Jumat, 21 Oktober 2011

Warna Melayu dalam Negeri Anyaman

Joni Lis Efendi
Riau Pos, 12 Des 2010

MENYEBUT “Melayu” pada dasarnya kita membicarakan tentang suatu ras yang memiliki karakter dan ciri-ciri fisik yang khas, terutama bentuk tubuh dan berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Melayu merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh Nusantara bisa digolongkan sebagai ras Melayu. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit sawo matang dapat dikelompokkan sebagai ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya.

Melayu juga dapat diartikan sebagai suku bangsa. Oleh karena perkembangan sejarah dan perubahan politik, konsentrasi ras Melayu terbesar berada di negara-negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Dalam kesatuan bangsa di masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras tetapi sebagai sukubangsa. Populasi orang Melayu di gugusan kepulauan Asia Tenggara mencapai 500 juta jiwa. Sebuah populasi yang terbilang besar, yang seharusnya bisa menjadi garansi bagi eksistensi mereka terutama dalam pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa internasional.

Mengenai orang Melayu yang ada di Indonesia, diperkirakan mereka berasal dari daratan benua Asia mengikuti suatu gelombang migrasi yang berlangsung pertama kali pada sekitar 2500-1500 SM. Gelombang migrasi ini datang ke Indonesia sebagian melalui Semenanjung Melayu masuk ke Sumatera, Kalimantan, Jawa; dan lainnya melalui Filipina masuk ke Sulawesi. Para migran ini disebut kelompok Melayu Tua (Proto Melayu).

Gelombang migrasi berikutnya dari daratan Asia yang juga melalui Semenanjung Melayu dan Filipina disebut Melayu Muda (Deutero Melayu). Ini terjadi sekitar 300 SM. Sukubangsa yang termasuk Melayu Muda ini, antara lain orang Aceh, Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Minangkabau, Melayu Jambi, orang Penghulu, Melayu Bengkulu, Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Belitong, Kutai, Berau, Minahasa, Bugis, Makassar, Bali, Sasak dan lain-lain. Beberapa suku bangsa lainnya yang juga masih mengidentifikasikan diri sebagai “orang Melayu”, adalah Melayu Biliton, Melayu Betawi, dan sebagainya.

Orang Melayu menetapkan identitas kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Melayu identik dengan Islam, menjadi orang Melayu berarti menjadi penganut Islam, dan menjadi Islam berarti sekaligus menjadi Melayu. Dan sebaliknya, keluar dari agama Islam berarti keluar dari Melayu dan keluar dari Melayu berarti keluar dari Islam. Slogan ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.

Kembali ke judul tulisan ini, warna Melayu sangat terasa ketika membaca Negeri Anyaman (NA), buku kumpulan cerpen pilihan Riau Pos 2010. Penulis menemukan setidaknya ada 10 cerpen yang secara langsung mengambil ranah kreatif penulisannya berlatar Melayu. Penulis mendasarkan pengelompokkan ini dari ciri khas penulisan yang menyandingkan unsur-unsur Melayu di dalamnya, seperti penggunaan dialek Melayu, tokoh cerita orang Melayu, dan daerah serta tempat terjadinya peristiwa di ranah Melayu.

Dalam memudahkan pembacaannya, penulis mengurutkan ulasan secara sistematis dari cerpen pangkal sampai ujung. Karena masing-masing cerita memiliki kedalaman yang butuh “stamina” kata-kata untuk mengulitinya. Sehingga agak lebih bijaknya jika hanya mengupas topik sentral dari masing-masing cerpen tersebut lalu mengapungkannya sebuah bentuk dimensi dari salah satu aspek Melayu.

Pembacaan pertama terhadap cerpen “Kepala”, yang ditulis Ahmad Ijazi H. Cerpen ini dengan jelas menyuguhkan tentang akibat buruk mencuri. Orang Melayu, sangat berpantang mencuri. Apapun alasannya, mencuri tidak dibenarkan karena itu termasuk perbuatan dosa yang dilarang agama. Namun karena adanya kesempatan, Zulman (tokoh cerita) mencuri anting-anting emas. Muasal anting-anting emas yang dicurinya itu dari kepala seorang wanita terbungkus plastik yang teronggok di pintu rumahnya.

Awalnya Zulman takut dan panik membuka bungkusan yang berisi kepala itu. Tapi setelah ditelinya baik-baik, ada anting-anting emas yang berjuntai di telinga kepala itu. Tak perlu menunggu lama, Zulman mencopot anting-anting itu lalu memasukkannya ke dalam saku celana jins. Dia pun pergi ke ladang hendak menguburkan kepala wanita itu. Ketika dia sampai di rumah, orang-orang ramai mengerumuni rumahnya. Istrinya mendapati mayat tanpa kepala di kolong rumahnya. Polisi pun memeriksanya dan menemukan anting-anting emas dalam saku celananya. Zulman akhirnya ditangkap.

Setelah membaca cerpen ini, mencuri bukanlah tabiat orang Melayu dan itu adalah perbuatan yang tidak terpuji. “Tangan mencincang, bahu memikul,” adalah pepatah yang benar adanya. Konsekuensi dari perbuatan ini akan mencelakan diri si pelaku sendiri. Kejujuran adalah karakter mulia yang dimiliki oleh orang Melayu, yang sayangnya saat ini mulai mengalami pengikisan. Dalih mereka mencuri karena faktor kemiskinan untuk bakan anak bini tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai Melayu.

Pembincangan mengenai asal-usul orang Melayu dapat kita jumpai dari cerpen “Kampung Anyaman” (KA) karya Benny Arnas. Cerpen ini merangkai cerita tentang orang-orang Melayu yang sangat suka menganyam. Bahkan, kelihaian menganyam seakan-akan mengalir saja dalam diri orang-orang Melayu, sama status mereka sebuah orang Melayu yang tidak bersusah memperjuangkannya, karena mereka sudah mendapat status orang Melayu sejak tangis pertama mereka pecah di dunia ini.

Sejatinya, kau tak tahu bagaimana kau demikian lihai melipat-kunci bilah, daun dan temali. Kau tak tahu dari mana datangnya kecakapan itu, layaknya tak tahu (atau memang tak pernah ingin tahu), bagaimana kau mengonggok di tanah ini (KA, hal. 15).

KA juga memaparkan tentang sejarah orang Melayu, yang kisah tentang mereka lebih mirip seperti dongeng. “Sejatinya, asal orang Melayu seperti asal orang-orang lain. Dari dongeng.” (KA, hal 18). Tentang silsilah orang Melayu dapat dibaca lebih lanjut dari halaman 19-20. Semua runtutan silsilah tentang orang Melayu memiliki keterikatan historis dan nilai-nilai Islam, yang mengantikan agama Hindu dan Budha yang dianut oleh generasi Melayu terdahulu. Perikatan ini mengalami kemunduran sejak penjajah memancangkan kukuh penjajahan di Nusantara, yang memisahkan Semenanjung Malaya dan Singgapura dengan Indonesia.

Saat membaca KA, kita menemukan adanya pergeseran nilai yang dianut oleh orang Melayu sekarang. Dalam pendangan orang Melayu, sangat berpantang istri durhaka kepada suaminya, “menjadi istri tak usah berlebihan tunduk pada laki (suami)” (KA hal. 16). Walau si istri menyadari bahwa untuk sampai ke surga, dia harus mendapat keridhaan suaminya, baik selagi hidup di dunia maupun setelah mati kelak. “Laki tetaplah imam kita untuk pergi ke taman langit” (KA hal. 16). Para istri tahu benar bahwa mereka harus taat kepada suami. Namun karena sifat merasa lebih hebat (baik dari penghasilan, ilmu, gelar, status keluarga, dll), sering melihat suaminya sebelah mata.

Membaca cerpen “Aku dan Istriku Terpaksa Membunuh” (AdITM), yang ditulis Eddy Akhmad RM, mengajak kita untuk merenung tentang hakikat sebuah pernikahan. Lazaminya sebuah pernikahan, yang tentunya kedua pasangan ingin sama-sama mengecap kebahagian dan kehangatan cinta. Namun tidak dengan suami istri ini yang hidup bersama dalam bayang-bayang masa lalu. Si istri selalu dihantui oleh ayahnya, yang lama meninggal sehingga tidak bisa merestui pernikahan mereka. Sedangkan suaminya, menikahinya tanpa restu ayahnya. Karena si ayah tidak suka bermenantu dengan seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya.

Pengalaman pahit masa lalu itulah yang menyebabkan si istri takut hamil dan mempunyai anak. Dia tidak mau nanti anaknya itu tumbuh tidak normal, karena membayangkan suaminya akan bertabiat buruk seperti ayahnya. Namun dengan kesabaran dan ketulusan cinta, si suami akhirnya mampu meyakinkan istrinya bahwa dia sanggup menjadi ayah yang baik bagi anak mereka. Dalam kehidupan orang Melayu, pernikahan adalah sarana yang disahkan negara dan dihalalkan agama untuk mendapat keturunan. Namun tidak sedikit, para orang tua yang justru menelantarkan, menyiksa dan melecehkan anak-anaknya sendiri. Kekerasan fisik dan mental terhadap anak tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai yang diyakini oleh orang Melayu. Tapi ini masih saja terjadi.

Cerpen “Burung Walet” yang ditulis Ellyan Katan, bercerita tentang kerinduan yang mendalam dari seorang anak rantau, Aslan, terhadap kampung halamannya. Pengalaman traumatik, pernah ditolak oleh ayah dari gadis pujaan hatinya, yang meragukan langkah kakinya untuk mengijak kembali tanah halaman rumahnya, yang sudah 7 tahun ditinggalkan. Deraan kerinduan itu dipersonifikasikan dengan kedatangan seekor burung walet yang acap menyinggahi kamar kosnya. Pergulatan batin tokoh Aslan adalah suatu yang alami berkecamuk dalam setiap anak rantau, yang rindu dengan kampung halamannya. Namun segores pengalaman tak sedap di kampung halaman terkadang menjadi karang yang menghalangi badan berbalik pulang. Pada akhirnya pertentangan batin itu justru menyebabkan dirinya gelisah dan terus didera perasaan rindu yang membuncah. Bagaimanapun, seorang anak Melayu perantauan pasti memiliki keinginan untuk kembali. Sama seperti elang yang terbang membubung tinggi di langit biru, suatu saat ia pasti ingin untuk kembali ke sarangnya.

Cerpen yang ditulis Fakhrunnas MA Jabbar, “Semokel”, adalah isu yang selalu aktual yang dihadapi oleh orang-orang Melayu, terkhusus yang ada dalam cerpen ini tentang Melayu Riau daratan. Isu tentang lingkungan hidup, terutama kerusakan hutan tidak bisa dipisahkan dari penduduk tempatan, yang halaman belakang rumah mereka adalah hutan belantara. Namun tidak kini, hutan-hutan perawan itu telah dijarah dan dibinasakan mesin-mesin chainsaw. Umang tokoh cerita adalah tetua kampung yang dulunya bekas semokel dan pembalak hutan. Semokel adalah penyelundupan tradisional lintas batas, yang menjual tual-tual kayu hasil balakan hutan dari Tanjung Kembar ke luar negeri, bahkan sampai ke Cina dan Jepang.

Namun tidak demikian setelah zaman berubah dan pemimpin di negeri ini berganti. Penebangan dan pembalakan liar merajalela. Hutan dibabat sampai punah ranah, lingkungan rusak dan dunia pun mengecam pembalakan liar di Tanjung Kembar. Sebagai tokoh mantan pembalak dan semokel, Umang dimintai keterangan, sempat ditahan seminggu lalu dipersidangkan. Walau akhirnya dia dibebaskan oleh hakim dari segala tuntutan hukum karena terbukti tidak bersalah. Namun dari lubuk hatinya, Umang menangis melihat hutan kampungnya habis dibalak.

Walaupun orang-orang Melayu pedalaman, seperti Umang, menebangi hutan tapi mereka tetap arif dengan tidak menebangi hutan larangan, yang mereka yakini berpenghuni (binatang langkah yang dilindungi) dan menjaga persediaan air, rotan, damar dan madu yang mendukung kehidupan orang-orang kampung. Semua itu, mereka lakukan demi makan anak istri. Sekarang orang menebang hutan bukan untuk segantang dua gantang beras, tapi untuk menumpuk-numpuk kekayaan, yang sampai tujuh keturunan tidak habis dimakan. Cerpen ini cukup berhasil memberi pencerahan dan penyadaran kepada kita, bahwa orang-orang kampung itu bukan biang keladi kerusakan hutan di Tanjung Kembar, semua itu ulah tauke pemilik modal di pusat sana.

Tabiat orang Melayu kalau keinginannya tidak terturuti adalah dengan merajuk. Inilah agaknya yang menjadi ide awal bagi Jafri Al Malay untuk menulis cerpen “Rajuk”. Diceritakan tentang sosok “aku”, yang waktu muda belia dulu suka merajuk kalau keinginannya tidak terpenuhi. Pernah ebah dan emak, melarangnya bergabung dengan grup Sandiwara Bangsawan. Namun karena kekerasan hatinya, akhirnya abah dan emak meluluskan keinginannya. Akhirnya si “aku” bergabung dengan grup Sandiwara Bengsawan dan sudah tidak terhitung kali mengadakan penampilan sandiwara. Sampai akhinya ia berhasil menjadi pemimpin grup tersebut dan imam (sutradara).

Setelah menginjak usia senja, gairah berkesenian si “aku” kembali menggelora ketika terbaca kabar di koran bahwa di kotanya sudah berdiri sebuah bangunan teater yang teramat megah. Keinginan kuatnya untuk kembali naik panggung mendapat pertentangan dari anak kandungnya, yang menganggapnya sudah terlalu tua untuk memainkan Sandiwara Bangsawan. Si “aku” kembali merajuk. Rajuknya kali ini tidak bisa diobati sampai dia benar-benar tampil di gedung seni pertunjukan yang megah itu. Dengan bantuan anak tetangganya, Iwan, si “aku” mendatangi gedung pertunjukan itu. Namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapati gedung yang besar dan megah itu kosong melompong, tidak satu pun seniman yang dijumpainya di sana. Dengan memendam kekesalan, dia kembali pulang. Rajuknya kali ini tidak bisa terobati, malah berujung dengan kekecewaan.

Cerpen “Malam Tergelap” yang ditulis Mohd Amin MS, menyuguhkan tentang sebuah realita yang dihadapi orang-orang Melayu saat ini. Tokoh Kasan, menjadi gundah gulana karena ulah PLN yang lebih suka matinya ketimbang hidup. Padahal malam itu jadwalnya liga Inggris, dan dia sangat menggebu untuk melihat tim kesayangannya Manchester United (MU) berlaga. Tapi PLN mati sehingga teve di rumahnya tidak bisa menyala. Akhirnya dia putuskan untuk melihat ke rumah sahabatnya, yang kebetulan punya aki. Namun di tengah jalan, Kasan berpapasan dengan Pak RT, yang justru mengajaknya ke pos ronda. Dengan mencari kesempatan, akhirnya Kasan berhasil juga sampai ke rumah sahabatnya. Tapi sayangnya, pertandingan bola telah usai. Kasan sangat kecewa dan seketika itu sakit jantungnya kambuh, yang mengakhiri nyawanya.

Kemajuan zaman di satu sisi dapat menghadirkan kesenangan dan kenyamanan hidup. Namun justru melenakan mereka dari akar-akar budaya yang sudah mengakar generasi demi generasi di tengah-tengah kehidupan mereka. Tersebutlah ketika PLN masuk kampung mereka sejak 6 bulan lalu, orang-orang kampung itu seketika tahu tentang dunia luar, hiburan, Indonesian Idol, gosip-gosip artis, dan liga Inggris. Orang-orang kampung terkagum-kagum dengan benda ajaib kota bersegi itu yang menghadirkan dunia yang benar-benar baru bagi mereka. Bahkan, para istri di kampung itu mulai ikut-ikutan ngelunjak dan berani beradu mulut (sampai membentak) suami, menirukan apa yang mereka lihat dari tayangan sinetron Suami-suami Takut Istri. Cerpen ini menyuguhkan sesuatu perubahan tata nilai yang terjadi di tengah masyarakat Melayu saat ini. Sebuah teknik penyajian yang apik.

Cerpen “Orang Aneh: Menunggu Setitik Cahaya” yang ditulis Musa Ismail berkisah tentang tokoh yang lebih memilih menjaga kebersihan hatinya ketimbang mengotorinya dengan perkara-perkara dunia yang dalam pandangannya adalah sampah. Namun tidak dengan sahabatnya Sumarta yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Tokoh si “aku” dicap aneh oleh rekan-rekan kerjanya karena menolak sebuah tawaran “basah” yang sangat menggiurkan. Alasan tokoh “aku” menolaknya karena tidak ingin mengotori hatinya.

Berbeda dengan Sumatra, yang walau sudah memiliki jabatan hebat di kantor” tetap saja mencari job luar dengan menjadi tim sukses salah seorang calon bupati yang ikut pilkada. Sumatra sangat lihai mengambil hati cabup itu, akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya setelah berhasil mengantarkan calon tersebut menang pilkada. Justru tokoh “aku” melihat kelakukan Sumarta itu yang aneh, yang mau menjadi penjilat demi mengejar kesenangan dunia yang hanya sesaat itu.

Sebuah ironi dihadirkan oleh Sobirin Zaini dalam cerpen “Akhir Riwayat Biola Tua”. Cerpen ini bertutur tentang tokoh “aku” yang berniat ingin belajar menggesek biola dengan Wak Sandung, lelaki tua pemain biola yang satu-satunya mereka hidup di kampungnya. Sudah sekian lama keinginan itu hanya terpendam dalam dadanya, inilah saatnya dia ingin belajar biola. Jauh-jauh dari kota tokoh “aku” menjumpai Wak Sandung untuk meluakka keinginannya itu. Namun hanya kekecewaan yang dia dapati setelah mengetahui dari mulut Wak Sandung sendiri bahwa biola satu-satunya itu telah dijualnya untuk membeli beras. Wak Sandung merasa biola itu tidak penting lagi dan tidak sanggup untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Begitulah nasib para seniman dalam usia senjanya, dulu pernah ada tapi kini setelah renta tak dianggap lagi.

Zainul Ikhwan mengajak kita melihat sebuah realita yang terpampang jelas dalam cerpennya “Kubur Terendam”. Pembangunan tidak selamanya membawa kesejahteraan bagi penduduk di sekitarnya. Malah justru mendatangkan bencana. Sebut saja dalam cerpen ini tentang pembangunan waduk Kotohilang, yang nantinya bisa menggerakkan turbin pembangkit listri yang dapat mengalirkan 114MW listrik ke segenap penjuru pulau. Namun apa lacur, proyek pembangunan itu justru menenggelamkan 14 kampung termasuk kuburan emak si tokoh cerita. Orang-orang kampungnya diusir paksa ke daerah pemukiman baru di tepi hutan, tidak ada jalan, tidak ada penerangan listrik. Jejak kampungnya dulu, yang sudah ditenggelamkan air waduk kini menjadi objek wisata. Sebuah ironi dari sebuah kata yang bernama “pembangunan”.***
____________________
Joni Lis Efendi, penikmat sastra, penulis buku, mantan Ketua FLP Riau. Berdomisili di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/warna-melayu-dalam-negeri-anyaman.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae