Senin, 09 Agustus 2021

PENYAIR MATJALUT

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Pada suatu petang, jalanan itu telah ditinggal pergi sang penyair. Bersama tasnya yang kumal. Celana, baju kusut. Rambut yang panjang yang tak pernah dipotong atau diatur oleh kekuasaan. Ia pergi. Akan ke mana. Entah. Lampu-lampu. Dan bunga-bunga ungu merekah. Langkah demi langkah. Kemudian tak tahu lagi ke mana langkah akan dibawa, meninggalkan luka hati, dan kerinduan panjang yang tak terjelaskan.
 
Kereta biru. Orang-orang gagu. Wabah menyerbu kotamu. Jalanan sepi. Seperti di dalam hati. Tapi lampu-lampu dipadamkan. Orang meraba keadaan. Rumah-rumah. Jalanan kota. Kegelapan. Lorong hitam. Penyair Matjalut melangkah. Ke pinggiran kota. Rumahnya. Sebuah perumahan tepian, tipe 21. Tipe rumah yang tak dikerjakan lagi. Itu pun rumah warisan. Dan hanya dia yang menempati. Sendiri. Dengan halaman yang kotor. Lantai yang jarang disapu. Dan lampunya yang redup. Buku-buku. Seperti sebuah tempat persembunyian di pedalaman keterasingan. Pengangguran. Buntu. Tak bisa hidup dari puisi. Tak banyak orang membaca puisi, apalagi membeli puisi. Penyair Matjalut memasuki rumahnya, bagai memasuki lorong yang sepenuhnya gelap di dalam dada sendiri. Pintu yang lapuk. Dan lampu yang tak cukup terang menerangi buku puisi-puisi.
 
Di atas kasurmu yang lembab, kau berbaring. Penyair Matjalut mengenangkan masa lalu. Masa ketika memakai baju SMA. Atau ketika membaca puisi di sebuah universitas swasta. Wajah-wajah datang, wajah-wajah pergi. Kehilangan-kehilangan. Dan malam yang mengental. Dibukanya android. Tak ada paket data. Melihat-lihat foto atau video yang sempat tersimpan. Kemudian menyalakan sebatang rokok. Bangun. Direguknya kopi yang sudah dingin. Angin bulan Agustus. “Masih adakah pahlawan hari ini?” pikirnya. Tak ada perayaan. Orang-orang dicekam wabah. Negara menciptakan jarak dan menutup wajah supaya tak tertular, dan cuci tangan supaya bersih dari virus. Bukankah sejak dulu negara selalu menjaga jarak dengan warganya? Bukankah sejak dulu negara selalu menutup wajah di hadapan pengadilan kenyataan? Dan bukankah sejak dulu pula negara selalu gemar cuci tangan di tengah keributan? Begitu tanya Penyair Matjalut. Tapi pertanyaan seorang penyair, apatah gunanya? Tak ada orang meminta nasehat atau pendapat seorang penyair untuk menghadapi dan mengatasi wabah, apalagi membangun masa depan negara atau sebuah bangsa. Ia pun tersenyum sendiri ketika sebuah fotonya yang nyaris seperti orang gila tampak pada layar androidnya.
 
Hatinya patah. Karena hati Penyair Matjalut itu berbentuk panjang. Tak berbentuk gumpalan, sehingga tak mungkin diremuk-redamkan. Kemalasan-kemalasan. Janji yang percuma. Hutang-piutang. Tagihan-tagihan. Hingga pada suatu petang, gamang, dan menghilang. Simpang lima pada kotamu, dihuni hantu dan keranda. Jalan ke pusat kotamu pun ditutup agar tak banyak orang lewat lalu menularkan virus lewat udara. Lampu-lampu dipadamkan. Diingatnya mata sang perempuan pujaan hati. Seperti mengenangkan kedua mata seorang pemberontak yang ketakutan dikejar negara. Pemberontak itu menjatuhkan sehelai tali rambut kanak-kanak di tepi jalan itu. Tali rambut milik anak perempuannya yang masih balita yang kelak akan menjadi remaja, bersekolah, dan dewasa. Sang pemberontak kebingungan, kedua matanya memancarkan cahaya ketakutan yang sangat dalam, cemas, dan putus asa, menyimpan harap yang tak berdaya. “Tolonglah saya, Tuan,” ujarnya lirih. Tapi segala jalan keluar telah dijaga. Dia sudah terkepung. Seperti hati seorang pecinta, terkepung wajah kekasihnya, dan terkepung rasa kehilangan. Pemberontak itu memberikan senyum terakhir kali di ujung pintu keluar, sebelum petugas negara berhasil meringkusnya. Dan di tikungan, mobil negara yang meringkusnya itu menghilang. Tak pernah lagi datang.
 
Bawah pohon beringin, sebuah bangku. Stasiun kereta yang gelap di masa-masa yang gagap. Seperti menerka duka. Gelisah pertanyaan. Ketika segaris senyum, menentramkan segala kecemasan dalam ancaman segala kesempitan. Melewati malam. Perjalanan-perjalanan panjang dan melelahkan. Puisi-puisi tergeletak sendiri di dalam ketakmungkinan. Seperti kesetiaan. Penyair Matjalut mendesah, di bawah lampu rumahnya. Meja kuno. Sebuah pena. Buku tulis. Dan asap tembakau. Kata selalu terpukau pada engkau, pada daun-daun bakau yang menyentuh risau. Penyair Matjalut melihat pengumuman lomba menulis puisi, festival-festival sastra, dan ruang-ruang mewah suatu pertemuan. Ia melihat penyair-penyair membacakan puisi di panggung agung, dengan lelampu, dan meja yang bisu. Orang-orang tertawa. Sesekali tepuk tangan. Namun suara penyair-penyair itu meledak di dalam gemuruh perlombaan, festival, dan sebuah lampu ruangan yang tak mungkin dibeli oleh seorang penyair jembel sepertinya seumur hidup. Penyair Matjalut tak pernah mengikuti lomba, baginya puisi bukan untuk diperlombakan. Bukan difestivalkan seperti akrobat. Dan penyair bukan yang menikmati kemewahan di atas wabah penderitaan. Itu bagi Penyair Matjalut. Orang tak perlu mendengarkannya. Ia hanya penyair gagal, bukan penyair festival, bukan penyair perlombaan, bukan penyair yang gagah di dalam pertemuan-pertemuan bergengsi. Ia cuma penyair sosial media. Sesekali menuliskan puisi pada status Facebook, sekadar menguraikan isi hati. Hingga bertahun-tahun kemudian, puisi-puisi pada status Facebooknya itu hanya di-like oleh dirinya sendiri dan sebuah akun yang tak lagi bertuan.
 
Di dalam kepalanya tagihan-tagihan. Jalan pulang yang terbenam-benam. Jalan aspalan yang meletus-letus. Para penyair, para sastrawan, dramawan, dan entah siapa lagi, di situ tersipu menjabat tangan menteri di tengah pandemi. Mereka tidak patuh pada protokol kesehatan, gerutu Penyair Matjalut. Ia menulis pun sebuah puisi, menumpahkan kekesalan waktu ke dalam keabadian, atau yang katanya mengabadikan---yang entah apa, yang nantinya akan hilang. Itu puisi yang tak pernah ikut lomba dan festival.
 
“Di manakah dikau, Kekasihku? Bulan-bulan meleleh dalam dadaku, entah yang keberapa-ribu kali sudah. Lautan anak-anak gelombang. Di hadapan lobang-lobang hitam, dan kematian yang dirayakan. Di sana ada virus, Kekasihku, Covid 19 namanya. Tapi yang tengah mewabah adalah ketertindasan, ketakberdayaan, dan kepatuhan yang melumpuhkan tulang-belulangku. Di manakah dikau, Kekasihku sayang? Yang senyummu tak pernah terbuang, yang aroma tubuhmu tak kunjung hilang di dalam kenang. Jangan senyummu terkena virus. Jangan jiwamu tertindas batas dari duplikat, dari kuasa yang berkarat. Di dalam hari-hari kelam yang gawat, bayangmu selalu memikat. Aku terbakar kesunyian. Kesunyian dari kesendirianku tanpamu, Kekasihku!”
 
Penyair Matjalut membacakan puisinya itu. Tak ada yang mendengar. Sendiri. Ia pun enggan menayangkan rekaman video di YouTube. Instagramnya penuh foto-foto bercocok tanam bibit-bibit buah. Rumahnya darurat. Kekasihnya hilang entah ke mana. Pergi bersama kereta malam, meninggalkan bangku stasiun lama dan pohon beringin yang tua. Dan tak kembali. Tak ada WA. Tak ada nomor rumah. Tak ada akun sosial media. Lenyap. Senyap. Hati yang panjang itu pun kembali dipatahkan. Kepedihan yang jauh di kelam lembah, yang tak dapat dijelaskan ketika malam tiba, tatkala lampu-lampu kota dipadamkan oleh negara.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.  http://sastra-indonesia.com/2021/08/penyair-matjalut/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae