Selasa, 03 April 2012

Mengenang Penyair Afrizal

Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Sulit dipungkiri, perayaan eksplorasi bahasa puitik pada dekade 1990-an terimbas dari puisi-puisi Afrizal Malna. Selagi para penyair sibuk dengan puisi religius, puisi terlibat (baca: sastra kontekstual), puisi imaji-simbolis, atau puisi kontemplatif; Afrizal mencuat dengan puisi hiperealis. Sebuah puisi yang simpang siur dengan ikon-ikon teknologi, budaya massa, pop, juga kebiasaan masyarakat menghabiskan waktu di super market.

Puisi Afrizal seakan tidak risih dengan diksi-diksi non-puitis. Gemerlap lalu lintas kehidupan massa justru dijadikan pola bahasa puitik. Maka, seperti diduga Andi Warhol, sekejap terjadi “geger” kepenyairan. Afrizalian. Lahirlah nama-nama penyair seperti Arief B. Prasetyo, Adi Wicaksono, Agus Sarjono, W. Haryanto, S. Yoga, Abdul Wahid, bahkan Diro Aritonang. Kesemuanya terimbas dari “pukulan estetik” puisi-puisi Afrizal. Sebentar, bertahan kira-kira 7 tahun, sudah itu senyap.

Tulisan ini secara sengaja berusaha mengenang era produktifitas dan gairah permainan tanda dari penyair Afrizal. Sebuah instropeksi, lebih tepat sebagai jeda, tradisi puisi.

Afrizal Malna dilahirkan di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan terakhir: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak selesai). Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Kumpulan puisi yang telah terbit: Abad Yang Berlari (1994); mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995); mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1996), Biography of Reading (1995), dan Kalung dari Teman (1999). Pada kumpulan puisi Arsitektur Hujan, penyair Afrizal Malna menemukan puncak estetiknya, puncak ketenaran.

Penelitian terhadap puisi karya Afrizal Malna, apabila penelitian dipahami sebagai tulisan yang metodis dan paradigmatis, hingga saat sekarang belumlah ada. Media massa, yang kini dianggap wadah lalu-lintas kesusastraan paling getol, hanya menampilkan cuplikan-cuplikan berita dan penilaian singkat. Tulisan-tulisan tersebut belum menyentuh bongkar-pasang kode bahasa estetik ataupun penemuan gagasan orisisnil pada puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan. Lebih parah lagi, Agus S. Sarjono menengarai, bahwa puisi Afrizal Malna adalah puisi yang paling banyak ditiru dan diperkatakan namun paling sedikit dibahas orang (“Puisi Indonesia Mutakhir” dalam Ulumul Qur’an, no. 1/VIII/1998). Ditambahkannya, puisi Afrizal Malna menggunakan bahasa yang rumit dan tidak sederhana. Banyak terjadi paradoksal sintaksis, komposisi persajakan yang ditawarkan mengingatkan pada seni rupa instalasi. Secara tema, Agus menangkap adanya kegelisahan eksistensial sang akulirik, namun yang terealisasi justru akupublik.

Tommy F. Awuy menyatakan bahwa puisi-puisi Afrizal Malna termasuk karya sastra kontemporer, yaitu melalui verbalisasi kata-kata. Afrizal Malna memaknai benda-benda bukan sesuatu yang “an sich”, setiap benda menjadi simbol masing-masing, bahkan kadang satu benda merupakan wakil dari sekian banyak simbol (Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Bentang, Yogyakarta, 1995). Pada tulisan yang lain, Tommy menyatakan puisi-puisi Afrizal Malna merupakan karya kontemporer, hasil eksplorasi dari puisi Chairil dan Sutardji (“Sastra Indonesia Kontemporer” dalam jurnal budaya Kolong 3, Th. I, 1996). Usaha ini dimulai dari Remi Sylado dan mencapai puncak pada Afrizal Malna.

Karya sastra kontemporer memang peristilahan yang masih patut diperdebat-tanyakan, pemilahan ini lebih mengacu pada waktu kekinian dari pada batas gagasan yang orisinalitas. Konsep estetika puisi kontemporer belum tentu berbeda dengan puisi sebelumnya, meskipun juga belum tentu sama. Tetapi Afrizal Malna, dengan puisi dan teaternya, adalah fenomena yang tidak hanya mengikuti gerak waktu. Karya Afrizal Malna menyodorkan bentuk estetika ekslusif dibandingkan karya-karya sastrawan lain, baik yang sebelum maupun yang semasa. Demikian dikatakan oleh Jakob Sumardjo dalam wawancara dengan wartawan majalah Kolong, tetapi konsep filosofi karya sastra Afrizal Malna disinyalir berasal dari barat (“Sastra Kontemporer, Baru Gejala”, wawancara dalam jurnal budaya Kolong 3 Th. I, l996).

Joko Pinurbo pada esai sastra menuliskan bahwa Afrizal Malna menawarkan cara pandang berbeda dibandingkan dengan penyair sebelum dan semasanya. Pilihan ini membuat puisi Afrizal Malna sangat menarik perhatian sekaligus menumbuhkan problematika. “Penyair yang botak kepalanya makin “mempuisi” ini menempuh jalur yang sebaliknya. Jalur yang memang keras dan gaduh. Berbeda dengan banyak penyair lain yang masih gamang dalam menghadapi kemelut budaya industri dan teknologi, Afrizal memilih untuk bergelut di dalamnya dan menjadikannya sebagai kancah pergulatan estetik dan intelekualnya. Karena itu, tidak seperti banyak penyair lain, Afrizal bisa dengan fasih memainkan kata-kata, idiom-idiom, yang digali dari khasanah dunia industri dan teknologi (dengan kota sebagai basisnya) sefasih Acep (Acep Zamzam Noor, penulis) memainkan imaji-imaji alam”, Joko Pinurbo, “Puisi Indonesia, Jelajah Estetik dan Komitmen Sosial”, jurnal kebudayaan Kalam 13.

Tentang beredarnya anggapan bahwa puisi Afrizal Malna sangat rumit dan gelap, sehingga banyak kesulitan untuk memahami, Joko Pinurbo mengakui perlu tempuhan pendekatan yang berbeda. Setidaknya, tiga strategi tekstual dilancarkan Afrizal Malna. Pertama, rangkaian kalimat-kalimat dalam puisi Afrizal senantiasa melompat-lompat, membentuk diskontinuitas semantis, dan menggerogoti koherensinya. Kedua, banyak diksi antipuitik dijadikan “bahan mentah” bagi metafora-metafora yang potensial merobek horison harapan pembaca. Ketiga, banyak terjadi, dua kategori atau kelas benda-benda yang sangat jauh hubungannya sengaja dikait(kait)kan sebagai tenor dan vebicle bagi kiasan-kiasan yang kompleks.

Sayang sekali, Joko Pinurbo tidak menjawab, dari khasanah mana Afrizal membangun kode bahasa puitik, dan apa efek puitik serta sosial dari teks puisi Afrizal.

Satu dari dua pertanyaan tersebut secara samar, dan sebenarnya belum dapat dijadikan jawab, diselami oleh D. Zawawi Imron. Penyair dari Madura yang tidak tahu tanggal kelahirannya ini, menuliskan: Afrizal tidak memberi tanda bahaya, memperingatkan pun tidak, tapi saya sendiri seperti diingatkan, dan merasa harus ingat, bahwa dalam pergumulan kehidupan, dalam aktivitas budaya, ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain, kita perlu waspada, termasuk kepada ulah diri sendiri. Sebab, kompeni tidak harus berkulit putih bermata biru dan berambut pirang. Sebab, mungkin, ia bukan bangsa, tapi mungkin sejenis ideologi, paham, dan kepentingan yang kurang dihormati manusia (“Afrizal Malna: Melawan Kompeni”, harian Jawa Pos, 14 Pebruari 1999).

Hanya saja, Zawawi tidak memberi penjelasan puitik terhadap puisi-puisi Afrizal. Tulisan singkatnya hanya berkutat pada sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia dan kaitannya dengan puisi Afrizal berjudul “Seorang Lelaki di Benteng Fort Roterdam” dari antologi Arsitektur Hujan.

Sapardi Djoko Damono dalam tulisan esai, melihat adanya kecenderungan puisi Indonesia berada dalam ketegangan antara keberaksaraan dan kelisanan, dan termasuk di dalamnya puisi-puisi Afrizal Malna. Dari puisi berjudul “Warisan Kita” yang dikutipnya, Sapardi menemukan adanya segi kelisanan yang sangat kuat seperti halnya mantra. Dikatakan, Afrizal Malna jelas mengontrol tulisannya, seperti juga Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya, jalinan kata, frase, larik, dan bait sajaknya semuanya jelas diatur sedemikian rupa sehingga keinginan penyair (untuk berkomunikasi?) bisa terpenuhi.

Terhadap pembacaan puisi Afrizal Malna yang sulit dipahami maknanya, Sapardi justru melihat gejala itu sebagai ciri puisi atau ungkapan bahasa estetik yang disengaja. “Saya curiga itulah justru strategi penyair ini dalam menghadapi pembaca yang umumnya pemburu amanat, yang ingin memahami dan tidak hendak menghayati puisi”, “Kelisanan dan Keberaksaraan, Kasus Puisi Indonesia Mutakhir”, jurnal kebudayaan Kalam 13, 1999.

Masih banyak tulisan maupun komentar yang berhubungan dengan pusi-puisi Afrizal Malna, disebabkan sempitnya ruang maka tidak dapat secara keseluruhan disertakan dalam penelitian ini. Pun juga, secara tersirat, arah dari beberapa tulisan tersebut nyaris identik dengan yang telah dikutipkan di atas.

Yang lebih pasti, membaca puisi-puisi Afrizal Malna, saya seperti terjerumus pada gurun pengalaman dengan tepi adalah jalan masuk menuju gurun pengalaman lain, demikian seterusnya, sampai pada titik di mana kesadaran identitias tercerabut. Bukan oleh sunyi, dan bukan oleh religi, tapi oleh limpah-ruah citraan dan mimpi-mimpi basah. Segalanya begitu saja datang, segalanya begitu saja menjauh. Citraan yang seakan lebih dekat dari kulit jari, tapi juga terasa lebih lebar dari batas pandang. Tamasya pikir dan imajinasi. Kesemuanya disebabkan oleh logika teks puisi yang tidak stabil.

Afrizal Malna menyajikan puisi melalui distribusi kata-kata yang seolah tiada beraturan, deret paradigmatik yang melompat-lompat dan kombinasi sintagmatik yang mengejutkan. Hubungan tiap kalimat seakan tanpa kausalitas. Satu kalimat tentang cinta, dijalin dengan keramik buatan Cina, disusul siul merdu sekaligus pilu, lalu diteruskan dengan ilustrasi dua orang saling berbagi sikat gigi, terakhirnya sebuah pertanyaan tentang aku lirik yang membangun kamar mandi (puisi “Kisah Cinta Tak Bersalah”).

Bersandar pada kenyaatan, kontribusi Afrizal bagi tradisi puisi (baca: sastra dan budaya), patut disayangkan “penyair Afrizal Malna seakan tinggal kenangan. Afrizal tersisa sebatas kilas-mimpi sebuah tradisi. Dan kini, setelah gagal dengan kumpulan puisi Kalung dari Teman (1998), secara terseok-seok Afrizal berusaha bangkit dengan kumpulan puisi terbaru Dalam Rahim Ibu Tak Ada Anjing (Bentang, 2003). Sukses buat penyair Afrizal Malna, semoga.

–––––– Studio Gapus, Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/17/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae