Sabtu, 24 Juli 2021

Laki-laki dari Pulau Salju

AS. Sumbawi
 
Sebagai seorang laki-laki, sebenarnya berapa teman perempuan anda? Hanya beberapa. Atau sepuluh. Seratus. Seribu. Barangkali seratus ribu dua ratus lima puluh enam. Tak terhitung. Ya, terserah berapa anda menyebutkan. Akan tetapi, Saya pasti akan meragukan jika anda mengatakan bahwa teman perempuan anda sebanyak jumlah perempuan yang hidup di dunia sekarang ini. Apakah benar demikian?!
 
Berarti anda juga berteman dengan perempuan yang disebut pelacur, artis film porno, perempuan pijat plus, pengemis, gelandangan, perempuan panti jompo, pengidap HIV/AIDS, perempuan abnormal baik fisik maupun mental, perempuan jalang, perempuan yang dianugerahi wajah yang tidak menarik dan lain-lainnya. Saya pasti akan bersyukur jika memang demikian. Dan menurut Saya, hal itu merupakan ide yang sungguh baik sekali.
 
Berbicara tentang teman perempuan, bagi Saya akan memunculkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kalau anda menyangka bahwa selama ini Saya hidup sendirian di dalam goa yang dingin, gelap, dan mencekam atau hidup seperti Tarzan di hutan bersama para binatang, anda sepenuhnya keliru. Kenyataannya Saya hidup normal. Sebagai makhluk dengan naluri gregoriousness, Saya hidup bermasyarakat. Saya tidak anti sosial. Tidak berpandangan bahwa neraka adalah orang lain. Saya pun kerap terlihat berkomunikasi dengan perempuan.
 
Di samping itu, sejak dari SD sampai Universitas, Saya sekelas juga dengan para perempuan. Bahkan pernah duduk berdua dengan beberapa dari mereka. Akan tetapi, Saya menganggap mereka bukan teman-teman Saya. Mereka tak lebih seorang asing yang kerap bertemu dengan Saya yang berbicara. Saya pun bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka meskipun seperlunya saja yang kemudian berakhir dengan kepergian mereka meninggalkan Saya. Karena dasar Saya yang tidak bisa beramah-ramah dengan mereka, beberapa di antara mereka diam-diam memberikan julukan laki-laki dingin atau laki-laki dari pulau salju atau The Ice Man kepada Saya. Dan karena mereka mampu bersuara hingga menembus telinga pendengarnya, maka teman laki-laki Saya kadang-kadang menyebut julukan itu kepada Saya dalam olok-olok dan canda.
 
Kalau anda menyangka selama ini Saya akrab dengan laki-laki, Saya mengiyakannya. Akan tetapi, Saya pasti akan menolak mentah-mentah jika anda mengatakan bahwa Saya seorang gay. Tidak. Sekali tidak. Sebaiknya anda cepat-cepat mengunci pikiran dan mulut anda sebelum terlambat.
 
Baiklah. Saya terima julukan-julukan semacam itu. Laki-laki dingin atau laki-laki dari pulau salju atau The Ice Man, Saya masa bodoh. Asal tidak laki-laki tanpa syahwat. Saya pasti akan marah. Karena hal itu berarti penolakan terhadap keberadaan Saya sebagai manusia. Juga asal tidak laki-laki tanpa cinta, Saya paling sebel dibilang seperti itu. Karena pada kenyataannya, Cupid, si bocah bersayap yang dianggap sebagai dewa cinta itu beberapa kali terbang datang kepada Saya dengan busur dan anak panah. Menembus jantung Saya. Menjadikan Saya jatuh cinta kepada beberapa perempuan. Akan tetapi, Saya tak pernah berkekasihan dengan mereka. Bukan sebab mereka menolak, melainkan Saya sendiri yang tak pernah mengungkapkan perasaan cinta Saya kepada mereka. Karena hal itu, seorang teman mengatakan bahwa Saya pecinta sejati.
 
Sebenarnya, Saya termasuk laki-laki yang mudah sekali tertarik kepada perempuan. Setiap kali melihat perempuan cantik, segera hati Saya tertawan. Entah. Sampai sekarang sudah berapa puluh atau ratus atau ribu jumlahnya perempuan yang membuat Saya tertarik kepadanya. Akan tetapi, sebentar kemudian Saya sudah lupa ketika mereka hilang dari pandangan mata Saya. Dan Saya tak pernah benar-benar mempunyai keinginan untuk menemui mereka.
 
Kemudian entah sejak kapan, Saya kerap merasa aneh dengan anggapan Saya ketika melihat dua atau tiga atau empat orang perempuan yang berjalan bersama. Dalam pandangan Saya, seorang perempuan akan kelihatan lebih cantik ketika bersama dengan teman perempuannya daripada kalau berjalan sendirian. Pada saat itu, di depan Saya tiba-tiba muncul sesosok perempuan ideal, yang tak lain adalah gabungan dari dua atau tiga atau empat orang perempuan itu. Mereka saling menutupi kelemahan masing-masing. Dan barangkali perempuan itu yang Saya jatuh cinta kepadanya.
 
Lantas pada malam harinya saat rebah di punggung kasur, Saya sering mengajak perempuan itu berbicara dan bermain. Bercanda dan tertawa. Berpacaran dan berkekasihan. Karena Saya sering tidak terkontrol dalam bersuara, seorang teman laki-laki pernah memergoki Saya.
 
“Apa yang kaulakukan?! Kau gila, ya,” katanya kepada Saya yang tengah tertawa terpingkal-pingkal karena perempuan itu bercerita tentang sesuatu yang lucu. Tentu saja, Saya kaget. Dan hancurlah suasana yang terbangun di antara Saya dan perempuan itu.
 
“Tertawa nggak karuan. Kalau ada temannya nggak masalah. Kalau sendirian bisa bahaya,” kata teman Saya lagi.
“Siapa bilang nggak ada temannya,” kata Saya.
“Jin temannya,” kata teman Saya kemudian pergi dengan geleng-geleng kepala.
 
Sejak saat itu, beredar kabar di antara teman laki-laki Saya, bahwa rupanya selama ini Saya telah menjalin cinta. Bukan dengan perempuan dari bangsa manusia, melainkan dari bangsa jin. Dan yang keterlaluan adalah bahwa jodoh Saya adalah perempuan dari bangsa jin.
 
Waton njeplak cangkeme, umpat Saya. Dongkol. Tentu Saya dongkol. Bukankah manusia diciptakan berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan.
 
Kemudian ada di antara mereka yang mengatakan bahwa selama ini Saya berpacaran dengan perempuan bayangan Saya. Diam-diam Saya tersenyum.
*
 
Suatu hari ada perempuan yang mengungkapkan perasaan cinta kepada Saya. Perempuan itu bernama Nalia. Dan apa yang ada pada dirinya membuat Saya tertarik. Kulitnya yang putih bersinar, rambut hitamnya yang panjang dan halus, bulu matanya melengkung, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan sedikit tebal, serta dagunya yang lancip, plus tubuhnya yang langsing, terawat, dan sehat terpadu rapi menampakkan sebuah kecantikan. Akan tetapi, seperti pertemuan dengan perempuan-perempuan lainnya yang menarik Saya, setelah Nalia hilang dari pandangan mata, Saya lupa padanya. Dan Saya tak pernah benar-benar mempunyai keinginan untuk mengerami cinta di dadanya.
 
Dulu, Saya dan Nalia kerap bertemu dan berbicara di kampus. Juga duduk berdua. Dan kira-kira sebulan belakangan ini Nalia tampak mencoba menghindar dari Saya. Biar saja, pikir Saya.
 
Ketika bertemu di mana Saya dan Nalia saling bertatapan mata, Saya kerap menemukan sorot mata itu. Entahlah. Namun lebih jelasnya bahwa sorot mata itu membuat Saya menduga bahwa Nalia mencintai Saya. Dan kedatangan surat cinta dari Nalia yang dititipkan lewat teman Saya membuat dugaan Saya menjadi nyata. Nalia memang mencintai Saya.
 
Setelah membaca surat itu, Saya ingin segera bertemu dengan Nalia. Namun, karena malam itu adalah malam di hari terakhir ujian semester ganjil yang setelah itu banyak mahasiswa yang pulang, termasuk juga Nalia, maka Saya harus menunggu.
 
Sebenarnya kalau mau, Saya bisa menelepon atau mengirim SMS. Akan tetapi, apakah pantas untuk hal seperti itu, pikir Saya.
 
Hampir tiap malam ketika rebah di punggung kasur, bayangan Nalia muncul tersenyum dan menyapa. Kemudian Saya mengajak dia berbicara dan bermain. Bercanda dan tertawa. Menyanyi dan menari. Sementara surat cinta dari Nalia yang lungset akibat terlalu sering Saya baca itu tergeletak di punggung kasur tanpa daya.
*
 
Pagi itu Saya bertemu Nalia lagi di kampus. Dia sedang membaca daftar nilai yang terpampang di papan pengumuman. Ketika saling bertatapan, Saya lihat sorot mata itu. Terpendam begitu lama.
Saya ajak Nalia duduk di bawah rerindangan pohon yang cukup sepi dari mondar-mandir mahasiswa.
 
“Apa kabarmu?” kata Nalia membuka percakapan setelah saling terdiam beberapa saat.
“Baik. Kau?”
“Hem?, baik juga,” kata Nalia kemudian tertawa. Suasana tenang kembali.
“Bagaimana nilaimu?” kata Nalia.
“Belum lihat. Kau?”
“Lumayan,” Nalia tersenyum. Saya dan Nalia terdiam beberapa saat.
“Nalia,? ehm, suratmu,? kemarin…,” Saya diam sejenak. Dua jenak. Cukup lama.
 
“Hem.”
“Nalia. Benar suratmu kemarin, ehm,?.”
Tiba-tiba Nalia bangkit sembari mengelakkan tangan Saya yang hendak memegang tangannya.
“Kau bangsat. Katakan saja, kau tak mencintaiku. Dan pergilah kepada perempuan idealmu itu.”
“Nalia?”
“Laki-laki pengecut!!!”
 
“Nalia, apa?”
“Lihat kakimu. Lihatlah!!!” tunjuk Nalia. “Kau berpijak di tanah. Bagaimana kau bisa hidup di awang-awang?! Bercinta dengan bayang-bayang. Ini dunia. Realita. Bukan lamunan. Alam mimpi. Khayalan.”
 
“Apa maksudmu, Nalia.”
“Apa maksudmu, Nalia, heh!? Kau ini gila. Ganjil. Sakit. Abnormal. Kau tidak pantas hidup di dunia ini.” Saya diam ternganga. Melihat pipi Nalia berlumuran air mata.
“Aku tahu, kau juga mencintaiku. Tapi, kau menolaknya. Dan itu adalah karena kau hidup di dunia orang-orang sinting.” Nalia bergegas pergi.
 
Saya diam dengan pikiran berguling-gulingan. Seluruh perkataaan Nalia masih lekat dalam memori Saya. Benarkah Saya gila? Ganjil? Sakit? Abnormal? Dan tidak pantas hidup di dunia ini?!
Saya berlari memanggil Nalia. Ingin bicara dengannya.
 
2006
 
Untukmu:
(maafkan aku,
jika pernah lebih mencintai
bayang-bayang yang kuciptakan
dari dirimu.)
 
Ket:
Waton njeplak cangkeme : asal bicara saja mulutnya.
Neraka adalah orang lain; merupakan pandangan eksistensialisme Sartre.
 
http://sastra-indonesia.com/2008/11/laki-laki-dari-pulau-salju/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae