Senin, 16 April 2012

Harga Diri Ayam

Emha Ainun Nadjib

AYAM memang hewan atau binatang, tetapi tak sekadar hewan atau binatang, ia adalah juga ayam. Ia bahkan punya banyak identitas dan kemungkinan eksistensi yang lain.

Ayam juga makhluk dunia, warga dunia, bagian dari alam, peliharaan Pak Kardjo, temannya ayam lain, putra atau putrinya bapak ayam ibu ayam, penghuni kandang ayam pojok RT. Ayam adalah juga hewan, bukan bebek, bukan angsa, bukan burung bukan anjing, bahkan bukan manusia. Identitas mana yang primer mana yang sekunder, itu soal cara pandang.

Mana kedirian yang “sekadar”, mana yang “bahkan”, mana yang “utamanya”, itu soal konsep nilai dan bisa berbeda-beda. Sebuah cara pandang bisa meletakkan ayam sebagai “sekadar ayam”. Namun cara pandang lain menyebut “mending ayam”, maksudnya: umpamanya “dibandingkan manusia”. Lho kok dibandingkan manusia? Cara pandang itu menemukan bahwa ayam sangat mungkin lebih berguna bagi kehidupan seluruh makhluk alam semesta ini, sekurang-kurangnya bagi umat manusia, dibandingkan manusia sendiri.

Umpamanya masih lebih baik ayam yang tidak mungkin mencuri manusia dibandingkan “manusia pencuri ayam”. Bahkan ada cara pandang nilai yang meletakkan ayam di wilayah kemuliaan: segala perilaku ayam, langkahnya, makan minumnya, mati hidupnya, 100% menaati sunnah Tuhan atau tradisi penciptaan yang di-set up Tuhan. Ayam sepenuhnya patuh kepada Tuhan, sementara manusia dikasih peluang demokrasi: berpikir sendiri, menentukan sendiri keputusan-keputusan hidupnya.

Maka manusia bergerak ke berbagai kemungkinan arah: ada yang menjadi lebih baik dari ayam, ada yang lebih hina dari ayam. Ayam disembelih saja berguna dan hasil masakannya enak dimakan manusia. Sementara manusia tak enak dimakan dan tidak punya posisi nilai untuk baik disembelih. Ketika ayam disembelih, digoreng atau digodok: itulah puncak kemuliaan kemakhlukannya.

Kata Alquran lagi: bersuku-suku, berbangsa-bangsa itu tak lain tak bukan untuk berkenalan, berempati satu sama lain, saling menghormati, menyayangi, bekerja sama, menjadi negara, kerajaan, PBB, parpol, ormas, perusahaan, warung, masjid dan gereja, gardu, SMS, cyber world, dan segala macam produk kerja sama kemanusiaan yang lain. Maka lima pilar yang menyangga berdirinya Republik Indonesia – rakyat, kaum intelektual, TNI/Polri, kekuatan adat dan tradisi serta sumber-sumber keagamaan – harus diterjemahkan secara matang di dalam budaya dan konstitusi, harus dijadikan pijakan setiap inisiatif transformasi sejarah yang menentukan arah pembangunan di bidang apa pun.

Selama 62 tahun merdeka yang pegang kendali hanya dua: kaum intelektual dan tentara-polisi. Rakyat hanya tunggangan, agama, dan adat tradisi hanya dieksploitasi dan dikomoditaskan. Salah satu akibatnya, etnisitas menjadi sama dengan kekerdilan, identitas keagamaan menjadi eksklusivisme. Begitu kita berpikir tentang pluralisme, maunya ayam kita tak anggap ayam, melainkan kita sebut hewan saja. Ayam tak boleh menonjolkan keayamannya.

Bahkan ayam harus disembunyikan penampakan ayamnya. Ayam harus agak kebebek-bebekan, bebek harus keangsa-angsaan, kerbau harus jangan terlalu jelas kerbaunya, lembu kalau bisa mirip kerbau, anjing seyogianya mirip manusia dan manusia bagus kalau seperti anjing. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan tak terbiasa melihat orang lain sebagai diri orang lain. Orang hanya siap melihat dirinya dalam keseragaman dengan kebanyakan orang. Orang sakit hati kalau menemukan orang lain tidak seperti dirinya.

Orang tidak tahan hati untuk berbeda. Kalau saya suka bergurau dengan kambing, para tetangga menyimpulkan saya adalah kambing. Kalau saya hadir ke acara partai komunis internasional, orang menyimpulkan saya sudah murtad dan keluar dari Islam. Padahal saya senang bergaul dengan setan, saya tidak pernah memusuhi setan, karena antara setan dengan saya sudah ada pemahaman dua pihak bahwa saya tidak mungkin mampu memengaruhi setan, sementara saya juga insya Allah tidak akan pernah membiarkan diri saya dipengaruhi oleh setan.

Maka setan lebih merupakan partner dialektika, sebagaimana kegelapan diperlukan untuk mempertegas cahaya, hitam diperlukan untuk menghayati putih dan warna-warna lain. Pada suatu waktu bersama kelompok Kiai Kanjeng kami tiba di Roma sesudah Aberdeen, London, dan Berlin. Begitu mendarat, layar televisi mengumumkan bahwa Paus Johannes Paulus II gerah alias sakit. Beberapa hari kemudian wafat. Kami pun ikhlas tidak jadi pentas. Karena kalau beliau wafat, pertandingan sepak bola di Roma atau mungkin seluruh Italia harus ditunda.

Semua tempat hiburan tutup. Yang buka cuma restoran dan warung. Tatkala Paus masih sakit, kami sempat berpentas di Teatro Dalmazia. Kemudian ketika kami menyiapkan pementasan di Teramo dan Napoli, ternyata Wali Kota Roma senang atas rencana pementasan Kiai Kanjeng di Roma sehingga memberi izin. Maka kami kembali menyiapkan diri dan membangun empati. Kami menyusun sejumlah aransemen baru untuk obituari Paus; saya menulis puisi:

Poesia per un Grande

L’uomo buono non puo’ morire Perche’ la bonta’ e’ piu’ forte della morte L’ uomo dal cuore sublime E’ il sole che irradia la terra Se lui muore Il sole si sposta Dal cielo Nell’anima di ogni essere umano L’uomo dall’animo puro Deve essere pronto a perdere se stesso Perche’ ognuno sente il diritto di possederlo E perche’ per amare tutti gli uomini Dovrebbe vivere mille anni Se l’uomo dall’animo puro Fa il suo dovere Di lasciare la terra In realta’ la terra non lo vuole lasciar andar via Milioni di persone lo piangono Mare e monti desiderano andare con lui Anzi la vita vorrebe fermarsi Piuttosto che continuare il suo cammino Senza essere accompagnata dall’uomo dall’animo sublime

Roma,5 Aprile 2005.

TENTU saja jangan menyangka saya bisa berbahasa Italia, apalagi menulis puisi berbahasa Italia. Sedangkan menulis puisi bahasa Indonesia saja dibolak-balik tetap tak kan sampai pada tingkat kemampuan Sutardji Calzoum Bachri, penyair asal Riau yang lahir dari rahim ibunya bahasa Indonesia.

Untunglah kekurangan berbahasa bisa bermanfaat untuk memperdekat hubungan kemanusiaan. Pluralisme tidak hanya berbekal kemampuan. Ketidakmampuan pun menjadi bekal yang baik, asal digoreng dari ketulusan hati. Ketika saya keliling Filipina pada 1980 bersama teman Ambon yang bahasa Inggrisnya hanya dua biji – “Yes” dan “No” – saya kalah dari dia soal memperoleh banyaknya teman. Dengan menggunakan bahasa badan, sorot mata, ekspresi wajah, teman saya itu menerobos siapa saja dan akhirnya menjadi sahabatnya.

Sementara saya sibuk minder karena bahasa Inggris saya juga hanya unggul beberapa biji dibanding dia. Kalau di luar negeri di mana kita berkomunikasi dengan bahasa Inggris, saya selalu mengawali pidato saya dengan, “Memohon maaf atas kacaunya bahasa Inggris saya karena dulu studi saya lebih fokus ke bahasa Arab.” Sementara kalau ke negara-negara Timur Tengah tinggal saya balik: “….fokus studi saya pada bahasa Inggris.”

Hadirin selalu tertawa. Semakin saya berusaha memperbaiki bahasa saya sehingga semakin tampak begonya, mereka semakin sayang sama saya. Puisi untuk Paus itu bahasa Indonesianya dibaca oleh istri saya, bahasa Italianya dibaca oleh teman Italia, musiknya oleh KiaiKanjeng dibikin sangat ‘gerejawi’ (sesungguhnya tidak ada musik, nada, irama yang beragama apa pun…).

Ditambah beberapa nomor lain yang memang kami aransemen khusus untuk publik Italia – penonton Indonesia hanya 5 sampai 7 orang, yang duduk di depan hanya 1 orang: cukuplah untuk membuat banyak orang menangis. Mungkin dalam bayangan mereka orang Islam itu hobinya makan orang, menggoreng jari-jari, kuping, dan buah pelir. Mungkin mereka selama ini berpendapat bahwa bagi orang Islam semua penghuni dunia yang tidak beragama Islam wajib dibunuh, disembelih, ditembak atau dibom. Mungkin secara antropologis mereka punya hipotesis bahwa kaum Muslimin kayaknya bukan berasal dari homo erectus atau homo sapien, mungkin homo bombus….

Ternyata orang Islam kenal cinta juga. Seusai pentas, selalu, tiga kali standing ovation, soundman KiaiKanjeng dijunjung duduk di atas pundak soundman setempat yang semula cemberut melulu sebelum pementasan. Rizki KiaiKanjeng terbesar di muka bumi ini adalah selalu diremehkan ke manapun mereka pergi, kemudian disayang dengan kadar yang plus karena menyesal meremehkan sebelumnya. Kecuali di Indonesia: KiaiKanjeng tidak diremehkan, juga tidak dijunjung karena tidak ada.

Yang jelas, setelah pementasan di Vatikan itu, juga setelah sekian puluh kali di berbagai negara, Kiai Kanjeng pentas dengan audiens lintas agama atau lain agama sama sekali, tidak seorang pun dari anggota KiaiKanjeng yang berganti agama, malah semakin pintar menggali dan mengembangkan rasa syukur.

Kiai Kanjeng juga tidak pernah berpikir bahwa orang non-Islam akan menjadi Muslim sesudah nonton Kiai Kanjeng karena kata Allah, “Sesungguhnya engkau tak bisa memberi petunjuk kepada siapa pun saja yang kau cintai, melainkan Allah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia maui.” Tahun 2008 Kiai Kanjeng diundang ke Belanda berdasarkan pertimbangan sesudah adanya kasus Theo van Gogh.

Barusan di sebuah kampung Katolik di Sleman Utara Yogyakarta KiaiKanjeng juga diminta kasih pengajian, padahal penduduk Islamnya hanya penghuni tiga rumah. Di Pasuruan, Pesantren Darut Taqwa yang punya Universitas Yudharta, baru saja minggu kemarin membuka panggung untuk Kiai Kanjeng memandu silaturahmi antara para pastor, kiai-kiai, tokoh-tokoh Budha dan Hindu, dengan audiens yang juga campuran. Acara-acara semacam itu bukan untuk mencampuradukkan antara agama Islam dengan agama lain.

Justru dipakai untuk menarik bersama garis-garis “offside”, “handsball”, “cornerball” dst. di antara koridor-koridor teologi yang tegas perbedaannya, namun membuka pintu-pintu butulan kultural, kerja sama ilmu, kongsi ekonomi, dan komitmen politik menjunjung keadilan plural. Saya pribadi melakukan kontrak seumur hidup dunia akhirat tidak akan memasukkan kata “permusuhan” di dalam harddisk kalbu saya. Kalau dimusuhi saya oke, bahkan berterima kasih, sebab itu menguji cinta saya dan menambah kualitas cinta saya jika mampu saya pertahankan di hadapan kebencian dan permusuhan orang lain kepada saya.

Bagi saya, permusuhan tidak ada hubungannya dengan kehidupan, permusuhan hanya punya jodoh kematian. Permusuhan tidak punya ekspresi apa pun kecuali membunuh atau memusnahkan. Tak ada permusuhan dengan perang kata, debat pendapat, persaingan dagang, atau politik. Semua yang ada dalam kehidupan adalah cinta. Jika dipaksa melakukan permusuhan, langkah cuma satu: mati.

Maka saya tak pernah tega melihat orang didorong ke kematian di luar kehendak Tuhan. Misalnya disakiti, dianiaya, ditindas. Seorang sopir ditendang petugas di Bandara Juanda dengan sangat kasar, saya langsung meloncat ke petugas itu, saya banting, saya kunci dan baru saya lepaskan sesudah dia minta maaf kepada orang yang ditendangnya. Sedangkan ayam punya harga diri, apalagi sopir.

Pendalaman ilmu dan nilai seperti ini bisa kita perluas sampai detail dan beribu-ribu halaman kita hasilkan. Substansi yang akan kita ambil adalah bahwa ayam adalah ayam: ia tidak bisa hanya disebut hewan. Si Abdul, Bambang, John, bukan “hanya” manusia: ia juga orang Arab, Jawa atau Amerika. Ia juga orang Islam, orang Kristen, atau atheis. Pada mereka juga terdapat berbagai dimensi identitas: etnik, agama, budaya, golongan, jenis, spesies, gen, kelompok, kata Alquran: syu’ub wa qabail. Itulah pluralisme.

Suatu siang saya tiba di Tinambung, 350 km Makassar ke utara, keributan terjadi. “Pasukan Mandar”, sekitar 200 orang rakyat, beramai-ramai membawa senjata tajam naik motor, truk, Kijang, dll., menuju Kota Majene. Mereka akan menyerbu kelompok masyarakat di sana yang katanya “menghina Balanipa”. Balanipa adalah Kerajaan Mandar, 7 di pantai 7 di pegunungan, pusatnya di Tinambung. Balanipa adalah kata yang padanya terletak kehormatan dan harga diri suku Mandar. Ada orang-orang di Pasar Majene bilang bahwa Balanipa sudah tinggal khayalan dan omong kosong.

Orang-orang Tinambung naik pitam, ramai-ramai menyerbu Majene. Saya ajak seseorang sekenanya naik motor, ngebut sengebut-ngebutnya, kami kejar mereka, kami balap, dan sekitar 200 meter di depan rombongan motor saya hentikan dan saya parkir melintang di tengah jalan. Saya turun dan mencegat menghentikan mereka. “Kembali semua! Saya tunggu di masjid Jami’ bersama Mara’dia!”.

Mara’dia adalah sebutan untuk Raja Mandar. Mereka berbalik arah, saya menguntit di belakang mereka. Memasuki Tinambung mereka ke masjid, saya ke rumah Mara’dia, lapor ini itu kemudian kami sama-sama ke Masjid”. Suasana sangat tegang, sunyi, namun semua menundukkan muka. Saya membaca Surah An-Nur ayat 35, surat cahaya. Saya katakan kepada mereka “….musuh kita bukan manusia.”

Musuh kita adalah sistem yang sedang dibangun oleh sebagian manusia yang akan menghancurkan manusia. Sebentar lagi Jembatan Sungai Mandar di utara itu akan dibangun, kelak truk-truk akan masuk dan keluar wilayah Anda. Pikirkan truk itu akan membawa rezeki bagi masyarakat Tinambung ataukah akan merampok kekayaan Anda. Kalau Anda mulai berpikir untuk menjawab itu, maka itulah harga diri Mandar yang kembali dibangkitkan…”(*)

Dijumput dari: http://muhammad-abid.blogspot.com/2008/07/harga-diri-ayam.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae