Joni Lis Efendi
Riau Pos, 12 Des 2010
MENYEBUT “Melayu” pada dasarnya kita membicarakan tentang suatu ras yang memiliki karakter dan ciri-ciri fisik yang khas, terutama bentuk tubuh dan berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Melayu merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh Nusantara bisa digolongkan sebagai ras Melayu. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit sawo matang dapat dikelompokkan sebagai ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya.
Melayu juga dapat diartikan sebagai suku bangsa. Oleh karena perkembangan sejarah dan perubahan politik, konsentrasi ras Melayu terbesar berada di negara-negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Dalam kesatuan bangsa di masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras tetapi sebagai sukubangsa. Populasi orang Melayu di gugusan kepulauan Asia Tenggara mencapai 500 juta jiwa. Sebuah populasi yang terbilang besar, yang seharusnya bisa menjadi garansi bagi eksistensi mereka terutama dalam pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa internasional.
Mengenai orang Melayu yang ada di Indonesia, diperkirakan mereka berasal dari daratan benua Asia mengikuti suatu gelombang migrasi yang berlangsung pertama kali pada sekitar 2500-1500 SM. Gelombang migrasi ini datang ke Indonesia sebagian melalui Semenanjung Melayu masuk ke Sumatera, Kalimantan, Jawa; dan lainnya melalui Filipina masuk ke Sulawesi. Para migran ini disebut kelompok Melayu Tua (Proto Melayu).
Gelombang migrasi berikutnya dari daratan Asia yang juga melalui Semenanjung Melayu dan Filipina disebut Melayu Muda (Deutero Melayu). Ini terjadi sekitar 300 SM. Sukubangsa yang termasuk Melayu Muda ini, antara lain orang Aceh, Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Minangkabau, Melayu Jambi, orang Penghulu, Melayu Bengkulu, Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Belitong, Kutai, Berau, Minahasa, Bugis, Makassar, Bali, Sasak dan lain-lain. Beberapa suku bangsa lainnya yang juga masih mengidentifikasikan diri sebagai “orang Melayu”, adalah Melayu Biliton, Melayu Betawi, dan sebagainya.
Orang Melayu menetapkan identitas kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Melayu identik dengan Islam, menjadi orang Melayu berarti menjadi penganut Islam, dan menjadi Islam berarti sekaligus menjadi Melayu. Dan sebaliknya, keluar dari agama Islam berarti keluar dari Melayu dan keluar dari Melayu berarti keluar dari Islam. Slogan ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.
Kembali ke judul tulisan ini, warna Melayu sangat terasa ketika membaca Negeri Anyaman (NA), buku kumpulan cerpen pilihan Riau Pos 2010. Penulis menemukan setidaknya ada 10 cerpen yang secara langsung mengambil ranah kreatif penulisannya berlatar Melayu. Penulis mendasarkan pengelompokkan ini dari ciri khas penulisan yang menyandingkan unsur-unsur Melayu di dalamnya, seperti penggunaan dialek Melayu, tokoh cerita orang Melayu, dan daerah serta tempat terjadinya peristiwa di ranah Melayu.
Dalam memudahkan pembacaannya, penulis mengurutkan ulasan secara sistematis dari cerpen pangkal sampai ujung. Karena masing-masing cerita memiliki kedalaman yang butuh “stamina” kata-kata untuk mengulitinya. Sehingga agak lebih bijaknya jika hanya mengupas topik sentral dari masing-masing cerpen tersebut lalu mengapungkannya sebuah bentuk dimensi dari salah satu aspek Melayu.
Pembacaan pertama terhadap cerpen “Kepala”, yang ditulis Ahmad Ijazi H. Cerpen ini dengan jelas menyuguhkan tentang akibat buruk mencuri. Orang Melayu, sangat berpantang mencuri. Apapun alasannya, mencuri tidak dibenarkan karena itu termasuk perbuatan dosa yang dilarang agama. Namun karena adanya kesempatan, Zulman (tokoh cerita) mencuri anting-anting emas. Muasal anting-anting emas yang dicurinya itu dari kepala seorang wanita terbungkus plastik yang teronggok di pintu rumahnya.
Awalnya Zulman takut dan panik membuka bungkusan yang berisi kepala itu. Tapi setelah ditelinya baik-baik, ada anting-anting emas yang berjuntai di telinga kepala itu. Tak perlu menunggu lama, Zulman mencopot anting-anting itu lalu memasukkannya ke dalam saku celana jins. Dia pun pergi ke ladang hendak menguburkan kepala wanita itu. Ketika dia sampai di rumah, orang-orang ramai mengerumuni rumahnya. Istrinya mendapati mayat tanpa kepala di kolong rumahnya. Polisi pun memeriksanya dan menemukan anting-anting emas dalam saku celananya. Zulman akhirnya ditangkap.
Setelah membaca cerpen ini, mencuri bukanlah tabiat orang Melayu dan itu adalah perbuatan yang tidak terpuji. “Tangan mencincang, bahu memikul,” adalah pepatah yang benar adanya. Konsekuensi dari perbuatan ini akan mencelakan diri si pelaku sendiri. Kejujuran adalah karakter mulia yang dimiliki oleh orang Melayu, yang sayangnya saat ini mulai mengalami pengikisan. Dalih mereka mencuri karena faktor kemiskinan untuk bakan anak bini tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai Melayu.
Pembincangan mengenai asal-usul orang Melayu dapat kita jumpai dari cerpen “Kampung Anyaman” (KA) karya Benny Arnas. Cerpen ini merangkai cerita tentang orang-orang Melayu yang sangat suka menganyam. Bahkan, kelihaian menganyam seakan-akan mengalir saja dalam diri orang-orang Melayu, sama status mereka sebuah orang Melayu yang tidak bersusah memperjuangkannya, karena mereka sudah mendapat status orang Melayu sejak tangis pertama mereka pecah di dunia ini.
Sejatinya, kau tak tahu bagaimana kau demikian lihai melipat-kunci bilah, daun dan temali. Kau tak tahu dari mana datangnya kecakapan itu, layaknya tak tahu (atau memang tak pernah ingin tahu), bagaimana kau mengonggok di tanah ini (KA, hal. 15).
KA juga memaparkan tentang sejarah orang Melayu, yang kisah tentang mereka lebih mirip seperti dongeng. “Sejatinya, asal orang Melayu seperti asal orang-orang lain. Dari dongeng.” (KA, hal 18). Tentang silsilah orang Melayu dapat dibaca lebih lanjut dari halaman 19-20. Semua runtutan silsilah tentang orang Melayu memiliki keterikatan historis dan nilai-nilai Islam, yang mengantikan agama Hindu dan Budha yang dianut oleh generasi Melayu terdahulu. Perikatan ini mengalami kemunduran sejak penjajah memancangkan kukuh penjajahan di Nusantara, yang memisahkan Semenanjung Malaya dan Singgapura dengan Indonesia.
Saat membaca KA, kita menemukan adanya pergeseran nilai yang dianut oleh orang Melayu sekarang. Dalam pendangan orang Melayu, sangat berpantang istri durhaka kepada suaminya, “menjadi istri tak usah berlebihan tunduk pada laki (suami)” (KA hal. 16). Walau si istri menyadari bahwa untuk sampai ke surga, dia harus mendapat keridhaan suaminya, baik selagi hidup di dunia maupun setelah mati kelak. “Laki tetaplah imam kita untuk pergi ke taman langit” (KA hal. 16). Para istri tahu benar bahwa mereka harus taat kepada suami. Namun karena sifat merasa lebih hebat (baik dari penghasilan, ilmu, gelar, status keluarga, dll), sering melihat suaminya sebelah mata.
Membaca cerpen “Aku dan Istriku Terpaksa Membunuh” (AdITM), yang ditulis Eddy Akhmad RM, mengajak kita untuk merenung tentang hakikat sebuah pernikahan. Lazaminya sebuah pernikahan, yang tentunya kedua pasangan ingin sama-sama mengecap kebahagian dan kehangatan cinta. Namun tidak dengan suami istri ini yang hidup bersama dalam bayang-bayang masa lalu. Si istri selalu dihantui oleh ayahnya, yang lama meninggal sehingga tidak bisa merestui pernikahan mereka. Sedangkan suaminya, menikahinya tanpa restu ayahnya. Karena si ayah tidak suka bermenantu dengan seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya.
Pengalaman pahit masa lalu itulah yang menyebabkan si istri takut hamil dan mempunyai anak. Dia tidak mau nanti anaknya itu tumbuh tidak normal, karena membayangkan suaminya akan bertabiat buruk seperti ayahnya. Namun dengan kesabaran dan ketulusan cinta, si suami akhirnya mampu meyakinkan istrinya bahwa dia sanggup menjadi ayah yang baik bagi anak mereka. Dalam kehidupan orang Melayu, pernikahan adalah sarana yang disahkan negara dan dihalalkan agama untuk mendapat keturunan. Namun tidak sedikit, para orang tua yang justru menelantarkan, menyiksa dan melecehkan anak-anaknya sendiri. Kekerasan fisik dan mental terhadap anak tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai yang diyakini oleh orang Melayu. Tapi ini masih saja terjadi.
Cerpen “Burung Walet” yang ditulis Ellyan Katan, bercerita tentang kerinduan yang mendalam dari seorang anak rantau, Aslan, terhadap kampung halamannya. Pengalaman traumatik, pernah ditolak oleh ayah dari gadis pujaan hatinya, yang meragukan langkah kakinya untuk mengijak kembali tanah halaman rumahnya, yang sudah 7 tahun ditinggalkan. Deraan kerinduan itu dipersonifikasikan dengan kedatangan seekor burung walet yang acap menyinggahi kamar kosnya. Pergulatan batin tokoh Aslan adalah suatu yang alami berkecamuk dalam setiap anak rantau, yang rindu dengan kampung halamannya. Namun segores pengalaman tak sedap di kampung halaman terkadang menjadi karang yang menghalangi badan berbalik pulang. Pada akhirnya pertentangan batin itu justru menyebabkan dirinya gelisah dan terus didera perasaan rindu yang membuncah. Bagaimanapun, seorang anak Melayu perantauan pasti memiliki keinginan untuk kembali. Sama seperti elang yang terbang membubung tinggi di langit biru, suatu saat ia pasti ingin untuk kembali ke sarangnya.
Cerpen yang ditulis Fakhrunnas MA Jabbar, “Semokel”, adalah isu yang selalu aktual yang dihadapi oleh orang-orang Melayu, terkhusus yang ada dalam cerpen ini tentang Melayu Riau daratan. Isu tentang lingkungan hidup, terutama kerusakan hutan tidak bisa dipisahkan dari penduduk tempatan, yang halaman belakang rumah mereka adalah hutan belantara. Namun tidak kini, hutan-hutan perawan itu telah dijarah dan dibinasakan mesin-mesin chainsaw. Umang tokoh cerita adalah tetua kampung yang dulunya bekas semokel dan pembalak hutan. Semokel adalah penyelundupan tradisional lintas batas, yang menjual tual-tual kayu hasil balakan hutan dari Tanjung Kembar ke luar negeri, bahkan sampai ke Cina dan Jepang.
Namun tidak demikian setelah zaman berubah dan pemimpin di negeri ini berganti. Penebangan dan pembalakan liar merajalela. Hutan dibabat sampai punah ranah, lingkungan rusak dan dunia pun mengecam pembalakan liar di Tanjung Kembar. Sebagai tokoh mantan pembalak dan semokel, Umang dimintai keterangan, sempat ditahan seminggu lalu dipersidangkan. Walau akhirnya dia dibebaskan oleh hakim dari segala tuntutan hukum karena terbukti tidak bersalah. Namun dari lubuk hatinya, Umang menangis melihat hutan kampungnya habis dibalak.
Walaupun orang-orang Melayu pedalaman, seperti Umang, menebangi hutan tapi mereka tetap arif dengan tidak menebangi hutan larangan, yang mereka yakini berpenghuni (binatang langkah yang dilindungi) dan menjaga persediaan air, rotan, damar dan madu yang mendukung kehidupan orang-orang kampung. Semua itu, mereka lakukan demi makan anak istri. Sekarang orang menebang hutan bukan untuk segantang dua gantang beras, tapi untuk menumpuk-numpuk kekayaan, yang sampai tujuh keturunan tidak habis dimakan. Cerpen ini cukup berhasil memberi pencerahan dan penyadaran kepada kita, bahwa orang-orang kampung itu bukan biang keladi kerusakan hutan di Tanjung Kembar, semua itu ulah tauke pemilik modal di pusat sana.
Tabiat orang Melayu kalau keinginannya tidak terturuti adalah dengan merajuk. Inilah agaknya yang menjadi ide awal bagi Jafri Al Malay untuk menulis cerpen “Rajuk”. Diceritakan tentang sosok “aku”, yang waktu muda belia dulu suka merajuk kalau keinginannya tidak terpenuhi. Pernah ebah dan emak, melarangnya bergabung dengan grup Sandiwara Bangsawan. Namun karena kekerasan hatinya, akhirnya abah dan emak meluluskan keinginannya. Akhirnya si “aku” bergabung dengan grup Sandiwara Bengsawan dan sudah tidak terhitung kali mengadakan penampilan sandiwara. Sampai akhinya ia berhasil menjadi pemimpin grup tersebut dan imam (sutradara).
Setelah menginjak usia senja, gairah berkesenian si “aku” kembali menggelora ketika terbaca kabar di koran bahwa di kotanya sudah berdiri sebuah bangunan teater yang teramat megah. Keinginan kuatnya untuk kembali naik panggung mendapat pertentangan dari anak kandungnya, yang menganggapnya sudah terlalu tua untuk memainkan Sandiwara Bangsawan. Si “aku” kembali merajuk. Rajuknya kali ini tidak bisa diobati sampai dia benar-benar tampil di gedung seni pertunjukan yang megah itu. Dengan bantuan anak tetangganya, Iwan, si “aku” mendatangi gedung pertunjukan itu. Namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapati gedung yang besar dan megah itu kosong melompong, tidak satu pun seniman yang dijumpainya di sana. Dengan memendam kekesalan, dia kembali pulang. Rajuknya kali ini tidak bisa terobati, malah berujung dengan kekecewaan.
Cerpen “Malam Tergelap” yang ditulis Mohd Amin MS, menyuguhkan tentang sebuah realita yang dihadapi orang-orang Melayu saat ini. Tokoh Kasan, menjadi gundah gulana karena ulah PLN yang lebih suka matinya ketimbang hidup. Padahal malam itu jadwalnya liga Inggris, dan dia sangat menggebu untuk melihat tim kesayangannya Manchester United (MU) berlaga. Tapi PLN mati sehingga teve di rumahnya tidak bisa menyala. Akhirnya dia putuskan untuk melihat ke rumah sahabatnya, yang kebetulan punya aki. Namun di tengah jalan, Kasan berpapasan dengan Pak RT, yang justru mengajaknya ke pos ronda. Dengan mencari kesempatan, akhirnya Kasan berhasil juga sampai ke rumah sahabatnya. Tapi sayangnya, pertandingan bola telah usai. Kasan sangat kecewa dan seketika itu sakit jantungnya kambuh, yang mengakhiri nyawanya.
Kemajuan zaman di satu sisi dapat menghadirkan kesenangan dan kenyamanan hidup. Namun justru melenakan mereka dari akar-akar budaya yang sudah mengakar generasi demi generasi di tengah-tengah kehidupan mereka. Tersebutlah ketika PLN masuk kampung mereka sejak 6 bulan lalu, orang-orang kampung itu seketika tahu tentang dunia luar, hiburan, Indonesian Idol, gosip-gosip artis, dan liga Inggris. Orang-orang kampung terkagum-kagum dengan benda ajaib kota bersegi itu yang menghadirkan dunia yang benar-benar baru bagi mereka. Bahkan, para istri di kampung itu mulai ikut-ikutan ngelunjak dan berani beradu mulut (sampai membentak) suami, menirukan apa yang mereka lihat dari tayangan sinetron Suami-suami Takut Istri. Cerpen ini menyuguhkan sesuatu perubahan tata nilai yang terjadi di tengah masyarakat Melayu saat ini. Sebuah teknik penyajian yang apik.
Cerpen “Orang Aneh: Menunggu Setitik Cahaya” yang ditulis Musa Ismail berkisah tentang tokoh yang lebih memilih menjaga kebersihan hatinya ketimbang mengotorinya dengan perkara-perkara dunia yang dalam pandangannya adalah sampah. Namun tidak dengan sahabatnya Sumarta yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Tokoh si “aku” dicap aneh oleh rekan-rekan kerjanya karena menolak sebuah tawaran “basah” yang sangat menggiurkan. Alasan tokoh “aku” menolaknya karena tidak ingin mengotori hatinya.
Berbeda dengan Sumatra, yang walau sudah memiliki jabatan hebat di kantor” tetap saja mencari job luar dengan menjadi tim sukses salah seorang calon bupati yang ikut pilkada. Sumatra sangat lihai mengambil hati cabup itu, akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya setelah berhasil mengantarkan calon tersebut menang pilkada. Justru tokoh “aku” melihat kelakukan Sumarta itu yang aneh, yang mau menjadi penjilat demi mengejar kesenangan dunia yang hanya sesaat itu.
Sebuah ironi dihadirkan oleh Sobirin Zaini dalam cerpen “Akhir Riwayat Biola Tua”. Cerpen ini bertutur tentang tokoh “aku” yang berniat ingin belajar menggesek biola dengan Wak Sandung, lelaki tua pemain biola yang satu-satunya mereka hidup di kampungnya. Sudah sekian lama keinginan itu hanya terpendam dalam dadanya, inilah saatnya dia ingin belajar biola. Jauh-jauh dari kota tokoh “aku” menjumpai Wak Sandung untuk meluakka keinginannya itu. Namun hanya kekecewaan yang dia dapati setelah mengetahui dari mulut Wak Sandung sendiri bahwa biola satu-satunya itu telah dijualnya untuk membeli beras. Wak Sandung merasa biola itu tidak penting lagi dan tidak sanggup untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Begitulah nasib para seniman dalam usia senjanya, dulu pernah ada tapi kini setelah renta tak dianggap lagi.
Zainul Ikhwan mengajak kita melihat sebuah realita yang terpampang jelas dalam cerpennya “Kubur Terendam”. Pembangunan tidak selamanya membawa kesejahteraan bagi penduduk di sekitarnya. Malah justru mendatangkan bencana. Sebut saja dalam cerpen ini tentang pembangunan waduk Kotohilang, yang nantinya bisa menggerakkan turbin pembangkit listri yang dapat mengalirkan 114MW listrik ke segenap penjuru pulau. Namun apa lacur, proyek pembangunan itu justru menenggelamkan 14 kampung termasuk kuburan emak si tokoh cerita. Orang-orang kampungnya diusir paksa ke daerah pemukiman baru di tepi hutan, tidak ada jalan, tidak ada penerangan listrik. Jejak kampungnya dulu, yang sudah ditenggelamkan air waduk kini menjadi objek wisata. Sebuah ironi dari sebuah kata yang bernama “pembangunan”.***
____________________
Joni Lis Efendi, penikmat sastra, penulis buku, mantan Ketua FLP Riau. Berdomisili di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/warna-melayu-dalam-negeri-anyaman.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar