Ahmad Naufel *
http://www.riaupos.co
Kematian adalah peristiwa kelahiran kembali jiwa menuju muara keabadiannya. Karena itu, ia mengandung mozaik ketakterhinggan di mana nalar tidak akan bisa menjangkaunya. Sebab, kematian ada lah muara dari segala gemuruh yang tertampung dalam hidup ini. Ada-menuju-Kematian (Sein-zum-Tode) demikian kata filsuf-metafisikus Jerman, Martin Heidegger.
Kematian menjadi jarak pemi sah antara rasa yang dialami ja sad dan rasa yang akan dialami ruh. Ia adalah momen transisi atau rentang peristiwa tentang keterputusan yang menyimpan misteri. Kematian sebagai misteri sulit diungkap karena pengalaman manusia tidak akan pernah menembusnya.
Hanya saja imajinasi manusia tentang kematian tidak pernah berhenti, tetap berhembus dari zaman ke zaman. Penglihatan secara fisik tentu akan menimbulkan rasa getir, gemetar dan takut hingga termanifestasikan dalam bentuk spiritualitas. Muncullah agama untuk menawarkan ketenangan bagi manusia yang akan menuju lorong eskatologis itu.
Penyair Pakistan, Muhammad Iqbal mengafirmasinya dengan larik sajaknya: Kukatakan padamu tanda seorang mukmin/ Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir/ Meninggal dalam suasana tenang/ Dengan senyum mengembang di bibir. Agama di sini dikonstruksikan oleh Iqbal sebagai oase yang menyejukkan, yang akan meng antarkan manusia ke depan ambang kebahagiaan abadi. Seolah-olah mereka yang mati dengan bibir tersenyum telah paripurna dengan ilusi duniawi. Dan jiwa kembali ke peraduan keabadiannya dengan tenang.
Eksistensi manusia memberi suntikan kuat bagi timbulnya imajinasi tentang kematian. Tetapi imajinasi itu tidak akan sampai pada hakikat yang dikehendakinya, yaitu, menyingkap tabir misteri kematian secara gamblang tanpa tedeng aling-aling. Labirin masa depan yang misterius itu meskipun tanpa dikehendaki tetap akan datang dan tak ada yang bisa membendungnya. Kecongkakan Ramses II untuk hidup selama-lama nya dan menjadi abadi pada akhirnya tertelan oleh misteri kematian. Karena dia tidak sadar bahwa menjadi abadi harus mati terlebih dahulu.
Lonceng kematian yang datang secara tiba-tiba telah mengilhami Subagyo Sastrowardoyo melahirkan larik: Dan kematian makin akrab. Membaca larik sajak Subagyo, kita ditarik untuk terus me nyadari bahwa hari-hari yang dilalui manusia adalah pergulatan dengan kematian.
Namun, kematian tidak melulu identik dengan kemencekaman. Kematian tetaplah suatu peristiwa yang selalu mengundang reaksi dan pemberian makna. Lepasnya jiwa dari jasad semata-mata adalah momen menuju kelahiran kehidupan baru yang tidak lagi inheren dengan perangkap du niawi. Dalam Puisi Kematian Rabindranath Tagore (2015), Raka Santeri menyebut bahwa bagi Rabindranath Tagore, penyair Asia peraih Nobel sastra 1913, jiwa bukanlah sesuatu yang abs trak, tetapi kongkret, layaknya wujud seorang ibu. Sedangkan kematian adalah pelukannya untuk memberi kelahiran baru.
Lain halnya dengan pengamatan saintifik-medis yang akan menjustifikasi bahwa kamatian tidak akan pernah dirasakan tanpa diala mi karena hanya dilihat dari sisi fisik dan bilogisnya. Sedangkan yang mengalami, telah terkubur dan tidak akan bangkit untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Tanpa melalui penghayatan dan lompatan imajinasi, kematian akan menjelma sesuatu yang mengerikan. Berbeda bagi sejumlah penyair yang menghidangkannya dengan narasi yang seolah-olah telah dan akan dialaminya dengan suasana estetis walaupun tetap dalam balutan misteri. Nuansa estetis kematian kian menemukan pijakannya lewat larik sajak Aslan Abidin: Tak ada yang mencintaimu setulus kematian. Aslan berhasil menghempas suasana getir dengan menawarkan romantika yang berjejak dalam setiap dimensi tentang kematian.
Chairil Anwar dalam Yang Terhempas dan Putus (1949) menulis: Di Karet di Karet (daerahku y. a. d) sampai juga deru dingin. Karet memang jadi tempat Chairil dimakamkan. Baginya kematian bukanlah suatu ancaman dan tidak perlu takut menghadapinya. Kesadaran Chairil akan kepastian datangnya kematiaan menjadi alasan bahwa hidup harus dihayati seda lam-dalamnya. Agar dapat merasakan manisnya intisari hidup ini.
Sajak Chairil tersebut mengi ngatkan juga pada sajak Kriapur Kupahat Mayatku di Air (1981): kupahat mayatku di air/ namaku mengalir/ pada batu dasar kali kuberi wajahku/ pucat dan beku. Sajak ini menjelma semacam deja vu, yang pada ahirnya kecelakaan merenggut nyawa Kriapur dan menenggelamkannya ke dasar kali bagaikan bait-bait sajaknya yang pucat-pasi.
Di dalam genggaman para penyair, kematian menjelma sebagai peristiwa yang tidak harus ditakuti. Kematian adalah pemantik spirit agar dinamika hidup ini harus diisi dengan nuansa yang bermakna. Tetapi, ketumpulan imajinasi dan pudarnya penghayatan akan menenggelamkan seseorang dalam lautan kengerian saat berbicara tentang ihwal kematian. Agama mampu menjadi wahana yang meneduhkan bagi orang yang penghayatannya benar-benar mendalam. Jika tidak, kita hanya menjalani ritual dalam kehampaan.
Ketidakmungkinan untuk menegasi kematian membuat kita harus mengafirmasinya. Tetapi afirmasi yang dilakukan juga tidak disandarkan pada kehendak individualisme destruktif demi kepentingan dirinya sendiri, seperti yang dilakukan individu atau perusahaan yang membakar hutan yang menyebabkan masyarakat terpapar asap di Sumatera dan Kalimantan. Nyawa tidak bisa ditukar dengan segala ihwal kebendaan. Bagi korban asap atau bahkan Wiji Thukul kematian adalah kebenaran.
Jika hidup telah berhasil dimaknai dengan mengaksentusi kebenaran, maka mati adalah pembuktian bahwa kebenaran tidak akan pernah terkalahkan. Dan dengan mati, mereka (para pembela kebenaran) menjadi abadi. Sehingga diksi “mukmin” dalam sajak Muhammad Iqbal di atas bukan sekadar bagi orang Islam belaka, tetapi bagi semua umat manusia yang menjunjung tinggi kebenaran.
Ahirnya dengan lantang Tan Malaka bergelegar “Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”. Kematian menjadi bukti bahwa kebenaran akan tetap berdengung melintasi masa demi masa.***
*) Ahmad Naufel, Pengelola Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta
http://www.riaupos.co/2784-spesial-imajinasi-kematian-para-penyair.html
http://www.riaupos.co
Kematian adalah peristiwa kelahiran kembali jiwa menuju muara keabadiannya. Karena itu, ia mengandung mozaik ketakterhinggan di mana nalar tidak akan bisa menjangkaunya. Sebab, kematian ada lah muara dari segala gemuruh yang tertampung dalam hidup ini. Ada-menuju-Kematian (Sein-zum-Tode) demikian kata filsuf-metafisikus Jerman, Martin Heidegger.
Kematian menjadi jarak pemi sah antara rasa yang dialami ja sad dan rasa yang akan dialami ruh. Ia adalah momen transisi atau rentang peristiwa tentang keterputusan yang menyimpan misteri. Kematian sebagai misteri sulit diungkap karena pengalaman manusia tidak akan pernah menembusnya.
Hanya saja imajinasi manusia tentang kematian tidak pernah berhenti, tetap berhembus dari zaman ke zaman. Penglihatan secara fisik tentu akan menimbulkan rasa getir, gemetar dan takut hingga termanifestasikan dalam bentuk spiritualitas. Muncullah agama untuk menawarkan ketenangan bagi manusia yang akan menuju lorong eskatologis itu.
Penyair Pakistan, Muhammad Iqbal mengafirmasinya dengan larik sajaknya: Kukatakan padamu tanda seorang mukmin/ Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir/ Meninggal dalam suasana tenang/ Dengan senyum mengembang di bibir. Agama di sini dikonstruksikan oleh Iqbal sebagai oase yang menyejukkan, yang akan meng antarkan manusia ke depan ambang kebahagiaan abadi. Seolah-olah mereka yang mati dengan bibir tersenyum telah paripurna dengan ilusi duniawi. Dan jiwa kembali ke peraduan keabadiannya dengan tenang.
Eksistensi manusia memberi suntikan kuat bagi timbulnya imajinasi tentang kematian. Tetapi imajinasi itu tidak akan sampai pada hakikat yang dikehendakinya, yaitu, menyingkap tabir misteri kematian secara gamblang tanpa tedeng aling-aling. Labirin masa depan yang misterius itu meskipun tanpa dikehendaki tetap akan datang dan tak ada yang bisa membendungnya. Kecongkakan Ramses II untuk hidup selama-lama nya dan menjadi abadi pada akhirnya tertelan oleh misteri kematian. Karena dia tidak sadar bahwa menjadi abadi harus mati terlebih dahulu.
Lonceng kematian yang datang secara tiba-tiba telah mengilhami Subagyo Sastrowardoyo melahirkan larik: Dan kematian makin akrab. Membaca larik sajak Subagyo, kita ditarik untuk terus me nyadari bahwa hari-hari yang dilalui manusia adalah pergulatan dengan kematian.
Namun, kematian tidak melulu identik dengan kemencekaman. Kematian tetaplah suatu peristiwa yang selalu mengundang reaksi dan pemberian makna. Lepasnya jiwa dari jasad semata-mata adalah momen menuju kelahiran kehidupan baru yang tidak lagi inheren dengan perangkap du niawi. Dalam Puisi Kematian Rabindranath Tagore (2015), Raka Santeri menyebut bahwa bagi Rabindranath Tagore, penyair Asia peraih Nobel sastra 1913, jiwa bukanlah sesuatu yang abs trak, tetapi kongkret, layaknya wujud seorang ibu. Sedangkan kematian adalah pelukannya untuk memberi kelahiran baru.
Lain halnya dengan pengamatan saintifik-medis yang akan menjustifikasi bahwa kamatian tidak akan pernah dirasakan tanpa diala mi karena hanya dilihat dari sisi fisik dan bilogisnya. Sedangkan yang mengalami, telah terkubur dan tidak akan bangkit untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Tanpa melalui penghayatan dan lompatan imajinasi, kematian akan menjelma sesuatu yang mengerikan. Berbeda bagi sejumlah penyair yang menghidangkannya dengan narasi yang seolah-olah telah dan akan dialaminya dengan suasana estetis walaupun tetap dalam balutan misteri. Nuansa estetis kematian kian menemukan pijakannya lewat larik sajak Aslan Abidin: Tak ada yang mencintaimu setulus kematian. Aslan berhasil menghempas suasana getir dengan menawarkan romantika yang berjejak dalam setiap dimensi tentang kematian.
Chairil Anwar dalam Yang Terhempas dan Putus (1949) menulis: Di Karet di Karet (daerahku y. a. d) sampai juga deru dingin. Karet memang jadi tempat Chairil dimakamkan. Baginya kematian bukanlah suatu ancaman dan tidak perlu takut menghadapinya. Kesadaran Chairil akan kepastian datangnya kematiaan menjadi alasan bahwa hidup harus dihayati seda lam-dalamnya. Agar dapat merasakan manisnya intisari hidup ini.
Sajak Chairil tersebut mengi ngatkan juga pada sajak Kriapur Kupahat Mayatku di Air (1981): kupahat mayatku di air/ namaku mengalir/ pada batu dasar kali kuberi wajahku/ pucat dan beku. Sajak ini menjelma semacam deja vu, yang pada ahirnya kecelakaan merenggut nyawa Kriapur dan menenggelamkannya ke dasar kali bagaikan bait-bait sajaknya yang pucat-pasi.
Di dalam genggaman para penyair, kematian menjelma sebagai peristiwa yang tidak harus ditakuti. Kematian adalah pemantik spirit agar dinamika hidup ini harus diisi dengan nuansa yang bermakna. Tetapi, ketumpulan imajinasi dan pudarnya penghayatan akan menenggelamkan seseorang dalam lautan kengerian saat berbicara tentang ihwal kematian. Agama mampu menjadi wahana yang meneduhkan bagi orang yang penghayatannya benar-benar mendalam. Jika tidak, kita hanya menjalani ritual dalam kehampaan.
Ketidakmungkinan untuk menegasi kematian membuat kita harus mengafirmasinya. Tetapi afirmasi yang dilakukan juga tidak disandarkan pada kehendak individualisme destruktif demi kepentingan dirinya sendiri, seperti yang dilakukan individu atau perusahaan yang membakar hutan yang menyebabkan masyarakat terpapar asap di Sumatera dan Kalimantan. Nyawa tidak bisa ditukar dengan segala ihwal kebendaan. Bagi korban asap atau bahkan Wiji Thukul kematian adalah kebenaran.
Jika hidup telah berhasil dimaknai dengan mengaksentusi kebenaran, maka mati adalah pembuktian bahwa kebenaran tidak akan pernah terkalahkan. Dan dengan mati, mereka (para pembela kebenaran) menjadi abadi. Sehingga diksi “mukmin” dalam sajak Muhammad Iqbal di atas bukan sekadar bagi orang Islam belaka, tetapi bagi semua umat manusia yang menjunjung tinggi kebenaran.
Ahirnya dengan lantang Tan Malaka bergelegar “Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”. Kematian menjadi bukti bahwa kebenaran akan tetap berdengung melintasi masa demi masa.***
*) Ahmad Naufel, Pengelola Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta
http://www.riaupos.co/2784-spesial-imajinasi-kematian-para-penyair.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar