Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka, 28 Agustus 2005
… And what are poet for in a destitute time?
(Friedrich Hölderlin, dalam “Bread and Wine”)
Seorang penyair, suatu hari, dalam senyap perenungan di ambang lengang, bertahan diamuk khayalan tak terbayangkan, diombang-ambingkan waham tentang kefanaan dirinya dan keabadian puisi-puisinya, tentang kenyataan bagaimana dirinya punah dalam rengkuhan peristiwa dan sosokan laksa kata. Betapa ia gelisah diseret bimbang.
Sebaris puisi Hölderlin itu demikian mengusik hatinya. Ia menggeram sendiri, boleh jadi penyair hanya melakukan satu hal: merengkuh segala yang ada dan tiada. Saat itu, ia duduk seorang diri di atas kursi di teras rumahnya. Pandangannya kosong, gentar, kalut dalam diam, tersedak desir abu senja. Ia terus mencoba mengheningkan degup kata dan tilas makna yang kerap hadir dan lenyap begitu saja. Mungkin kata tidak memutuskan apapun. Atau sesuatu mengada ketika tidak ada kata, saat kata gagal dan lumat dalam segala hal.
Ia membayangkan semacam dunia batin para penyair yang mati muda dan, mungkin, sia-sia: Chairil Anwar, Frederico Garcia Lorca, Jim Morrison, Sylvia Plath, Sandor Petofi, Mennoster Braak, Forough Farakhzad dan Alejandra Pizarnik. Adakah para penyair ini mati dini demi suatu keyakinan? Atau sekadar membius diri dalam menjelajahi kegaiban hidup? Tampaknya segala tindakan dalam hidup tidaklah mesti membutuhkan alasan. Sepotong puisi, dari sekian puisi yang pernah ia baca (dan ia tulis), ternyata menyimpan anggur Iblis dan serigala bermata juling di dalamnya. Kendati jasad para penyair itu tak bersisa lagi jadi santapan belatung dan rayap, dengan segala kejahatan dan kebaikannya, namun puisi mereka terus bertualang, lebih hidup dari kematian dalam hidup itu sendiri, menjerat napas, mengekalkan hasrat, menyurup dan memburu apa saja dari kerawanan daya hidup manusia.
Sekilas lepas ia sadar, dirinya telah telanjur tandas menenggak candu puisi. Dan memang puisi tak harus menjadi obat kehidupan atau jampi atau khotbah bijak. Ia mungkin saja hanya ampas batin yang diterangi kemurnian panca indra atau yang meruah dari labirin kenikmatan yang melelahkan dan melongsorkan jiwa lalu disawurkan ke mata orang lain dengan setakik nubuat: inilah percik teka-teki mayapada yang tak bakal rampung ditafsirkan manusia. Dan sampai kapan pun, sebelum manusia terakhir musnah, penyair akan tetap ada dengan gelontoran sihir puisinya.
Tetapi siapakah yang membutuhkan penyair? Apakah mereka sosok suci atau pendosa yang kehilangan kesadaran murninya? Betapa, sebagai penyair, dirinya seakan berakhir sendiri, terlempar ke ranah entah.
Sejenak matanya berkilatan saat seekor gagak berkelebat menukik di tubir senja, semerta dua bulir air matanya menetes. Angin berembus malas, dan senja melambat menyambar jelang malam yang pucat. Barangkali ia terpesona diguyah gelisah khayalan dan kegamangan yang menyusup ke raganya. Namun ia kukuh bersetia mengendusi geriap puisi yang terus mengusik, di dasar karang kawah mahabahaya, meregang sendiri, hingga kematian yang menghitam tak kuasa mengheningkan nyanyian sang makhluk dalam gelapnya waktu, seperti getar demam tubuh Bertolt Brecht: “In the darkness, will there also be singing? Yes, there will be singing, about darktimes.”
Setelah itu ia terdiam, melayangkan kesadaran, mengurai sengkarut pikirannya, lalu beralih duduk di bibir jendela, tergerus selaksa bimbang dan resah, mendengarkan dengung gaib batinnya. Dan lamat-lamat, terbersit rasa sepi, secabik cermin dunia tiba-tiba menghampa, dengan seabrek ingatan, dan seleret takwil menyarang dalam benaknya: daya sihir puisi barangkali tercipta justru ketika penyair sekarat diamuk kata-kata, ketika ia bersitatap sekaligus dengan kenyataan dan mimpi, dalam guliran keajaiban peristiwa dan benda-benda.
Peristiwa dan benda-benda, dua hal yang ia tahu tak bakal kekal, dalam ingatan dan dalam ruang. Lantas, apakah dengan begitu puisi hanya memaknai ihwal yang sia-sia? Sekadar menyematkan makna pada segala omong kosong? Tetapi para penyair tetap membikin puisi, terus dan terus, dengan sekian alasan. Jadi, gerangan roh apa yang menitis dalam puisi? Sebuah puisi murni, kuasa bertenang diri, tidak menyepi atau menghambur ke keramaian dunia, tiada berhenti atau desiran maknanya jadi beku dalam kata dan waktu. Karena makna dan kata selalu bertukar tangkap dengan lepas, tak pernah terbuhul dalam satu jeratan pengertian yang mutlak. Meski hanya sementara, deburan makna hadir bak denyar yang meradangkan sekaligus menguatkan jiwa, tak merangsek menghimpit mengepung dengan limburan misteri di dalam atau di luar dirinya.
Ia merasa, mungkin dalam puisi tak ada apa-apa. Yang ada sekadar amuk gentar kepada semesta. Semesta ada, dan manusia tersesap karena membayangkan ihwalnya. Dan penyair tak lebih sekadar menorehkan jejak. Lalu lenyap. Jadi, apa yang dipertarungkan penyair hingga mati-matian melahirkan puisi? Siapa yang peduli kepadanya? Memburu apa, diburu siapa? Penyair hanya merayakan dunia dalam kata-kata dan ketidakpastian tak berhingga.
Kemudian ia beranjak menuju kursi panjang di sebelah kiri kamarnya. Dalam jeda waktu sekian lama, ia menyambar sebuah risalah sastra karya seorang kritikus. Baginya, kritikus sastra adalah sosok kanak-kanak, pesolek genit, atau badut lugu yang menari sedih di atas bangkai pikirannya sendiri, membayangkan dirinya menjadi dewa; penentu dan pewedar kerumun sabda naif terhadap mati-hidupnya puisi. Seraya berusaha meredakan kecamuk batinnya, ia mengkhayalkan unggunan gagasan yang mengamuk hebat dalam benak kritikus sastra itu. Seolah sang kritikus sastra mengomel sendiri di medan puisi yang sedang ia simak, “Wahai lidah halilintar, sambar dan lenyapkan kemabukan para penyair untuk selamanya. Sebab, sumsum kehidupan telah mereka hisap habis ke jurang maya. Mereka hidup bergelandangan di padang gurun mahaluas di mana Iblis dan malaikat bersabung mati memperebutkan takhta akhirat. Wahai kekuatan mahakala, kuburkan para penyair dalam gua lahat berkabut tanpa terang dan gelap. Aku tidak peduli lagi akan puisi mereka, dan di mataku tak ada yang lebih buruk dari itu.”
Baginya, kritikus sastra adalah penyebar wabah berjubah putih dengan segala kelancungan pikiran, melahirkan persepsi, onggokan gagasan, dan sengkarut tafsir yang meruyak lantas didesakkan menjadi kebenaran tunggal. Baik dan buruk. Mulia dan hina. Apakah mereka berpikir tentang puisi dengan cara yang sama sebagaimana orang berpikir tentang Al-Quran, Alkitab, epik akbar, atau karya-karya besar peradaban dunia (tragedi Yunani, Dante, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Li Tai Po, Goethe, Shakespeare, William Blake, dan lain-lain)? Tetapi, tak seorang pun di dunia ini kuasa bersumpah bagi dirinya sendiri bahwa dirinya abadi dalam kebenaran yang hakiki. Tak ada kebenaran. Yang ada hanyalah kilasan perenungan yang segera pudar. Ah, biarkan saja kritikus sastra bersinting ria dalam khayalan terkutuk mereka. Tercekat pekat dalam dering keheningan.
Namun kini, dunia masih saja berdenyut. Kehidupan tetap berjalan apa adanya. Dan para penyair yang masih hidup senantiasa melahirkan dan menghidupi karya-karyanya. Menziarahi cahaya batin masing-masing, menajamkan kekuatan imajinasi dan daya baca, merawat puisi dengan segenap cinta, dengan segala yang telah hilang, dengan semua kepedihan dan kebahagiaan yang tak mungkin direngkuh kembali. Di akhir perenungannya yang terdalam, sang penyair itu bergumam lirih, “Tanpa puisi dalam pikiranku, selamanya aku tak ingin hidup di antara kumpulan manusia yang menyedihkan ini.” Pandangan matanya tampak berbinar, tetapi masih saja ada keraguan yang mengganjal di benaknya. Kemudian ia membatin, ”Sebenarnya, sesuatu yang tak kuasa kupuisikan, lebih baik kujaga dalam diam.”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar