Maryati
Oase Kompas, 13 Des 2012
Peninggalan Raden Saleh bukan hanya sketsa, litografi, gambar, dan lukisan-lukisan indah bernilai tinggi. Pelukis yang terlahir dengan nama Raden Saleh Sjarif Bustaman itu juga mewariskan kebanggaan menjadi bagian dari bangsa yang melahirkan seorang maestro.
Direktur Centre for Southeast Asian Art di Passau, Jerman, Werner Kraus, mengatakan, buku-buku sejarah seni rupa Jerman mencatat nama Raden Saleh sebagai pelukis yang ikut mewarnai perkembangan seni di negara Eropa itu.
“Saat dia tinggal di Dresden dan mengerjakan karya-karyanya, dia sangat inventif. Dia mulai menggambar adegan oriental, lukisan oriental seperti perburuan singa dan harimau. Belum ada orang lain di Jerman yang melakukannya,” kata Kraus, yang menghabiskan 15 tahun waktunya untuk melakukan penelitian tentang Raden Saleh.
Yang lebih penting lagi, menurut Kraus, pada masanya Raden Saleh membawa benih modernitas ke jagad seni rupa Indonesia. Tanpa dia, perjalanan sejarah seni rupa Indonesia akan berbeda.
“Apa yang terjadi sebelum Raden Saleh? Hampir tidak ada karena melukis tidak terlalu menjadi bagian dari budaya Indonesia,” kata Kraus di GoetheHaus Jakarta, Selasa (11/12) petang lalu.
Pada masa itu, ia menjelaskan, seni lukis dan gambar belum menjadi bagian menonjol dalam budaya Indonesia yang didominasi oleh seni pertunjukan seperti tari, musik, dan teater.
Gambar dan lukisan yang ada hanya berupa ilustrasi, beberapa di antaranya pada lontar. Kebanyakan hanya memuat gambar-gambar semacam wayang, bukan lukisan bergaya naturalis.
Raden Saleh memulai sesuatu yang disebut Kraus sebagai “a new way of art” (seni baru).
Kraus lebih suka menyebut Raden Saleh sebagai pembawa kebaruan, dan bukan kemodernan karena makna modern berubah setiap waktu. Yang disebut modern pada masa itu, tahun 1863, sudah tidak modern lagi beberapa tahun setelahnya.
“Mungkin lebih masuk akal kalau kita menyebut apa yang dia lakukan sebagai gaya melukis Indonesia yang baru ketimbang modern,” katanya.
“Saya yakin, sebagai seorang seniman dia memulai cara baru untuk melihat dunia dan mentransformasikannya. Tanpa Raden Saleh, sejarah seni rupa Indonesia akan berkembang dengan cara yang berbeda,” katanya.
Akademisi yang banyak meneliti perkembangan awal seni rupa modern Indonesia itu menjelaskan, Raden Saleh tidak hanya memberikan contoh baik kepada seniman lain di Tanah Air dengan karya-karya hebatnya.
Tahun 1864, Raden Saleh membuat buku panduan melukis untuk anak-anak sekolah. Kraus memperlihatkan bagian dari buku panduan itu dalam bukunya yang berjudul “Raden Saleh, The Beginning of Modern Indonesian Painting”.
Raden Saleh antara lain menunjukkan cara melukis batang pohon, dengan sketsa gambar dasar dari pensil dan sketsa yang sudah dibuat bervolume dengan menambahkan bayangan sehingga tampak seperti batang pohon yang sebenarnya.
“Jadi sekolah-sekolah di Jawa tahun 1864 sudah menggunakan buku panduan yang dibuat oleh seniman terbaik Asia Tenggara. Tak ada yang punya kesempatan seperti ini. Dan ini yang membuat seni rupa Indonesia sangat berkembang sampai sekarang,” katanya.
Selain itu, pemerintah kolonial Belanda membayar Raden Saleh untuk mendidik beberapa murid di Indonesia, termasuk dua orang Jawa Barat, seorang China dan seorang sepupunya.
Raden Saleh, kata Kraus, membawa pengaruh besar terhadap seniman-seniman Indonesia pada masa itu, termasuk di antaranya RA Kartini dan adiknya, Rukmini.
“Kartini dan adiknya, khususnya Rukmini, banyak menggambar dan membuat lukisan cat minyak. Lukisan cat minyak Kartini masih ada yang dimiliki oleh anggota keluarga kerajaan di Belanda,” katanya.
“Tanpa Raden Saleh, mungkin akan sangat sulit untuk mengetahui cara melukis dengan cat minyak di Jawa pada waktu itu,” tambah dia.
Semua itu, menurut Kraus, membuat perkembangan seni rupa Indonesia jauh lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara yang lain.
“Gambarannya, kalau ada pilihan karya seni rupa modern di Asia Tenggara, 75 persennya pasti berasal dari Indonesia dan sisanya dari negara lain, entah itu Thailand, Filipina atau Malaysia,” katanya.
“Seniman Indonesia sangat maju dan saya yakin salah satu alasannya karena Raden Saleh memulainya sangat awal dan sangat sukses,” katanya.
Pria Jawa Modern
Tahun 1829, Raden Saleh menjadi orang Jawa pertama yang melakukan perjalanan ke Eropa dan orang Indonesia pertama yang mempelajari gaya lukis Eropa, kata Kraus, pengajar sejarah Indonesia di beberapa universitas Eropa.
Pendiri Departemen of Southeast Asian Studies di Passau University itu mengatakan, pencapaian Raden Saleh tidak lepas dari perjalanan dan masa-masa yang dia lalui selama 20 tahun lebih di Eropa.
Eropa menjadi universitas besar bagi pelukis yang menurut Kraus terlahir dari sebuah keluarga ningrat di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1811 itu.
Selama berada di Eropa, dia belajar melukis dari seniman-seniman besar Belanda seperti Cornelis Kruseman dan Andreas Schelfhout, pelukis, dan litografer yang dikenal dengan lukisan-lukisan lanskap.
“Dia menghabiskan 10 tahun pertamanya belajar di Belanda, belajar dari dua pelukis terbaik. Kemudian dia pergi ke Dresden, dan menemukan guru yang hebat juga di sana,” kata Kraus.
Raden Saleh juga melakukan perjalanan ke Prancis, tinggal selama beberapa tahun, dan mendapat pengaruh aliran romantisme di sana, termasuk dari tokoh penting dalam aliran romantisme Prancis, Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863).
Namun, menurut Kraus, pelukis romantisme Prancis yang paling disukai Raden Saleh adalah Emile Jean Horace Vernet (1789-1863).
“Dia sangat menyukai Vernet dan kadang terpengaruh gayanya. Setidaknya ada satu lukisan Raden Saleh yang merupakan sebuah ’quote by Horace Vernet.’ Dia tidak menjiplak. Dia melukis dengan caranya sendiri, tapi kalau Anda melihat lukisannya Anda akan tahu bahwa dia pernah melihat lukisan Vernet dan terinspirasi,” katanya.
“Dia melihat banyak lukisan dan dia tahu, bisa membedakan lukisan yang bagus dan tidak. Saat dia terinspirasi oleh seseorang, biasanya oleh pelukis besar, bukan pelukis kelas dua atau kelas tiga,” katanya.
Pengembaraan Raden Saleh di Eropa, tak hanya membuat dia menguasai teknik melukis baru dan dipercaya menjadi pengajar bagi orang-orang Belanda.
Di Eropa, Raden Saleh menyerap ilmu yang lain pula. Menurut Kraus, Raden Saleh setidaknya menguasai empat bahasa Eropa, yakni Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Dia mungkin juga menguasai Bahasa Italia karena pernah tinggal selama setahun di sana.
Raden Saleh juga belajar ilmu alam. Kraus menuturkan, saat pergi ke Yogyakarta tahun 1865, Raden Saleh mengambil fosil, tulang tua, dan mendeskripsikannya secara ilmiah.
“Dia mengambil tulang tua, dan dia tahu apa yang harus dia lakukan. Saya saja tidak akan tahu apa yang harus dilakukan pada tulang semacam itu, dan saya yakin Anda juga tidak akan tahu. Dia menguasai arkeologi dan paleontologi,” katanya.
Pelajaran dan pengalaman selama di Eropa membuat Raden Saleh kembali ke Tanah Air sebagai pria Jawa modern pada 1851, seorang yang bahkan lebih terdidik dibandingkan dengan kebanyakan pegawai pemerintah kolonial Belanda kala itu.
Intelektualitas Raden Saleh, antara lain terlihat dari surat-surat yang dia kirim kepada teman-temannya di Jerman. Surat-surat yang untuk pertama kalinya ditemukan oleh Kraus dalam usaha pencarian dokumen di pusat arsip Belanda dan Jerman.
Kraus menyebut Raden Saleh pada masa itu sebagai “seorang seniman Jawa muda brilian yang meninggalkan negaranya untuk bekerja dan pada suatu saat berakhir dengan sebuah makan malam dengan Ratu Victoria.”
“Tapi pemerintah kolonial tidak memberikan penghargaan yang pantas karena warna kulitnya. Rasisme ada di dasar masyarakat kolonial,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Nasionalisme dan Filosofi
Kraus mengatakan, selama ini banyak yang mempertanyakan nasionalisme Raden Saleh karena dia banyak menghabiskan waktu di Eropa dan melukis untuk para pejabat dan keluarga kerajaan Belanda.
Dan jawaban dia untuk pertanyaan itu, “Raden Saleh hidup pada abad ke-19, dia hidup 100 tahun lebih awal, bagaimana Anda bisa menjadi nasionalis pada abad itu, saat kata nasionalisme belum ada?”
Yang jelas Raden Saleh adalah penentang kolonialisme. Dia melawan dengan caranya sendiri, melalui surat-surat kepada teman-temannya di Eropa, dan tentu saja lukisan-lukisan dia. “Lukisannya sangat sering menunjukkan filosofi sejatinya,” kata Kraus.
Sikapnya terhadap kolonialisme antara lain tercermin dalam lukisan berjudul “Penangkapan Diponegoro,” yang jelas memperlihatkan perlawanan Pangeran Diponegoro kepada pemerintah kolonial Belanda.
Menurut Kraus, surat-surat Raden Saleh kepada teman-temannya di Jerman juga menunjukkan bahwa dia menentang kolonialisme yang telah membuat teman-temannya di Jawa tertindas.
Pandangan Raden Saleh tentang agama pun jelas. Meski lama tinggal dan bergaul dengan orang-orang Eropa yang memiliki akar budaya dan agama yang berbeda, kata Kraus, Raden Saleh tak pernah melepaskan diri dari akar budaya dan agamanya.
“Keluarganya berasal dari Hadramaut di Arab, meski tidak lagi berbicara Bahasa Arab tapi dia ingat bahwa dia seorang Syarif, seorang Said, dan dia bangga dengan itu,” katanya.
Raden Saleh yang terlahir sebagai Muslim, kata Kraus, bertekad meninggalkan dunia sebagai Muslim meski kawan-kawan di Eropa sering membujuk dia untuk pindah agama menjadi Kristen.
“Dia bilang, ’Saya terlahir sebagai seorang Muslim, dan saya sangat sangat mencintai kakek saya. Kakek saya sudah meninggal dan berada di surga. Saya ingin bertemu dia di sana, itu mengapa saya tidak ingin mengubah agama saya’,” kata Kraus.
Pada kesempatan lain Raden Saleh secara lebih jelas mengatakan alasannya tidak mau pindah agama.
“Anda ingin saya menjadi Kristen, tapi lihat apa yang dilakukan kolonialisme Kristen di negara saya. Saya mungkin akan menjadi Kristen kalau Anda mengubah ras anda, tapi saat ini saya rasa saya tidak ingin menjadi Kristen,” kata Kraus mengutip pernyataan Raden Saleh.
Tak pernah terlupakan
Raden Saleh membawa pengaruh besar pada dunia seni rupa di Indonesia. Namanya tak pernah benar-benar terlupakan.
Seratus tahun setelah kelahiran Raden Saleh, organisasi Budi Utomo mengirimkan surat kepada cabang-cabang organisasi di Jawa dan Sumatera agar menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati kelahiran sang maestro.
“Waktu itu Raden Saleh sudah dikenal dan salah satu pendiri Budi Utomo adalah ayah pelukis Basuki Abdullah,” kata Kraus.
Selanjutnya, tahun 1952, Presiden Soekarno meminta makam Raden Saleh di Bogor diperbaiki. Presiden Soekarno meminta arsitek Frederich Silaban, yang kemudian merancang Masjid Istiqlal di Jakarta, merenovasi makam Raden Saleh yang saat itu kondisinya sangat buruk.
Tanggal 9 September 1953, renovasi selesai dan Presiden Soekarno meresmikan pembukaan Makam Raden Saleh untuk publik dalam sebuah upacara besar.
Ketika itu, Kraus menuturkan, seniman dari Yogyakarta dan Jakarta diangkut menggunakan bus untuk menghadiri upacara peresmian di Bogor yang antara lain dihadiri oleh Muhammad Yamin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu.
Menurut dia, Presiden Soekarno mengakhiri pidatonya dalam upacara itu dengan kalimat: “Bukan karena saya lebih mencintai seni dibandingkan semua hal lain, tapi saya berbicara atas nama rakyat Indonesia, bahwa saya bangga bisa memperingati seorang putra terbaik bangsa ini, Raden Saleh.”
“Pada masa itu, Raden Saleh adalah hal besar, yang mungkin kurang diperhatikan pemerintah masa sekarang,” kata Kraus tentang sang maestro, yang meninggal dunia di Bogor pada 23 April 1880.
Kraus mengatakan hal itu merujuk pada kurangnya perhatian pemerintah terhadap perawatan dokumen-dokumen dan karya-karya Raden Saleh yang masih tersimpan di Indonesia.
Saat mengunjungi Arsip Nasional, Kraus tidak bisa menemukan satu pun dokumen tentang Raden Saleh untuk melengkapi bahan-bahan yang sudah dia dapat dari arsip di Belanda dan Jerman.
“Mungkin ada bahan di sana tapi sangat sulit memanfaatkannya karena tak ada urutannya. Sepertinya untuk menemukannya kau akan membutuhkan 10 tahun mencarinya diantara debu-debu,” katanya.
Lukisan-lukisan Raden Saleh yang seharusnya merupakan warisan sejarah nasional tidak dijaga dengan baik. Bahkan lukisan “Penangkapan Diponegoro” yang merupakan bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa sempat tinggal merana di tempat penyimpanan dan nyaris rusak.
“Ini salah satu lukisan terpenting dalam sejarah Indonesia, dan mereka sama sekali tak peduli,” katanya dengan tangan terkepal di atas salah satu meja kayu panjang di GoetheHaus.
Pengabaian itu mungkin tak menghilangkan ingatan tentang kebesaran Raden Saleh, karena sejarah sudah mencatatnya, sejarawan masih mengumpulkan catatan-catatan yang tertinggal tentang dia, dan guru sejarah seni membagi pengetahuan tentang dia.
Sebagian pengelola Rumah Sakit Cikini di Jakarta mungkin mengingat Raden Saleh karena masih menempati bangunan yang menjadi tempat tinggal sang pelukis selama tahun 1875-1885.
Cintya Faliana, seorang siswa kelas tiga Sekolah Menengah Pertama dari Jember, Jawa Timur, mengingat lukisannya tentang badai. Siswa Sekolah Menengah Atas di Tangerang, Giasinta Livia, mengenang sosoknya sebagai seorang diplomat. Dan seorang warga Bogor, Dayan D Layuk Allo, berusaha memahami modernitas dan toleransinya.
Tapi pengabaian itu bisa menghilangkan kesempatan generasi selanjutnya untuk menyaksikan warisan karya-karya agung Sang Maestro. (ANT)
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/12/warisan-raden-saleh-sang-pembaru.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar