Awalludin GD Mualif
NOVEL sebagai bagian dari karya sastra, mempunyai bentuk dan proses penceritaanya sendiri yang terikat dalam hukum-hukumny sendiri. Proses dan bentuk yang menghasilkan kecemasan, ketakutan serta harapan, sebab akibat, penyampaian gagasan, nilai dan pesan-pesan dalam frame dan dunia yang diciptakan penulisnya. Seperti Tuhan yang menciptakan semesta, sebagai latar bagi manusia, demikian juga manusia (penulis) mencipta karya sastra, dimana unsur sastra menjadi latar bagi para tokoh-tokoh yang digambarkan oleh penulis.
NOVEL sebagai bagian dari karya sastra, mempunyai bentuk dan proses penceritaanya sendiri yang terikat dalam hukum-hukumny sendiri. Proses dan bentuk yang menghasilkan kecemasan, ketakutan serta harapan, sebab akibat, penyampaian gagasan, nilai dan pesan-pesan dalam frame dan dunia yang diciptakan penulisnya. Seperti Tuhan yang menciptakan semesta, sebagai latar bagi manusia, demikian juga manusia (penulis) mencipta karya sastra, dimana unsur sastra menjadi latar bagi para tokoh-tokoh yang digambarkan oleh penulis.
Sang penulis dan tokoh
Tentu saja penulis boleh membuat alur cerita sesuai
dengan gagasan yang akan disampaikan tanpa harus terhubung dengan alam dan
Tuhan. Latar, alur, tema masuk ke dalam sebuah novel, dan sosok tokoh yang
dihadirkan dalam balutan cerita. Tanpa tokoh yang bergerak di latar, alur dan
tema, maka novel hanya menjadi karya sastra yang membisu bagi pembaca. Karena
kehadiran tokoh dapat membentuk jalinan makna bagi pembaca. Disitulah sebuah
novel akan bertaruh dengan kedalaman jiwa sang tokoh. Entah tokoh itu diangkat
dari sebuah kisah nyata maupun fiksi belaka.
Sebagaimana Tuhan yang menciptakan semesta, bumi langit
seisinya yang beriringan dengan garis Takdir perjalanan penghuni (mahluk) di
dalamnya yang telah ditentukan-Nya. Sang penulis pun mempunyai peranan yang
sama seperti peran Tuhan, Tokoh yang diciptakan dalam karya novel menjadi
bagian terpenting, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai
karakteristiknya, bersuku-suku, berbangsa-bangsa demi memimpin seluruh karya
ciptaan-Nya yang agung berupa semesta. Penulis dalam novel pun mempunyai
peranan yang sama. Menjadi sutradara besar dalam menentukan latar, alur, tema
serta karakteristik tokoh yang dihadirkan.
Santri dala(M)afia untuk Siapa?
Pesantren mempunyai dunianya sendiri dalam melihat, menghayati,
dan mengamalkan jalan hidup berdasarkan nilai-nilai ajaran ke Ilahiaan yang
turun merasuk ke setiap sendi-sendi kehidupan di dunia melalui para utusan-Nya.
Seorang Kyai sebagai sumber mata air keilmuan tak akan surut termakan jaman,
meski beribu-ribu santri menimbanya hingga jutaan liter. Sebagaiamana kehidupan
sosial bermasyarakat dengan beragam mozaik-mozaik yang melingkupinya, di
Pesantren pun terjadi pola-pola hidup yang sama pula. Santri bak masyarakat,
mempunyai cara pandang tersendiri dalam melakoni hidupnya. Tuntutan menggali
ilmu pengetahuan seluas-luasnya tidak lantas menjadikan pola hidup keseharian
mereka berjalan linier/monoton. Bahkan sebaliknya, kehidupan santri di
pesantren berjalan begitu dinamis.
Novel “Mafia Three In One” karya Muhammad Mahrus dengan
tokoh utama bernama “Sofi” mensiratkan pelbagai bentuk hikmah dan peristiwa
yang sejatinya pun dialami di dunia luar Pesantren. Pemilihan nama tokoh “Sofi”
sebagai penggerak bagi keberlangsungan tradisi pesantren yang telah turun-temurun
dan mengakar di kalangan santri menjadi sebuah “tanda tanya” tersendiri dalam
novel ini. Sebagaiamana dalam dunia Islam kita mengenal para Sufi yang
memperkenalkan ketauhidtan pada umat dengan cara-cara yang bagi sebagian
kalangan dianggap “nyeleneh” teringat satu maqolah
“Takhallak bihulkil illah” berperangailah perangai Tuhan. Ketika seorang
manusia berperangai Tuhan, maka nalar logika akan terputus untuk mengikutinya,
sebab cakupannya lebih pada naluria. Para Sufi-sufi besar dalam tradisi dunia
Islam telah menggoreskan tinta emasnya dalam sejarah perjalanan Islam dari
waktu ke waktu. “Seakan-akan” apa yang dilakukan oleh para Sufi kontradiktif
dengan nilai-nilai ajaran agama, tetapi pada hakikatnya TIDAK. Dalam skala yang
kecil tokoh Sofi dihadirkan guna memberikan sebuah pilihan dalam melakoni tholabul
ilmi di Pesantren. Ia dihadapkan dengan peraturan-peraturan,
dihadapkan dengan kebijakan-kebijakan dan tradisi-tradisi yang secara esensisal
dalam pandangan tokoh Sofi bukan hanya sebatas itu.
Bersama Imron, Rohim dan Abdul. Sofi memberikan
pilihan-pilihan cara pandang berbeda yang tidak lazim bagi kalangan pesantren.
Meski terkadang terasa kontroversi bahkan radikal tetapi luapan-luapan ide yang
terlontarkan masih dalam koridor nilai-nilai ajaran Islam, walaupun terkadang
tidak selaras dengan peraturan pesantren. Dengan apik novel ini menggambarkan
intrik yang dalam kehidupan sehari-hari dirasakan oleh setiap orang dalam
bermasyarakat.
Tokoh Sofi dihadirkan sebagai representasi dari
pengalaman-pengalaman seorang santri yang menuntut ilmu di pesantren. Daya
nalar kritis serta panggilan nurani membawa Sofi beserta genknya memasuki
alam-alam yang “seakan-akan” dianggap “tabu”. Tanpa ragu ia akan
mengatakan tempe jika itu adalah tempe, ia akan mengatakan tahu jika
itu memang tahu. Keresahan demi keresahan yang terus menerus ia rasakan
hingga “memaksa” atau “dipaksa” oleh keadaan guna melahirkan sebuah
“pembaharuan” dalam memandang pola kehidupan di pesantren. Meski
gagasan-gagasan yang ia lontarkan menjadikannya menerima pelbagai hujatan dan
makian. Gerak-gerik cultural Sofi dan genknya berujung pada peraduan manis,
hingga ia duduk di ranah organisasi pesantren struktural. Kepuasaan masih belum
didapat, ia masih berjalan di padang sahara mendamba oase berada tepat di
pelupuk matannya. Hingga badan lahir terpisah dari pesantren.
Cinta, Rasa-merasa
Seseorang berhak mengungkapkan rasa cinta dengan caranya
masing-masing. Sebagaimana sholawat sebagai bentuk ungkapan rasa cinta umat
Islam kepada junjungannya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Seorang laki-laki
menghadiahkan sekuntum bunga pada perempuan pujaan dll. “Innal
muhibbah lima yuhibbaul muthi’”sesungguhnya manusia akan diperbudak oleh
apa yang dia cintai. Begitu pun Sofi, seluruh gerak-gerik dirinya dan
genknya adalah wujud ungkapan rasa cinta terhadap keberlengsungan pesantren.
Apapun yang dilakukan oleh Sofi beserta genknya hingga mendapatkan cap “MAFIA”
tak lain, tak bukan adalah sebuah wujud ungkapan dari rasa cintanya terhadap
dunia pesantren.
Rasa cinta itu mewujud kedalam kebebasan imajinasi,
berfikir, berexpresi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu, dari
keresahan-keresahan yang dirasakannya, ia terus bergerak liar menjangkau dunia.
Menjadi tandingan dunia dalam bingkai kata-kata. Tempat dimana manusia dapat
memetik pelajaran, hikmah, pengalaman darinya, lalu dihempaskan kembali ke
dalam pesantren. Novel Mafia Three in one karya Muhammad Mahrus ini mampu
masuk ke alam pikiran pembaca. isi kisah yang tertuang di alur
cerita menempuh jalan berliku, dipenuhi oleh peristiwa, renungan, dan khayalan
bahkan pengharapan dari seorang santri, pada dan atau untuk teman seperjuangan
hingga naik pada kandungan saraf-saraf otak para pemangku kebijakan di dalam
pesantren, dan berujung pada “dunia”.
Salam hangat, Matur Nuwun Novelnya
Awalludin GD. Mualif
Yogyakarta 22 Januari 2015 (Sastra Sewu, Yogyakarta) Kopi
Hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar