Jumat, 21 Oktober 2011

Pesona Sajak ”Karena Kalian Gunung, Kami pun Menjelma Jadi Angin”

Agus Sri Danardana
Riau Pos, 26 Desember 2010

SAJAK “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” dimuat dalam Fragmen Waktu: Sajak Pilihan Riau Pos 2010 (Yayasan Sagang, 2010:27-29). Sajak itu (terdiri atas 9 bait) didedikasikan untuk rakyat Riau yang terus berjuang. Secara tekstual, sajak itu dapat diduga merupakan pernyataan sikap perlawanan yang dilakukan kami/angin atas keberadaan kalian/gunung. Sikap perlawanan itu muncul karena kami/angin sudah benar-benar merasa jengkel, kesal, dan bahkan muak terhadap perilaku kalian/gunung. Deskripsi lengkap sajak itu, lebih kurang, sebagai berikut.

Sesungguhnya kami sudah cukup bersabar meskipun sudah lama mengetahui bahwa gunung telah mendatangkan kegelapan (bait 1). Kami pun sudah lama mengetahui bahwa gunung telah menghancurkan emporium (bait 2), memamerkan kegarangan dan kerakusan (bait 3), serta tidak dapat berlaku adil (bait 4). Untuk mendukung tuduhannya itu, kami memperlihatkan berbagai peristiwa pedih dan tragis yang terjadi: inilah negeri tak bergunung tapi bermarwah/sejak dulu jadi ladang perburuan/tiap waktu terus dikepung/dari perbukitan hingga lautan/dari butiran pasir hingga hutan/dari pertambangan hingga lahan/dari minyak hingga perniagaan/apa lagi kini yang tersisa?//dah lama tudung periuk tak dinyanyikan/dah habis kain buruk menghapus tangisan/dah lama pesan perih disampaikan/dah habis pula segala ucapan/dah lama janji ditaburkan/dah habis pula kesabaran (bait 5 dan 6). Hal itu dilakukan, di samping sebagai bukti kerakusan dan ketamakan gunung, juga dapat menjadi pelegal (argumentasi) langkah-langkah yang diambilnya.

Begitulah, setelah menjabarkan semuanya itu, kami pun menyampaikan niatnya: meminta segala punya (bait 7), dengan sebuah ancaman metaforis: karena kalian gunung/kami pun menjelma jadi angin/sebab angin dapat tiupkan awan/dan awan akan turunkan hujan/hanya hujan luluhkan kalian (bait 8). Sambil mengacungkan kepalan (tangan) dan mengeluarkan teriakan ancaman: jangan tunggu amuk kami, kami pun kembali membuat pernyataan pelegal bahwa semuanya itu dilakukan atas nama harga diri yang disemangati oleh dua pepatah: sekali layar dikembangkan/tak mungkin surut lagi dan esa hilang dua terbilang/tak ‘kan melayu hilang di bumi (bait 9).

Fakhrunnas dan Kondisi Sosial Budaya Riau
Menurut Kuntowijoyo (1987:127), ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Dengan demikian, mempelajari karya sastra akan sampai pada taraf pemahaman kondisi sosial budaya suatu masyarakat karena karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu (Hoggart dalam Haridas, 1986:79). Lewat karya sastra, dapat diamati pantulan tata nilai budaya yang dianut masyarakat dan kondisi sosial budaya yang melahirkan karya sastra tersebut, yang pada gilirannya karya sastra menyodorkan sejumlah ide atau konsep-konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Pendapat yang sama juga dilontarkan Grebstein (dalam Damono, 1978:4) bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami selengkap-lengkapnya jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan/peradaban yang menghasilkannya. Sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya karena setiap karya sastra merupakan hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.

Atas dasar itu, dalam sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” (dan karya-karya Fakhrunnas lainnya) dapat diamati pantulan tata nilai, kondisi sosial budaya, serta gagasan-gagasan (ide) masyarakat Melayu (Riau). Fakhrunnas M.A. Jabbar (lahir di Tanjungbarulak, Kampar, 18 Januari 1959), sebagai pengarang dan putra Melayu (Riau) yang memiliki kepedulian tinggi atas keberadaan dan nasib puak Melayu, dengan demikian, dapat dipastikan tidak terbebas dari semua peristiwa dan perubahan kondisi sosial budaya yang terus terjadi dalam masyarakatnya itu.

Perihal keberadaan dan nasib orang Melayu (Riau) yang kalah dan terpinggirkan, sesungguhnya, bukanlah hal yang baru. Hampir semua sastrawan besar Riau (seperti Taufik Ikram Jamil, Rida K. Liamsi, Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Musa Ismail, M. Badri, dan Olyrinson) pernah dan bahkan sering menyuarakan hal itu dalam karya-karyanya. Begitu pula Fakhrunnas, sebagaimana telah dilansir oleh para pengamat, karya-karyanya banyak yang mempersoalkan hal itu.

Jika demikian, apa keistimewaan (pesona) sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”? Jawabannya akan diuraikan berikut ini.
Dalam salah satu tulisannya, “Sebatang Ceri di Serambi: Perlawanan Kultural Orang Melayu” (dalam Krisis Sastra Riau, 2007:189-198), Maman S Mahayana mengatakan bahwa agak berbeda dengan sastrawan Melayu sezamannya, dalam diri Fakhrunnas, kita tidak merasakan adanya semangat menggelegak suara perlawanan dalam menggugat dikotomi pusat-daerah. Ia tak hanyut pada ingatan kolektif tentang keagungan puak Melayu. Ia tak menggugat pemerintah pusat (Jakarta) yang mengambil bahasaanya (bahasa Melayu) dan menguras harta kekayaan alamnya. Ia lebih memusatkan diri pada perilaku dan cara berpikir puaknya yang tidak dapat melepaskan diri dari sikap budaya tradisional, berikut mitos-mitosnya. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Junaidi (Interpretasi Dunia Sastra, 2009:31—35). Dari salah satu tulisan Junaidi, “Derita Riau dalam Sajak Fakhrunnas”, itu dapat ditarik sebuah simpulan bahwa Fakhrunnas banyak membeberkan ketidakberdayaan orang Riau. Kalaupun terlihat ada usaha memprovokasi melawan kezaliman, provokasi itu disampaikan dengan sangat romantis.

Amatan Maman dan Junaidi itu tentu menjadi tidak benar jika diterapkan pada sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”. Fakhrunnas, melalui sajak itu, justru memperlihatkan semangat perlawanan yang luar bisa dalam menggugat kezaliman. Ia tidak hanya menggugat dengan teriakan, tetapi juga dengan ancaman (tindakan). Di sinilah mungkin letak salah satu keistimewaan sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”. Jika semua amatan itu benar, sajak itu sekaligus membuktikan bahwa Fakhrunnas telah berubah sikap dalam menanggapi dan berkomunikasi dengan realitas yang dihadapi masyarakatnya (Melayu Riau).

Keistimewaan lain yang dimiliki sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” adalah bentuknya. Di samping memperlihatkan tiga peranan Fakhrunnas dalam menciptakannya (yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation), sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” juga memperlihatkan sebuah bangunan penuh simbol-simbol yang metaforis dan imajinatif.

Keterlibatan Fakhrunnas dalam menanggapi dan berkomunikasi dengan realitas yang dihadapi masyarakat Melayu (Riau) tereksplisitkan pada penggunaan kata ganti kami. Kata ganti orang pertama jamak itu sekaligus memperlihatkan keberpihakan Fakhrunnas. Ia secara tegas memosisikan dirinya di pihak orang-orang yang memberi dukungan kepada rakyat Riau yang terus berjuang melawan orang-orang yang disapa dengan kata ganti kalian.

Penggunaan simbol gunung (untuk kalian) dan angin (untuk kami) juga pantas mendapat perhatian. Tidak seperti biasanya (dalam kebanyakan karya sastra, gunung dan angin digunakan untuk melambangkan kemegahan/kewibawaan dan keenergisan/ kebersemangatan), gunung dan angin dalam sajak Fakhrunnas digunakan untuk melambangkan keangkuhan/kebebalan dan perlawanan/permusuhan. Dengan demikian, secara sederhana, judul sajak Fakhrunnas itu pun dapat dibaca: Karena kalian angkuh dan bebal, kami pun mengobarkan perlawanan dan permusuhan. Artinya, jika selama ini (melalui karya-karyanya) Fakhrunnas terkesan santun dan romantis, dalam sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” ia terlihat lebih bertenaga. Betulkah demikian? Wallahu alam bissawab.***
_______________________
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai dan kritik sastra di banyak media, dan telah dibukukan dalam beberapa buku. Tinggal di Pekanbaru
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/pesona-sajak-karena-kalian-gunung-kami.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae