Minggu, 02 Oktober 2011

Demitologisasi Sastra Mantra Sutardji

Hasnan Bachtiar
http://kataitukata.wordpress.com/

Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).

Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.

Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.

Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.

Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.

Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.

Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.

Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.
***

Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).

Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).

Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.

Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.

Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.

Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?

Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.
***

Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*

Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.

Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.

Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.

Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.

Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.

Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).

Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.
Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae