Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/
Sulit dipungkiri, perayaan eksplorasi bahasa puitik pada dekade 1990-an terimbas dari puisi-puisi Afrizal Malna. Selagi para penyair sibuk dengan puisi religius, puisi terlibat (baca: sastra kontekstual), puisi imaji-simbolis, atau puisi kontemplatif; Afrizal mencuat dengan puisi hiperealis. Sebuah puisi yang simpang siur dengan ikon-ikon teknologi, budaya massa, pop, juga kebiasaan masyarakat menghabiskan waktu di super market.
Puisi Afrizal seakan tidak risih dengan diksi-diksi non-puitis. Gemerlap lalu lintas kehidupan massa justru dijadikan pola bahasa puitik. Maka, seperti diduga Andi Warhol, sekejap terjadi “geger” kepenyairan. Afrizalian. Lahirlah nama-nama penyair seperti Arief B. Prasetyo, Adi Wicaksono, Agus Sarjono, W. Haryanto, S. Yoga, Abdul Wahid, bahkan Diro Aritonang. Kesemuanya terimbas dari “pukulan estetik” puisi-puisi Afrizal. Sebentar, bertahan kira-kira 7 tahun, sudah itu senyap.
Tulisan ini secara sengaja berusaha mengenang era produktifitas dan gairah permainan tanda dari penyair Afrizal. Sebuah instropeksi, lebih tepat sebagai jeda, tradisi puisi.
Afrizal Malna dilahirkan di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan terakhir: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak selesai). Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Kumpulan puisi yang telah terbit: Abad Yang Berlari (1994); mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, (1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995); mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1996), Biography of Reading (1995), dan Kalung dari Teman (1999). Pada kumpulan puisi Arsitektur Hujan, penyair Afrizal Malna menemukan puncak estetiknya, puncak ketenaran.
Penelitian terhadap puisi karya Afrizal Malna, apabila penelitian dipahami sebagai tulisan yang metodis dan paradigmatis, hingga saat sekarang belumlah ada. Media massa, yang kini dianggap wadah lalu-lintas kesusastraan paling getol, hanya menampilkan cuplikan-cuplikan berita dan penilaian singkat. Tulisan-tulisan tersebut belum menyentuh bongkar-pasang kode bahasa estetik ataupun penemuan gagasan orisisnil pada puisi-puisi dalam antologi Arsitektur Hujan. Lebih parah lagi, Agus S. Sarjono menengarai, bahwa puisi Afrizal Malna adalah puisi yang paling banyak ditiru dan diperkatakan namun paling sedikit dibahas orang (“Puisi Indonesia Mutakhir” dalam Ulumul Qur’an, no. 1/VIII/1998). Ditambahkannya, puisi Afrizal Malna menggunakan bahasa yang rumit dan tidak sederhana. Banyak terjadi paradoksal sintaksis, komposisi persajakan yang ditawarkan mengingatkan pada seni rupa instalasi. Secara tema, Agus menangkap adanya kegelisahan eksistensial sang akulirik, namun yang terealisasi justru akupublik.
Tommy F. Awuy menyatakan bahwa puisi-puisi Afrizal Malna termasuk karya sastra kontemporer, yaitu melalui verbalisasi kata-kata. Afrizal Malna memaknai benda-benda bukan sesuatu yang “an sich”, setiap benda menjadi simbol masing-masing, bahkan kadang satu benda merupakan wakil dari sekian banyak simbol (Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Bentang, Yogyakarta, 1995). Pada tulisan yang lain, Tommy menyatakan puisi-puisi Afrizal Malna merupakan karya kontemporer, hasil eksplorasi dari puisi Chairil dan Sutardji (“Sastra Indonesia Kontemporer” dalam jurnal budaya Kolong 3, Th. I, 1996). Usaha ini dimulai dari Remi Sylado dan mencapai puncak pada Afrizal Malna.
Karya sastra kontemporer memang peristilahan yang masih patut diperdebat-tanyakan, pemilahan ini lebih mengacu pada waktu kekinian dari pada batas gagasan yang orisinalitas. Konsep estetika puisi kontemporer belum tentu berbeda dengan puisi sebelumnya, meskipun juga belum tentu sama. Tetapi Afrizal Malna, dengan puisi dan teaternya, adalah fenomena yang tidak hanya mengikuti gerak waktu. Karya Afrizal Malna menyodorkan bentuk estetika ekslusif dibandingkan karya-karya sastrawan lain, baik yang sebelum maupun yang semasa. Demikian dikatakan oleh Jakob Sumardjo dalam wawancara dengan wartawan majalah Kolong, tetapi konsep filosofi karya sastra Afrizal Malna disinyalir berasal dari barat (“Sastra Kontemporer, Baru Gejala”, wawancara dalam jurnal budaya Kolong 3 Th. I, l996).
Joko Pinurbo pada esai sastra menuliskan bahwa Afrizal Malna menawarkan cara pandang berbeda dibandingkan dengan penyair sebelum dan semasanya. Pilihan ini membuat puisi Afrizal Malna sangat menarik perhatian sekaligus menumbuhkan problematika. “Penyair yang botak kepalanya makin “mempuisi” ini menempuh jalur yang sebaliknya. Jalur yang memang keras dan gaduh. Berbeda dengan banyak penyair lain yang masih gamang dalam menghadapi kemelut budaya industri dan teknologi, Afrizal memilih untuk bergelut di dalamnya dan menjadikannya sebagai kancah pergulatan estetik dan intelekualnya. Karena itu, tidak seperti banyak penyair lain, Afrizal bisa dengan fasih memainkan kata-kata, idiom-idiom, yang digali dari khasanah dunia industri dan teknologi (dengan kota sebagai basisnya) sefasih Acep (Acep Zamzam Noor, penulis) memainkan imaji-imaji alam”, Joko Pinurbo, “Puisi Indonesia, Jelajah Estetik dan Komitmen Sosial”, jurnal kebudayaan Kalam 13.
Tentang beredarnya anggapan bahwa puisi Afrizal Malna sangat rumit dan gelap, sehingga banyak kesulitan untuk memahami, Joko Pinurbo mengakui perlu tempuhan pendekatan yang berbeda. Setidaknya, tiga strategi tekstual dilancarkan Afrizal Malna. Pertama, rangkaian kalimat-kalimat dalam puisi Afrizal senantiasa melompat-lompat, membentuk diskontinuitas semantis, dan menggerogoti koherensinya. Kedua, banyak diksi antipuitik dijadikan “bahan mentah” bagi metafora-metafora yang potensial merobek horison harapan pembaca. Ketiga, banyak terjadi, dua kategori atau kelas benda-benda yang sangat jauh hubungannya sengaja dikait(kait)kan sebagai tenor dan vebicle bagi kiasan-kiasan yang kompleks.
Sayang sekali, Joko Pinurbo tidak menjawab, dari khasanah mana Afrizal membangun kode bahasa puitik, dan apa efek puitik serta sosial dari teks puisi Afrizal.
Satu dari dua pertanyaan tersebut secara samar, dan sebenarnya belum dapat dijadikan jawab, diselami oleh D. Zawawi Imron. Penyair dari Madura yang tidak tahu tanggal kelahirannya ini, menuliskan: Afrizal tidak memberi tanda bahaya, memperingatkan pun tidak, tapi saya sendiri seperti diingatkan, dan merasa harus ingat, bahwa dalam pergumulan kehidupan, dalam aktivitas budaya, ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain, kita perlu waspada, termasuk kepada ulah diri sendiri. Sebab, kompeni tidak harus berkulit putih bermata biru dan berambut pirang. Sebab, mungkin, ia bukan bangsa, tapi mungkin sejenis ideologi, paham, dan kepentingan yang kurang dihormati manusia (“Afrizal Malna: Melawan Kompeni”, harian Jawa Pos, 14 Pebruari 1999).
Hanya saja, Zawawi tidak memberi penjelasan puitik terhadap puisi-puisi Afrizal. Tulisan singkatnya hanya berkutat pada sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia dan kaitannya dengan puisi Afrizal berjudul “Seorang Lelaki di Benteng Fort Roterdam” dari antologi Arsitektur Hujan.
Sapardi Djoko Damono dalam tulisan esai, melihat adanya kecenderungan puisi Indonesia berada dalam ketegangan antara keberaksaraan dan kelisanan, dan termasuk di dalamnya puisi-puisi Afrizal Malna. Dari puisi berjudul “Warisan Kita” yang dikutipnya, Sapardi menemukan adanya segi kelisanan yang sangat kuat seperti halnya mantra. Dikatakan, Afrizal Malna jelas mengontrol tulisannya, seperti juga Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya, jalinan kata, frase, larik, dan bait sajaknya semuanya jelas diatur sedemikian rupa sehingga keinginan penyair (untuk berkomunikasi?) bisa terpenuhi.
Terhadap pembacaan puisi Afrizal Malna yang sulit dipahami maknanya, Sapardi justru melihat gejala itu sebagai ciri puisi atau ungkapan bahasa estetik yang disengaja. “Saya curiga itulah justru strategi penyair ini dalam menghadapi pembaca yang umumnya pemburu amanat, yang ingin memahami dan tidak hendak menghayati puisi”, “Kelisanan dan Keberaksaraan, Kasus Puisi Indonesia Mutakhir”, jurnal kebudayaan Kalam 13, 1999.
Masih banyak tulisan maupun komentar yang berhubungan dengan pusi-puisi Afrizal Malna, disebabkan sempitnya ruang maka tidak dapat secara keseluruhan disertakan dalam penelitian ini. Pun juga, secara tersirat, arah dari beberapa tulisan tersebut nyaris identik dengan yang telah dikutipkan di atas.
Yang lebih pasti, membaca puisi-puisi Afrizal Malna, saya seperti terjerumus pada gurun pengalaman dengan tepi adalah jalan masuk menuju gurun pengalaman lain, demikian seterusnya, sampai pada titik di mana kesadaran identitias tercerabut. Bukan oleh sunyi, dan bukan oleh religi, tapi oleh limpah-ruah citraan dan mimpi-mimpi basah. Segalanya begitu saja datang, segalanya begitu saja menjauh. Citraan yang seakan lebih dekat dari kulit jari, tapi juga terasa lebih lebar dari batas pandang. Tamasya pikir dan imajinasi. Kesemuanya disebabkan oleh logika teks puisi yang tidak stabil.
Afrizal Malna menyajikan puisi melalui distribusi kata-kata yang seolah tiada beraturan, deret paradigmatik yang melompat-lompat dan kombinasi sintagmatik yang mengejutkan. Hubungan tiap kalimat seakan tanpa kausalitas. Satu kalimat tentang cinta, dijalin dengan keramik buatan Cina, disusul siul merdu sekaligus pilu, lalu diteruskan dengan ilustrasi dua orang saling berbagi sikat gigi, terakhirnya sebuah pertanyaan tentang aku lirik yang membangun kamar mandi (puisi “Kisah Cinta Tak Bersalah”).
Bersandar pada kenyaatan, kontribusi Afrizal bagi tradisi puisi (baca: sastra dan budaya), patut disayangkan “penyair Afrizal Malna seakan tinggal kenangan. Afrizal tersisa sebatas kilas-mimpi sebuah tradisi. Dan kini, setelah gagal dengan kumpulan puisi Kalung dari Teman (1998), secara terseok-seok Afrizal berusaha bangkit dengan kumpulan puisi terbaru Dalam Rahim Ibu Tak Ada Anjing (Bentang, 2003). Sukses buat penyair Afrizal Malna, semoga.
–––––– Studio Gapus, Surabaya
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/17/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar