Senin, 13 Februari 2012

Nalar Indra dan Nalar Dunia: Krisis Penciptaan Sastra

Nirwan Ahmad Arsuka
__Kompas Cyber Media

SETENGAH abad yang silam Soedjatmoko, cendekiawan yang pernah disebut sebagai Dekan Intelektual Bebas Indonesia, mengumumkan adanya “suatu krisis dalam kesusastraan kita”. Di dalam tulisan yang merupakan “Pengantar” untuk edisi perdana majalah Konfrontasi, Juli-Agustus 1954, Soedjatmoko mengakui bahwa “banyak ciptaan yang memang berjasa serta adanya kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Akan tetapi, ciptaan-ciptaan kesusastraan yang lebih besar masih saja ditunggu kehadirannya.”

BAHASA memang medium yang dengannya sastra menghamparkan dirinya: menggelar kekuatannya sekaligus memamerkan krisisnya. Jika bahasa hanya dipandang sebagai ungkapan pikiran dan perasaan spontan manusia dengan memakai bunyi atau aksara, maka kita memang sulit melihat adanya krisis dalam sastra kita. Kita pun bisa dengan takzim bersepakat dengan HB Jassin atau siapa pun yang mengatakan “Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis”.

Bahkan, sejak zaman Jassin menuliskan pembelaannya, kita sudah bisa membaca sejumlah karya sastra yang memamerkan kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Setengah abad kemudian, kelancaran berbahasa sejumlah sastrawan muda kita kini bahkan sudah lebih baik dari generasi Jassin. Terlepas dari “apa” yang ingin mereka katakan, namun kemampuan “bagaimana” mereka mengatakannya jelas menunjukkan kelancaran berbahasa yang kian licin. Penggunaan bahasa dalam beberapa karya itu mencapai tingkat yang tidak jauh-jauh amat dari-bahkan hampir menyamai-kepiawaian berbahasa para pemenang hadiah Nobel, katakan seperti penggunaan bahasa Tony Morrison, Derek Walcott, atau JM Coetze.

PADA kulit luarnya, bahasa memang ungkapan pikiran dan perasaan manusia, tetapi pada intinya bahasa adalah pengorganisasian dunia: dimulai dengan pengorganisasian dunia kognitif yang kelak bergerak ke pengorganisasian dunia luar. Pengorganisasian dunia kognitif sudah dilakukan sejak penciptaan unsur dasar sastra seperti metafor yang, dalam kalimat Walter Benjamin, adalah perangkat di mana kesatuan dunia secara puitis disajikan. Kekerasan terorganisasi atas bahasa sehari-hari, seperti yang dipahami kaum Formalis Rusia, hanyalah salah satu cara yang mungkin untuk mengorganisasikan, dan mengorganisasikan ulang, dunia kognitif.

Sebagai bentuk khusus yang mengorganisasikan seluruh bidang semantik, sastra yang benar-benar kuat dan besar adalah sastra yang akhirnya menyeret kehidupan hanyut meniru separuh atau bahkan mungkin seluruh sastra tersebut. Sastra seperti ini, di mana kehidupan berpusar dan mengambil ilham darinya, tegak menjulang dengan bayang-bayang yang melintasi abad dan benua.

Jika bahasa dilihat sebagai pengorganisasian dunia dan sastra adalah wujud kesadaran dramatik atas pengorganisasian dunia itu, mungkin kita baru akan melihat krisis kita, yang bukan hanya krisis sastra (juga bukan sekadar krisis sastra berbahasa Indonesia). Krisis itu langsung menelanjangi diri dalam dua gejala paling menonjol penggunaan bahasa dalam sastra Indonesia, yang sudah sering diangkat sejumlah pengamat. Gejala pertama diperlihatkan oleh para penyair kita yang tampak begitu piawai menyusun puisi yang ganjil dan begitu tertatih-tatih ketika coba menyusun esai atau prosa yang kuat. Puisi-puisi mereka pun umumnya gelap. Dan, jika puisi-puisi itu cukup jernih, puisi itu terasa sebagai rekaman dari indra yang dilanda chaos.

Gejala kedua diperlihatkan oleh beberapa novelis kita yang paling menjanjikan. Mereka menulis novel dengan bahasa yang menari-nari. Tapi, novel ini sangat lemah dalam alur dan perwatakan. Gejala ini juga diperlihatkan oleh film-film kita yang gambarnya puitis, tetapi struktur ceritanya lemah. Sebagian sangat besar karya sastra dan seni kita, yang produksinya terus berjalan itu, memang mudah memelesetkan orang mengenang sebaris kalimat dalam novel Magic Mountain Thomas Mann. It was fresh-that was all. It lacked odor, it lacked content, it lacked moisture. It went easily into the lungs and said nothing to the soul.

Tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa sama sekali tak ada karya seni dan intelektual di Indonesia yang bisa mengatakan sesuatu pada jiwa, tetapi jumlah mereka sangat sedikit dan kemunculannya pun sangat acak, dan karena itulah disebut krisis. Untuk sementara saya menyebut gejala luas ini sebagai dominasi nalar indra atas nalar dunia.

DATA pertama bagi indra dan pengalaman manusia memang berada dalam keadaan yang begitu kompleks, bahkan kacau-balau. Sementara itu, alam yang tak bisa dipahami, betapapun mentah pemahaman itu, sungguh bukan alam yang bisa dihidupi. Kompleksitas data itu mengobarkan dalam benak manusia kerinduan akan penjelasan yang sederhana, yang bisa membantunya bertahan hidup.

Sebelum penjelasan yang sederhana itu diperoleh, manusia dan leluhur primatnya mengandalkan kelangsungan hidup pada indranya: pada apa yang langsung dilihat oleh matanya, pada apa yang langsung didengar oleh telinganya, pada apa yang langsung dirasakan oleh kulitnya. Nalar memang belum banyak digunakan, dan kalaupun dipakai maka itu lebih berupa nalar indra, yakni nalar yang disusun dengan mengandalkan data-data spontan indrawi. Nalar indra adalah nalar asosiatif yang cenderung mengaitkan sebuah tanda dengan peristiwa yang kaitan logisnya bisa sangat lemah, atau lebih tepatnya: dasar empiriknya sangat rapuh.

Secara linguistik, “nalar indra” merupakan oksimoron (contoh lain: cahaya gelap), sementara “nalar dunia” adalah pleonasme (contoh lain: cahaya terang). Sebagaimana tak ada cahaya yang benar-benar gelap, begitu juga tak ada makhluk hidup yang tak bernalar karena bahkan organisme bersel tunggal pun, dengan “sistem indra”-nya yang sederhana, terbukti memiliki penalaran sendiri yang membuatnya bisa meneruskan arus genetiknya di tengah dunianya yang terbatas. Kegiatan indra memang tak punya kaitan kuat dengan penalaran logis dan abstraksi kompleks. Indra mengaitkan diri pada trauma dan prasangka yang tak harus logis. Sementara kegiatan nalar adalah kegiatan yang dengan sendirinya membangun struktur; dari struktur yang sederhana ke struktur yang kian kompleks: dunia dengan dimensi ruang dan waktunya, di mana masa silam dihuni oleh lumbung pengetahuan dan masa depan diisi dengan abstraksi dan penyempurnaan dunia.

Yang pasti, strategi survival yang mengandalkan indra itu terbukti berguna terutama ketika informasi lingkungan memang kacau-balau, peristiwa-peristiwa terjadi seakan tanpa kaitan yang jelas. Tetapi, strategi ini hanya berguna untuk survival, bukan untuk berbudaya. Kebudayaan muncul ketika manusia mulai membangun pemahaman bahwa dunia pada dasarnya terstruktur, bahwa peristiwa-peristiwa terjadi karena sejumlah kaitan. Alam, betapapun, memang menunjukkan sejumlah keteraturan, lewat perubahan siang dan malam, pertukaran musim, lewat kelahiran dan kematian. Pengamatan dan ingatan atas keteraturan itu memberi jalan pada manusia untuk “memahami” kaitan-kaitan antarperistiwa, “membaca” tanda-tanda. Mereka membangun teknologi sosial bernama bahasa dan mitologi untuk mengorganisasikan pengalaman dan menstrukturkan dunia.

JIKA pengetahuan diandaikan sebagai sistem kibernetik, maka pengetahuan dan strategi berpikir masyarakat pramodern adalah sistem saibernetik yang masukannya berasal dari apa yang dicerap indra. Padahal, orang sungguh tak harus belajar geologi, Marx, Freud atau Levi-Strauss untuk paham bahwa realitas yang spontan tercerap oleh indra manusia, kerap berasal dari suatu taraf yang lebih mendalam, yang tak tercerap jangkauan sempit indra.

Karena ditata melulu di atas persepsi realitas yang spontan, sistem pengetahuan dan strategi berpikir masyarakat pramodern perlu waktu untuk sadar bahwa konstruksi kognitif yang dihasilkan oleh strategi berpikir itu bisa juga dimaterialkan dan diumpankan balik, di-reentry-kan ke dalam sistem itu, suatu kegiatan kognitif yang dalam literatur filsafat disebut refleksi dan dalam kibernetik disebut referensi diri. Setelah bekerja ribuan tahun, ditopang oleh suatu mekanisme nonlinier yang muncul dalam pemikiran sejumlah genius purba, sistem pramodern bisa juga menghasilkan sistem pengetahuan, sari pati perenungan dunia dan manusia, yang tak gampang diremehkan.

Selain karena masukannya yang jauh lebih luas dari apa yang bisa dicerap spontan indra manusia, pengetahuan ingeniur mengubah dunia dengan radikal dalam waktu begitu singkat, terutama karena kesadarannya mengumpanbalikkan dirinya ke dalam dirinya sendiri, yang terus memberi wawasan baru ke dalam semesta kenyataan. Referensi diri yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan, atau tepatnya peledakan, pengetahuan ilmiah secara eksponensial ini jadi sumber revolusi pemetaan kognitif dan perangkaan rujukan kosmologis manusia.

ADALAH keperkasaan nalar dunia dan ilmu pengetahuan yang membuat dunia berubah demikian hebat. Metafor hari kemarin pun tanpa bisa dielakkan menjadi klise hari ini yang menuntut penciptaan metafor-metafor baru.

Revolusi dan perubahan dunia itu, bagi sebagian orang, terhampar sebagai proses mahadahsyat, yang dikira berada di luar kemampuan manusia untuk membayangkan, menangkap, mengerti, dan merasakannya. Bagi orang yang berada di pinggir, berputar-putar hanya luar pusaran penciptaan dunia baru itu, pendek kata, bagi mereka yang tak terlibat dengan produksi-pengertian kunci yang dipegang Bertolt Brecht dalam perdebatannya menghadapi George Lukacs-dunia telah berkembang di luar batas-batas yang bisa dipahami.

Menghadapi dunia yang berlari tunggang langgang menjauh dari batas-batas pengetahuan tradisionalnya, manusia akan cenderung bersikap defensif atau kehilangan orientasi. Sebagian menjadi masokhis dan menipu diri dengan cara yang patetis. Mereka pun membangun pemikiran yang mulanya mungkin terdengar revolusioner, tetapi akhirnya cuma layak dikuburkan, setidaknya dibongkar ulang karena pemikiran itu telah menjadi resep bagi primitivisasi dunia di mana manusia diminta untuk semata-mata bergantung pada indranya.

Neil Postman, misalnya, yang pernah dikutip penyair Adi Wicaksono, mendakwahkan perlunya suatu sikap yang cenderung tidak hirau terhadap kepaduan dan koherensi teks akibat empasan gelombang pasang ingar-bingar dunia tipografis yang diledakkan oleh revolusi ilmu dan teknologi. Yang dicari justru keterpecahan, ketercerai-beraian, fragmentasi, segregasi, benturan-benturan acak, suatu histeria yang diam-diam menghasilkan semacam sikap emoh struktur. Citra yang berpilin dengan citra, gambar yang tumpah dalam buncahan dan potongan-potongan gambar, cukuplah diterima sebagai empasan sensasi yang menyentuh indra penglihatan, tak perlu diusut hal ihwal di baliknya, tak penting benar apakah ada maknanya atau sekadar nonsens.

Dicarilah apa yang disebut Roland Barthes sebagai jouissance, suatu kenikmatan yang dihasilkan dari permainan bentuk yang semata-mata indrawi, dangkal dan wantah, bukannya suatu plaisir yang dapat menghasilkan semacam kenikmatan intelektual. Suatu permainan visual untuk tujuan permainan itu sendiri. Dan, di situ tak diperlukan koherensi dalam bentuk apa pun. Pengejaran kenikmatan indrawi secara ekstrem ini ditopang dengan penumpulan nalar dan pelaksanaan kekuasaan secara arbitrer, dihadirkan dan diejek dengan kuat, misalnya dalam film Pier Paolo Pasolini: Salo.

Seni dan pemikiran yang mengaitkan diri dengan semangat postmodern dekonstruksionis ini dalam beberapa hal memang layak dibongkar karena berdiri di atas sejumlah pengertian yang rapuh. Salah satu di antara pengertian yang nyaris mencapai tingkat iman itu adalah bahwa dunia dan kenyataan bersifat kacau-balau, terpecah-pecah, kaotis. Keyakinan yang meluas bahwa kenyataan bersifat kacau-balau atau arbitrer meletakkan kaum penghujat rasio itu sejajar dengan masyarakat primitif pra-ilmiah yang mengira bahwa bumi ini datar dan Matahari beredar mengitari bumi. Sekalipun pengalaman spontan dan indrawi menunjukkan bahwa kenyataan berwatak acak dan terpecah-pecah, tidak dengan sendirinya kenyataan dan dunia memang acak dan terpecah-pecah. Pengalaman memang bisa jadi guru yang sesat dan menyesatkan.

REAKSI terhadap perkembangan dan perubahan dunia yang luar biasa itu, dalam khazanah sastra Indonesia, menunjukkan banyak hal menarik. Dalam hampir semua karya sastra Indonesia, dunia yang dibentuk oleh sejarah dan manusia adalah tokoh yang tak pernah hadir. Dan, kalaupun hadir, ia lebih merupakan tamu yang tak diundang. Ia lebih sering muncul sebagai bahan yang digunjingkan setelah sebelumnya direduksi, bahkan dimutilasi dengan tak semena-mena. Dalam pergunjingan itu, dunia dicurigai, disepelekan, dijauhi.

Memang ada juga karya di mana dunia, dalam hal ini Barat, malah disembah secara membabi buta. Meskipun demikian, dalam khazanah sastra ini, dunia tidak hadir sebagai kawan dekat yang menghamparkan diri dengan segala kebesaran dan kompleksitasnya, dengan segenap proses pertumbuhan dan percobaannya, yang kadang menakjubkan kadang menggelikan, yang memberi ruang bagi penulis dan pembaca untuk tumbuh bersama mengembangkan dan mengkritik diri, memperpeka indra memperkaya rohani.

Karya yang disusun dengan jarak dari dunia memang memustahilkan munculnya kerja seni besar yang, dalam kalimat Soedjatmoko, seolah-olah membuka mata kita secercah kepada kebenaran yang dirasakan sebagai pengalaman langsung tetapi tak berwujud, sebagai kesadaran serta kejadian batin, yang oleh si pencipta seni ditangkap dan dipantulkan, seperti cahaya Matahari ditangkap intan permata dan terbias berpancaran aneka warna pada faset-fasetnya.

Dalam khazanah karya yang sudah terentang puluhan tahun itu, orang mudah naik pitam mencari karya dengan penjelajahan dan perayaan atas sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat istimewa yang diuraikannya. Karya yang tidak benar-benar bergulat dengan dunia, tidak memahami benar logikanya, adalah karya yang memang memustahilkan hadirnya sebuah pandangan dunia, pengalaman eksplorasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan besar tentang arah hidup individual dan sosial, tentang sebuah sistem keyakinan, tentang tradisi-tradisi masa silam dan kemungkinan-kemungkinan hari depan-tentang hal-hal besar yang dengannya kita mendefinisikan kebudayaan.

Yang gampang ditemukan adalah karya-karya di mana para sastrawan, mengutip satu baris Wing Karjo, ikut menuang racun berwarna-warni, dalam dunia yang menurut pengalaman indrawi mereka: karut-marut dan serba tak pasti. Dan, warna racun yang paling dominan adalah ungu, dengan berbagai gradasinya: psikologisme dengan berbagai kepekatannya. Mereka ini sibuk menularkan kesadaran palsu bahwa dunia memang tak terkontrol dan mustahil dipahami, bahwa dunia memang sebagaimana yang melulu dialami secara indrawi, bahwa upaya untuk membangun narasi besar, karena sejumlah kegagalannya, maka akan seterusnya ditakdirkan gagal.

RACUN warna-warni itu dituang juga oleh para sastrawan yang paling hebat. Goenawan Mohamad jelas adalah penyair yang termasuk paling berjasa dalam memperkaya bahasa Indonesia. Yang menarik-atau justru tidak menarik-dari Goenawan adalah bahwa bahasa yang ia kembangkan adalah bahasa yang dilandasi oleh ketidaknyamanan terhadap dunia. Ia pernah menyebut sejarah yang hadir sebagai sesuatu yang brutal, kebudayaan sebagai trauma. Dibantu oleh sejumlah pemikiran postmodern, Goenawan pun memarodikan nalar dan ilmu, menghadirkannya sebagai sesuatu yang wataknya tak akan berubah dan akan selalu memiskinkan dunia.

Membuat parodi tentang nalar dan ilmu, lalu melancarkan kritik terhadapnya, memang tidak dengan sendirinya mencerminkan pengetahuan dan kritik yang memadai terhadap nalar dan ilmu. Terbukti bahwa kritik nalar dan ilmu terhadap dirinya jauh lebih revolusioner dan tentu saja lebih produktif dibandingkan dengan kritik yang datang dari luar.

Kecurigaan Goenawan terhadap nalar dan ilmu, yang rupanya punya banyak pengekor itu, tampil bersama dengan kecurigaan terhadap bahasa ilmu dan teknologi, yang mutlak membutuhkan konsep yang jelas, makna yang taksa, arti yang tak terbantah; bahasa yang dikira sebagai bahaya maut bagi kehidupan puisi Indonesia.

Ketaksukaan terhadap bahasa dengan makna taksa itu, bahasa matematika, misalnya, sudah muncul antara lain lewat Heidegger yang mempersoalkan calculability and certitude of representation. Matematika memang memberi ilmu sebuah bahasa yang transparan dan telah kehilangan seluruh rahasia ontologisnya sehingga memungkinkan munculnya makna yang tunggal dan stabil. Sebagai bahasa, matematika telah dimurnikan dari sifat acak absolut bahasa sehari-hari, sebelum adanya figurasi dan makna, atau dengan figurasi dan makna yang terus berubah bersama mobilitas tanda linguistik.

Di dunia di mana kelimpah-ruahan dan ambiguitas makna disembah, matematika memang akan berhadapan diametral dengan puisi. Dalam matematika, tanda bahasa boleh berubah-ubah dan beraneka, namun artinya sudah tertetap dan tertentu. Dalam puisi, ada banyak arti meskipun tanda-tandanya tertetap dan tertentu. Sajak, meminjam Octavio Paz, adalah suatu totalitas pekat-kental, dan perubahan paling kecil pun sudah mengubah bukan saja arti, tetapi juga keseluruhan komposisi. Dan puisi, seperti ditulis Goenawan Mohamad, tak cuma kata, tak cuma kalimat, yang menuntut kita melotot. Ia juga nada, bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran, atau jika kita setuju dengan Freud, ungkapan yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluri. Di sini puisi niscaya akan tampil sebagai pahlawan dengan kualitas ilahiah memperkaya dan bahkan mentransendenkan bahasa, sedang matematika akan tampak sebagai penjahat dengan kemampuan satu-satunya memiskinkan dan membunuh bahasa, dengan menyedot darah kelimpah-ruahan dan ambiguitas makna darinya.

Akan tetapi, jika sebuah bangunan matematis dihadapi dalam suasana Stimmung ala Nietzsche, maka bangunan matematis yang memang meniatkan membebaskan diri dari infeksi sejarah, mengosongkan diri dari fungsi ruang dan waktu itu, juga sanggup untuk membuat orang mendengar gagasan di belakang simbol matematis itu, intuisi di belakang gagasan itu, dan nalar di belakang intuisi itu: Nalar yang berbicara pada manusia dan dunia lewat formulasi tipografis matematikawan. Stimmung jelas akan mengubah keindahan matematis-yang dalam pandangan Bertrand Russell hanyalah keindahan yang dingin dan sederhana yang tak memancing reaksi dari hakikat manusia yang lemah, tanpa jeratan yang memukau-menjadi keindahan yang hampir setingkat penyingkapan kekuatan rahasia logika di hadapan kenyataan.

Dengan kalimat lain, sebuah rumusan matematis bisa membawa efek estetik-spiritual yang sama dengan sebuah taman pasir dan karang. Efek estetik dan spiritual itu hanya sebagian dari sejumlah kekuatan yang dimiliki oleh matematika, kekuatan yang menjadikan matematika bahasa yang mampu memberi ilmu landasan untuk mengontrol dunia fisik, untuk mengatasi kenyataan.

PRAMOEDYA Ananta Toer tampaknya memang novelis Indonesia paling menonjol yang menyambut hangat dan tegas kehadiran ilmu dan teknologi; satu-satunya yang dengan sadar menyatakan bahwa karangannya disusun untuk menjadi sebuah tesis. Genre sastra yang ia pilih memang lebih memungkinkan ia menata sebuah pandangan dunia. Kesadaran bahwa karya adalah sebuah tesis, di samping pergulatan nyata dengan dunia yang ditulisnya, itulah agaknya sumber kekuatannya yang memberi sejumlah gravitasi pada tulisan-tulisannya yang terbaik yang lebih hemat kata.

Andreas Teeuw pernah menyebut bahwa Pram adalah penulis yang lahir sekali dalam satu abad, setidaknya satu generasi. Saya sungguh-sungguh berharap semoga Pram benar-benar menjadi penulis terakhir Indonesia yang membiarkan karyanya dicemari oleh sejenis Manicheanisme, sebuah kosmologi kuno yang keterlaluan sederhananya, yang membagi dunia dalam dua kutub yang tak terdamaikan. Semoga tak ada lagi sastrawan Indonesia yang sadar atau tidak, merusak karyanya dengan sejumlah esensialisasi, yang mereduksi sekaligus mengasosiasikan seseorang atau satu kaum pada sejumlah isme yang mustahil orang-orang seperti Pram berdamai dengannya.

Biarlah proyek pengungkapan sejarah Pram menjadi salah satu bahan mentah para penulis yang mencoba menghadirkan ulang Indonesia dan dunia di masa-masa yang silam. Bahan mentah yang menanti sentuhan dan ilham yang memungkinkan penulis seperti Walter Benjamin bergerak membangun ulang ibu kota dunia abad ke-19, Paris, dengan cara yang konon sebanding dengan metode fisi nuklir yang melepaskan energi yang terpenjara dalam struktur atom. Cara itu dimaksudkan untuk membebaskan energi sejarah yang dahsyat yang tidur mendekam di bawah berbagai narasi sejarah yang klasik.

Adapun mengenai karya sastra yang sudah ada, dan cita-cita literer yang belum tercapai, biarlah jadi bahan bagi upaya memadukan segenap kekuatan estetik yang terserak dan kenyataan yang terpecah-pecah, untuk membangkitkan sekaligus menantang dunia dengan alegori dan ironi, seperti reaksi fusi yang melebur atom-atom sederhana, untuk menghasilkan atom baru dan ledakan energi yang memekarkan bintang-bintang dan Matahari.

Sastra dan seni besar seperti itu tentu saja masih butuh indra. Tubuh dan indra adalah instrumen yang paling peka untuk mengecek kenyataan, indikator akan kekonkretan. Tetapi, karya seperti itu juga butuh sesuatu yang sangat intelektual, yang setara dengan upaya monoteisme Ibrahim mengajukan waktu linier yang berurutan dan tak berulang, sebagai kritik terhadap waktu siklis dunia Yunani-Romawi Kuno dan segenap masyarakat penganut politeisme. Dalam pandangan dunia monoteistis, di atas waktu linier historis yang terbentang sejak kejatuhan Adam sampai ke Hari Pembalasan, masih ada waktu magis lain yang tak mengenal perubahan, yakni kekekalan.

Abad Modern dengan berbagai sastra dan seninya, seperti kata Octavio Paz, lahir sebagai kritik terhadap kekekalan waktu monoteisme Ibrahim, dan munculnya faham waktu yang berbeda. Di satu sisi, waktu finit linier monoteisme, dengan awal dan akhirnya, diubah menjadi rentang waktu yang nyaris tak terbatas bagi evolusi alam dan sejarah, dan yang tetap terbuka dengan segala kemungkinannya ke masa depan. Di sisi lain, modernitas mendevaluasi kekekalan: kesempurnaan dipindahkan ke masa depan yang berada di dunia ini, bukannya di alam akhirat.

Perkembangan dan pencapaian rasio manusia di awal alaf ini bukan saja membuka jalan untuk mengatasi waktu monoteistis dan waktu modernis itu dengan memuliakan Kehadiran, seperti yang diajukan Paz. Selain memberi jalan bagi pengorganisasian dan persilangan waktu, imajinasi yang menubuh dalam kehadiran tanpa satu titik waktu, rasio itu bahkan menghamparkan kemungkinan untuk memproduksi sendiri secara fisik, bukan sekadar kognitif, ruang dan waktu sendiri.

Nirwan Ahmad Arsuka, Anggota Dewan Kurator Bentara Budaya Jakarta
Dijumput dari: http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=331:nalar-indra-dan-nalar-dunia-krisis-penciptaan-sastra&catid=47:sastra&Itemid=93

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae