Han Gagas
Kompas, 27 Juni 2010
AKU lahir di tengah keluarga yang berbeda. Bapakku tunawicara, ibuku suwung kalau kambuh jadi begitu menakutkan. Marno, kakak pertama, suka berendam seharian. Kalau dilarang berendam, paling tidak ia mandi empat kali sehari, pukul 8, 11, 2, dan 4.
Kakak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri, tak mau memandang jika diajak bicara. Ia hanya mau bersitatap denganku bila aku menanyakan sedang apa ia dengan bulpennya itu. Ia senang mencoret-coret bukunya mirip gambar, mirip angka, mirip tulisan, atau tak mirip apa pun.
Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya itu matanya selalu lapar setiap melihat lelaki muda. Jika ada lelaki bertamu, ia segera bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang lalu menggelayut manja.
Kakak terakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. Ia pendiam tapi jangan salah sangka, ketika sedang marah, dunia jadi kiamat! Semua barang dilempar, digulingkan, dipecahkan, ditumpahkan. Lantai dicakar-cakar, mengamuk. Lalu bapak dan aku dibantu tetangga segera menangkap kedua tangan dan kakinya untuk menenangkan. Butuh paling tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai dia tenang kembali.
Namaku Redi. Kata ibu, ketika aku lahir terdengar ledakan gunung meletus lalu turun dengan derasnya hujan abu. Segala daun dan pohon, tegalan, rumah, kali, semuanya kelabu. Karena itu aku diberi nama Redi Kelud, Gunung Kelud, artinya. Nama yang tak lazim sebab umumnya bayi perempuan diberi nama yang indah seperti: Dewi, Astrid, atau Seruni, begitulah kira-kira. Namun aku tak berkecil hati, dengan nama itu aku merasa kuat. Kuat seperti gunung.
Suatu saat ada tamu datang menawarkan pengasuhan pada kami. Kami semua? Tentu tidak, kata Si Mas tamu. Katanya, anggaran lembaga sangat terbatas jadi baru satu yang bisa ditampung. Baru satu, nanti yang lain bisa menyusul? Ya, nanti kita lihat situasi keuangan dulu. Kita lihat situasi, bukankah itu tidak pasti. Sahutku sebagai juru bicara keluarga ini. Walau aku terkecil, aku yang selalu maju berhadapan dengan tamu karena yang lain pasti tak nyambung, diam mematung, ngompol, marah, atau ketakutan di kamar mandi, berendam.
Si Mas tamu diam, namun kulihat sorot matanya berubah.
“Jangan kau berpikir buruk dan jahat!” tegasku.
Dia kaget, “Apakah kau bisa membaca pikiranku?”
“Tentu tidak! Aku cuma ingin berkata itu saja!”
“Tapi kenapa kau bisa mengatakan hal itu?”
“Aku tak tahu, yang kutahu tatapan mata Mas tiba-tiba seperti silet.”
“Kau anak yang cerdas sekaligus mendapat anugerah luar biasa.”
“Apa maksudmu dengan berkata demikian!”
“Aku tak bermaksud yang bukan-bukan. Aku merasa tentulah karena kecerdasan dan kebaikan hatimu, kau bisa menentukan mana yang terbaik bagi keluargamu. Kau bisa memilih salah satu keluargamu yang kau titipkan untuk kami rawat dan sembuhkan.”
“Kami tak perlu bantuan dan kami tidak sakit, toh selama ini, kami berkecukupan. Bapak bekerja di ladang. Ibu beternak. Aku menjual hasilnya ke pasar.”
“Bukan begitu. Memang semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan kakak-kakakmu? Bukankah sejak dulu hingga sekarang mereka hidup begitu-begitu saja.”
“Kau datang seolah-olah paling tahu yang baik buat kami! Aku tak mengerti pikiranmu, yang aku tahu kami senang karena kami bersama.”
“Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau baru berumur 10 tahun.”
“Aku suka membaca,” jawab Redi sekenanya.
“Apa yang kau baca?”
“Hanya koran-koran lusuh, itu pun bau pesing Kakak Astrid dan isinya hanyalah kabar kejahatan. Sungguh menyebalkan!”
“Lalu dari mana kau bisa berkata demikian?”
“Aku keceplosan.” Redi mengangkat bahu. Si Mas itu tak tahu bahwa Redi memiliki sayap di kedua bahunya. Siapa pun tak ada yang tahu kecuali keluarganya. Awalnya seperti daging kecil di bahu, lama kelamaan seiring tubuh Redi yang membesar daging itu juga tumbuh, dan sekarang mirip sayap walau hanya sepanjang telapak tangan Redi. Sayap itu selalu tertutupi baju. Kalaupun ada orang lain yang tahu, tak bakal mengira bahwa itu sayap. Orang pasti berpikir, Redi cacat karena keluarganya juga cacat. Mungkin dikira punya empat tangan. Tapi yang jelas berkat sayap itu Redi jadi cerdas.
“Apakah itu artinya kau menolak tawaran kami?”
“Ya, tentu saja. Tidak ada alasan kami menerimanya, kan? Kecuali, jika kami semua kalian tampung, itu masuk akal.”
“Tapi kami tak ada anggaran untuk itu. Kami juga harus menampung orang lain.”
“O, ya aku mengerti.”
Lalu Si Mas itu pamit dengan kepala yang berat.
Redi berlari ke lorong terang ketika semua tengah tertidur. Si Mas tamu meninggalkan tujuh nasi bungkus dan kekenyangan membuat semua keluarganya pulas. Ia duduk di bongkahan batu hitam lalu melepaskan bajunya. Mengelus dua sayap di bahunya yang berwarna abu-abu, mirip abu Kelud yang meletus 10 tahun lalu.
Kedua sayap itu ia gorok dengan belati kecil.
“Aku tak suka ini. Aku tak mau ada sayap di tubuhku. Aku bukan burung!”
“Jangan kau lakukan itu, teman.” Muncul seorang lelaki cebol berkuping panjang dan bentuk mulutnya tegak vertikal. Matanya juling, dengan alis tebal yang terangkat.
“Kenapa? Bukankah ini milikku, aku bisa melakukan apa pun pada milikku.”
“Tentu kau punya hak. Tapi untuk apa?”
“Sudah aku bilang, aku manusia, bukan burung!” Segera ia potong dua sayapnya itu dengan belati. Darah merembes dari bahunya. Menetes, menetes lagi tak berhenti-henti, mengalir, terus mengalir hingga meluber di lantai.
“Kau hanya mengotori lantaiku saja!”
“Nanti aku bersihkan!”
“Kau memang selalu buat masalah! Lihat, celanaku jadi basah. Sumbat darah di bahumu itu. Pasang kembali dua sayapmu!”
“Jangan kau usik aku dengan serapahmu yang tak berguna itu. Biarkan aku meresapi apa yang sedang kurasakan. Aku sudah lama mengharapkan hal ini.” Redi memandang dua sayapnya yang telah hanyut bersama darah itu. “Lihat, darahku mengalir keluar dari lorongmu ini. Jadi aku tak perlu membersihkan lantaimu!”
Tubuh Redi jadi tak biasa, rasanya demikian aneh. Kepalanya pening.
Orang-orang cemas. Hujan deras sejak kemarin mencapai batas ambang waduk. Hanya tinggal menghitung waktu banjir segera datang. Orang-orang berlarian menyelamatkan harta benda. Seorang tetangga bergegas ke rumah Redi.
“Cepat pergi, kota akan segera tenggelam. Waduk telah meluap.”
“Kami menunggu Redi. Bukankah kau tahu, ia sejak semalam tak pulang. Kau juga mestinya tahu bahwa kami selalu bersama-sama, kemana pun pergi dan tak pergi kami selalu bersama-sama. Pasti anak itu sedang mengunjungi temannya yang gila itu. Sejak dulu aku bilang, Si Cebol itu gila. Gila karena semua keluarganya mati dilempar ke Kali Brantas waktu huru-hara tahun 65 dulu. Si gila itu malah dianggapnya wali. Wali tengik! Tidak pernah di pesantren, tidak pernah naik haji. Tak mungkin bisa jadi wali,” terang ibu Redi.
“Ya sudah, kok jadi ngelantur. Yang penting aku sudah memperingatkan. Kami mau ke atas gunung.”
“Jangan ke Kelud!”
“Kenapa?”
“Berbahaya.”
“Aku tak percaya. Kau hanya berseloroh!”
Perempuan itu lalu menggerutu. Terlintas di pikirannya untuk pergi tapi bukankah selama ini mereka bisa bertahan dalam kebersamaan.
Tiba-tiba datang mobil Si Mas, “Ayo cepat! Kami tinggal mengangkut kalian, semua telah mengungsi.”
Ibu Redi mengumpat-umpat tak karuan. Tangannya mengusir pergi lalu memaki-maki sekenanya. Berteriak-teriak, rambutnya ia jambak, lalu terduduk dengan kaki ia tendangkan pada apa saja. Ia mengamuk jika ada perang dalam pikirannya.
Tak lama kemudian Redi datang bersama Si Cebol. Darah masih menetes dari bahunya. Bau anyir seketika menusuk hidung namun serentak hilang karena tubuh Si Cebol tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Wangi dan legi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mulai mengitari Si Cebol.
“Kenapa kalian tak pergi?” tanya Si Cebol.
“Kami menunggumu, Redi.” Jawab ibu Redi yang mulai tenang.
“Biarkanlah aku di sini,” jawab Redi.
“Kalau kau di sini semua juga di sini. Tapi kenapa dengan bahumu?”
“Aku tak-apa-apa, Ibu.”
Tiba-tiba Si Ibu ketakutan. Redi baru tersadar bahwa ibunya bakal kumat jika melihat darah.
“Ibumu terjun mengejar jasad kakekmu di Kali Brantas itu, Redi. Ia berenang di air penuh darah itu….”
Redi terpaku.
“Redi, kau tenangkan dulu ibumu, aku melihat situasi dulu,” lanjut Si Cebol.
Si Cebol diam sebentar lalu tubuhnya terangkat perlahan-lahan. Kini ia berada jauh di atas Redi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mengikuti. Dari matanya tampak banjir telah menenggelamkan desa di depan. Airnya berwarna merah. Ia sejenak mengamati itu, lalu turun.
“Redi, jernihkanlah pikiranmu. Kau tahu, banjir itu berwarna merah pasti dari darahmu yang terus menetes sejak tadi. Lihatlah ibumu, ia tak tahan melihat darahmu. Berdamailah, Redi. Terimalah kau seperti adanya. Sayap itu anugerah dari Tuhan. Kau adalah manusia seberapa pun kau berbedanya dengan orang-orang itu. Redi, kau tahu aku tak sanggup membendung banjir jika berwarna merah. Aku bisa kalap. Ingatan itu tak bisa kulupa….”
Untuk kali pertama, Redi melihat Si Cebol menitikkan air mata. Ibunya dilanda ketakutan. Ia tercenung, lalu mulutnya menyedot udara, seketika dua sayapnya tertarik lalu segera ia pasang. Darah tak lagi menetes, warna merah di kejauhan telah tergulung oleh coklatnya air bah dari waduk.
Si Cebol perlahan-lahan naik lalu jempolnya ia tiup. Tiba-tiba, perlahan namun pasti, jempol itu menggelembung, membesar. Tangannya memanjang dan menjadi raksasa. Lalu dengan cekatan ia membuat gorong-gorong ke utara, ke arah lereng Gunung Kelud. Sebenarnya ia tahu gunung itu telah gundul, dan itu artinya tak semua air bisa dibelokkan tapi memang tak ada pilihan lain.
Matanya tak jeli, para penduduk ada di sana….
Banjir telah redam dengan kematian ratusan jiwa. Orang-orang telah pergi seperti ribuan batang pohon-pohon hutan yang digotong ratusan truk.
Redi bersedih telah kehilangan semua tetangganya. Ia selalu teringat pada mereka yang telah berbuat baik pada keluarganya. Ia terbang ke lorong terang hendak mengaduh pada Si Cebol. (*)
Solo, 4 Maret 2010
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2010/06/27/redi-kelud/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 21 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar