Selasa, 21 Oktober 2014

Mandela dan Religiositas

Ignas Kleden
Kompas, 13/01/14

RICHARD Stengel yang membantu Nelson Mandela menulis otobiografinya, Long Walk to Freedom, mengenang kembali persahabatannya dengan almarhum dalam laporan utama Time Nomor 26, 2013.

Di antara berbagai catatannya, ada pernyataan yang kiranya menarik perhatian pembaca. Dia menulis: ”Tidak sekali pun saya mendengar dia (Mandela, IK) menyebut Tuhan, surga, atau sesuatu yang berhubungan dengan akhirat. Nelson Mandela percaya akan keadilan dalam masa hidupnya di dunia ini.”


Catatan itu dapat menimbulkan rasa heran karena beberapa kebajikan dalam watak Mandela segera membawa asosiasi kita kepada kehidupan asketis yang diajarkan dalam agama-agama. Keteguhan hatinya dalam penjara, khususnya 18 tahun dalam sel 2 meter x 2 meter di Robben Island, bekas tempat pembuangan penderita kusta, sikap tanpa putus harapan dalam perjuangan amat panjang menentang diskriminasi, ketegarannya menolak kompromi dan gratifikasi, kebesaran hatinya mengatasi dendam dan memaafkan orang yang telah menghukumnya dengan sewenang-wenang—semua itu merupakan kombinasi keyakinan dan kekuatan moral yang membuat seluruh dunia tercengang.

Sebuah rahasia yang menjelaskan daya tahannya menghadapi penderitaan dan tekanan ialah karena dia tak pernah menyerahkan kemerdekaannya kepada mereka yang menahannya dalam penjara selama 27 tahun. Ini dilakukannya dengan dua cara. Pertama, dia yakin bahwa pihak yang menjebloskannya ke dalam tahanan dapat merampas segala sesuatu yang ada pada dirinya, kecuali pikiran dan hatinya.

Musuh-musuhnya tak dapat merampas pikiran dan hatinya serta Mandela tak pernah menyerahkan pikiran dan hatinya kepada mereka penghukumnya.

Kedua, dia berjuang keras mengatasi rasa benci kepada mereka yang menganiayanya. Dia berpendapat, kalau tetap membenci lawan-lawan politiknya, dia akan tetap tertawan sebagai tahanan dalam dendam kesumatnya, sekalipun dia sudah bebas dari penjara. Tentang rasa dendam ini, akhirnya dia berkata, ”I let it go.”

Mandela dilahirkan pada 1918 menjelang akhir Perang Dunia I di Desa Mvezo, Distrik Umtata, ibu kota Transkei yang terletak 550 mil di selatan Johannesburg. Ayahnya seorang ketua adat yang diangkat Raja Thembu dengan restu Pemerintah Inggris dan punya empat istri. Ibu Mandela adalah istri ketiga yang kemudian pindah ke Desa Qunu setelah suaminya kehilangan jabatan karena membangkang kepada Pemerintah Inggris.

Pendidikan formal Mandela dari sekolah dasar hingga ke pendidikan tinggi ia tempuh di lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelola misionaris Gereja Kristen Metodis dari Inggris. Di Qunu dia masuk sekolah dasar dan berkenalan dengan pendidikan dan pengajaran bergaya Inggris. Para murid mendapat nama Inggris dari guru kelas dan Mandela diberi nama Nelson, yang diambil dari nama seorang kapten laut Inggris, Lord Nelson. Nama ini kemudian lebih dikenal dari nama yang diperolehnya di desa kelahirannya, yaitu Rolihlahla, sebuah idiom bahasa Xhosa yang berarti ’troublemaker’.

Dari Qunu dia dipindahkan ibunya ke Mghekezweni, sebuah pusat misi Gereja Metodis, dengan penduduk yang dididik dengan gaya hidup Inggris dalam berpakaian, tutur kata, dan kehidupan agama. Mandela tinggal di rumah seorang regen, kenalan almarhum ayahnya, yang mengatur tempat tinggalnya sebagai pejabat kelas menengah Afrika dengan disiplin tinggi dalam Great Palace. Mandela meneruskan pendidikan dasarnya bersama anak-anak regen dan di sinilah, khususnya di sekolah Clarkebury, matanya terbuka kepada dunia Barat yang amat berbeda dengan Desa Qunu yang menyimpan masa kecilnya dalam lingkungan serba idylis.

Pada usia 19 tahun, dia masuk Sekolah Guru Healdtown di Fort Beaufort, sebuah pos Inggris paling luar di abad ke-19, tempat orang putih berusaha merebut tanah penduduk dan harus berhadapan dengan pejuang suku Xhosa yang gagah perkasa. Setelah melewati konflik dan pertempuran selama lebih dari 100 tahun, orang-orang putih dapat merebut seluruh tanah di Fort Beaufort, sementara pejuang Xhosa yang gugur memperoleh kemasyhuran turun-temurun dengan riwayat yang didengar Mandela dari penuturan orang-orang tua.

Selanjutnya pendidikan tinggi setingkat universitas ia peroleh di Kolese Fort Hare, 20 mil sebelah timur Healdtown, satu-satunya pendidikan tinggi untuk penduduk hitam di Afrika Selatan. Dari sinilah, dari antara hanya 150 mahasiswa yang belajar di sana lahir sarjana-sarjana Afrika Selatan dan Afrika Timur, yang menganggap Kolese mereka Oxford dan Cambridge atau Harvard dan Yale di Afrika. Setelah lulus mereka memperoleh gelar BA, yang memungkinkan mereka masuk ke dalam lingkungan elite Afrika dengan kemungkinan kerja dan penghasilan sangat baik. Di lembaga pendidikan ini yang didirikan misionaris Skotlandia pada 1916, para pendidik kulit putih yakin, mereka dapat menghasilkan tamatan yang menjadi the black Englishmen, orang Inggris berkulit hitam.

Menolak diskriminasi

Barangkali itulah harapan umum para penjajah di berbagai belahan dunia tatkala mereka memperkenalkan pendidikan Barat modern di koloni mereka. Namun, kita tahu dari sejarah pendidikan kolonial di Indonesia, harapan itu tak selalu terpenuhi karena pengajaran yang mengarahkan cara berpikir yang benar, dan pendidikan yang membentuk kepribadian yang etis, kemudian menghasilkan lulusan yang melihat kepincangan dan ketakadilan dalam tiap proyek penjajah. Seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka di Indonesia, Nelson Mandela kemudian menetapkan sikap politiknya: menolak diskriminasi dan apartheid di Afrika Selatan dan menegakkan persamaan dan keadilan untuk semua penduduk.

Sejak pendidikan dasarnya di Qunu, dia diajar bahasa Inggris, kebudayaan, dan pemikiran-pemikiran Inggris, diperkenalkan dengan lembaga-lembaga Inggris, seakan-akan Afrika tak punya sesuatu pun untuk dipelajari. Namun, dari ayahnya dia belajar sejak dini sekali bahwa otoritas kolonial bisa melakukan kesalahan dan dapat dilawan meski dengan berbagai risiko yang harus ditanggung. Di Fort Hare tempat dia belajar antropologi, ilmu politik, administrasi pemerintahan lokal, dan sistem hukum Romawi-Belanda, dia berkenalan dengan beberapa seniornya yang dengan terus terang mengkritik kebijakan kolonial. Dikatakan bahwa pendidikan Barat seakan-akan memberi penghidupan yang lebih baik kepada para lulusannya, sementara itu semua yang berharga dari Afrika telah habis dirampas: hak-hak dan tanah penduduk, kebudayaan dan nilai-nilai lokal, terutama sekali kemerdekaan mereka. Ada kenyataan pahit dan keras yang harus dihadapi dan tak selayaknya kaum intelek-tual menutup mata terhadap realitas itu.

Setelah ia bergabung dengan African National Congress (ANC), perjuangan menentang diskiriminasi ini menjelma jadi tujuan hidupnya. Ia mempersembahkan hidup matinya untuk cita-cita itu. Setelah pembantaian besar di Sharpeville pada Maret 1960 tatkala polisi menembak mati 69 penduduk kulit hitam, Mandela, yang banyak diilhami Gandhi dengan prinsip satyagrahanya, berubah pikiran. Dia melihat satyagraha atau sikap tanpa kekerasan bukanlah prinsip, melainkan suatu taktik. Dia teringat kearifan lokal sukunya, Sebatana ha se bokwe ka diatla: serangan binatang buas tak dapat dihadapi dengan tangan kosong. Dia akhirnya membentuk dan memimpin Spear of the Nation, sayap bersenjata dalam ANC.

Dengan tuduhan melakukan komplotan bersenjata, ia harus menghadapi pengadilan. Setelah membacakan pleidoinya selama empat jam, Mandela menutup naskah pembelaannya dan berkata kepada hakim: ”Saya telah mempersembahkan seluruh hidup saya kepada perjuangan bangsa Afrika. Saya telah menjunjung tinggi ideal suatu masyarakat demokratis yang bebas, tempat semua orang hidup damai dan mempunyai kesempatan yang sama. Maka, bila perlu, Yang Mulia, saya pun siap mati untuk ideal tersebut.”

Seperti pernyataan iman

Pidato itu terdengar seperti pernyataan iman yang menandai perubahan besar dalam penjara. Yang ia ucapkan bukanlah isapan jempol untuk gagah-gagahan seperti yang kerap kita dengar dari politisi Indo-nesia sekarang, tapi suatu sumpah yang diwujudkan dengan berbagai korban tak terperikan: 9 tahun dalam penjara Pretoria, 18 tahun dalam penjara Robben Island, kehilangan istri dan anak, kehilangan tahun-tahun paling produktif dalam hidupnya, sambil mengelola rasa benci dan dendam sampai dapat mengatasinya. Pendirian politik Mandela berangsur-angsur berubah menjadi suatu keyakinan religius dalam pertapaannya di sel penjara.

Para penulis biografinya tak habis pikir: dari mana Mandela menimba kekuatan tak menyerah, tak membiarkan diri hancur oleh benci dan dendam, dan sanggup mengatasi kegetiran nasibnya dengan memaafkan mereka yang menghukumnya demikian lama? Hal ini biasanya terjadi pada orang-orang yang hidup dengan keyakinan agama yang teguh dan tak tergoyahkan.

Namun, Mandela tak dikenal sebagai anggota suatu denominasi meski seluruh pendidikannya berada di bawah bimbingan dan pengaruh Gereja Kristen Metodis. Sebagai anggota suku Xhosa, ia hidup sedari kecil dibimbing tiga hal: adat-istiadat, ritual, dan tabu. Bayangan dan keinginannya setelah mati bukan surga dalam pengertian agama, melainkan perjumpaan kembali dengan para leluhurnya.

Sangat mungkin prinsip hidup suku Xhosa itulah yang ia terjemahkan menjadi prinsip negara modern: persamaan dan keadilan adalah adat-istiadat manusia; demokrasi adalah ritual yang suci; sementara pelanggaran HAM tabu yang tak boleh diabaikan apabila orang tak mau mengundang datang kutukan. Atas cara ini Mandela sengaja atau tidak telah mengubah pendirian politiknya menjadi keyakinan religius. Kemerdekaan politik Afrika Selatan meluas menjadi cita-cita keselamatan bagi semua manusia.

Bagi seluruh dunia, ini jadi pelajaran: orang tak sepantasnya memakai agama untuk tujuan politik praktis atau doyan mengutip ayat suci untuk menyembunyikan kebobrokan moral politiknya. Religiositas ala Mandela telah menyebabkan dia sanggup memerintah bukan dengan kekuasaan yang berasal dari jabatan formal, tetapi dengan suatu otoritas moral yang lahir dari religiositas mendalam. Kepada Bartholomaeus Grill, wartawan majalah Jerman Der Spiegel, ia berkata, ”Saya makin mendekati akhir hidupku. Saya ingin tidur selama-lamanya dengan sebuah senyum di wajahku.”

Sekarang ini setelah wafat pada 5 Desember 2013, Mandela tidur selama-lamanya di desa kelahirannya, Mvezo yang amat terpencil, dan dari tempat leluhurnya ia mungkin memberi senyum abadi pada semua orang di bumi yang ia cintai, kawan ataupun lawan.

Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae