Senin, 12 Maret 2012

Para Pewaris Ronggeng Gunung

Pandu Radea
http://www.kabar-priangan.com/

Bulan pucat pasi, bergetar di atas riak gelombang. Angin laut menderu-deru mengiris malam. Waktupun terasa berdetak lambat seolah ingin menegaskan harapan yang tersirat pada wajah wanita yang benama Pejoh.

Dialah yang menjadi pemeran utama malam ini. Tokoh kunci yang akan mentasbihkan sekelompok peronggeng muda yang akan menjadi pewaris kesenian khas Ciamis di masa yang akan datang. Calon peronggeng gunung yang merupakan generasi muda dibawah asuhan Neng Peking malam itu didaulat untuk melanjutkan amanat karuhun, menari dan mendendangkan wawangsalan buhun Dewi Siti Samboja.

Peristiwa budaya yang bertempat di Pondok Wisata Disbudpar Pangandaran, pada malam Minggu (1/10) itu digagas oleh Disbudpar Provinsi Jawa Barat dengan tajuk kegiatan “Pagelaran Hasil Pewarisan Kepesindenan Dalam Ronggeng Gunung”. Dan Bi Pejoh sebagai Maestro Ronggeng Gunung didaulat sebagai guru yang mewariskan Seni Ronggeng Gunung. Kesempatan langka itu sekaligus menjadi titik balik bagi Bi Pejoh tampil kembali di muka publik, setelah belasan tahun berhenti dari kiprahnya sebagai seniman ronggeng gunung. Dan Bagi Disbudpar, kegiatan ini diharapkan dapat memicu gairah positip bagi generasi muda untuk lebih mengenal, mendalami dan mengaktifkan seni Ronggeng Gunung di masyarakat luas, sekaligus meningkatkan citra pariwisata di Pangandaran.

Kemasan kegiatan memang mengacu kepada nilai-nilai sakral yang biasa dilakukan jaman dulu. Harum kemenyan, dan sederet sesajen yang disimpan di depan panggung menegaskan bahwa kegiatan itu tidak semata-mata hanya seremonial belaka. Pewarisan itu sendiri dilaksanakan sore hari sebelum pagelaran dimulai. Beberapa remaja putri yang dibina oleh Neng Peking, mengikuti ritual siraman yang dipimpin langsung oleh Bi Pejoh. Setelah acara inti selesai, maka malam harinya adalah pagelaran Ronggeng Gunung. Saat itulah Bi Pejoh tampil kembali sebagai ronggeng Gunung dengan didampingi oleh Neng Peking dan anak didiknya. Kesempatan itu pun menjadi lebih istimewa saat Bi Raspi, Ronggeng Gunung yang namanya sudah populer di Jawa Barat, juga turut ngahaleuang mendampingi Bi Pejoh.

Bi Pejoh sesungguhnya adalah maestro Ronggeng Gunung yang selama ini namanya nyaris tak tercatat dalam literatur media maupun di akademisi seni. Sosoknya hanya ada dalam ingatan orang-orang tertentu saja yang mengenalnya sebagai guru Ronggeng Gunung. Bi Pejoh dianggap ronggeng gunung betul-betul memahami, menghayati dan mendalami makna setiap nyanyian Ronggeng Gunung yang langka itu. Selama ini perhatian publik seni di Jawa Barat hanya mengenal nama Bi Raspi sebagai satu-satunya Ronggeng Gunung yang masih hidup. Hal itu suatu kondisi yang selalu menimbulkan kekhawatiran akan punahnya seni yang diciptakan Dewi Siti Samboja.

Bagi Bi Pejoh, setiap rumpaka lagu, seperti Kudup Turi, Golewang, Canggreng, Raja Pulang, Jangganom, Manangis, Cacar Burung, Ladrang, Tunggul Kawung, Torondol, Sasagaran, Kawungan, Liring, dll, memiliki nilai dan aturan tersendiri, tidak sembarang dihaleungkeun, harus sesuai urutan, dengan kebutuhan dan perhitungan waktu yang tepat. Karena semua lagu dalam ronggeng gunung menggambarkan atau prilaku Dewi Siti Samboja dan pengikutnya dulu. Konon, lalaguan dalam ronggeng gunung sebetulnya lebih dari 30 lagu. Malah ada yang “ngageugeuh” 40 lagu.

Tampilnya kembali Bi Pejoh mengobati kerinduan bagi penggemarnya. Kendati dengan suara yang tidak begitu prima, karena sekian tahun istirahat, namun tetap disambut dengan antusias oleh penonton yang hadir. Wawan Aryaganis, seniman tari dari padepokan Rengganis Ciamis terlihat demikian terharu. Wawan termasuk seniman yang mengenal bagaimana kiprah Bi Pejoh saat masih eksis.

“Dulu Bi Pejoh adalah ronggeng gunung terbaik, saya senang bisa melihatnya tampil kembali” ungkapnya.

Jika peristiwa budaya itu sesuai dengan tajuk kegiatannya maka, analoginya seperti menetasnya kembali telur dinosaurus. Artinya, sebagai sebuah peristiwa, ini adalah momen yang langka dan jarang terjadi. Bi Pejoh malam itu seolah menjadi penunjuk takdir bagi generasi pewarisnya untuk melanjutkan kiprah para ronggeng pendahulunya. Dan jika generasi itu mampu lana midang, moyan manggung tentu akan membawa harapan besar bagi masyarakat untuk merasa plong. Bahwa setidaknya kini, bersama Bi Raspi, ada beberapa peronggeng muda yang akan turut menjaga kelestarian seni buhun Ciamis pakidulan itu.

Sisi Paradox

Kegiatan penting itu, sepertinya luput dari perhatian media massa karena minimnya informasi dan publikasi di awal kegiatan. Padahal jika hal itu dilakukan serius oleh panitia kegiatan yaitu Disbudpar Provinsi Jawa Barat dan Disbudpar Kabupaten Ciamis, mungkin hasilnya akan sangat baik. Jumlah penonton yang relatif sedikit menjadi penanda minimnya publikasi. Padahal saat itu, pangandaran sedang ramai dikunjungi wisatawan yang berlibur akhir pekan. Imank Pasha, salah seorang penggiat sinema yang sengaja datang dari Ciamis untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut adalah salah seorang yang menyayangkan hal diatas.

Pagelaranpun tidak begitu nyaman, karena sempitnya panggung pertunjukan. Nyaris setengah dari luas panggung telah dipenuhi kelengkapan gamelan untuk kebutuhan pertunjukan Ronggeng Amen yang akan ditampilkan setelah pentas Ronggeng Gunung. Hasilnya, para penari ronggeng gunung pria yang mengenakan sarung, tidak bisa tampil sebagaimana mestinya. Mereka menari berputar-putar di luar poros sang Ronggeng Gunung. Padahal, dalam kebiasaanya, penari pria ini harus menari mengitari Sang Ronggeng Gunung.

Tampilnya Ronggeng Amen setelah Ronggeng Gunung mendapat apresiasi yang bagus. Penonton pakidulan memang fanatik terhadap Ronggeng Amen yag lebih populer, mereka akan langsung ngengklak dipakalangan manakala para penari Ronggeng Amen mengalungkan selendang ke penonton yang terpilih. Namun suksesnya Ronggeng Amen yang sesunggunya menjadi pendukung kegiatan, justru membiaskan acara utama yang tersirat dalam tajuk kegiatan seperti yang tertulis di atas.

Kemudian, essensi dari pewarisan yang didalamnya disebut-sebut juga sebagai tawajjuh itu sendiri sepertinya harus dipertimbangkan lebih dalam. Tawajjuh berarti konsentrasi dan perhatian penuh terhadap sang Pencipta, mengacu pula sebagai pemusatan spiritual antara mursyid dan murid pada tataran yang lebih tinggi. Makna yang terkandung dalam konteks peristiwa budaya diatas dapat diartikan bahwa generasi yang ditawajjuh atau yang telah mewarisi bagbagan ilmu ronggeng gunung sudah layak untuk ditampilkan di masyarakat. Seperti sarjana yang telah diwisuda, yang mengemban amanat untuk mendedikasikan ilmunya bagi kemajuan masyarakat.

Artinya mereka yang diwarisi, harus bisa nembang dan ngibing sebagai dasar utama seorang ronggeng gunung. Berdasarkan referensi dari buku “Deskripsi Seni Daerah” (disusun oleh H.Djadja Sukardja S), pada bagian deskripsi yang berjudul “Ngala jeung Nanggap Ronggeng Gunung” (Umar, Penilik Kebudayaan Kalipucang) wanita yang ingin menjadi Ronggeng Gunung harus melewati ujian yang berat.

Di antaranya disebutkan: calon ronggeng kudu kuat mental jeung fisik sajero diajar nu lilana bisa nepi ka tilu bulan, diwulang tembang jeung diajar ngibing. kudu kuat daya ingetna sabab guru tara ngajarkeun wawangsalan katut lagu oron ti dua-tilu peuting, cukup sapeuting kudu geus apal. Tahan kurang sare kurang dahar. Malah dina “hataman” mah ukur dibere sangu dua huap, sagede indung suku nu dijerona geus dicampuran ramuan, diantarana tujuh siki pedes. Sangkan sorana lepas, tina liang irung nepi ka tikoro diasupan bari digera ku akar antanan. Mun palakiah panjang nafas, calon ronggeng gunung kudu latihan teuleum di sungapan atawa walungan nu aya curugna. Malah aya katangtuan nu baku, yen salila jadi ronggeng teu meunang boga salaki atawa heureuy jeung lalaki.

Saat ini belajar untuk menjadi Ronggeng Gunung mungkin tidak harus seperti itu. Kemajuan tekhologi dan bergesernya sebagian fungsi seni Ronggeng Gunung memudahkan orang untuk mempelajarinya. Namun gambaran diatas mengisyaratkan bahwa, jaman dulu, ketika seni Ronggeng Gunung begitu berperan di masyarakat sebagai seni yang berfungsi juga sebagai sarana ritual, tampak begitu berat syarat-syarat untuk menjadi seorang Ronggeng Gunung.

Dan seniman Gugum Gumbira, Sang Komposer Sunda serta maestro yang menggubah Ketuk Tilu menjadi Jaipongan, yang juga turut menyaksikan kegiatan tersebut mengungkapkan apresianya, bahwa sajian tersebut harus mengenai jiwa dan ruhnya, dan ritualnya harus kental dengan keasliannya.***

*) Warga Panjalu, pecinta Ronggeng Gunung /12 Oct 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae