Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Sri Fitri Ana *
http://antropologiui.wordpress.com/
Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980. Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.
Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.
Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang “Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Mingke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.
Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.
Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet dan pantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Yang cukup menonjol pada naskah Nyai Ontosoroh adalah proses pembangunan karakter berdaulat yang mampu menghadapi dan melawan kekuasaan dengan tanpa mencabik-cabik integritas perorangan maupun kelas. Apalagi proses pembangunan karakter tersebut dikenakan pada konteks sejarah penjajahan, yang masih relevan dalam kajian sosial-budaya masa kini sekalipun.
Tokoh Minke lahir pada 1880, tepat seratus tahun yang lalu jika dihitung sejak terbitnya novel Bumi Manusia (This Earth of Mankind) untuk pertama kali. Minke lahir di era kolonialisme Belanda sedang gencar-gencarnya menyedot kekayaan alam dan tenaga manusia Nusantara, hingga memasuki kurun 300 tahun, dihitung sejak VOC memasuki perairan Batavia dan mendirikan kantor dagang berupa loji yang digunakan sekaligus pangkalan laut.
Van den Bosch dengan programnya yang tersohor: tanam paksa/ cultuurstelsel mulai bergulir pada 1830-an, Belanda usai meraih kemenangan dalam perang Jawa yang lebih termasyhur dengan perang Diponegoro. Program jenius si Bosch demi kejayaan Nederland Raya terus berlanjut dan semakin bervariasi tanaman-tanaman yang dibebankan pada kaum petani pribumi, hingga pada 1870 para petani harus menanami duapuluhlima persen dari lahannya dengan tanaman wajib, berupa vanili, tebu, kayu manis dan sebagainya sesuai permintaan pasar dunia. Dengan latar belakang keadaan pribumi yang tertindas seperti itulah, Pramoedya dalam buku ini mencoba menggelar kejadian di satu pojokan bumi manusia – manusia pribumi Jawa.
Minke memperkenalkan namanya yang unik, layaknya pemuda memasuki masa dewasa. Ia seorang pelajar di HBS Surabaya. Minke pelajar pribumi yang cemerlang hingga usai ujian akhir sekolah kelak di HBS dinobatkan sebagai siswa terpandai nomor satu HBS Surabaya, dan nomor dua untuk seluruh Hindia Belanda. Prestasi siswa pribumi Jawa yang mengagumkan di masa itu. Di masa kekuasaan kolonial itu pribumi belum mungkin menjadi nomor satu seluruh Hindia Belanda.
Tidak semua anak mampu boleh masuk sekolah tinggi, kecuali anak ningrat pribumi, atau anak pejabat pribumi yang boleh belajar di sekolah setingkat HBS. Kekecualian bagi anak totok Belanda dan peranakan yang disamakan dengan totok. Minke masuk HBS dengan dukungan neneknya, bupati Bojonegoro.
Prestasinya dalam jurnalistik dengan nama samaran Max Tolenaar menulis untuk surat kabar di Jawa Timur. Guru sastranya yang liberal dan progresif memuji-mujinya sebagai siswa kebanggaannya selama karirnya sebagai guru sastra. Pribumi menulis untuk surat kabar di jaman itu? Luar biasa di jaman itu. Hal itu dimungkinkan bermodal nama samaran seorang peranakan ia mengumumkan dirinya, karena bagi peranakan masih layak peluang untuk menulis dalam surat kabar.
Hasil penelitian residen Bojonegoro bahwa pribumi punya tingkat intelijensi sama derajat dibanding orang Belanda. Penelitian yang diilhami oleh teori asosiasi Dr. Snouck Hurgronje mempunyai thesis: dapatkah pribumi bersama-sama Belanda memerintah orang pribumi Hindia? Residen Bojonegoro sangat terkesan pada Minke, obyek penelitiannya.
Perbedaan antara orang Belanda dan pribumi; orang Belanda datang sebagai penjajah dan penakluk sedangkan orang pribumi jadi taklukannya. Ketidakadilah berlaku di tanah jajahan manapun, bagi pribumi lebih jelas lagi mengejawantah dalam hukum bertingkat-tingkat yang berlaku di Hindia Belanda. Tingkat tertinggi Belanda totok, di bawahnya timur asing, dan paling bawah adalah pribumi. Pribumi di depan hukum selalu kalah melawan Belanda dan sebaliknya.
Kisah Minke dengan kekasihnya Annelies di seputar kegiatan pabrik gula melibatkan Minke berhadapan dengan hukum yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Minke masih beruntung berkat previlium previgiatum (kekebalan hukum tingkat tertentu) yang dimilikinya, karena belajar di HBS Minke sederajat anak bupati. Annelies anak seorang administratur pabrik gula, Herman Mallema.
Nyai Ontosoroh alias Sanikem berbangga hati anak gadisnya punya teman seorang pemuda yang belajar di HBS. Bersekolah di HBS berarti setelah lulus nanti akan menduduki jabatan tertentu dalam struktur pemerintah Hindia Belanda, atau meniti jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Hindia Belanda atau di Nederland.
Perjuangan kelas dalam Anak Semua Bangsa
Anak Semua Bangsa seri kedua tetralogi karya Pulau Buru diawali, “Kepergian Annelies ke Nederland menumpang sebuah kapal laut maskapai KPM. Seorang wanita totok mengawal si sakit Ann dalam kapal yang berlayar dengan kecepatan abad 18. Juga seorang agen Melayu diam-diam mengawal sang dewi. Dan Annelies pun menyadari ada seseorang yang menjaganya dengan baik dan melayani dirinya sebaik mungkin di perjalanan jauh itu.
Annelies belayar dipisahkan dari keluarganya, dari suami dan ibunda tercintanya dengan alasan hak asuh dimiliki oleh saudara tirinya lain ibu yang tinggal di Nederland. Saudara tirinya itu seorang anggota militer Kerajaan Belanda.
Saudara tirinya menjadi pewaris utama harta Herman Mallema yang berada di tangan Nyai Ontosoroh. Annelies tentu tidak mendapat bagian dari warisan itu berdasarkan hukum Belanda. Mengapa Sang saudara tiri itu ngotot ingin memelihara saudara tirinya yang nyata-nyata tidak bakal mengusik warisan itu? Dan pemerintah Nederland maupun Hindia-Belanda membiarkan saja seorang anak dalam keadaan sakit parah dipisahkan dari ibu kandungnya sendiri?
Minke dan Annelies menikah secara Islam. Kepergian Annelies ke luar negeri dipisahkan dari suaminya itu telah didengar oleh penduduk Wonokromo dan Surabaya. Maka mereka terutama orang-orang Madura itu pun mengirimkan sepasukan penduduk tanpa senjata guna menghadang kereta Gubermen yang hendak meninggalkan rumah Nyai Ontosoroh. Pemerintah kolonial Belanda yang kewalahan akhirnya mengirim pasukan khususnya Marsose untuk menindas orang-orang yang memberontak itu.
Pertentangan kelas penguasa (borjuis) melawan kelas rakyat jelata pun (proletar) terjadi. Pertentangan kelas pribumi terjajah melawan kelas bangsa penjajah (imperialis) terjadi.
Feodalisme dalam Jejak Langkah
Siti Sundari aktivis yang seafiliasi dengan Semaoen, dan Mas Marcokartodikromo asisten khusus Redaksi Medan Prijaji yang dipimpin Minke itu semuanya saja menyebarkan opini menghasut massa untuk menentang dominasi kekuasaan kolonial Hindia-Belanda. Mas Marco pernah sekali menulis tajuk yang ngawur sehingga membikin berang pemerintah kolonial – waktu itu Minke sedang dinas luar.
Siti Sundari perawan yang sudah cukup umur untuk menikah dan berumah-tangga ini anak seorang aparat pemerintah berpangkat wedana di Jawa Tengah. Belanda yang halus dibandingkan Orde Baru melalui kepanjangan tangannya berusaha mempengaruhi sang ayah sehingga jabatannya menjadi taruhan dalam kemampuannya sebagai orang tua mengendalikan sepak terjang anak gadisnya yang mendahului jamannya.
Semaoen lain lagi karena dia seorang anak angkat Belanda totok. Jadi tidak mudah untuk mengendalikan sepak-terjangnya yang sudah sampai pada memimpin kaum buruh transportasi kereta api. Di masa orde baru para pejuang muda dalam mendongkel kekuasaan Orde Baru mengumpulkan dan mempengaruhi massa para pekerja pabrik. Buruh pabrik swasta itu merupakan kekuatan proletar seperti dalam teori-teori marxisme sebagai massa kuli yang harus merebut alat produksi. Mereka tidak pernah berusaha merebut pabriknya sendiri akan tetapi rewel untuk minta kenaikan gaji atau mogok dengan tuntutan perbaikan nasib.
Maklumlah sektor semacam buruh kereta api semasa orde baru sangatlah sulit untuk diorganisir dibandingkan buruh pabrik yang merupakan simbol proletar itu. Juga untuk mengadakan rapat terbuka di masa Orde Baru lebih sulit lagi dibandingkan di masa kekuasaan Belanda yang bisa dianggap cukup beradab. Aparat intel Orde Baru demikian canggihnya menjangkau hingga desa terpencil, mirip struktur intel Jepang yang kejam Kenpeitai. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka untuk pembaruan daripada pemerintah pendudukan Jepang maupun pemerintah Orde Baru. Wajarlah Belanda mampu berkuasa selama tiga setengah abad di Nusantara. Kolonialis Belanda harus menyerahkan kedaulatannya kepada Jepang karena terlibat peperangan sedangkan Orde Baru masih tetap tegak sampai detik ini hanya berubah julukannya menjadi Orde Reformasi yang wataknya sama saja. Bedanya sekarang orang bicara bebas dan menulis bebas asalkan mau bertanggung jawab atas perbuatan dan tulisan sendiri. Dan karena bebas berbicara dan menulis itulah sebagaimana watak aslinya orang Nusantara ialah ngeyel bin ngengkel alias ngotot terus menganggap dirinya yang paling benar. Itulah kelemahannya Pribumi yang baru belajar mengecap kebebasan mengeluarkan isi hati dan isi kepalanya.
Rumah Kaca
130 tahun silam, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan Biro Khusus yang ujungnya terbentuknya gerombolan bebas hukum alias mendapat perlindungan hukum secara klandestin dari pejabat kolonial. Gerakan gerombolan atau organisasi massa tidak resmi ini didalangi oleh oknum tertentu yang berlatar pejabat pemerintah demi kelanggengan kekuasaan kolonial, salah satu kepanjangan tangan Biro Khusus adalah de Zweep. Tugas pokok De Zweep adalah menghadang Pribumi yang berpikiran dan bertindak yang bisa membahayakan tatanan negeri jajahan di seberang lautan. Dalam masa Gubernur Jenderal Idenburg, de Zweep merajalela di Bandung.
Salah satu Pribumi maju di dunia pers dengan membantu rakyat miskin yang tertindas oleh pemerintah yakni Minke menjadi menjadi bulan-bulanan de Zweep yang bertindak berdasarkan perintah pejabat Algemeene Secretarie Pangemanann, De Zweep yang dipimpin Robert Suurhof menyimpan dendam pribadi terhadap Minke.
Ya, de Zweep yang kemudian hari berganti nama lain itulah secara tidak langsung adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda dalam memberantas pemberontakan para intelektual Pribumi, Minke malang-melintang dalam dunia pers yang tentu saja sulit dihadapi terbuka yakni dengan dasar hukum yang cocok karena itu sudah menyangkut pelanggaran atas kemerdekaan pers,
De Zweep dalam era reformasi ini bermetamorfosa dalam gerombolan baru berbentuk organisasi massa. Organisasi massa yang terdaftar resmi itu selalu hadir di mana ada gerakan komunis mulai tumbuh. Organisasi semacam itu yang cukup banyak jumlahnya juga hadir di tempat-tempat maksiat atau tempat orang menenggak minuman keras. Tampaknya bertindak demikian memang lebih praktis dan efektif langsung ke sasaran, bagi kepentingan oknum tertentu. Organisasi yang mirip gerombolan de Zweep di masa kolonial ini beroperasi layaknya gerombolan yang bertindak tanpa dasar kekuatan hukum alias main hakim sendiri. Dasar alasan hukum agama menjadi tameng untuk segala tindakan di luar hukum mereka, para ormas itu.
Salah satu munas gerombolan itu diadakan di sebuah kota sejuk tidak jauh dari ibukota. Dalam sebuah gedung milik punggawa Partai besar. Apa hubungan partai besar dan gerombolan De Zweep baru itu? Mungkin gerombolan de Zweep baru ini sekadar menyewa gedung atau bisa jadi adalah tukang pukul bagi siapapun yang kuat membayar dan mau mempergunakan keahlian mereka bertindak di luar hukum dengan bertameng gerakan agama tertentu. Tameng hukum agama tertentu memang tepat untuk jaman sekarang, terutama menghadapi gerakan komunis yang memiliki dasar filsafat materialis.
De Zweep di masa kolonial terutama memiliki anggota peranakan Eropa yang anti-pribum, De Zweep modern memiliki anggota penganut agama tertentu. Yang pertama di atas dipergunakan untuk memberantas gerakan rakyat Indonesia yang berusaha merdeka, berusaha bebas dari cengkeraman kekuasaan kolonial. Sedangkan yang kedua dipergunakan untuk memberantas kemaksiatan dan juga gerakan komunis yang berusaha bangkit dari liang kubur, karena dianggap sebuah gerakan yang ingin menumbangkan kekuasaan pemerintah. Tidak hanya kemaksiatan yang diserbu oleh de Zweep modern, juga aliran-aliran lain daripada agama tertentu yang dianggap tidak menjunjung aqidah. Mampukah de Zweep modern membendung kemajuan jaman? membendung sejarah perjuangan kelas? Jadi, para anak wayang bersiap-siaplah bersedia payung sebelum memulai gerakan apapun yang mengusik kekuasaan.
Pengaruh Marxisme-leninisme dalam Kesusastraan Indonesia
Di Indonesia, ajaran marxis ditentang keras oleh pemerintahan pada masa sebelum kemerdekaan dan pada masa Orde Baru. Namun tidak begitu halnya bagi para sastrawan indonesia. Ada banyak karya sastra Indonesia yang memuat ajaran marxis yang berbentuk novel, roman, dan puisi. Pada masa kolonial Belanda, novel-novel yang mengandung ajaran marxis disegel pemerintah dan dianggap sebagai bacaan liar atau bacaan terlarang bagi rakyat. Novel-novel tersebut misalnya Student Hijo karya Mas Marco, Hikayat Kadiroen karya Semaoen, dan sastra peranakan china lainnya seperti Teko jepang, Soe Hoek Gie, dan lainnya. Pada masa pemerintahan Orde baru misalnya novel Putri karya Putu Wijaya, novel-novel Pramoedya Ananta Tour, roman Atheis karya Achdiat K, dan lainnya.
Dalam novel Bumi Manusia memang terlihat adanya kelas-kelas. Novel tersebut berusaha membawa generasi muda ke dalam rangka pemikiran mereka yang merupakan pertentangan kelas.
Kesalahpahaman inilah yang menyebabkan pemikiran-pemikiran Marx dianggap menakutkan oleh semua orang, terutama oleh masyarakat yang memiliki trauma politik akibat komunisme, seperti Indonesia. Padahal sepanjang sejarah sebelumnya, Marx memiliki atribut positif dalam masyarakat, yaitu bapak dan guru sosialisme modern, ekonom, dan sosiolog. Hampir semua pemikiran besar modern bidang ekonomi maupun sosiologi dipengaruhi pemikiran kefilsafatan Marx.
Materialisme pada dasarnya merupakan bentuk yang paling radikal dari paham naturalisme (L. Santoso, dkk, 2006 : 38). Menurut William R. Dennes, seorang naturalis, ketika naturalisme modern berpendirian bahwa apa yang dinamakan kenyataan pasti bersifat kealaman, maka kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah kejadian. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami manusia. Satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada (Katsoff, 1992: 216-218). Materialiseme merupakan bentuk naturalisme yang lebih terbatas dan sempit.
Materialisme Karl Marx berpegang teguh pada pendapat bahwa kenyataan benar-benar ada secara objektif, tidak hanya ada dalam ide-ide kesadaran manusia. Karl Marx mengartikan materialisme dialektik sebagai keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus, yang memunculkan suatu keadaan akibat adanya pertentangan-pertentangan.
Jadi, dalam filsafat materialisme Marx muncul pemahaman bahwa kenyataan memunculkan kesadaran manusia, yang berarti memunculkan pengetahuan sebagai salah satu bentuk kesadaran. Materi memunculkan ide, dan dunia objektif adalah bahan dasar bagi munculnya pengetahuan manusia. Tanpa materi, maka kesadaran manusia tidak terbentuk, dan tanpa bahan dasar, maka indera manusia tidak memperoleh apa-apa.
*) Sri Fitri Ana, Antropologi, Universitas Indonesia /June 7, 2011
Dijumput dari: http://antropologiui.wordpress.com/2011/06/07/tetralogi-pramoedya-ananta-toer-dalam-materialisme-karl-marx/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar