KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/
Beberapa pemisalan dapat diambil oleh mereka yang mengumpil kesunyataan ini. Beberapa pemunggahan bisa digoprak oleh mereka yang menginginkan kesentausaan, sedangkan alam mustahil menyampaikan secara utuh. Barangkali, orang kemudian memilih suatu letupan pernyataan yang benar-benar berdentum, katimbang dia mesti menunggu seabad untuk penungguan nan sia-sia.
Siti Roslina yang bertahan di tapalbatas.
Bagaimanapun, kepergian menuntut penyelesaian. Artinya hanyalah kecil, bahwasanya setiap manusia kudu berbuat menurut kadar-kemampuan, bilamana dia telah pernah mengucapkan suatu curahan sanubari. Dan dengan demikian, tiada yang kelak disesali – oleh siapapun tentunya – bahwa kita telah berbuat bijak. Dan bahwasanya tiada lain yang ditentukan oleh pernyataan tinarbuka ini selain bahwa dirinya sanggup mengentas orang-orang tercinta dari marabahaya itu. Kalau sudah sampai kepada sikap tegas begini, takkan mungkin bisa dicegahnya, hubaya-hubaya Tuhan pun tidak mencobanya. Karena dia telah menentukan kata-pasti dalam hidupnya. Gulang-gulingan pemikiran manusia berkesan kalut.
Siti Roslina!
Di Pondok Marabunta, di pinggir Situ Lengkong, kau sengaja mengasingkan diri, setelah badai itu menggelegar. Daerah di lembah hijau, di mana kau hanya akan mendengarkan dengkur tekukur menjelang senjahari, dan suara alu menumbuk lesung di paruhsiang nan lengang. Tapi, langit dusun sudah sanggup memupus deru-debur dada, bilamana yang akan diresapkan memang menjawil ke-satu-pastian. Daerah, yang memasukkan bungkah-bungkah musim kemarau ke dalam kanal yang lembab berlumut dan berwarna kusam sepanjang lingkar selatan perkampungan sana. Tapi bila terdengar suara angin bersungut dan mendesau lewat derai-derai cemara wayang, maka akan nampak, bahwa bungkah-bungkah itupun meleleh, seperti kristalan es yang lumer pada ujung-ujungnya, lantas air-lelehan itu mengalir ke bawah, bercampur dengan air sungai yang hitam anyir itu. Apakah dirimu sempat memperhatikan pemandangan rutin tiap pagi seperti itu di persemayaman nan meresahkan kini, Roslina? Atau, ada gumpalan pikiran lain yang susul-menyerbu benak, kemudian menugaskan dirimu untuk tercenung beberapa saat sesudah bangkit dari pembaringan nan mengesalkan? Boleh jadi, kau malah tak perlu mengacuhkan reroncen alam yang bagai mengejek dan mencibir ini.
“Andaikata segalanya tak menabrak ketenangan itu, Wan, sulit ditebak, apakah juga orangtuaku tega memperlakukan aku seperti itu.” Demikian ujarmu malam itu, ketika untuk yang terakhir aku boleh menatapmu sebebas itu – tapi buat yang pertama kali aku menyalami tanganmu setelah ‘kebebasan’ secara resmi kauperoleh dari orang yang pernah menyengsarakan di kota Bandung. “Bicara tentang pengandaian adalah mirip mimpi siangbolong,” aku memotong agak santak. “Yang kita temui adalah keruntuhan, Ros…” Tiada yang bertanda benalu, selebihnya adalah kemasan.
“Kau rupanya ikut-ikutan mengutuk diriku, Wan.”
“Percuma, kalau aku berbuat begitu, Ros. Aku sangat sadar dengan kehadiran diriku, baik dahulu maupun sekarang ini. Karena, dengan kutukan itu, sama artinya aku merontokkan harapan ini.”
Kau menatap sesuatu di kejauhan. Dari jendela itu, nampak jalan berbatu yang mulai sepi dan pekat, karena tiada lentera penerangnya. Kalau satu-dua orang lewat, dalam kerudung sarung, atau memikul buah-buahan dari pasar Cilamaya arah barat, maka suara telapakan kakinya berat menderap di jalanan yang sempit itu. Kadang-kadang terasa bagai mengeruhkan ketenangan batin. Beberapa puluh kunang beterbangan di sekitar bukit seberang, seolah mereka sadar, lebih baik memberikan secuplik-cuplik sinar damar, daripada malam dibiarkan suram dan hitamtua. Kemudian, kilatan sinar cumlorot, dari sebuah sentolop, diikuti langkah-langkah serandal di bebatuan, dan clorot-clorot pun berpindah-pindah, menerangi belukar, dan sebentar lagi pada padi yang membunting di sawah timurlaut. Dia adalah si penangkap katak, yang berikatkan kepis di pinggang, dan hanya berpakaian sederhana. Pada malam desa yang sesunyi itu, senter dan kehadirannya bagaikan kembang api yang menentramkan. Kerincing berdenting, dan dia ambyur di bencah-sawah, untuk menangkap buruannya. Setelah itu, sepi. Sepi. Dengan nafas landung, aku menyiramkan air ke api.
“Orang seperti aku ini, pantasnya jadi buangan,” desismu waktu itu. Aku tiba-tiba meremas jemarimu yang halus, tetapi terasa runcing karena tubuhmu kian kurus. “Tanpa berkata seperti itupun sebenarnya dikau sudah merasakan jadi buangan dan terlunta. Maaf, aku bicara sepahit ini. Aku tak bisa mendiamkan samasekali.” Mendatang jelang serakit tualang.
“Dasar jiwamu suka berlagak penyelamat? Bukan persoalanmu, tapi kau ambil alih sebagai sandungan yang membebalkan, Wan.”
“Jangan salah tampa. Siapa yang berlagak penyelamat? Siapa memilih sesuatu sebagai sandung-sandungan di jalanan berdebu?”
“Kau sendiri, Wan. Mentang-mentang anak ulama terkenal. Padahal, aku ini apa? Perempuan tanpa kelas, tanpa derajat, tanpa perhatian orang lain. Pikirkanlah, Wan. Sebelum dirimu tersesat.”
“Sekiranya beranggapan tentang kesesatan, Ros. Kinipun aku akui, telah berkecimpung di tengah tebat yang keruh. Namun apa artinya, bagi perjalananku sendiri buat menjumput kesunyataan ini?”
Roslina terpekur, menatap renda-renda di sarung bantal itu. Aku belai rambutnya, dan dalam haru, kucium pipinya yang cekung. Wanita yang dulu begitu jelita dan membuat abang kandungku tertua mabuk kepayang, hingga lupa anak-isteri, lupa tanggung-jawab, lupa akan martabat. Keluarga kami geger. Tapi bukan kesalahanmu, Roslina. Niatmu adalah lebih manis daripada kemanisan manapun yang pernah diancangkan orang. Kau seorang sekretaris yang terdidik dan meniti keberhasilan dari likunya kegersangan. Sekuntum mawar juita, yang mencoba menatap cerlang dunia, dengan melamar di kantor perusahaan Bang Sulaiman, abangku. Karir pun menghilir bersama kesempatan nan berbinar. Orang-orang menyayangimu, mengasihimu, memanjakanmu. Dahulu! Tatkala hayat menderai ke hulu.
Siti Roslina! Malam yang meredamkan seluruh jiwamu, niscaya juga kurasakan karena aku sudah terlanjur mengatakan kepada abang, bahwa andaikata semua itu terajdi, aku akan menjadi tameng terakhir dari keluargaku, dan juga benteng penghabisan bagimu (karena aku teramat mencintaimu). Pada papasan yang tergulir, melalui siratan dan kepuasan.
“Wan, Wan. Aku marah padamu dulu, karena kau bilang terusterang pada ibuku yang telah menjanda itu, bahwa kedatanganmu adalah untuk menjemputku, dan mengajakku ke pembuangan di bukit nan sulit didaki itu. Mengapa tak kaukatakan bahwa kau mengantarkan seorang kekasih abangmu kembali ke kandang?” Dan senjakala meneteskan likur-lingir.
“Ros, ingatlah. Wawan tak pernah menyepelekan seseorang, walaupun dia seorang wanita dan telah dikutuk oleh seluruh penjuru kota sebagai pengrusak pager ayu, perusak rumahtangga orang lain.” Aku mengatakan dengan seluruh getaran perasaanku nan terdalam, dan bukan bersandiwara. Aku memetik daun rumput kulanjana yang pahit, dan mengulumnya, lalu meludahkan kepahitannya yang berbusa. Aku boncengkan dirimu dengan sepeda, menuju ke sini, sementara perang dingin antara Bang Leman dengan isterinya belum kunjung reda. “Ini bukan pengorbanan seorang adik terhadap kakaknya, Bang,” kataku terbata-bata, pada abangku yang rupanya telah dua tahun menjadikanmu bukan saja sekretaris pribadi, tetapi juga kekasih nan tersembunyi. “Harap Abang catat di hati. Tatkala peristiwanya meluntur dan rahasia ini terbuka, Abang hendak cuci tangan. Itu hak Abang. Namun Roslina, semoga jangan dikait-kait. Aku hendak melindunginya.” Waktu itu tengah malam, aku datang kepada abang untuk menerima perintahnya yang aneh. Sedari sore aku menunggu di belakang kantornya, dan kemudian menumpang mobil Corolla yang menuju dekat dermaga.
Kudengar debur laut pasang, dengan ombak yang bagai bersungut. Sesekali terdengar anak-kapal layar yang memaki kasar karena benturan pada lunas atau timbaruang. Lantas guyuran air penyiram tubuh, tanda beberapa awak mandi di luar, memanfaatkan air bersih dari kota, yang diberi berember-ember dekat gudang. Aku mencium bau anyir ikan yang keburu mati dalam tangkapan. “Dengarlah, Adikku. Jangan sampai luput. Tugasmu melenyapkannya.” Aku tumungkul sewaktu mendengar perintah abangku yang groyak dan parau, seperti dipaksa-paksakan keluarnya itu. Terasa pada telapak tanganku benda dingin sebesar mangkuk alit melonjong. Baru aku sadar, kala aku menatap picunya. Ya, sebuah pistol! Kiranya tugasku jelas: melenyapkan benalu rumahtangganya. Sebulan sebelumnya, hari-harinya diwarnai perang-mulut dan pertengkaran tiada henti-hentinya. Apalagi setelah mbakyu menemukan suratmu, Ros, dalam tas kerja abang, yang berisi pernyataan bahwa kau hamil tiga bulan dan minta ketegasan sikap abangku. Tapi sebelum abang bersikap jantan, alih-alih untuk melindungi, malah dia berniat melenyapkan jejak hitam. “Sungguh, sungguh, lakukan secepatnya. Pakailah mobil ini. Bujuk Si Ros, supaya mau pergi ke luar.” Aku seperti mendengar rentetan peluru menyalak, demi kalimat itu terluncur. Aku harus jadi seorang pembunuh? Dan yang kubunuh adalah wanita yang pernah kukenal baik, bahkan telah kuanggap adik, ketika sama-sama mengikuti kursus manajemen di kota S?
Aku mesti memungkasi hidup seseorang yang notabene belum pernah sekalipun menyakiti hatiku? Aku kudu mengakhirinya, sementara kandungannya telah berumur tiga bulan? Di manakah hai Wawan, rasa kemanusianmu? Bibirku terkatup. Kudengar kembali suara guyuran air di tubuh, dekat-dekat bangunan itu. Malam berkabut di luar kota. Pistol yang kugenggam tadi, kembali kuletakkan segera.
Kupandang manik-mata abang. Matanya merah menyala; campuran antara rasa sebal, rendah-diri, bingung, resah, tapi juga culas. Di antaranya ada kebimbangan yang menyusul. Dia, dia pengecut, makiku dalam hati. Di tangan abang tergenggam amplop yang entah berisi berapa ratus ribu, untuk upah melenyapkan sebuah sosok, yang jadi sumber pertentangan keluarga kami. Aku tahu itu, secara pasti. Kalau aku tak membantunya, sama artinya dengan tega membiarkan mbakyuku menderita batin yang berkepanjangan. Atau tega menyaksikan kemenakan-kemenakanku terseret dalam derita yang diakibatkan keculasan bapaknya. Akankah mereka tersungkur hancur tanpa dewa-penolong? Kutatap mata abang, yang bagaikan saga berdarah. Aku berpaling. Membalikkan badan. “Abang, Abang,” tangisku meledak dalam isak memuput. Tuhanku, aku masih berpegang pada Kasih-Mu. “Abang, biarkan dia hidup. Biarkan, Bang. Tak tega…”
“Wawan! Kausepelekan kata-kata Abangmu ini? Kau wangkot!”
“Tidak, tapi aku enggan berlumuran darah. Jangan, Bang.” Lantas aku berlari kencang, meninggalkan dermaga itu, entah ke mana. Aku tak ingat lagi. Yang kuketahui, aku pingsan, dan dirawat hingga sehari di rumah seorang polisi yang berkawal di ujung-timur dermaga senyap itu. Setelah kekuatanku pulih, aku minta diri. Kujujug tempat pondokanmu dan kuceritakan rencana ini. Kuajak dikau minggat dari kota S. Aku jelek-jelek begini masih punya hargadiri yang layak. Dari uang tabunganku yang tak seberapa, kusewa bangunan bekas rumah penjaga-hutan di kawasan bekas daerah wisata nan ditinggalkan. Dan, aku cancut segera, untuk membebaskanmu dari kemelut di kota. Aku bertekad untuk mengawinimu, Siti Roslina. Walau, kekeluargaan antara diriku dan abang retak sudah. Aku melecehkannya sebagai srigala bernyali ciut.
Siti Roslina, seorang yang telah mengisi hatiku!
Malam begini, di Pondok Marabunta, pinggir Situ Lengkong, hanya aku dan dikau yang hidup dalam beningnya suasana. Gerimis turun, makin lama makin lembut, bersama angin bersiul merifuh-rifuh sepanjang lembah. Derai-derai cemara wayang memperdengarkan kidung kegelisahan tanpa wasana, seperti yang kita rasakan hari-hari belakangan ini. Karena pintu kamar ini masih terbuka, angin-derai terasa di kulit-kulitku yang telanjang. Sekali lagi dalam keremangan luar, nampak sosok-sosok warga desa dalam kelamun sarung, menuruni bukit, lalu menuju ke jalan setapak yang menghereng liku lainnya. Menyaksikan kunang-kunang beterbangan melayang, menukik, berpencaran. Kalau kebetulan beberapa mengumpul pada satu gumpalan, byar-byar-pet sinarnya terang berkilatan. Sebentar kemudian, senter pencari katak memotongnya.
“Tidurlah, dan semoga mimpi malam ini menentramkanmu, Ros,” bisikku menenangkanmu. “Aku ada di sini, entah sampai kapan, Ros. Kuyakin badai belum berlalu. Bahkan gempanya masih terasa, bahkan akan menjomplangkan.” Masih gemulung rahmat terakhir, asapnya melingkar.
“Lalu, kaukorbankan haridepanmu untuk seorang wanita hina, yang dipurukkan ke bawah sebagai perusak bahagia kaumnya, Wan?” tangismu kembali menyentakkan diriku. Aku elus rambutmu yang hitam-halus. Kau cantik, Ros. Kau tak berhak menderita seperti ini. Tuhan mengasihimu dan mengutusku menyelamatkanmu dari sergapan maut yang sia-sia. “Ini bukan sebuah pengorbanan yang tanpa arti, Ros. Sungguh. Ini sekedar suatu langkah-pastiku sebagai lelaki. Itu saja, tak lebih. Kuambil tindak terbaik, sebelum kehancuran terjadi.”
Gerimis mengeruntun dalam hujan lebat. Kututup jendela dan pintu kamar. Kuseka airmatamu nan deras. Kuseka linangan bahagiaku sendiri.
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 04 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar