Rabu, 14 Juli 2021

Tiang Gantung untuk George Dohong



Muhammad Yasir

Sebelum embun benar-benar menyusut, terdengar suara dentuman senapan laras panjang dari sebuah rumah kayu di tepi sungai. Tapi sebelum aku melanjutkan cerita ini, lebih baik, kuperkenalkan terlebih dulu kepada saudara sekalian, George Dohong dan Sindah Malinau; sepasang suami-istri pemilik peternakan kambing dan ayam yang terkenal baik dan bijak di mata orang kebanyakan. Kebaikan dan kebijaksanaan mereka terdengar hingga ke beberapa desa di pedalaman yang jauh dan tak perlu saudara sekalian bayangkan atau terka itu di mana. George Dohong, tidak banyak yang tahu, di masa mudanya adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Yang paling mengerikan adalah ketika dia menggorok leher seorang jenderal manajer perkebunan kelapa sawit duapuluh satu tahun yang lalu tanpa terendus, apa lagi tertangkap para petugas keamanan yang pandir. Sindah Malinau seoranglah yang mengetahui dan menyimpan kisah kelam George Dohong. Sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, George Dohong tidak suka bicara banyak alias bertele-tele dan melakukan sesuatu. Dia seorang yang penuh pertimbangan dan perenung. Dan, saban hari, sebelum bumi menarik cahaya matahari keperakan yang menerangi kehidupan manusia, George Dohong akan berjalan ke tepian sungai dan duduk di atas batu. Merenung, tidak lain.
 
Ada duapuluhlima ekor kambing dan duaratus limapuluh ayam yang mengisi setiap sekat di dalam kandang kayu di peternakan George Dohong. George Dohong juga memiliki sepuluh anjing pemburu yang setia menjaga peternakan itu. Anjing-anjing ini berperan penting menjaga peternakan ketika George Dohon dan Sindah Malinau terlelap tidur. Pun demikian, kerusakan akal sehat dan mental telah menyerang orang-orang kebanyakan di desa itu. Semua tidak terjadi begitu saja. Kedatangan pemilik perkebunan telah menyebabkan roda utama perekonomian orang kebanyakan rusak total. Sungai tercemar. Hutan nyaris gundul. Karena itu, orang kebanyakan tidak segan-segan mencuri dan membunuh agar dapat bertahan hidup seperti orang kebanyakan lainnya. Terbukti, adanya anjing-anjing itu membuat orang kebanyakan ketakutan, bahkan sekali pun hanya melewati peternakan George Dohong.
 
“George?” Panggil seseorang; seorang perempuan bertubuh pendek, belum terlalu tua pada suatu pagi yang cerah.
 
“Hm?”
 
“Aku ingin memberitahumu sesuatu.”
 
“Katakanlah!”
 
“Sudah dua hari ini kami, oh! Bagaimana ini? Bagaimana aku akan memberitahumu hal memalukan ini. Betapa sialnya! Oh! Tuhan!” Perempuan itu menghentikan ucapannya, kemudian mengelus dadanya yang kurus.
 
George Dohong mengalihkan pandang matanya dari perempuan itu.
 
“George?”
 
“Hm?”
 
“Tidakkah engkau seorang yang baik dan bijak?”
 
“Hm.”
 
“Tidak ada sepeser pun uang yang kumiliki, George. Dan, sudah dua hari ini kami memasak buah kelapa sawit untuk meredam lapar. Engaku tahu bagaimana rasanya? Tidak, George, tidak dapat kukatakan bagaimana rasanya. Hanya minyak dan minyak yang masuk ke dalam perutku dan anak-anak.”
 
“Tunggu di sini!”
 
Dua menit kemudian. George Dohong memberikan seekor ayam betina yang cukup besar dan tampaknya, daging ayam itu akan memenuhi wajan milik perempuan itu.
 
“Bawalah. Buatlah masakan yang terbaik untuk anak-anakmu.”
 
“Oh! Tuhan! George! Aku tidak akan melupakan ini. Sungguh! Engkau benar-benar…”
 
“Sudahlah. Simpan pujianmu ketika perutmu lapar. Itu hanya kebohongan belaka. Pulanglah!”
 
“Aku akan mengingat kebaikanmu ini, George. Baiklah!”
 
Perempuan itu berbalik, berjalan perlahan di jalan setapak menuju beranda rumah George Dohong dan sesekali menoleh ke belakang. George Dohong masih berdiri di beranda rumahnya. Desau angin, sesekali, membuat rambut berwarna putih yang tumbuh di kepalanya berdiri. Lihatlah betapa bahagianya perempuan itu, pikir George Dohong. Dia tidak tahu, George Dohong adalah pembunuh berdarah dingin. Pembunuh adalah pembunuh. Sekali pun dia baik dan bijak, insting membunuhnya bisa tiba kapan saja. Dan, pada suatu subuh di hari yang lain, hari yang begitu hening, insting membunuh itu muncul ketika terdengar anjing-anjing George Dohong menggonggong tiada henti. George Dohong yang masih setengah sadar-setengah tidur, sontak bangkit dan mengambil senapan laras panjang yang tergantung di dinding kamarnya. Sindah Malinau mengikuti dari belakang tanpa berkata suatu apa. Dalam hatinya, sesungguhnya, dia khawatir kalau-kalau George Dohong akan mengambil nyawa seseorang, lagi. Akan tetapi, tidaklah Sindah Malinau memiliki suatu keberanian untuk menghentikan suaminya. Ketika George Dohong tiba di peternakannya yang berjarak tigapuluh kaki dari pelataran rumahnya, dia melihat seseorang telah merusak pintu peternakan dan membunuh dua ekor anjing pemburunya dengan senjata tajam.
 
“Bangsat!”
 
George Dohong memeriksa ternak-ternaknya. Benar saja! Seseorang telah mencuri seekor kambing. Sontak, matanya pijar, insting membunuhnya naik ke kepalanya. Dia berang tanpa bicara. Setelah melepaskan anjing-anjingnya yang terikat, George Dohong masuk menghampiri Sindah Malinau yang berdiri, bergeming di sebelah tiang penyangga rumah. George Dohong hanya menatapnya. Dan, sungguh, kekhawatiran Sindah Malinau akan segera terjadi. Suaminya akan mengambil nyawa seseorang lagi. Tidak, saudara sekalian, tidak sekata pun keluar dari mulut Sindah Malinau. Begitu juga dengan George Dohong. Tak lama setelah menatap istrinya, dia pun berjalan di jalan setapak yang berakhir ke tepi sungai. “Doar!” Begitulah suara senapan laras panjang ditembakkan ke cakrawala yang mulai berkabut sebagai tanda perburuan maling akan segera dimulai.
 
Di hulu sungai, tujuhratus limapulu kaki dari rumah George Dohong, anjing-anjing yang sejak awal mengendus jejak seseorang yang telah mencuri ternak tuannya, berhenti mengendus tapi tidak dengan gonggongan mereka. Itu pertanda bahwa ada sesuatu. George Dohong menghentikan langkahnya persis di sekawanan anjing-anjingnya. Tiba-tiba, George Dohong mengehentakan kakinya. Dan, anjing-anjing itu diam. Suasana menjadi begitu hening. Tak lama kemudian, George Dohong memejamkan matanya. Kepekaannya terhadap alam membuat sepasang telinganya memiliki pendengaran yang tajam. Saking tajamnya, gerak seekor tikus tanah pun terdengar begitu jelas. Dalam hitungan menit, George Dohong menemukan pencuri ternaknya yang bersembunyi di rerimbunan semak belukar. Akan tetapi, George Dohong tidak menemukan kambingnya. Kemarahannya semakin tidak terbendung. George Dohong menarik pencuri ternaknya itu ke jalan setapak, kemudian menyenteri wajahnya. George Dohong kaget, pencuri ternaknya itu bukanlah orang kebanyakan di desanya. Ini kali pertama dia melihat pencuri ternaknya itu.
 
“Siapa engkau?!”
 
“Ampun, Tuan! Ampun!”
 
George Dohong mengulangi pertanyaannya.
 
“Aku, Tuan…” kata orang itu, “Aku buruh perkebunan, Tuan. Aku tinggal di perkebunan.”
 
“Di mana kawanmu?” Sebelum menemukan pencuri ternaknya itu, George Dohong sudah tahu bahwa pencuri ternaknya tidaklah seorang diri.
 
“Akulah seorang diri, Tuan.”
 
“Jangan berbohong! Di mana?!”
 
“Ampun, Tuan! Dua orang kawanku telah kembali ke perkebunan membawa kambing itu! Maafkan aku, Tuan! Sungguh, tiadalah aku memiliki niat untuk melakukan hal ini. Perkebunan telah memecat kami bertiga dan tidak membayar jasa kami selama menjadi buruh di sana, kami tidak bisa pulang ke pulau seberang, Tuan. Aku mohon, Tuan, ampunilah aku!”
 
George Dohong menyuruh pencuri ternak itu berdiri.
 
“Ampun, Tuan. Aku mohon!”
 
“Doar!” Peluru timah panas dan besar beserta semburan belerang dari moncong senapan laras panjang itu, oh! Saudara sekalian, membuat kaki kiri pencuri ternak George Dohong hampir putus.
 
Teriak kesakitan tidak terelakan. Gemanya menjadi tanda bagi setiap orang agar menghargai milik orang lain dan jangan sekali pun mengambilnya dengan cara merampas. Siapa pun, kecuali Anak Tuhan, akan marah. Itulah manusia!
 
“Ternak-ternak itu kurawat seperti aku merawat mendiang anak-anakku yang dibunuh para petugas perkebunan begitu kejinya. Engkau tahu, tidak perlu waktu lama bagiku untuk menemukan para petugas itu dan menghabisi mereka satu per satu seperti mereka menghabisi anak-anakku. Aku akan menolong kalian jika kalian bertamu ke rumahku dan mengatakan bahwa kalian ingin kembali ke pulau seberang. Aku akan memberikan dua ekor kambing untuk kalian. Kejujuran itu mahal dan aku menjunjung tinggi itu. Namun, ketika engkau dan rekan-rekanmu berani mencuri dan menginjak-injak kejujuran, maka kalian akan kuhabisi. Lihat nanti, aku akan membawa dua mayat kawanmu itu!”
 
Ketika George Dohong hendak kembali, dia menoleh ke belakang. Pencuri ternaknya itu menggeliat kesakitan di tanah. Dia kembali ke sana, kemudian memapah pencuri ternaknya itu.
 
“Istriku akan merawatmu!”
 
Setibanya di rumahnya, George Dohong segera menyuruh istrinya mengambil ramuan-ramuan miliknya untuk mengobati pencuri ternaknya itu. Sindah Malinau yang terkejut, tanpa bicara segera mengambilkan ramuan-ramuan itu.
 
“Rawatlah dia! Aku akan mencari dua orang lainnya.”
 
“Tuan…” kata pencuri ternak itu, kesakitan. “Aku mohon kepada engkau dengan hormat sehormat-hormatnya. Jangan cari mereka. Bunuh saja aku, Tuan. Biarkan mereka menjual kambing milik Tuan itu agar bisa kembali ke pulau seberang. Tidakkah Tuan memiliki sesenti saja keibaan terhadap sesama manusia?! Aku mohon, Tuan…”
 
“George, Suamiku…” Sindah Malinau memberanikan diri untuk bicara. “Dengan engaku membunuh mereka semua, tidaklah mengubah kambing itu menjadi anak kita. Dendam dan kenanganmu yang mendarah-daging itu engkau tumpahkan ke riak sungai dan biarkan hanyut ke muara yang jauh. Tidakkah kebijaksanaanmu telah membuat cintaku padamu takkan luntur dimangsa waktu. Engaku ingat, ketika engkau dan aku lari dari orangtua kita? Engkau mengatakan: “Cinta kita terbentuk dari darah dan kebijaksanaan alam. Maka, aku akan mendengarkan engkau.” Engaku mengingatnya?! Atau engkau telah melupakannya?”
 
George Dohong bergeming. Matanya yang kuat dan tajam, tenggelam dalam tatapan istrinya.
 
“Sekarang, kita rawat pemuda ini seperti anak sendiri.”
 
George Dohong tetap bergeming. Kalah.
 
Pada suatu waktu, dari kejauhan. Tampak lima orang: seorang jenderal manajer, seorang tentara, dan sisanya petugas perkebunan bersenjata lengkap berjalan menuju rumah George Dohong. George Dohong yang melihat kedatangan mereka segera masuk ke dalam rumah, mengambil senapan laras panjangnya. Setibanya di beranda rumah George Dohong, jenderal manajer itu mengatakan bahwa kedatangan mereka untuk menghukum George Dohong, pembunuh berdarah dingin, dan juga Sindah Malinau, istrinya yang membiarkan dendam dan kenangan mendarah-daging di dalam diri George Dohong.
 
“Kalianlah yang akan aku habisis!” Kata George Dohong.
 
“Anjing! Ikut kami sekarang juga!” Maki tentara semberi menodongkan senjatanya.
 
“Persetan!”
 
George Dohong kalah. Senapan laras panjangnya lupa dia isi belerang. Tidak ada dentuman. Apalah kekuatan George Dohong dan Sindah Malinau di tangan para biadab itu. Seperti hasil buruan, George Dohong dan Sindah Malinau digiring ke suatu tempat; tanah lapang yang telah didirikan dua tiang gantung untuk keduanya.
 
“Lepaskan!” Teriak George Dohong.
 
Tidak seorag pun menggubris.
 
“Setan!” Begitu seterusnya, hingga tibalah mereka di tiang gantung itu.
 
Lima kaki di belakang George Dohong dan Sindah Malinau, jenderal manajer itu semringah, kemudian berkata, “Di sini, tidak ada kata-kata terakhir untuk orang-orang yang menyedihkan seperti kalian, George! Engkau telah membuat perkebunan kami dituduh bertindak sewenang-wenang kepada alam dan para buruh dari desamu! Tanpa bukti, George! Tanpa bukti. Bukankah semua petinggi, pegawai, dan sebangsa administrator desa dan daerah telah kami kirim upeti dan sejumlah uang sebagai harga dari harkat-martabat mereka?! Dan engkau, engkau adalah pembunuh sialan yang mengganggu kerja-kerja perkebunan! Sekarang, matilah kalian!”
 
Setelah bicara, jeneral manajer itu segera menyuruh tukang jagal untuk bekerja. Dan… dari kejauhan pencuri ternak, seorang transmigran, tertawa terbahak-bahak menyaksikan George Dohong dan Sindah Malinau sebelum keduanya berakhir.
 
“Lepaskan kami! Lepaskan, bangsat!” Teriak George Dohong hampir tanpa daya.
 
Sindah Malinau merengkuh tangan suaminya kemudian berkata, “George? George! Bangunlah. Mau sampai kapan engkau begini ini?! Kambing-kambing itu perlu makan. Jangan permainkan hak mereka. Bangunlah!”
 
Surabaya, 2021

Keterangan dari tukang posting: Jpg dari blogunik.com/fakta-kerusakan-hutan-kalimantan “Lebih dari 15.000 Ha, hutan di Kalimantan mengalami kerusakan di tahun 2020” (photo via agiwoles.blogspot.com) http://sastra-indonesia.com/2021/07/tiang-gantung-untuk-george-dohong/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae