Rabu, 04 Juli 2012

ANTARA SOSOK-SOSOK

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

Beberapa pemisalan dapat diambil oleh mereka yang mengumpil kesunyataan ini. Beberapa pemunggahan bisa digoprak oleh mereka yang menginginkan kesentausaan, sedangkan alam mustahil menyampaikan secara utuh. Barangkali, orang kemudian memilih suatu letupan pernyataan yang benar-benar berdentum, katimbang dia mesti menunggu seabad untuk penungguan nan sia-sia.

Siti Roslina yang bertahan di tapalbatas.
Bagaimanapun, kepergian menuntut penyelesaian. Artinya hanyalah kecil, bahwasanya setiap manusia kudu berbuat menurut kadar-kemampuan, bilamana dia telah pernah mengucapkan suatu curahan sanubari. Dan dengan demikian, tiada yang kelak disesali – oleh siapapun tentunya – bahwa kita telah berbuat bijak. Dan bahwasanya tiada lain yang ditentukan oleh pernyataan tinarbuka ini selain bahwa dirinya sanggup mengentas orang-orang tercinta dari marabahaya itu. Kalau sudah sampai kepada sikap tegas begini, takkan mungkin bisa dicegahnya, hubaya-hubaya Tuhan pun tidak mencobanya. Karena dia telah menentukan kata-pasti dalam hidupnya. Gulang-gulingan pemikiran manusia berkesan kalut.

Siti Roslina!
Di Pondok Marabunta, di pinggir Situ Lengkong, kau sengaja mengasingkan diri, setelah badai itu menggelegar. Daerah di lembah hijau, di mana kau hanya akan mendengarkan dengkur tekukur menjelang senjahari, dan suara alu menumbuk lesung di paruhsiang nan lengang. Tapi, langit dusun sudah sanggup memupus deru-debur dada, bilamana yang akan diresapkan memang menjawil ke-satu-pastian. Daerah, yang memasukkan bungkah-bungkah musim kemarau ke dalam kanal yang lembab berlumut dan berwarna kusam sepanjang lingkar selatan perkampungan sana. Tapi bila terdengar suara angin bersungut dan mendesau lewat derai-derai cemara wayang, maka akan nampak, bahwa bungkah-bungkah itupun meleleh, seperti kristalan es yang lumer pada ujung-ujungnya, lantas air-lelehan itu mengalir ke bawah, bercampur dengan air sungai yang hitam anyir itu. Apakah dirimu sempat memperhatikan pemandangan rutin tiap pagi seperti itu di persemayaman nan meresahkan kini, Roslina? Atau, ada gumpalan pikiran lain yang susul-menyerbu benak, kemudian menugaskan dirimu untuk tercenung beberapa saat sesudah bangkit dari pembaringan nan mengesalkan? Boleh jadi, kau malah tak perlu mengacuhkan reroncen alam yang bagai mengejek dan mencibir ini.

“Andaikata segalanya tak menabrak ketenangan itu, Wan, sulit ditebak, apakah juga orangtuaku tega memperlakukan aku seperti itu.” Demikian ujarmu malam itu, ketika untuk yang terakhir aku boleh menatapmu sebebas itu – tapi buat yang pertama kali aku menyalami tanganmu setelah ‘kebebasan’ secara resmi kauperoleh dari orang yang pernah menyengsarakan di kota Bandung. “Bicara tentang pengandaian adalah mirip mimpi siangbolong,” aku memotong agak santak. “Yang kita temui adalah keruntuhan, Ros…” Tiada yang bertanda benalu, selebihnya adalah kemasan.

“Kau rupanya ikut-ikutan mengutuk diriku, Wan.”
“Percuma, kalau aku berbuat begitu, Ros. Aku sangat sadar dengan kehadiran diriku, baik dahulu maupun sekarang ini. Karena, dengan kutukan itu, sama artinya aku merontokkan harapan ini.”

Kau menatap sesuatu di kejauhan. Dari jendela itu, nampak jalan berbatu yang mulai sepi dan pekat, karena tiada lentera penerangnya. Kalau satu-dua orang lewat, dalam kerudung sarung, atau memikul buah-buahan dari pasar Cilamaya arah barat, maka suara telapakan kakinya berat menderap di jalanan yang sempit itu. Kadang-kadang terasa bagai mengeruhkan ketenangan batin. Beberapa puluh kunang beterbangan di sekitar bukit seberang, seolah mereka sadar, lebih baik memberikan secuplik-cuplik sinar damar, daripada malam dibiarkan suram dan hitamtua. Kemudian, kilatan sinar cumlorot, dari sebuah sentolop, diikuti langkah-langkah serandal di bebatuan, dan clorot-clorot pun berpindah-pindah, menerangi belukar, dan sebentar lagi pada padi yang membunting di sawah timurlaut. Dia adalah si penangkap katak, yang berikatkan kepis di pinggang, dan hanya berpakaian sederhana. Pada malam desa yang sesunyi itu, senter dan kehadirannya bagaikan kembang api yang menentramkan. Kerincing berdenting, dan dia ambyur di bencah-sawah, untuk menangkap buruannya. Setelah itu, sepi. Sepi. Dengan nafas landung, aku menyiramkan air ke api.

“Orang seperti aku ini, pantasnya jadi buangan,” desismu waktu itu. Aku tiba-tiba meremas jemarimu yang halus, tetapi terasa runcing karena tubuhmu kian kurus. “Tanpa berkata seperti itupun sebenarnya dikau sudah merasakan jadi buangan dan terlunta. Maaf, aku bicara sepahit ini. Aku tak bisa mendiamkan samasekali.” Mendatang jelang serakit tualang.

“Dasar jiwamu suka berlagak penyelamat? Bukan persoalanmu, tapi kau ambil alih sebagai sandungan yang membebalkan, Wan.”
“Jangan salah tampa. Siapa yang berlagak penyelamat? Siapa memilih sesuatu sebagai sandung-sandungan di jalanan berdebu?”
“Kau sendiri, Wan. Mentang-mentang anak ulama terkenal. Padahal, aku ini apa? Perempuan tanpa kelas, tanpa derajat, tanpa perhatian orang lain. Pikirkanlah, Wan. Sebelum dirimu tersesat.”
“Sekiranya beranggapan tentang kesesatan, Ros. Kinipun aku akui, telah berkecimpung di tengah tebat yang keruh. Namun apa artinya, bagi perjalananku sendiri buat menjumput kesunyataan ini?”

Roslina terpekur, menatap renda-renda di sarung bantal itu. Aku belai rambutnya, dan dalam haru, kucium pipinya yang cekung. Wanita yang dulu begitu jelita dan membuat abang kandungku tertua mabuk kepayang, hingga lupa anak-isteri, lupa tanggung-jawab, lupa akan martabat. Keluarga kami geger. Tapi bukan kesalahanmu, Roslina. Niatmu adalah lebih manis daripada kemanisan manapun yang pernah diancangkan orang. Kau seorang sekretaris yang terdidik dan meniti keberhasilan dari likunya kegersangan. Sekuntum mawar juita, yang mencoba menatap cerlang dunia, dengan melamar di kantor perusahaan Bang Sulaiman, abangku. Karir pun menghilir bersama kesempatan nan berbinar. Orang-orang menyayangimu, mengasihimu, memanjakanmu. Dahulu! Tatkala hayat menderai ke hulu.

Siti Roslina! Malam yang meredamkan seluruh jiwamu, niscaya juga kurasakan karena aku sudah terlanjur mengatakan kepada abang, bahwa andaikata semua itu terajdi, aku akan menjadi tameng terakhir dari keluargaku, dan juga benteng penghabisan bagimu (karena aku teramat mencintaimu). Pada papasan yang tergulir, melalui siratan dan kepuasan.

“Wan, Wan. Aku marah padamu dulu, karena kau bilang terusterang pada ibuku yang telah menjanda itu, bahwa kedatanganmu adalah untuk menjemputku, dan mengajakku ke pembuangan di bukit nan sulit didaki itu. Mengapa tak kaukatakan bahwa kau mengantarkan seorang kekasih abangmu kembali ke kandang?” Dan senjakala meneteskan likur-lingir.

“Ros, ingatlah. Wawan tak pernah menyepelekan seseorang, walaupun dia seorang wanita dan telah dikutuk oleh seluruh penjuru kota sebagai pengrusak pager ayu, perusak rumahtangga orang lain.” Aku mengatakan dengan seluruh getaran perasaanku nan terdalam, dan bukan bersandiwara. Aku memetik daun rumput kulanjana yang pahit, dan mengulumnya, lalu meludahkan kepahitannya yang berbusa. Aku boncengkan dirimu dengan sepeda, menuju ke sini, sementara perang dingin antara Bang Leman dengan isterinya belum kunjung reda. “Ini bukan pengorbanan seorang adik terhadap kakaknya, Bang,” kataku terbata-bata, pada abangku yang rupanya telah dua tahun menjadikanmu bukan saja sekretaris pribadi, tetapi juga kekasih nan tersembunyi. “Harap Abang catat di hati. Tatkala peristiwanya meluntur dan rahasia ini terbuka, Abang hendak cuci tangan. Itu hak Abang. Namun Roslina, semoga jangan dikait-kait. Aku hendak melindunginya.” Waktu itu tengah malam, aku datang kepada abang untuk menerima perintahnya yang aneh. Sedari sore aku menunggu di belakang kantornya, dan kemudian menumpang mobil Corolla yang menuju dekat dermaga.

Kudengar debur laut pasang, dengan ombak yang bagai bersungut. Sesekali terdengar anak-kapal layar yang memaki kasar karena benturan pada lunas atau timbaruang. Lantas guyuran air penyiram tubuh, tanda beberapa awak mandi di luar, memanfaatkan air bersih dari kota, yang diberi berember-ember dekat gudang. Aku mencium bau anyir ikan yang keburu mati dalam tangkapan. “Dengarlah, Adikku. Jangan sampai luput. Tugasmu melenyapkannya.” Aku tumungkul sewaktu mendengar perintah abangku yang groyak dan parau, seperti dipaksa-paksakan keluarnya itu. Terasa pada telapak tanganku benda dingin sebesar mangkuk alit melonjong. Baru aku sadar, kala aku menatap picunya. Ya, sebuah pistol! Kiranya tugasku jelas: melenyapkan benalu rumahtangganya. Sebulan sebelumnya, hari-harinya diwarnai perang-mulut dan pertengkaran tiada henti-hentinya. Apalagi setelah mbakyu menemukan suratmu, Ros, dalam tas kerja abang, yang berisi pernyataan bahwa kau hamil tiga bulan dan minta ketegasan sikap abangku. Tapi sebelum abang bersikap jantan, alih-alih untuk melindungi, malah dia berniat melenyapkan jejak hitam. “Sungguh, sungguh, lakukan secepatnya. Pakailah mobil ini. Bujuk Si Ros, supaya mau pergi ke luar.” Aku seperti mendengar rentetan peluru menyalak, demi kalimat itu terluncur. Aku harus jadi seorang pembunuh? Dan yang kubunuh adalah wanita yang pernah kukenal baik, bahkan telah kuanggap adik, ketika sama-sama mengikuti kursus manajemen di kota S?

Aku mesti memungkasi hidup seseorang yang notabene belum pernah sekalipun menyakiti hatiku? Aku kudu mengakhirinya, sementara kandungannya telah berumur tiga bulan? Di manakah hai Wawan, rasa kemanusianmu? Bibirku terkatup. Kudengar kembali suara guyuran air di tubuh, dekat-dekat bangunan itu. Malam berkabut di luar kota. Pistol yang kugenggam tadi, kembali kuletakkan segera.

Kupandang manik-mata abang. Matanya merah menyala; campuran antara rasa sebal, rendah-diri, bingung, resah, tapi juga culas. Di antaranya ada kebimbangan yang menyusul. Dia, dia pengecut, makiku dalam hati. Di tangan abang tergenggam amplop yang entah berisi berapa ratus ribu, untuk upah melenyapkan sebuah sosok, yang jadi sumber pertentangan keluarga kami. Aku tahu itu, secara pasti. Kalau aku tak membantunya, sama artinya dengan tega membiarkan mbakyuku menderita batin yang berkepanjangan. Atau tega menyaksikan kemenakan-kemenakanku terseret dalam derita yang diakibatkan keculasan bapaknya. Akankah mereka tersungkur hancur tanpa dewa-penolong? Kutatap mata abang, yang bagaikan saga berdarah. Aku berpaling. Membalikkan badan. “Abang, Abang,” tangisku meledak dalam isak memuput. Tuhanku, aku masih berpegang pada Kasih-Mu. “Abang, biarkan dia hidup. Biarkan, Bang. Tak tega…”

“Wawan! Kausepelekan kata-kata Abangmu ini? Kau wangkot!”
“Tidak, tapi aku enggan berlumuran darah. Jangan, Bang.” Lantas aku berlari kencang, meninggalkan dermaga itu, entah ke mana. Aku tak ingat lagi. Yang kuketahui, aku pingsan, dan dirawat hingga sehari di rumah seorang polisi yang berkawal di ujung-timur dermaga senyap itu. Setelah kekuatanku pulih, aku minta diri. Kujujug tempat pondokanmu dan kuceritakan rencana ini. Kuajak dikau minggat dari kota S. Aku jelek-jelek begini masih punya hargadiri yang layak. Dari uang tabunganku yang tak seberapa, kusewa bangunan bekas rumah penjaga-hutan di kawasan bekas daerah wisata nan ditinggalkan. Dan, aku cancut segera, untuk membebaskanmu dari kemelut di kota. Aku bertekad untuk mengawinimu, Siti Roslina. Walau, kekeluargaan antara diriku dan abang retak sudah. Aku melecehkannya sebagai srigala bernyali ciut.

Siti Roslina, seorang yang telah mengisi hatiku!
Malam begini, di Pondok Marabunta, pinggir Situ Lengkong, hanya aku dan dikau yang hidup dalam beningnya suasana. Gerimis turun, makin lama makin lembut, bersama angin bersiul merifuh-rifuh sepanjang lembah. Derai-derai cemara wayang memperdengarkan kidung kegelisahan tanpa wasana, seperti yang kita rasakan hari-hari belakangan ini. Karena pintu kamar ini masih terbuka, angin-derai terasa di kulit-kulitku yang telanjang. Sekali lagi dalam keremangan luar, nampak sosok-sosok warga desa dalam kelamun sarung, menuruni bukit, lalu menuju ke jalan setapak yang menghereng liku lainnya. Menyaksikan kunang-kunang beterbangan melayang, menukik, berpencaran. Kalau kebetulan beberapa mengumpul pada satu gumpalan, byar-byar-pet sinarnya terang berkilatan. Sebentar kemudian, senter pencari katak memotongnya.

“Tidurlah, dan semoga mimpi malam ini menentramkanmu, Ros,” bisikku menenangkanmu. “Aku ada di sini, entah sampai kapan, Ros. Kuyakin badai belum berlalu. Bahkan gempanya masih terasa, bahkan akan menjomplangkan.” Masih gemulung rahmat terakhir, asapnya melingkar.

“Lalu, kaukorbankan haridepanmu untuk seorang wanita hina, yang dipurukkan ke bawah sebagai perusak bahagia kaumnya, Wan?” tangismu kembali menyentakkan diriku. Aku elus rambutmu yang hitam-halus. Kau cantik, Ros. Kau tak berhak menderita seperti ini. Tuhan mengasihimu dan mengutusku menyelamatkanmu dari sergapan maut yang sia-sia. “Ini bukan sebuah pengorbanan yang tanpa arti, Ros. Sungguh. Ini sekedar suatu langkah-pastiku sebagai lelaki. Itu saja, tak lebih. Kuambil tindak terbaik, sebelum kehancuran terjadi.”

Gerimis mengeruntun dalam hujan lebat. Kututup jendela dan pintu kamar. Kuseka airmatamu nan deras. Kuseka linangan bahagiaku sendiri.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae