Emha Ainun Nadjib
AYAM memang hewan atau binatang, tetapi tak sekadar hewan atau binatang, ia adalah juga ayam. Ia bahkan punya banyak identitas dan kemungkinan eksistensi yang lain.
Ayam juga makhluk dunia, warga dunia, bagian dari alam, peliharaan Pak Kardjo, temannya ayam lain, putra atau putrinya bapak ayam ibu ayam, penghuni kandang ayam pojok RT. Ayam adalah juga hewan, bukan bebek, bukan angsa, bukan burung bukan anjing, bahkan bukan manusia. Identitas mana yang primer mana yang sekunder, itu soal cara pandang.
Mana kedirian yang “sekadar”, mana yang “bahkan”, mana yang “utamanya”, itu soal konsep nilai dan bisa berbeda-beda. Sebuah cara pandang bisa meletakkan ayam sebagai “sekadar ayam”. Namun cara pandang lain menyebut “mending ayam”, maksudnya: umpamanya “dibandingkan manusia”. Lho kok dibandingkan manusia? Cara pandang itu menemukan bahwa ayam sangat mungkin lebih berguna bagi kehidupan seluruh makhluk alam semesta ini, sekurang-kurangnya bagi umat manusia, dibandingkan manusia sendiri.
Umpamanya masih lebih baik ayam yang tidak mungkin mencuri manusia dibandingkan “manusia pencuri ayam”. Bahkan ada cara pandang nilai yang meletakkan ayam di wilayah kemuliaan: segala perilaku ayam, langkahnya, makan minumnya, mati hidupnya, 100% menaati sunnah Tuhan atau tradisi penciptaan yang di-set up Tuhan. Ayam sepenuhnya patuh kepada Tuhan, sementara manusia dikasih peluang demokrasi: berpikir sendiri, menentukan sendiri keputusan-keputusan hidupnya.
Maka manusia bergerak ke berbagai kemungkinan arah: ada yang menjadi lebih baik dari ayam, ada yang lebih hina dari ayam. Ayam disembelih saja berguna dan hasil masakannya enak dimakan manusia. Sementara manusia tak enak dimakan dan tidak punya posisi nilai untuk baik disembelih. Ketika ayam disembelih, digoreng atau digodok: itulah puncak kemuliaan kemakhlukannya.
Kata Alquran lagi: bersuku-suku, berbangsa-bangsa itu tak lain tak bukan untuk berkenalan, berempati satu sama lain, saling menghormati, menyayangi, bekerja sama, menjadi negara, kerajaan, PBB, parpol, ormas, perusahaan, warung, masjid dan gereja, gardu, SMS, cyber world, dan segala macam produk kerja sama kemanusiaan yang lain. Maka lima pilar yang menyangga berdirinya Republik Indonesia – rakyat, kaum intelektual, TNI/Polri, kekuatan adat dan tradisi serta sumber-sumber keagamaan – harus diterjemahkan secara matang di dalam budaya dan konstitusi, harus dijadikan pijakan setiap inisiatif transformasi sejarah yang menentukan arah pembangunan di bidang apa pun.
Selama 62 tahun merdeka yang pegang kendali hanya dua: kaum intelektual dan tentara-polisi. Rakyat hanya tunggangan, agama, dan adat tradisi hanya dieksploitasi dan dikomoditaskan. Salah satu akibatnya, etnisitas menjadi sama dengan kekerdilan, identitas keagamaan menjadi eksklusivisme. Begitu kita berpikir tentang pluralisme, maunya ayam kita tak anggap ayam, melainkan kita sebut hewan saja. Ayam tak boleh menonjolkan keayamannya.
Bahkan ayam harus disembunyikan penampakan ayamnya. Ayam harus agak kebebek-bebekan, bebek harus keangsa-angsaan, kerbau harus jangan terlalu jelas kerbaunya, lembu kalau bisa mirip kerbau, anjing seyogianya mirip manusia dan manusia bagus kalau seperti anjing. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan tak terbiasa melihat orang lain sebagai diri orang lain. Orang hanya siap melihat dirinya dalam keseragaman dengan kebanyakan orang. Orang sakit hati kalau menemukan orang lain tidak seperti dirinya.
Orang tidak tahan hati untuk berbeda. Kalau saya suka bergurau dengan kambing, para tetangga menyimpulkan saya adalah kambing. Kalau saya hadir ke acara partai komunis internasional, orang menyimpulkan saya sudah murtad dan keluar dari Islam. Padahal saya senang bergaul dengan setan, saya tidak pernah memusuhi setan, karena antara setan dengan saya sudah ada pemahaman dua pihak bahwa saya tidak mungkin mampu memengaruhi setan, sementara saya juga insya Allah tidak akan pernah membiarkan diri saya dipengaruhi oleh setan.
Maka setan lebih merupakan partner dialektika, sebagaimana kegelapan diperlukan untuk mempertegas cahaya, hitam diperlukan untuk menghayati putih dan warna-warna lain. Pada suatu waktu bersama kelompok Kiai Kanjeng kami tiba di Roma sesudah Aberdeen, London, dan Berlin. Begitu mendarat, layar televisi mengumumkan bahwa Paus Johannes Paulus II gerah alias sakit. Beberapa hari kemudian wafat. Kami pun ikhlas tidak jadi pentas. Karena kalau beliau wafat, pertandingan sepak bola di Roma atau mungkin seluruh Italia harus ditunda.
Semua tempat hiburan tutup. Yang buka cuma restoran dan warung. Tatkala Paus masih sakit, kami sempat berpentas di Teatro Dalmazia. Kemudian ketika kami menyiapkan pementasan di Teramo dan Napoli, ternyata Wali Kota Roma senang atas rencana pementasan Kiai Kanjeng di Roma sehingga memberi izin. Maka kami kembali menyiapkan diri dan membangun empati. Kami menyusun sejumlah aransemen baru untuk obituari Paus; saya menulis puisi:
Poesia per un Grande
L’uomo buono non puo’ morire Perche’ la bonta’ e’ piu’ forte della morte L’ uomo dal cuore sublime E’ il sole che irradia la terra Se lui muore Il sole si sposta Dal cielo Nell’anima di ogni essere umano L’uomo dall’animo puro Deve essere pronto a perdere se stesso Perche’ ognuno sente il diritto di possederlo E perche’ per amare tutti gli uomini Dovrebbe vivere mille anni Se l’uomo dall’animo puro Fa il suo dovere Di lasciare la terra In realta’ la terra non lo vuole lasciar andar via Milioni di persone lo piangono Mare e monti desiderano andare con lui Anzi la vita vorrebe fermarsi Piuttosto che continuare il suo cammino Senza essere accompagnata dall’uomo dall’animo sublime
Roma,5 Aprile 2005.
TENTU saja jangan menyangka saya bisa berbahasa Italia, apalagi menulis puisi berbahasa Italia. Sedangkan menulis puisi bahasa Indonesia saja dibolak-balik tetap tak kan sampai pada tingkat kemampuan Sutardji Calzoum Bachri, penyair asal Riau yang lahir dari rahim ibunya bahasa Indonesia.
Untunglah kekurangan berbahasa bisa bermanfaat untuk memperdekat hubungan kemanusiaan. Pluralisme tidak hanya berbekal kemampuan. Ketidakmampuan pun menjadi bekal yang baik, asal digoreng dari ketulusan hati. Ketika saya keliling Filipina pada 1980 bersama teman Ambon yang bahasa Inggrisnya hanya dua biji – “Yes” dan “No” – saya kalah dari dia soal memperoleh banyaknya teman. Dengan menggunakan bahasa badan, sorot mata, ekspresi wajah, teman saya itu menerobos siapa saja dan akhirnya menjadi sahabatnya.
Sementara saya sibuk minder karena bahasa Inggris saya juga hanya unggul beberapa biji dibanding dia. Kalau di luar negeri di mana kita berkomunikasi dengan bahasa Inggris, saya selalu mengawali pidato saya dengan, “Memohon maaf atas kacaunya bahasa Inggris saya karena dulu studi saya lebih fokus ke bahasa Arab.” Sementara kalau ke negara-negara Timur Tengah tinggal saya balik: “….fokus studi saya pada bahasa Inggris.”
Hadirin selalu tertawa. Semakin saya berusaha memperbaiki bahasa saya sehingga semakin tampak begonya, mereka semakin sayang sama saya. Puisi untuk Paus itu bahasa Indonesianya dibaca oleh istri saya, bahasa Italianya dibaca oleh teman Italia, musiknya oleh KiaiKanjeng dibikin sangat ‘gerejawi’ (sesungguhnya tidak ada musik, nada, irama yang beragama apa pun…).
Ditambah beberapa nomor lain yang memang kami aransemen khusus untuk publik Italia – penonton Indonesia hanya 5 sampai 7 orang, yang duduk di depan hanya 1 orang: cukuplah untuk membuat banyak orang menangis. Mungkin dalam bayangan mereka orang Islam itu hobinya makan orang, menggoreng jari-jari, kuping, dan buah pelir. Mungkin mereka selama ini berpendapat bahwa bagi orang Islam semua penghuni dunia yang tidak beragama Islam wajib dibunuh, disembelih, ditembak atau dibom. Mungkin secara antropologis mereka punya hipotesis bahwa kaum Muslimin kayaknya bukan berasal dari homo erectus atau homo sapien, mungkin homo bombus….
Ternyata orang Islam kenal cinta juga. Seusai pentas, selalu, tiga kali standing ovation, soundman KiaiKanjeng dijunjung duduk di atas pundak soundman setempat yang semula cemberut melulu sebelum pementasan. Rizki KiaiKanjeng terbesar di muka bumi ini adalah selalu diremehkan ke manapun mereka pergi, kemudian disayang dengan kadar yang plus karena menyesal meremehkan sebelumnya. Kecuali di Indonesia: KiaiKanjeng tidak diremehkan, juga tidak dijunjung karena tidak ada.
Yang jelas, setelah pementasan di Vatikan itu, juga setelah sekian puluh kali di berbagai negara, Kiai Kanjeng pentas dengan audiens lintas agama atau lain agama sama sekali, tidak seorang pun dari anggota KiaiKanjeng yang berganti agama, malah semakin pintar menggali dan mengembangkan rasa syukur.
Kiai Kanjeng juga tidak pernah berpikir bahwa orang non-Islam akan menjadi Muslim sesudah nonton Kiai Kanjeng karena kata Allah, “Sesungguhnya engkau tak bisa memberi petunjuk kepada siapa pun saja yang kau cintai, melainkan Allah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia maui.” Tahun 2008 Kiai Kanjeng diundang ke Belanda berdasarkan pertimbangan sesudah adanya kasus Theo van Gogh.
Barusan di sebuah kampung Katolik di Sleman Utara Yogyakarta KiaiKanjeng juga diminta kasih pengajian, padahal penduduk Islamnya hanya penghuni tiga rumah. Di Pasuruan, Pesantren Darut Taqwa yang punya Universitas Yudharta, baru saja minggu kemarin membuka panggung untuk Kiai Kanjeng memandu silaturahmi antara para pastor, kiai-kiai, tokoh-tokoh Budha dan Hindu, dengan audiens yang juga campuran. Acara-acara semacam itu bukan untuk mencampuradukkan antara agama Islam dengan agama lain.
Justru dipakai untuk menarik bersama garis-garis “offside”, “handsball”, “cornerball” dst. di antara koridor-koridor teologi yang tegas perbedaannya, namun membuka pintu-pintu butulan kultural, kerja sama ilmu, kongsi ekonomi, dan komitmen politik menjunjung keadilan plural. Saya pribadi melakukan kontrak seumur hidup dunia akhirat tidak akan memasukkan kata “permusuhan” di dalam harddisk kalbu saya. Kalau dimusuhi saya oke, bahkan berterima kasih, sebab itu menguji cinta saya dan menambah kualitas cinta saya jika mampu saya pertahankan di hadapan kebencian dan permusuhan orang lain kepada saya.
Bagi saya, permusuhan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, permusuhan hanya punya jodoh kematian. Permusuhan tidak punya ekspresi apa pun kecuali membunuh atau memusnahkan. Tak ada permusuhan dengan perang kata, debat pendapat, persaingan dagang, atau politik. Semua yang ada dalam kehidupan adalah cinta. Jika dipaksa melakukan permusuhan, langkah cuma satu: mati.
Maka saya tak pernah tega melihat orang didorong ke kematian di luar kehendak Tuhan. Misalnya disakiti, dianiaya, ditindas. Seorang sopir ditendang petugas di Bandara Juanda dengan sangat kasar, saya langsung meloncat ke petugas itu, saya banting, saya kunci dan baru saya lepaskan sesudah dia minta maaf kepada orang yang ditendangnya. Sedangkan ayam punya harga diri, apalagi sopir.
Pendalaman ilmu dan nilai seperti ini bisa kita perluas sampai detail dan beribu-ribu halaman kita hasilkan. Substansi yang akan kita ambil adalah bahwa ayam adalah ayam: ia tidak bisa hanya disebut hewan. Si Abdul, Bambang, John, bukan “hanya” manusia: ia juga orang Arab, Jawa atau Amerika. Ia juga orang Islam, orang Kristen, atau atheis. Pada mereka juga terdapat berbagai dimensi identitas: etnik, agama, budaya, golongan, jenis, spesies, gen, kelompok, kata Alquran: syu’ub wa qabail. Itulah pluralisme.
Suatu siang saya tiba di Tinambung, 350 km Makassar ke utara, keributan terjadi. “Pasukan Mandar”, sekitar 200 orang rakyat, beramai-ramai membawa senjata tajam naik motor, truk, Kijang, dll., menuju Kota Majene. Mereka akan menyerbu kelompok masyarakat di sana yang katanya “menghina Balanipa”. Balanipa adalah Kerajaan Mandar, 7 di pantai 7 di pegunungan, pusatnya di Tinambung. Balanipa adalah kata yang padanya terletak kehormatan dan harga diri suku Mandar. Ada orang-orang di Pasar Majene bilang bahwa Balanipa sudah tinggal khayalan dan omong kosong.
Orang-orang Tinambung naik pitam, ramai-ramai menyerbu Majene. Saya ajak seseorang sekenanya naik motor, ngebut sengebut-ngebutnya, kami kejar mereka, kami balap, dan sekitar 200 meter di depan rombongan motor saya hentikan dan saya parkir melintang di tengah jalan. Saya turun dan mencegat menghentikan mereka. “Kembali semua! Saya tunggu di masjid Jami’ bersama Mara’dia!”.
Mara’dia adalah sebutan untuk Raja Mandar. Mereka berbalik arah, saya menguntit di belakang mereka. Memasuki Tinambung mereka ke masjid, saya ke rumah Mara’dia, lapor ini itu kemudian kami sama-sama ke Masjid”. Suasana sangat tegang, sunyi, namun semua menundukkan muka. Saya membaca Surah An-Nur ayat 35, surat cahaya. Saya katakan kepada mereka “….musuh kita bukan manusia.”
Musuh kita adalah sistem yang sedang dibangun oleh sebagian manusia yang akan menghancurkan manusia. Sebentar lagi Jembatan Sungai Mandar di utara itu akan dibangun, kelak truk-truk akan masuk dan keluar wilayah Anda. Pikirkan truk itu akan membawa rezeki bagi masyarakat Tinambung ataukah akan merampok kekayaan Anda. Kalau Anda mulai berpikir untuk menjawab itu, maka itulah harga diri Mandar yang kembali dibangkitkan…”(*)
Dijumput dari: http://muhammad-abid.blogspot.com/2008/07/harga-diri-ayam.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 16 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar