Fatmin Prihatin Malau *
http://www.analisadaily.com/
SASTRA Indonesia perlu dianalisa ulang, untuk apa? Dianalisa ulang untuk eksistensi (keberadaan) sastra keilmuan atau sastra yang menjadi pelajaran di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Sastra keilmuan ada dari jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi. Buktinya ada Fakultas Sastra dan selain Fakultas Sastra, seperti Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, Hukum, Kedokteran, Pertanian dan lainnya ada Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yakni Ilmu Budaya Dasar.
Artinya, sastra sebagai keilmuan terintregrasi dengan semua disiplin ilmu yang ada maka sastrawan memiliki tanggungjawab moral dalam pembaharu dari sastra keilmuan. Bagus bila ada sekelompok sastrawan berteriak merdeka dalam makna luas dan menginginkan adanya pembaharuan secara alami serta menempatkan sastra itu sebagai keilmuan.
Tuntutan dari keilmuan adalah merdeka, tidak terbelenggu, berkembang secara terus menerus, tidak statis (stagnasi) apa lagi berhenti. Semua keilmuam terus berkembang sesuai dengan pemikiran dan tuntutan zaman. Keilmuan itu dalam perkembangannya ada yang cepat dan ada yang lambat akan tetapi terus berkembang.
Keilmuan kedokteran, fisika, kimia kini mengalami perkembangan yang cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Sastra sebagai keilmuan juga harus berkembang selaras dengan eksistensi para sastrawan yang merdeka, berdaulat dan sejahtera lahir bathin.
Bila dibandingkan dengan keilmuan lain sastra sebagai keilmuan seperti berjalan ditempat, terbelenggu dan dibelenggu sehingga hampir tidak berkembang. Dari masa ke masa hanya itu saja materi yang menjadi keilmuan. Buktinya, dua puluh lima tahun lalu, penulis ketika di sekolah menengah atas mempelajari sastra dan kesusastraan tentang Mara Rusli dengan Siti Nurbaya, Chairil Anwar dengan “aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Buya Hamka dengan Merantau ke Deli dan sastrawan lainnya dengan karyanya.
Kini para siswa sekolah menengah atas juga mempelajari apa yang dua puluh lima tahun lalu penulis pelajari. Teman penulis satu sekolah kini menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia dan ketika bertemu mengatakan hal yang sama dan menilai penulis yang pantas menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia karena penulis banyak menulis tentang sastra yakni cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), puisi dan esai sastra.
Apa maksud teman penulis yang guru Bahasa Indonesia itu? Maksudnya sastra sebagai keilmuan belum seperti disiplin ilmu yang lain. Mengapa karya-karya sastrawan sekarang ini belum menjadi materi keilmuan pelajaran sastra.
Sastawan Menjadi Pelopor
Sastra sebagai keilmuan setara dengan disiplin keilmuan lainnya. Mengapa disiplin keilmuan lainnya terus berkembang dari waktu ke waktu, mengapa sastra sebagai keilmuan sangat sulit berkembang, tetap itu saja dari masa ke masa.
Fenomena ini perlu dianalisa tentang keberadaan (eksistensi) sastra itu sendiri. Pertanyaannya, apakah dari dahulu, dari zaman Siti Nurbaya sampai zaman sekarang ini karya Sastra Indonesia memang hanya itu saja? Jika benar sastra sebagai keilmuan sudah pasti tidak mungkin karya Sastra Indonesia hanya itu saja.
Teman penulis satu alumni SMA yang kini menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia mengakui karya Sastra Indonesia bukan itu saja dan menyebutkan sederetan nama sastrawan di Sumatera Utara yang karya sastra para sastrawan itu dibaca dan diikutinya pada berbagai suratkabar meskipun tidak mengenal orangnya secara langsung dan dengan penulis juga karena dahulu teman satu kelas di bangku SMA. Seandainya tidak satu kelas, maka tidak juga mengenal orangnya, hanya nama dan karyanya saja.
Menarik pengakuan teman satu kelas penulis ini yang kini menjadi guru Bahasa Indonesia untuk mencermati Sastra Indonesia sebagai keilmuan. Semakin menarik lagi ketika hampir semua Perguruan Tinggi (Universitas) memiliki Fakultas Sastra dan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesusastraan terus dipelajari mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Bukan itu saja akan tetapi Indonesia juga memiliki lembaga Pusat Bahasa yang Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) bertanggungjawab untuk pengembangan bahasa dan kesusastraan sebagai keilmuan.
Perlu dianalisa ulang Sastra Indonesia sebagai keilmuan karena karya sastra dan sastrawan yang ada dalam sastra keilmuan belum ada perkembangan, masih tetap seperti lima puluh tahun yang lalu. Pada hal beberapa nama seperti Taufiq Ismail, Putu Wijaya, NH Dini dan lainnya melahirkan karya sastra.
Begitu banyak sastrawan Indonesia yang memiliki karya sastra yang bagus dan mewakili perkembangan zaman tetapi mengapa tidak menjadi materi sastra sebagai keilmuan dan mengapa tidak masuk dalam materi pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesusastraan.
Sastrawan harus menjadi pembaharu sastra sebagai keilmuan dengan berinteraksi dengan lingkungan daerahnya, sehingga karya karya sastra lokal menjadi kajian dan penelitian pada Fakultas Sastra.
Sama dengan disiplin keilmuan lain, sastra sebagai keilmuan juga harus menjadi materi penelitian di Fakultas Sastra seiring dengan berkembangnya manusia di Indonesia. Sastra Indonesia sebagai keilmuan harus dianalisa ulang, sehingga sastra sebagai sebuah disiplin ilmu tidak stagnasi atau berhenti dalam pemikiran, akan tetapi berkembang dalam peradapan.
Pelopor utama harus datang dari para sastrawan Indonesia yang ada sekarang ini pada semua daerah di Indonesia. Bila ini dilakukan para sastrawan pada daerahnya masing-masing maka budaya, sastra Indonesia bukan saja merupakan jati diri Bangsa Indonesia juga berkembang menjadi satu disiplin keilmuan yang merdeka, berdaulat dalam berkarya.
*) Penulis pemerhati masalah kesusastraan, pernah menjadi dosen matakuliah Ilmu Budaya Dasar di Medan.
Dijumput dari: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/30/97080/sastrawan_pembaharu_sastra_keilmuan/#.UPLZjKx2Na8
http://www.analisadaily.com/
SASTRA Indonesia perlu dianalisa ulang, untuk apa? Dianalisa ulang untuk eksistensi (keberadaan) sastra keilmuan atau sastra yang menjadi pelajaran di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Sastra keilmuan ada dari jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi. Buktinya ada Fakultas Sastra dan selain Fakultas Sastra, seperti Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, Hukum, Kedokteran, Pertanian dan lainnya ada Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yakni Ilmu Budaya Dasar.
Artinya, sastra sebagai keilmuan terintregrasi dengan semua disiplin ilmu yang ada maka sastrawan memiliki tanggungjawab moral dalam pembaharu dari sastra keilmuan. Bagus bila ada sekelompok sastrawan berteriak merdeka dalam makna luas dan menginginkan adanya pembaharuan secara alami serta menempatkan sastra itu sebagai keilmuan.
Tuntutan dari keilmuan adalah merdeka, tidak terbelenggu, berkembang secara terus menerus, tidak statis (stagnasi) apa lagi berhenti. Semua keilmuam terus berkembang sesuai dengan pemikiran dan tuntutan zaman. Keilmuan itu dalam perkembangannya ada yang cepat dan ada yang lambat akan tetapi terus berkembang.
Keilmuan kedokteran, fisika, kimia kini mengalami perkembangan yang cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Sastra sebagai keilmuan juga harus berkembang selaras dengan eksistensi para sastrawan yang merdeka, berdaulat dan sejahtera lahir bathin.
Bila dibandingkan dengan keilmuan lain sastra sebagai keilmuan seperti berjalan ditempat, terbelenggu dan dibelenggu sehingga hampir tidak berkembang. Dari masa ke masa hanya itu saja materi yang menjadi keilmuan. Buktinya, dua puluh lima tahun lalu, penulis ketika di sekolah menengah atas mempelajari sastra dan kesusastraan tentang Mara Rusli dengan Siti Nurbaya, Chairil Anwar dengan “aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Buya Hamka dengan Merantau ke Deli dan sastrawan lainnya dengan karyanya.
Kini para siswa sekolah menengah atas juga mempelajari apa yang dua puluh lima tahun lalu penulis pelajari. Teman penulis satu sekolah kini menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia dan ketika bertemu mengatakan hal yang sama dan menilai penulis yang pantas menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia karena penulis banyak menulis tentang sastra yakni cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), puisi dan esai sastra.
Apa maksud teman penulis yang guru Bahasa Indonesia itu? Maksudnya sastra sebagai keilmuan belum seperti disiplin ilmu yang lain. Mengapa karya-karya sastrawan sekarang ini belum menjadi materi keilmuan pelajaran sastra.
Sastawan Menjadi Pelopor
Sastra sebagai keilmuan setara dengan disiplin keilmuan lainnya. Mengapa disiplin keilmuan lainnya terus berkembang dari waktu ke waktu, mengapa sastra sebagai keilmuan sangat sulit berkembang, tetap itu saja dari masa ke masa.
Fenomena ini perlu dianalisa tentang keberadaan (eksistensi) sastra itu sendiri. Pertanyaannya, apakah dari dahulu, dari zaman Siti Nurbaya sampai zaman sekarang ini karya Sastra Indonesia memang hanya itu saja? Jika benar sastra sebagai keilmuan sudah pasti tidak mungkin karya Sastra Indonesia hanya itu saja.
Teman penulis satu alumni SMA yang kini menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia mengakui karya Sastra Indonesia bukan itu saja dan menyebutkan sederetan nama sastrawan di Sumatera Utara yang karya sastra para sastrawan itu dibaca dan diikutinya pada berbagai suratkabar meskipun tidak mengenal orangnya secara langsung dan dengan penulis juga karena dahulu teman satu kelas di bangku SMA. Seandainya tidak satu kelas, maka tidak juga mengenal orangnya, hanya nama dan karyanya saja.
Menarik pengakuan teman satu kelas penulis ini yang kini menjadi guru Bahasa Indonesia untuk mencermati Sastra Indonesia sebagai keilmuan. Semakin menarik lagi ketika hampir semua Perguruan Tinggi (Universitas) memiliki Fakultas Sastra dan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesusastraan terus dipelajari mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Bukan itu saja akan tetapi Indonesia juga memiliki lembaga Pusat Bahasa yang Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) bertanggungjawab untuk pengembangan bahasa dan kesusastraan sebagai keilmuan.
Perlu dianalisa ulang Sastra Indonesia sebagai keilmuan karena karya sastra dan sastrawan yang ada dalam sastra keilmuan belum ada perkembangan, masih tetap seperti lima puluh tahun yang lalu. Pada hal beberapa nama seperti Taufiq Ismail, Putu Wijaya, NH Dini dan lainnya melahirkan karya sastra.
Begitu banyak sastrawan Indonesia yang memiliki karya sastra yang bagus dan mewakili perkembangan zaman tetapi mengapa tidak menjadi materi sastra sebagai keilmuan dan mengapa tidak masuk dalam materi pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesusastraan.
Sastrawan harus menjadi pembaharu sastra sebagai keilmuan dengan berinteraksi dengan lingkungan daerahnya, sehingga karya karya sastra lokal menjadi kajian dan penelitian pada Fakultas Sastra.
Sama dengan disiplin keilmuan lain, sastra sebagai keilmuan juga harus menjadi materi penelitian di Fakultas Sastra seiring dengan berkembangnya manusia di Indonesia. Sastra Indonesia sebagai keilmuan harus dianalisa ulang, sehingga sastra sebagai sebuah disiplin ilmu tidak stagnasi atau berhenti dalam pemikiran, akan tetapi berkembang dalam peradapan.
Pelopor utama harus datang dari para sastrawan Indonesia yang ada sekarang ini pada semua daerah di Indonesia. Bila ini dilakukan para sastrawan pada daerahnya masing-masing maka budaya, sastra Indonesia bukan saja merupakan jati diri Bangsa Indonesia juga berkembang menjadi satu disiplin keilmuan yang merdeka, berdaulat dalam berkarya.
*) Penulis pemerhati masalah kesusastraan, pernah menjadi dosen matakuliah Ilmu Budaya Dasar di Medan.
Dijumput dari: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/30/97080/sastrawan_pembaharu_sastra_keilmuan/#.UPLZjKx2Na8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar