Kamis, 12 Januari 2012

Tetralogi Pramoedya Ananta Toer dalam Materialisme Karl Marx

Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Sri Fitri Ana *
http://antropologiui.wordpress.com/

Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.

Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.

Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang “Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Mingke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.

Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.

Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet dan pantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Yang cukup menonjol pada naskah Nyai Ontosoroh adalah proses pembangunan karakter berdaulat yang mampu menghadapi dan melawan kekuasaan dengan tanpa mencabik-cabik integritas perorangan maupun kelas. Apalagi proses pembangunan karakter tersebut dikenakan pada konteks sejarah penjajahan, yang masih relevan dalam kajian sosial-budaya masa kini sekalipun.

Tokoh Minke lahir pada 1880, tepat seratus tahun yang lalu jika dihitung sejak terbitnya novel Bumi Manusia (This Earth of Mankind) untuk pertama kali. Minke lahir di era kolonialisme Belanda sedang gencar-gencarnya menyedot kekayaan alam dan tenaga manusia Nusantara, hingga memasuki kurun 300 tahun, dihitung sejak VOC memasuki perairan Batavia dan mendirikan kantor dagang berupa loji yang digunakan sekaligus pangkalan laut.

Van den Bosch dengan programnya yang tersohor: tanam paksa/ cultuurstelsel mulai bergulir pada 1830-an, Belanda usai meraih kemenangan dalam perang Jawa yang lebih termasyhur dengan perang Diponegoro. Program jenius si Bosch demi kejayaan Nederland Raya terus berlanjut dan semakin bervariasi tanaman-tanaman yang dibebankan pada kaum petani pribumi, hingga pada 1870 para petani harus menanami duapuluhlima persen dari lahannya dengan tanaman wajib, berupa vanili, tebu, kayu manis dan sebagainya sesuai permintaan pasar dunia. Dengan latar belakang keadaan pribumi yang tertindas seperti itulah, Pramoedya dalam buku ini mencoba menggelar kejadian di satu pojokan bumi manusia – manusia pribumi Jawa.

Minke memperkenalkan namanya yang unik, layaknya pemuda memasuki masa dewasa. Ia seorang pelajar di HBS Surabaya. Minke pelajar pribumi yang cemerlang hingga usai ujian akhir sekolah kelak di HBS dinobatkan sebagai siswa terpandai nomor satu HBS Surabaya, dan nomor dua untuk seluruh Hindia Belanda. Prestasi siswa pribumi Jawa yang mengagumkan di masa itu. Di masa kekuasaan kolonial itu pribumi belum mungkin menjadi nomor satu seluruh Hindia Belanda.

Tidak semua anak mampu boleh masuk sekolah tinggi, kecuali anak ningrat pribumi, atau anak pejabat pribumi yang boleh belajar di sekolah setingkat HBS. Kekecualian bagi anak totok Belanda dan peranakan yang disamakan dengan totok. Minke masuk HBS dengan dukungan neneknya, bupati Bojonegoro.

Prestasinya dalam jurnalistik dengan nama samaran Max Tolenaar menulis untuk surat kabar di Jawa Timur. Guru sastranya yang liberal dan progresif memuji-mujinya sebagai siswa kebanggaannya selama karirnya sebagai guru sastra. Pribumi menulis untuk surat kabar di jaman itu? Luar biasa di jaman itu. Hal itu dimungkinkan bermodal nama samaran seorang peranakan ia mengumumkan dirinya, karena bagi peranakan masih layak peluang untuk menulis dalam surat kabar.

Hasil penelitian residen Bojonegoro bahwa pribumi punya tingkat intelijensi sama derajat dibanding orang Belanda. Penelitian yang diilhami oleh teori asosiasi Dr. Snouck Hurgronje mempunyai thesis: dapatkah pribumi bersama-sama Belanda memerintah orang pribumi Hindia? Residen Bojonegoro sangat terkesan pada Minke, obyek penelitiannya.

Perbedaan antara orang Belanda dan pribumi; orang Belanda datang sebagai penjajah dan penakluk sedangkan orang pribumi jadi taklukannya. Ketidakadilah berlaku di tanah jajahan manapun, bagi pribumi lebih jelas lagi mengejawantah dalam hukum bertingkat-tingkat yang berlaku di Hindia Belanda. Tingkat tertinggi Belanda totok, di bawahnya timur asing, dan paling bawah adalah pribumi. Pribumi di depan hukum selalu kalah melawan Belanda dan sebaliknya.

Kisah Minke dengan kekasihnya Annelies di seputar kegiatan pabrik gula melibatkan Minke berhadapan dengan hukum yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Minke masih beruntung berkat previlium previgiatum (kekebalan hukum tingkat tertentu) yang dimilikinya, karena belajar di HBS Minke sederajat anak bupati. Annelies anak seorang administratur pabrik gula, Herman Mallema.

Nyai Ontosoroh alias Sanikem berbangga hati anak gadisnya punya teman seorang pemuda yang belajar di HBS. Bersekolah di HBS berarti setelah lulus nanti akan menduduki jabatan tertentu dalam struktur pemerintah Hindia Belanda, atau meniti jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Hindia Belanda atau di Nederland.

Perjuangan kelas dalam Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa seri kedua tetralogi karya Pulau Buru diawali, “Kepergian Annelies ke Nederland menumpang sebuah kapal laut maskapai KPM. Seorang wanita totok mengawal si sakit Ann dalam kapal yang berlayar dengan kecepatan abad 18. Juga seorang agen Melayu diam-diam mengawal sang dewi. Dan Annelies pun menyadari ada seseorang yang menjaganya dengan baik dan melayani dirinya sebaik mungkin di perjalanan jauh itu.

Annelies belayar dipisahkan dari keluarganya, dari suami dan ibunda tercintanya dengan alasan hak asuh dimiliki oleh saudara tirinya lain ibu yang tinggal di Nederland. Saudara tirinya itu seorang anggota militer Kerajaan Belanda.

Saudara tirinya menjadi pewaris utama harta Herman Mallema yang berada di tangan Nyai Ontosoroh. Annelies tentu tidak mendapat bagian dari warisan itu berdasarkan hukum Belanda. Mengapa Sang saudara tiri itu ngotot ingin memelihara saudara tirinya yang nyata-nyata tidak bakal mengusik warisan itu? Dan pemerintah Nederland maupun Hindia-Belanda membiarkan saja seorang anak dalam keadaan sakit parah dipisahkan dari ibu kandungnya sendiri?

Minke dan Annelies menikah secara Islam. Kepergian Annelies ke luar negeri dipisahkan dari suaminya itu telah didengar oleh penduduk Wonokromo dan Surabaya. Maka mereka terutama orang-orang Madura itu pun mengirimkan sepasukan penduduk tanpa senjata guna menghadang kereta Gubermen yang hendak meninggalkan rumah Nyai Ontosoroh. Pemerintah kolonial Belanda yang kewalahan akhirnya mengirim pasukan khususnya Marsose untuk menindas orang-orang yang memberontak itu.

Pertentangan kelas penguasa (borjuis) melawan kelas rakyat jelata pun (proletar) terjadi. Pertentangan kelas pribumi terjajah melawan kelas bangsa penjajah (imperialis) terjadi.

Feodalisme dalam Jejak Langkah

Siti Sundari aktivis yang seafiliasi dengan Semaoen, dan Mas Marcokartodikromo asisten khusus Redaksi Medan Prijaji yang dipimpin Minke itu semuanya saja menyebarkan opini menghasut massa untuk menentang dominasi kekuasaan kolonial Hindia-Belanda. Mas Marco pernah sekali menulis tajuk yang ngawur sehingga membikin berang pemerintah kolonial – waktu itu Minke sedang dinas luar.

Siti Sundari perawan yang sudah cukup umur untuk menikah dan berumah-tangga ini anak seorang aparat pemerintah berpangkat wedana di Jawa Tengah. Belanda yang halus dibandingkan Orde Baru melalui kepanjangan tangannya berusaha mempengaruhi sang ayah sehingga jabatannya menjadi taruhan dalam kemampuannya sebagai orang tua mengendalikan sepak terjang anak gadisnya yang mendahului jamannya.

Semaoen lain lagi karena dia seorang anak angkat Belanda totok. Jadi tidak mudah untuk mengendalikan sepak-terjangnya yang sudah sampai pada memimpin kaum buruh transportasi kereta api. Di masa orde baru para pejuang muda dalam mendongkel kekuasaan Orde Baru mengumpulkan dan mempengaruhi massa para pekerja pabrik. Buruh pabrik swasta itu merupakan kekuatan proletar seperti dalam teori-teori marxisme sebagai massa kuli yang harus merebut alat produksi. Mereka tidak pernah berusaha merebut pabriknya sendiri akan tetapi rewel untuk minta kenaikan gaji atau mogok dengan tuntutan perbaikan nasib.

Maklumlah sektor semacam buruh kereta api semasa orde baru sangatlah sulit untuk diorganisir dibandingkan buruh pabrik yang merupakan simbol proletar itu. Juga untuk mengadakan rapat terbuka di masa Orde Baru lebih sulit lagi dibandingkan di masa kekuasaan Belanda yang bisa dianggap cukup beradab. Aparat intel Orde Baru demikian canggihnya menjangkau hingga desa terpencil, mirip struktur intel Jepang yang kejam Kenpeitai. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka untuk pembaruan daripada pemerintah pendudukan Jepang maupun pemerintah Orde Baru. Wajarlah Belanda mampu berkuasa selama tiga setengah abad di Nusantara. Kolonialis Belanda harus menyerahkan kedaulatannya kepada Jepang karena terlibat peperangan sedangkan Orde Baru masih tetap tegak sampai detik ini hanya berubah julukannya menjadi Orde Reformasi yang wataknya sama saja. Bedanya sekarang orang bicara bebas dan menulis bebas asalkan mau bertanggung jawab atas perbuatan dan tulisan sendiri. Dan karena bebas berbicara dan menulis itulah sebagaimana watak aslinya orang Nusantara ialah ngeyel bin ngengkel alias ngotot terus menganggap dirinya yang paling benar. Itulah kelemahannya Pribumi yang baru belajar mengecap kebebasan mengeluarkan isi hati dan isi kepalanya.

Rumah Kaca

130 tahun silam, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan Biro Khusus yang ujungnya terbentuknya gerombolan bebas hukum alias mendapat perlindungan hukum secara klandestin dari pejabat kolonial. Gerakan gerombolan atau organisasi massa tidak resmi ini didalangi oleh oknum tertentu yang berlatar pejabat pemerintah demi kelanggengan kekuasaan kolonial, salah satu kepanjangan tangan Biro Khusus adalah de Zweep. Tugas pokok De Zweep adalah menghadang Pribumi yang berpikiran dan bertindak yang bisa membahayakan tatanan negeri jajahan di seberang lautan. Dalam masa Gubernur Jenderal Idenburg, de Zweep merajalela di Bandung.

Salah satu Pribumi maju di dunia pers dengan membantu rakyat miskin yang tertindas oleh pemerintah yakni Minke menjadi menjadi bulan-bulanan de Zweep yang bertindak berdasarkan perintah pejabat Algemeene Secretarie Pangemanann, De Zweep yang dipimpin Robert Suurhof menyimpan dendam pribadi terhadap Minke.

Ya, de Zweep yang kemudian hari berganti nama lain itulah secara tidak langsung adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda dalam memberantas pemberontakan para intelektual Pribumi, Minke malang-melintang dalam dunia pers yang tentu saja sulit dihadapi terbuka yakni dengan dasar hukum yang cocok karena itu sudah menyangkut pelanggaran atas kemerdekaan pers,

De Zweep dalam era reformasi ini bermetamorfosa dalam gerombolan baru berbentuk organisasi massa. Organisasi massa yang terdaftar resmi itu selalu hadir di mana ada gerakan komunis mulai tumbuh. Organisasi semacam itu yang cukup banyak jumlahnya juga hadir di tempat-tempat maksiat atau tempat orang menenggak minuman keras. Tampaknya bertindak demikian memang lebih praktis dan efektif langsung ke sasaran, bagi kepentingan oknum tertentu. Organisasi yang mirip gerombolan de Zweep di masa kolonial ini beroperasi layaknya gerombolan yang bertindak tanpa dasar kekuatan hukum alias main hakim sendiri. Dasar alasan hukum agama menjadi tameng untuk segala tindakan di luar hukum mereka, para ormas itu.

Salah satu munas gerombolan itu diadakan di sebuah kota sejuk tidak jauh dari ibukota. Dalam sebuah gedung milik punggawa Partai besar. Apa hubungan partai besar dan gerombolan De Zweep baru itu? Mungkin gerombolan de Zweep baru ini sekadar menyewa gedung atau bisa jadi adalah tukang pukul bagi siapapun yang kuat membayar dan mau mempergunakan keahlian mereka bertindak di luar hukum dengan bertameng gerakan agama tertentu. Tameng hukum agama tertentu memang tepat untuk jaman sekarang, terutama menghadapi gerakan komunis yang memiliki dasar filsafat materialis.

De Zweep di masa kolonial terutama memiliki anggota peranakan Eropa yang anti-pribum, De Zweep modern memiliki anggota penganut agama tertentu. Yang pertama di atas dipergunakan untuk memberantas gerakan rakyat Indonesia yang berusaha merdeka, berusaha bebas dari cengkeraman kekuasaan kolonial. Sedangkan yang kedua dipergunakan untuk memberantas kemaksiatan dan juga gerakan komunis yang berusaha bangkit dari liang kubur, karena dianggap sebuah gerakan yang ingin menumbangkan kekuasaan pemerintah. Tidak hanya kemaksiatan yang diserbu oleh de Zweep modern, juga aliran-aliran lain daripada agama tertentu yang dianggap tidak menjunjung aqidah. Mampukah de Zweep modern membendung kemajuan jaman? membendung sejarah perjuangan kelas? Jadi, para anak wayang bersiap-siaplah bersedia payung sebelum memulai gerakan apapun yang mengusik kekuasaan.

Pengaruh Marxisme-leninisme dalam Kesusastraan Indonesia

Di Indonesia, ajaran marxis ditentang keras oleh pemerintahan pada masa sebelum kemerdekaan dan pada masa Orde Baru. Namun tidak begitu halnya bagi para sastrawan indonesia. Ada banyak karya sastra Indonesia yang memuat ajaran marxis yang berbentuk novel, roman, dan puisi. Pada masa kolonial Belanda, novel-novel yang mengandung ajaran marxis disegel pemerintah dan dianggap sebagai bacaan liar atau bacaan terlarang bagi rakyat. Novel-novel tersebut misalnya Student Hijo karya Mas Marco, Hikayat Kadiroen karya Semaoen, dan sastra peranakan china lainnya seperti Teko jepang, Soe Hoek Gie, dan lainnya. Pada masa pemerintahan Orde baru misalnya novel Putri karya Putu Wijaya, novel-novel Pramoedya Ananta Tour, roman Atheis karya Achdiat K, dan lainnya.

Dalam novel Bumi Manusia memang terlihat adanya kelas-kelas. Novel tersebut berusaha membawa generasi muda ke dalam rangka pemikiran mereka yang merupakan pertentangan kelas.

Kesalahpahaman inilah yang menyebabkan pemikiran-pemikiran Marx dianggap menakutkan oleh semua orang, terutama oleh masyarakat yang memiliki trauma politik akibat komunisme, seperti Indonesia. Padahal sepanjang sejarah sebelumnya, Marx memiliki atribut positif dalam masyarakat, yaitu bapak dan guru sosialisme modern, ekonom, dan sosiolog. Hampir semua pemikiran besar modern bidang ekonomi maupun sosiologi dipengaruhi pemikiran kefilsafatan Marx.

Materialisme pada dasarnya merupakan bentuk yang paling radikal dari paham naturalisme (L. Santoso, dkk, 2006 : 38). Menurut William R. Dennes, seorang naturalis, ketika naturalisme modern berpendirian bahwa apa yang dinamakan kenyataan pasti bersifat kealaman, maka kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah kejadian. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami manusia. Satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada (Katsoff, 1992: 216-218). Materialiseme merupakan bentuk naturalisme yang lebih terbatas dan sempit.

Materialisme Karl Marx berpegang teguh pada pendapat bahwa kenyataan benar-benar ada secara objektif, tidak hanya ada dalam ide-ide kesadaran manusia. Karl Marx mengartikan materialisme dialektik sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus, yang memunculkan suatu keadaan akibat adanya pertentangan-pertentangan.

Jadi, dalam filsafat materialisme Marx muncul pemahaman bahwa kenyataan memunculkan kesadaran manusia, yang berarti memunculkan pengetahuan sebagai salah satu bentuk kesadaran. Materi memunculkan ide, dan dunia objektif adalah bahan dasar bagi munculnya pengetahuan manusia. Tanpa materi, maka kesadaran manusia tidak terbentuk, dan tanpa bahan dasar, maka indera manusia tidak memperoleh apa-apa.

*) Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia /June 7, 2011
Dijumput dari: http://antropologiui.wordpress.com/2011/06/07/tetralogi-pramoedya-ananta-toer-dalam-materialisme-karl-marx/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae