Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/
I.
Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Saya masih saja menatap ke dinding, ke jam dinding. Menatap jarumnya yang terus bergerak menghitung detiknya sendiri – detik yang entah kapan akan berhenti di kematiannya. Tapi, saya sama sekali tidak sedang memikirkan kematian. Saya malah sedang berpikir bagaimana caranya hidup, caranya bertahan hidup.
Cuma sisa cahaya bulan yang menerangi kamar ini. Ukuran kamar ini cukup kecil, sekitar 2,5 x 3 m. Tidak ada ranjang. Tidak ada lemari. Tidak ada meja. Ada selembar kasur kapuk dan beberapa helai baju yang tergantung di balik pintu. Dan abu rokok yang setia tergeletak di asbaknya.
Kalau kamu melihatnya, dengan matamu sendiri, kamu pasti heran bagaimana saya bisa bertahan hidup di ‘kamar’ ini. Tapi saya bahkan pernah bertahan hidup di dalam hutan selama beberapa hari. Saya tidak bohong. Waktu saya masih sekolah dulu, saya hobi naik gunung. Di suatu liburan, saya memutuskan naik gunung Dempo dengan kelima orang teman. Dan beruntungnya, kami sempat tersesat. Selama beberapa hari saja, kami makan dan minum seadanya. Dari daun, dan dari tanam-tanaman yang kami sangka saja bisa kami makan. Akhirnya setelah dua hari, kami berhasil ditemukan oleh warga setempat. Kenangan yang begitu memikat bukan?
Makanya, di kamar ini saya masih merasa hidup. Saya masih bisa membaringkan tubuh di kasur yang sudah kehilangan kata ‘empuk’. Dan menikmati sisa cahaya bulan yang menerangi kamar. Menyaksikan bagaimana cicak-cicak di dinding diam-diam merayap. Mengendap. Menanti seekor nyamuk bersedia untuk dilahap. Ah, bicara cicak saya jadi ingat kisah bahwa cicak tak bisa bertepuk tangan. Tapi saya tidak yakin. Cicak bukannya tidak bisa bertepuk tangan. Cicak hanya tidak mau bertepuk tangan. Karena itulah saya berjanji dalam hati saya sendiri, suatu saat saya akan membuat cicak bertepuk tangan. Bertepuk tangan atas kesuksesan yang saya raih.
II.
“Kamu mau jadi apa, Di?”
Saya masih ingat pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah berulang kali ditanyakan kepada saya, semenjak saya masih kecil. Saya pernah mengatakan saya mau jadi presiden, saya mau jadi tentara, saya mau jadi pilot, saya mau jadi dokter, dan lain-lain. Tapi sayangnya perkataan saya itu hanya menjadi sebatas kemauan. Kemauan yang nasibnya behenti di sebatas ucapan. Faktanya, sampai kini, saya belum menjadi apa-apa. Saya bukan siapa-siapa.
Dan sekarang saya tidak tahu dimana dia, bagaimana nasibnya. Terakhir kali kami bertemu setelah dua tahun lulus SMA, dalam sebuah reuni sekolah. Dia juga belum menjadi apa-apa saat itu. Sama seperti saya.
“Aku mau ke Jakarta,” kata dia. “Aku tidak mau hidup seperti ini, luntang-lantung tidak karuan, membebani orangtua,” lanjut dia lagi.
Saya masih diam, mencoba mencerna ucapannya. Belum sempat saya mencerna, dia sudah bertanya kepada saya, “kamu mau ikut?”
Saya belum pernah ke Jakarta, ibukotanya Negara Indonesia. Kabarnya ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Dan saya jadi ingat dengan ibu tiri saya yang memang suka menyiksa saya sejak kecil. Tapi kini beliau tidak lagi berani menyiksa saya. Sebab saya sudah berani melawannya. Sebab saya sudah lebih perkasa, bisa saja balik menyiksanya. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya sangat menyayangi ayah yang mencintai ibu tiri saya itu. Ayah saya sudah tua. Saya tidak tega menyakiti hati ayah yang kadang terlihat begitu tegar dengan bengkel mininya. Saya kadang mangkal di situ, melayani beberapa pelanggan yang hendak mengisi angin atau menampal ban. Dan setiap saya menampal ban saya jadi ingat, dari sinilah saya ‘diberi’ hidup. Makanya kemudian saya menggeleng saat dia mengajak saya ke Jakarta. Saya tidak tega meninggalkan ayah saya sendirian. Saya tidak tega.
III.
Tapi saya sekarang berada di Jakarta. Sudah hampir satu tahun saya di Jakarta. Saya bukannya tega meninggalkan ayah saya. Tapi ayah sayalah yang telah meninggalkan saya lebih dulu, sekitar satu tahun setelah ajakan itu. Saya masih ingat pucat wajahnya. Pucat wajah yang terakhir kali saya lihat dari balik kafan putih sebelum ia dikuburkan.
Nama di nisan dan kenanga di pekuburan menjadi pemandangan terakhir yang saya lihat sebelum saya memutuskan pergi merantau. Merantau. Ke kota asing yang penuh orang-orang asing. Ke kota asing yang kabarnya cuma saya tahu dari televisi, tentang kepadatan dan kemacetan yang menjadi ciri khasnya.
IV.
Saya tidak mengerti apa-apa tentang asuransi. Sama sekali. Tapi tahu-tahu saya menjadi pegawai sebuah perusahaan asuransi. Saya pikir, awalnya, ini adalah pekerjaan yang besar. Suatu saat saya akan jadi orang besar, begitu kata atasan saya yang melambungkan hati saya ke langit ketujuh (meski saya tidak tahu bagaimana langit ketujuh itu).
Tapi memang kenyataan tidak selalu semanis yang diharapkan. Akhirnya saya sadar, saya cuma sales di sebuah perusahaan asuransi kecil tak bernama. Saya diwajibkan keliling-keliling ibukota, naik bus, metromini, sampai bajaj yang rodanya cuma tiga, hanya untuk menawarkan program-program yang ada di perusahaan asuransi ini.
Kebanyakan dari mereka (atau hampir seluruhnya sebenarnya) mengernyitkan dahi ketika membaca nama perusahaan ini.
“Apa?! Asuransi Jiwa Antah Berantah? Saya belum pernah dengar itu. Jangan-jangan kamu penipu ya?”
Tidak terhitung berapa kali ucapan itu masuk tanpa permisi ke telinga saya.
Atau:
“O, maaf. Saya sudah terdaftar di AJB Bumiputera 1912.”
Rata-rata dari mereka mengaku telah menjadi partnernya. Saya jadi penasaran dengan perusahaan asuransi yang satu ini. Saya benar-benar mau tahu seperti apa AJB Bumuputera 1912. Jadi saya datangi kantornya. Saya lihat laki-laki dan wanita keluar – masuk. Dan saya tak jadi masuk.
V.
Pablo Neruda, siapa dia? Tiba-tiba saya tertarik membaca sebuah buku yang tetinggal di sebuah kursi metromini yang baru saya duduki. Saya buka, dan saya tidak mengerti artinya. Tapi kemudian mata saya tertarik, sangat tertarik, pada sebuah judul “Lost in the Forest”. Mungkin karena saya tahu atau tak asing pada kata ‘forest’. Sebab waktu kecil, meski ibu tiri saya sangat kejam, beliau suka membuat black forest setiap ulangtahunnya. Dan saya diberi sepotong. Setiap saya minta nambah, selalu saja beliau beralasan saya tak boleh makan ini banyak-banyak. Nanti sakit perut lah, nanti gigi saya berlubang lah. Dan saya hanya bisa cemberut. Mengurut kening yang saat itu belum berkerut.
Tapi tiba-tiba saja ada seorang laki-laki menaiki metromini ini. Merebut perhatian saya dari buku tadi. Saya sangat mengenali sosoknya meski sudah berbeda penampilannya. Itu dia. Tak salah lagi, itu dia – sahabat saya yang pernah mengajak saya ke Jakarta. Dia begitu rapi dan mengenakan dasi. Pakaiannya tampak mahal, setidaknya lebih mahal dari saya.
“Hei…” saya berusaha memanggilnya.
Dia menatap saya beberapa detik sebelum mengenali saya.
“Adi?”
Saya pun menganggukkan kepala.
…
Setelah dia duduk di samping saya, kami saling becerita.
“Kapan kamu ke sini?”
“Sudah hampir setahun, sejak…” saya diam sejenak, “sejak ayah meninggal.”
“O, maaf, aku benar-benar menyesal mendengar itu. Kamu kerja di sini?”
Saya mengangguk. “Iya, saya kerja di Asuransi Jiwa Antah Berantah.”
“Asuransi?”
“Pasti kamu tidak mengenal perusahaan ini kan? Saya jadi sales marketing di sini.”
“Nggak, bukan begitu. Kebetulan banget. Aku sedang mencari asuransi.”
“Memangnya kamu kerja dimana?”
“Aku sudah jadi manajer sekarang. Begini, Di… asuransi ini untuk bangunan pertokoan kami. Kami sedang mencari perusahaan asuransi yang tepat. Dan kebetulan aku ketemu kamu. Aku bisa rekomendasikan perusahaanmu tadi itu, apa namanya?”
“Asuransi Jiwa Antah Berantah..”
“Nah, itu dia, untuk jadi partner kerja kami.’
“Beneran? Kamu serius?”
“Ya iyalah, Di. Tapi ini ga main-main, kontaknya ratusan juta. Kamu bisa?”
“Tentu, tentu. Kenapa tidak?”
Kami tertawa bersama. Saya benar-benar bersyukur bisa bertemu dia. Apalagi dengan kontak baru yang besar ini, saya senang sekali.
VI.
Tapi kemudian setiap saya telepon dia, tidak pernah diangkatnya. Saya pikir mungkin dia sedang sibuk. Maklum, dia manajer. Sedangkan saya cuma sales marketing.
Tapi kemudian malah handphone saya yang berdering, dari atasan saya.
“Di, cepat kamu ke kantor. Sekarang!” Nadanya tiba-tiba menghardik.
VII.
Di kamar ini saya masih menatap dinding, dan jam dinding. Baru saja saya berhasil menerjemahkan Pablo Neruda yang saya temukan dulu, dengan berantakan.
Lost in the Forest
Tersesat di Hutan
Lost in the forest, I broke off the dark twig
And lifted its whisper to my thirsty lips:
Maybe it was the voice of rain crying,
A cracked bell, a torn heart
Tersesat di hutan, aku mematahkan ranting
Dan menaikkan bisikannya ke bibir yang haus
Mungkin ini adalah suara tangisan hujan,
Rintihan hantu, desahan hati
Something from far off it seemed
Deep and secret to me, hidden by the earth
A shout muffled by huge autumns
By the moist of half-open darkness of the leaves
Sesuatu dari kejauhan terlihat
Dalam dan tersembunyi untukku, tertutup oleh bumi
Jeritan teredam oleh musim semi yang besar
Oleh lembabnya kegelapan daun-daun
Wakening from the dreaming forest there, the hazel-sprig
Sang under my tongue, its drifting fragrance
Climbed up through my conscious mind
Terbangun dari mimpi hutan di sana,
Menyanyi di bawah lidahku, aroma berkelana
Memanjat ke atas alam sadarku
As if suddenly the roots I left behind
Cried out to me, the land I had lost with my childhood—
And I stopped, wounded by the wandering scent
Seperti tiba-tiba akar-akar yang kutinggalkan
Menangis kepadaku, tanah tempat aku pernah tersesat dengan masa kanak-kanakku
Dan aku berhenti, terluka oleh aroma tak bertuan
VIII.
Datang seekor nyamuk
Lalu ditangkap
Saya bukan seekor cicak. Tapi saya juga bukan seekor nyamuk. Tapi kenapa saya seperti seekor nyamuk yang baru saja ditangkap dan dilahap oleh cicak?
Tersesat di hutan, Neruda itu. Sedangkan saya tersesat di kehidupan. Tapi saya tidak cemas. Saya sudah pernah bilang sama kamu, saya sudah pernah tersesat di hutan dan bertahan hidup selama dua hari. Tapi ini sudah hari keenam sejak saya melihat sisa api yang membakar perkantoran yang baru saja terasuransikan.
Saya pun kembali menatap dinding, jam dinding, dan cicak-cicak di dinding yang seolah tampak tersenyum sinis kepada saya.
Dan mereka bertepuk tangan.
Bertepuk tangan.
Lalu jatuh.
Saya pun tersenyum dan segera menyalakan api dari korek yang tersisa hanya beberapa biji.
Hei cicak, mari saya ajari bagaimana caranya menjadi Ibrahim!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar