Rabu, 16 Juli 2014

Menelusuri Konflik Kesusastraan Indonesia: “Lekra vs Manikebu”

Ali Irwanto
http://tumbuhkeatas.wordpress.com

Jarang yang tahu bahwa di sekitar masa huru-hara politik pertengahan dekade 60-an, juga berimbas pada dunia sastra Indonesia. Taufik Ismail menyebutnya Prahara Budaya. Pramoedya Ananta Toer menyebut Taufik dkk (para sastrawan Manikebu) sebagai pemecah kesatuan bangsa dan merongrong kekuasaan Soekarno. Berkembang selentingan bahwa Lekra membakar banyak buku yang tidak sejalan dengan ideologinya. Sastrawan yang enggan terlibat politik praktis berusaha menggalang kesatuan dengan suatu gerakan bernama Manifes Kebudayaan pada pertengahan tahun 1963. Namun, akhirnya Soekarno melarang Manikebu karena dianggap berusaha menandingi Manipol negara.

Apa itu Manikebu? Apa itu Lekra?

1. Sejarah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

Lekra adalah akronim dari Lembaga Kebudayaan Rakyat. Lekra adalah organisasi yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta. Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian dan ilmu. Diantara pendirinya adalah A.S Dharta, yang selanjutnya dipilih menjadi Sekretaris umum ( dalam Lekra tidak digunkan istilah ketua), Joebaar Ajoeb, kemudian menggantikan A.S Dharta (1958), Henk Ngantung, M.S Ashar, Iramani (Njoto). Seringkali Lekra disebut sebagai onderbouw PKI karena beberapa pendirinya adalah petinggi PKI. Namun tak ada pernyataan resmi soal ini, baik dari PKI maupun dari pihak Lekra.

Lekra termasuk anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional tapi Lekra sebagai organisasi lebih ketat daripada BMKN. Lembaga ini telah mendirikan 18 cabang di propinsi yang dikepalai oleh perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota lokal. Lembaga ini dalam perkembangannya menjadi sebuah badan yang homogen yang diikat dengan erat oleh ideologi Lekra.

Dalam menjalankan organisasinya, Lekra mempunyai pedoman yang disebut Mukadimah Lekra. Mukadimah Lekra dikeluarkan bersama saat pendiriannya dan disebut Mukadimah Lekra 1950. Kemudian Mukadimah ini direvisi pada tahun 1959 dan disebut Mukadimah 1959. Berdasar mukadimah ini, ada beberapa jargon yang dianggap lekat dengan Lekra seperti seni untuk rakyat, politik adalah panglima, realisme sosial serta ideologi di atas seni.

Seiring tumbangnya ideologi komunis di Indonesia pada akhir dekade 60, yang berarti terjadi pergantian penguasa politik di Indonesia, Lekra akhirnya dinyatakan terlarang sesuai TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966, tentang pelarangan komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya. Dengan ini Lekra benar-benar dianggap bagian dari PKI oleh rezim orde baru. Banyak anggota Lekra dipenjarakan setelah itu dan menjadi tahanan politik. Ada juga yang menyatakan sebagian sastrawan Lekra yang lain sudah terbunuh.

2. Manifes Kebudayaan (Manikebu)

Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pencetus utama Manifes Kebudayaan adalah HB Jassin, Wiratmo Soekito dan Trisno Soemardjo.

Manikebu oleh DN Aidit (Wakil Ketua MPRS dan Menteri Koordinator waktu itu) disebut sebagai pihak yang menentang NASAKOM. Bahkan penyebutan Manikebu tidak terbatas pada sastrawan saja, tapi juga merembet ke siapa saja yang tidak sehaluan dengan ideologi PKI. DN Aidit menyebut manifes kebudayaan sebagai “manikebu” sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak tersebut.

Pada tanggal 1-7 Maret 1964 terselenggara Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang didukung lembaga-lembaga sastra non aliran komunis termasuk pengusung Manikebu. KKPI terselenggara berkat dukungan militer sayap kanan seperti AH Nasution dan Ahmad Yani. Bahkan ketua presidiumnya adalah seorang Brigjen Dr. Sudjono. Disinyalir, Wiratmo Soekito juga bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.

Kemudian pada tanggal 8 Mei 1964, Soekarno menyatakan Manikebu sebagai ilegal, dengan alasan resmi yang dikemukakan ialah bahwa kecuali Manifesto Politik sebagai garis besar haluan negara, tidak ada manifesto lain yang diperbolehkan, terlebih-lebih karena Manifesto Kebudayaan Menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.

Manikebu lekat dengan jargon “humanisme universal” dan seni untuk seni serta, Pancasila sebagai falsafah kebudayaan. Jargon-jargon yang oleh PKI dianggap menentang Manipol/USDEK-nya Soekarno.

3. Kronologi Konflik

Juli 1959

Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang mengakhiri era demokrasi liberal parlementer dan memulai era demokrasi terpimpin dengan semboyan NASAKOM. Pasca dekrit, kekuatan politik PKI semakin naik sedangkan kubu religius terpukul setelah Masyumi dinyatakan terlarang oleh Soekarno. Ruang gerak kaum agamawan mulai diawasi ketat, termasuk para sastrawannya. Lekra mulai mendominasi kesusastraan Indonesia.

September 1962
Majalah Lentera (corong media Lekra) memuat tulisan yg menuduh bahwa karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah plagiat karya pengarang Arab, Manfaluthi. Hb Jassin (pimpinan Majalah Sastra) bereaksi membela Hamka dengan menerbitkan terjemahan karya asli Manfaluthi. Langkah ini tidak menyelesaikan masalah, Lentera semakin menjadi-jadi dalam mengejek Hamka. Mulai muncul sebutan kubu Jassin melawan kubu Pramoedya.

Awal Tahun 1963
Heboh di sekitar Hadiah Sastra yang diumumkan di awal 1963. Seperti biasa, di nomor pertama tahun baru majalah Sastra, Jassin mengumumkan pilihannya atas karya-karya terbaik dari majalah itu selama setahun sebelumnya. Tahun itu penerima hadiah terbaik untuk cerita pendek adalah Bur Rasuanto. Tak disangka-sangka, beberapa orang yang dipilih Jassin menolak untuk menerima penghargaan itu. Lentera memuat pernyataan mereka dengan antusias. Khususnya Virga Belan, seorang penulis yang dikenal tulisannya sejak nomor-nomor pertama Sastra, menggunakan alasan ideologis, dengan menekankan tuduhan bahwa sikap Sastra memang “kontrarevolusioner”.

Dalam terbitannya No. 11/12, Th. III majalah Sastra terdapat potret Pramudya Ananta Toer sedang duduk tersenyum bersama Ed Hoornik, seorang tokoh Sticussa, lembaga kerja sama kebudayaan Belanda yang oleh kalangan Lekra sendiri dikecam sebagai penerus politik “kolonialisme”. Yang hendak dicapai Sastra dengan cara kasar ini adalah bagaimana mendeskreditkan Pramoedya – walaupun foto itu sebenarnya tak dengan sendirinya mengesankan Pramoedya sebagai orang yang “pro-Sticussa”.

Tahun ini Hamka dipenjarakan karena tuduhan makar.

17 Agustus 1963

Manifes Kebudayaan diawali oleh diskusi beberapa sastrawan pada awal Agustus. Hasil dari diskusi tersebut kemudian dirumuskan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963. Setelah selesai dipelajari, akhirnya diterima oleh Gunawan Mohammad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan dalam diskusi tanggal 23 Agustus 1963. Diskusi tanggal 23 Agustus 1963 dihadiri oleh tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu Trisno Sumardjo, Zaini, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Bur Rusyanto, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanissan, Soe Hok Djin ( Arif Budiman ), Sjahwil, dan D.S Moeljanto. Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan siding pengesahan manifes kebudayaan. Selain itu terdapat sastrawan lain yang ikut menandatangani manifes seperti Ras Siregar, Hartoyo Andangdjaja, Sjahwil, jufri Tannisan, Binsar Sitompul, Taufik A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, Boen S. Oemarjati.

Maret 1964
Pada tanggal 1-7 Maret 1964 terselenggara Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang didukung lembaga-lembaga sastra non aliran komunis termasuk sastrawan pengusung Manikebu. KKPI juga terselenggara berkat dukungan militer sayap kanan seperti AH Nasution dan Ahmad Yani. Bahkan ketua presidiumnya adalah seorang Brigjen Dr. Sudjono. Disinyalir, Wiratmo Soekito juga bekerja pada dinas rahasia angkatan bersenjata.

Pada masa ini PKI, Lekra, dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang merupakan corong PNI, aktif menyebarkan propaganda jelek mengenai KKPI. Oleh Lekra KKPI disebut KK PSI untuk menyamakan mereka dengan PSI yang terlibat pemberontakan. Lekra juga aktif menyerang personal HB Jassin dan Wiratmo Soekito. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Prof. Priyono, yang diminta mengisi sambutan pembukaan malah mempertanyakan falsafah ideologinya hanya Pancasila, mengapa tidak juga sekalian berlandaskan Manipol.

8 Mei 1964

Manifes Kebudayaan dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno. Terlarang karena Soekarno menganggap manifes kebudayaan akan menyaingi Manipol RI. Soekarno juga menuduh orang-orang manifes kebudayaan ragu-ragu akan revolusi. Akibat pelarangan ini, tulisan-tulisan pengaran yang terlibat dalam manifes kebudayaan menjadi tidak laku, terutama Majalah Sastra sendiri.

11 Mei 1964

HB Jassin, Wiratmo dan Trisno membuat pernyataan yang mendukung larangan tersebut guna menghindarkan kerugian lebih jauh. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari aksi massa PKI yang semakin gencar terhadap pengusung manifestasi kebudayaan.

31 Mei 1964

Melalui media Bintang Timur, DN Aidit menulis sindiran keras berjudul,”Manikebu Bertugas Lutjuti Sendjata Rakjat”.

Agustus-September 1964

PKI mengadakan konferensi nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk menandingi KPPI dan membuktikkan bahwa ranah seni dan sastra juga dikuasai PKI. Jika KPPI mengundang Soekarno tetapi dimandatkan dan dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka dalam KSSR, sang Presiden sendiri yang membuka dan memberikan sambutan. Hal ini semakin menguatkan posisi PKI dan Lekra serta memukul sastrawan manifes kebudayaan.

Departemen P & K mengumumkan pelarangan karya dari orang-orang yang selama ini ditentang Lekra, khususnya “Lentera”seperti S. Takdir Alisjahbana, Hamka, Idrus, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang lain.

30 September 1965

Terjadi “gerakan” yg menewaskan pejabat AD. Keadaan menjadi berbalik, PKI yg selama ini di atas angin mulai jatuh.

13 Oktober 1965

Pramoedya ditangkap di rumahnya-kini disita-di kawasan Rawamangun dan ia mengaku dianiaya hingga pendengarannya terganggu.

12 Maret 1966

Surat Perintah Sebelas Maret yang misterius itu sampai ke Jakarta. Surat yang menjadi legitimasi bagi Soeharto untuk mendapatkan kuasa tak terbatas demi memulihkan keadaan. Salah satu inisiasi tindakan yang diambil adalah membubarkan PKI yang kemudian juga merembet ke berbagai ormas yang dianggap mempunyai afiliasi dengan PKI, termasuk Lekra. Hal ini sesuai dengan TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966, tentang pelarangan komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya.

4. Kata Mereka yang Terlibat
“Lekra adalah sekrup dari mesin komunisme!” (Taufiq Ismail)

“Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tetapi karena baik partai kiri atau kanan ada kekurangan-kekurangannya yang tetap harus kami hadapi dengan kritis.”
(H.B. Jassin)

“Sebagai seniman, mereka harus percaya pada kekuatan hasil ciptaannya saja. Dan percaya, bahwa kekuatan hasil ciptaan dapat mengatasi segala kotak yang dibuat berdasarkan pandangan politik,” (Ajip Rosidi)

“Lekra dan PKI secara organisasi terpisah, tapi mempunyai tujuan yang sama,” (Putu Oka Sukanta)

5. Analisis

Sekilas dari paparan di atas tak terlalu tampak “perang pemikiran” antara dua kubu yang bertikai. Pertentangan yang terjadi hanyalah permasalahan politik yang terbawa oleh pelaku sastra Indonesia yang juga terjun di kancah politik. Bahkan dengan berani politikus-politikus juga memanfaatkan hal tersebut untuk “membunuh” karakter lawan politiknya. Seperti DN Aidit yang mendeskritkan sastrawan Lekra yang lebih pro TNI AD sayap kanan. Tidak terjadi pertukaran ide-ide yang masif dalam dunia sastra seperti layaknya ketika Soekarno dan Hatta berdebat mengenai konsepsi negara Indonesia di masa kolonial.

Referensi:
[1] D. S. Moeljanto dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya : Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. Penerbit: Mizan
[2] Yang tidak Setuju, Ya Minggir Saja, Tempo 4 Mei 1999
[3] Arief Budiman dan Stanley. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. Pustaka Alvabet.
[4] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, ±1942. Jakarta : Balai Pustaka.
[5] Rosihan Anwar. 2006. Sukarno, tentara, PKI: segitiga kekuasaan sebelum prahara politik, 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor.
[6] Alexander Supartono. 2000. Lekra vs Manikebu, Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965. Jakarta: Skripsi STF Driyarkara.
***
Dijumput dari: http://tumbuhkeatas.wordpress.com/2012/08/06/menelusuri-konflik-kesusastraan-indonesia-lekra-vs-manikebu/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae