Kamis, 15 Juli 2021

Tradisi (Serba) Pendek Sastra Kita

(Renungan pendek tentang kritik sastra)
 
Rakhmat Giryadi
 
Usia sastra Indonesia (modern) belum panjang. Karena usia belum panjang, maka ilmu-ilmu yang mempelajari tentang sastra Indonesia belum panjang. Karena belum panjangnya ilmu atau teori tentang sastra, patutkah kita bertanya tentang kritik sastra? Karena tradisi belum panjang itupulalah timbul pertanyaan-pertanyaan. Apakah kita sudah memiliki cara pandang (ilmu) sendiri dalam memahami sastra (Indonesia) yang usianya belum panjang? Bagaimana dengan kondisi kritik sastra kita?
 
Sebelum masuk ke pertanyaan yang membingungkan ini, marilah kita lihat situasi sastra kita. Sastra (modern) kita merupakan ‘warisan’ sastra Barat. Karena warisan sastra Barat, maka mau tidak mau, struktur sastra, baik itu puisi, cerpen, novel, dan naskah drama, adalah struktur berfikir orang Barat, yang konstruktif dan analitis. Karena itu ilmu-ilmu sastra yang kita baca sampai hari ini adalah ilmu-ilmu atau teori sastra Barat. Karena berkembangnya ilmu sastra Barat, maka mau tidak mau, dalam memahami sastra adalah dengan cara orang Barat.
 
Tradisi sastra (modern) kita adalah hasil dari politik etis bangsa Barat yang berkembang beberapa abad sebelumnya. Sastra Barat, dibawa oleh mereka yang mendapat ‘pulung’ bisa belajar ke Eropa. Disana mereka mempelajari seluruh sastra Barat yang dibangun dari tradisi berfikir secara terstruktur. Sementara kita tahu, mereka yang berkesempatan belajar sastra di Barat, kemudian membawa tradisi sastra Barat. Maka setelah para kaum pelajar membawa sastra Barat, sejarah sastrapun ditulis. Dan sejak penulisan sejarah sastra, maka munculah teori-teori tentang sastra Indonesia. Setelah muncul teori maka munculah kritik.
 
Karena tradisi (ber) sastra adalah tradisi Barat, maka mau tidak mau, teori sastra adalah teori sastra Barat, dan tentunya juga kritik sastra (cara) barat. Maka kita mengenal banyak teori, dan kritik sastra dengan cara berpikir orang Barat.
 
Jika melihat perkembangan dalam dunia kritik sastra, kita mengenal konsep formalisme, strukturalisme, Marxis, pasca-Marxis, dan pascastrukturalisme, termasuk pascamodern. Kaum formalis membatasi kritik pada level tekstual dan teknik-metodelogis. Strukturalisme ternyata telah melakukan pembunuhan terhadap subyek dalam menerapkan kritiknya.
 
Pascastruktural hanya menjadikan kritik sebagai wacana, reproduksi makna, melakukan decentering terhadap logosentris, dekontruksi terhadap struktur, dan melakukan strukturasi sehingga melakukan penngrusakan struktur dan melampaui struktur itu sendiri.
 
Pasca-Marxis berusaha membangkitkan subyek yang terbunuh oleh struktrualisme dalam relasi kelas dalam mana subyek tersebut dijadikan sebagai penyalur berbagai subyek imajiner dalam pembangunan suatu wacana.
 
Namun begitu pendeknya usia sastra kita, maka begitu belum mendalamnya teori sastra kita. Begitu pendeknya sejarah dan teori, maka begitu pendek pula kritik kita. Begitu pendeknya usia kritik kita, tak heran bila, banyak yang mengklaim kritik sastra kita sudah mati. Hemat saya, jangankan mati, hidup saja belum. Mengapa? Ya, karena hidupnya serba sepotong-sepotong. Meskipun ada kritik, tetapi belum bisa menggayuh seluruh aspek sastra. Intinya, benarkah nalar kritik sastra Barat mampu diterapkan dalam sastra kita?
 
Selama ini kita percaya bahwa kritik sastra dapat berfungsi untuk mengabarkan, menginformasikan, memberikan pemetaan tentang sastra-sastrawan, sebagai juru penengah ---kadang-kadang juru tafsir--- antara pembaca-karya-pengarang. Tetapi benarkah kritik sastra kita telah melakukan itu semua? Jangan-jangan apa yang kita sebut “kritik sastra” selama ini tak lebih sekedar rasan-rasan sastra belaka.
 
Persoalan lain, apakah benar-benar kita benar-benar mempunyai “warisan” bangunan kritik sastra? Tempo dulu orang banyak membicarakan tentang kritik subyektif H.B Yasiin, setelah itu orang meributkan kritik “Rawamangun”. Kemudian juga munculnya perdebatan, sastra kontekstual, sastra pedalaman, sastra seks, sastra cyber, dan sastra koran, memunculkan perdebatan dan bahkan memunculkan ide tentang kritik sastra yang relevan.
 
Yang kemudian ingin kita ketahui dan kita inginkan, bagaimana kritik satra dapat menjadi roda gila yang dapat menggerakan sendi-sendi kreatif sastrawan-masyarakat pembaca, selain tentu saja membuka medan tafsir bersama tentang sebuah karya sastra.
 
Apa yang diharapkan dari kritik sebenarnya? Saya masih sangat pesimistis. Karena selain yang sudah saya sampaikan di atas, betapa nasib sastra kita tak sehebat yang kita bicarakan, karena toh pada kenyataannya, masyarakat pembaca kita masih jauh dari harapan. Taufiq Ismail mengklaim, masyarakat kita adalah masyarakat bukan pembaca dan masyarakat nol buku.
 
Bahkan dengan sangat satir, Seno Gumira Adjidarma, mengatakan, masyarakat kita, membaca sastra setelah mereka membaca lowongan pekerjaan. Membaca sastra dianggap sebagai hiburan diwaktu luang. Masyarakat kita masih belum menjadi masyarakat pembaca sastra yang kritis. Kalau masyarakat pembacanya masih sambil lalu, tak heran kalau kritik sastra kita juga sambil lalu.
 
Baiklah, kita memang harus mengakui, meski begitu pendeknya tradisi bersastra kita, muncul para teoritikus sekaligus kritikus. Rahmat Djoko Pradopo (1984) misalnya, dalam disertasinya Kritik Sastra Indonesia Modern telah memaparkan sejarah kritik sastra di Indonesia. Pradopo dalam mengategorikan kritik berpegang pada teori romantik yang dikenalkan M H Abrams. Akhirnya, model ini banyak diikuti kritikus di Indonesia, khususnya aliran akademis hingga saat ini.
 
Mari kita juga tengok beberapa gagasan dari Budi Darma (1995). Budi Darma malah mempersoalkan kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra kita masih berparadigma kritik barat. Sementara paradigma sastra kita adalah paradigm Timur. Persoalan yang muncul adalah apakah paradigma tersebut masih relevan jika dikembangkan di dunia akademis kita? Apakah paradigma yang dianut oleh dunia akademis kritik sastra kita saat ini sudah sesuai dengan bentuk dan Zeitgeist-nya. Buku Ignas Kleden (2004), Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan, bisa dikatakan contoh kritik sastra terapan yang sangat bagus yang sadar paradigma.
 
Melani Budianta (2002) menyebutkan istilah kunci untuk kajian (sastra). Pertama, genealogi atau sejarah asal-muasal yang menelusuri teori-teori budaya dari Mathew Arnold hingga teori pascamodern. Kedua, aneka ragam kajian budaya kontemporer dengan teori dan pendekatan yang berbeda. Ketiga, sejumlah konotasi tentang agenda dan orientasi sekelompok ilmuwan yang tidak dibahas secara koheren dan eksplisit.
 
Kritik sastra yang berpedoman pada kajian budaya tersebut pada akhirnya jatuh pada pembuktian konstruksi estetik semata. Paradigma yang terakhir dalam dunia kritik sastra atau teori sastra sejak zaman romantik Inggris, formalis, strukturalisme, hermeutik, pasca-Marxis, pascastrukturalis, pascamodern dan culture studies atau dari abad XX hingga XXI telah menunjukkan kelemahan dan kegagalan dalam mendekati dan membaca karya sastra.
 
Pendekatan kritis menawarkan satu teori sastra yang membongkar wacana kritik itu sendiri. Menurutnya, kritik sastra adalah konstruksi dari bagian dalam pembentukan subyek dan realitas sehingga terlibat pada kepentingan tertentu, baik politik dan ekonomi. Kritik sastra, teori sastra dan sejarah sastra harus mengenali dan mengakui subyektivitasnya sendiri.
 
Obyektivitas dalam bentuk apapun tidak akan tercapai dalam inter-relasi kehadiran karya itu sendiri. Lalu  bagaimana seharusnya? Radar Panca Dahana, pernah mengisyaratkan kritik oleh pembaca. Menurutnya pembaca adalah ‘kritikus’ yang paling relevan. Apakah dengan demikian kita mengabaikan kritik(us) sastra?
 
Sekali lagi, dalam tradisi yang serba pendek, bangunan akar tradisi sastra kita belumlah kuat. Dalam tradisi belum kuat, kritik sastra kita jugalah belum kuat. Bahkan mungkin juga, kritik sastra kita masih berupaya lahir dengan tangan, kepala, kaki, dan tubunya sendiri. Yaitu tubuh tradisi sastra Indonesia. Artinya, kritik sastra memang tidak harus bergaya ala Barat, tetapi kritik sastra Indonesia perlu membuat ‘teorinya’ sendiri.
 
Seperti kata Budi Darma, seorang kritikus adalah orang yang sudah bermakrifat. Dan kita tahu semua, untuk mencapai kemakrifatan itu, seseorang tidak hanya berbekal teori, tetapi juga kepekaan untuk menghayati. Mari kita tunggu kemakrifatan kritikus kita.

[Disampaikan dalam Seminar Sastra, di Unesa Kampus Lidah Wetan, 24 Mei 2010] http://sastra-indonesia.com/2021/07/tradisi-serba-pendek-sastra-kita/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae