

MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK

SESEORANG: Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku. Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa mengguncangkan jagad. Yang benar saja!

MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU PENA DITANCAPKAN DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA

SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih tajam dari sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparaan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegub kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahun-tahun untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku tak bisa. Mula-mula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat. Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia. Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?

TERTAWA NGAKAK

SESEORANG: Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi.

TERCENUNG

SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian, betapa dunia ini sungguh kejaammm.

TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI

SESEORANG: Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga, negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30 tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun berkata “He asu! Minggir!” Aku katakan binatang itu bukan asu tapi kambing. Baru kemudian ia mengulang perkataannya “He kambing, minggat!” Anehnya, suatu hari tanpa perasaan apa-apa becak yang saat itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja berteriak “He, asu!!!!”

TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS MENANGIS.

SESEORANG: Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi. Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk menghasut melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya terhadap anda sendiri.

LAMPU BLACK OUT



BAGIAN KEDUA

MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN. LAMPU FADE IN. NYANYIAN FADE OUT. PANGGUNG SISI KANAN SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK PISANG. MEMELUKNYA. MENGENDARAINYA. MENGAJAKNYA BICARA. BERGANTIAN.

SESEORANG: (SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan.
SESEORANG: (SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya. Bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta?
SESEORANG: (SULUK) Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta.

MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN

SESEORANG: Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan. Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa manusia. Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri , bagaimana pembunuhan, saling bunuh itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di luar kuasa manusia. Aku menarik nafas panjang dan dalam, sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuh aku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan? Mana yang benar?
SESEORANG: Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.
SESEORANG: Apa pendapatmu tentang bunuh diri?
SESEORANG: Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini, sepanjang belum menemui jalan baru.
SESEORANG: Begitu?
SESEORANG: Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.
SESEORANG: Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita jangan lagi bicara kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.
SESEORANG: Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh, sama-sama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.
SESEORANG: Kamu belum jawab pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?

MEMBUNGKUK KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.

SESEORANG: Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya menggelisahkan apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan semuanya, juga pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang kehidupan yang hanya itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung merosot karena kamu kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai cara—ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup. Kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk meyakininya. Lalu bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh diantara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.

TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN TERJENGKANG.

SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.
SESEORANG: Tidak aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.
SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi aku?
SESEORANG: Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.
SESEORANG: Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh diri.
SESEORANG: Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.
SESEORANG: Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang kemudian kunjung sanggup membunuhnya?
SESEORANG: Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup waras.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.
SESEORANG: Lalu dimana kamu berada
SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?

MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN DIRI DARI SEGALA BEBAN.

SESEORANG: (SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih menakutkan dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp konsentrasi Jerman.

MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG BERNOSTALGIA

SESEORANG: Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan gamblang di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba. Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang mimpi itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku. Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu. Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di dalamnya.
Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tidak sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan memang punya jantung dan hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran atau tidak. Punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tak ada teror urusan hidup mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Tidak ada. Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak awal dan jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.
Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu? Bedanya aku hanya diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak memperkenalkan kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari. Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi orang mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung stateskop di lehernya, sembari mengucapkan “maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin” kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Ya, meskipun yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.

SESUATU TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI

SESEORANG: Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah Anda siapa salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang paling ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada sesi berikutnya.

MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN

SESEORANG: Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan pembelaanku.

MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.

SESEORANG: Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu, apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada seperti ini

BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA PENUH BEKAS LUKA

SESEORANG: Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya perlihatkan pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Jadi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci, si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang? Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.

MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE RUANGAN SEBELAH.

SESEORANG: Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan ngintip, ah.

BERGEGAS MENDEKATI PINTU. MENYAMBAR BAJU DAN SEPATU. MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT. LALU BERSIAP PERGI.

SESEORANG: Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah, saya harus hentikan sementara ocehan saya.

LAMPU BLACK OUT.



BAGIAN KETIGA

LAMPU FADE IN. DI PANGGUNG SISI KANAN BERDIRI SESEORANG MENGENAKAN SERAGAM KANTOR. LENGKAP DENGAN SEPATU DAN DASI.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya, kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu. Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga dengan saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun pembuktian saya, oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anak-istri anda juga tenang di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.

SESEORANG: Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah perintahnya dan saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya, bagaimana bila ibu saya tiada.

MENUTUP MULUTNYA

SESEORANG: Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langka, tapi jadi tidak aneh setidak-tidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya, anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini, yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar menjadi anak ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma kata-kata, buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu. Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu tapi bangga. Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang. Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis jawa.

SESEORANG: Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan “malu dengan bangga.” Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan saya yang sungguh “bangga dengan kemaluannya.” Mereka-mereka seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya, tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.

SENTIMENTIL

SESEORANG: Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya seorang gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan keberadaan istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya bawakan itu perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didi Kempot, kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi Kempot itu, (menyanyi). Sri kapan kowe bali. Lungamu ora pamit aku. Jarene menyang pasar pamit tuku trasi, tapi kowe lungo ora bali…Ndang balio Sri, ndang baliooo… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan saya itu menyanyi lagu lain.. ndang mlumaho Sri, ndangmlumahoo.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap negara apalagi terhadap keluarga saya. Karena itu saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.

MELEPAS SEPATU. JADI BOTOL MINUMAN KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.

SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan. Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan, Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu. Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pimimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!

SESEORANG: Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang ia raih kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakan kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “Tindakan yang merugikan keuangan negara,” padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anak-anak muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di sekolah-sekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi di sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga lho, Yang Mulia.

SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI SEPASANG SEPATUNYA

SESEORANG: Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang segenerasi saya dan Yang Mulia Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah. Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.

MELEMPAR SEPATU KE ATAS.

SESEORANG: Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa terjaga. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu di mana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya kecuali bagi mereka yang teraniaya. Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya ruarrr biasaa!!!!

MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN MENARI

SESEORANG: Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira gambarannnya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot. Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.

BERHENTI MENARI

SESEORANG: Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau empat kali begitu. Suatu saat pasti tersesat. Saya bisa saja memilih jadi da’i atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan. Karena saya percaya masing-masing punya azas kebebasan, kesamaan hak dan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak bisa menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan?

SESEORANG: Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah sebaliknya, mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi, sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang. Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada saya. Memang itu ia lakukan secara diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum.

SESEORANG: Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa. Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun. Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya. Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam, amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya. Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau, kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda, sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing, hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang, itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri. Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu, akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang utama.

MUSIK PARODI MENGIRINGI.

SESEORANG: Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.

BERLAGAK SOPAN

SESEORANG: He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan Biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan. Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok. Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu bagaiamana nikmatnya bermain chatting. He...he…he.. Sambil saya belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu. Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai. Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah diberikan kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal. Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.

TABLAU BEBERAPA SAAT

SESEORANG: Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tak perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju seperti ini (mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos rokok! Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk malam ini ia rupanya perlu membaca naskah karena lupa.

SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN MEMBACA NASKAH

SESEORANG: Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia. Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan? Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden?

SESEORANG: Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka.
SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara?
SESEORANG: Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.
SESEORANG: Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.
SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa. Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing dan kita tetap saja miskin.
SESEORANG: Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna.
SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing.
SESEORANG: Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah.

KEMBALI MENDEKATI PINTU. KEMUDIAN MENGINTIP KELUAR LAGI.

SESEORANG: Wow cantiknya dia! Pitzaaaaa!!!!

MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU SEBENTUK BABI-BABIAN. HINGGA SESUATU MENGHENTIKANNYA.

SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu! Oh, tunggu sebentar ibu!

SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG KACAU

SESEORANG: Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu, tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus yatim piatu.

KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK MEMBAHANA. LAYAR DITARIK KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR RUNTUH MENUTUP SEKUJUR TUBUH. MENGGELIAT-GELIAT. BERTERIAK-TERIAK.

Tolong! Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut kehabisan darah. Aku bisa mati percuma.

LAMPU BLACK OUT

SELESAI

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae