Jumat, 29 Juli 2011

Mengkritisi Kritik Sastra

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Harus terus digairahkan, di antara menderasnya karya-karya sastra Indonesia yang bermunculan.

Suatu kali, HB Jassin pernah berkata, “Seorang kritikus adalah manusia biasa.” Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra terkemuka ini dituliskan kembali dalam Resume Mata Kuliah Kajian Puisi: Sajak Mengundang Asosiasi, Bukan Interpretasi, pada blog komunitas anak sastra.

Apa kiranya yang membuat HB Jassin mengutarakan pernyataan ini? Apakah karena tuntutan terhadap seorang kritikus, terutama sastra, begitu beratnya sehingga membuat kritikus merasa terbebani. Seperti kata Kris Budiman, kritikus toh bukan nabi yang membawa pesan dari Tuhan untuk manusia. Jadi, bagaimana bisa kritikus diminta menjawab semua persoalan sastra. Meski dalam prakteknya, pengkritik haruslah orang yang memiliki wawasan jauh lebih luas daripada orang awam ataupun sastrawannya sendiri.

“Syarat mutlaknya jelas wawasan yang luas. Dia juga harus mampu berpikir interdisipliner,” kata sastrawan dan dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Ini menjadi wajib ketika kritik sastra diharapkan memberi kontribusi kepada perkembangan sastra itu sendiri.

Tentunya syarat ini juga untuk mencegah adanya kritik sastra yang tidak memadai. Yaitu yang diistilahkan Nensi Suherman dalam www.kartunet.com tergolong kritik sastra memprihatinkan. Karena kritikus yang menulis kritik sastra tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh. Belum lagi isi kritik sastra yang kurang ilmiah, dan lontaran berupa kritik sastra yang obyektif, intuitif, serta pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.

Padahal, ada masanya ketika kritik sastra bahkan mampu mengungkap keaslian sebuah karya. Karena sejak zaman dulu, banyak fenomena di mana karya yang dihasilkan sebenarnya merupakan sebuah bentuk penceritaan kembali dari satu karya yang telah hadir lebih dulu (already told). Dalam hal ini, kritik sastra berfungsi sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya. Hal ini dikemukakan dalam rosiadha.wordpress.com yang menulis Perkembangan Kedudukan Kritik Sastra dalam “Criticism as a Secondary Art” karya Murray Krieger.

Kritik seni, menurut Saut Situmorang yang memperluas definisi kritiknya kritikus Amerika MH Abrams, dinyatakan sebagai studi analisis bersifat interpretatif-evaluatif atas karya seni ataupun seorang seniman.

JJ.Kusni, menulis di Paris pada Februari 2004, seperti dimuat dalam www.freelists.org, mengenai kritik modern. Khususnya metode retrospektif Denis Diderot, penulis dan pemikir besar Perancis abad XVIII. Dengan metode tersebut, diharapkan kritik tidak terlalu jauh dari kenyataan. Boleh jadi dengan metode ini, kata JJ. Kusni, kita bisa membaca isi ide yang disampaikan penulis “sebelum” dan “sesudah karya itu ditulis”.

Boleh jadi, karena adanya kaidah-kaidah tertentu yang tak tertulis dalam mengkritisi karya sastra dan ukuran kategori dalam kritik sastra, maka kritik sastra jadi tidak begitu diminati. Malah, Saut dengan sangat prihatin menyatakan tentang ketiadaan kritik sastra, apalagi sebuah tradisi kritik sastra, yang mendampingi perjalanan sejarah sastra berbahasa Indonesia. Benarkah sudah sekritis ini kondisi kritik sastra Indonesia?

Bekal Pengetahuan

“Saya tidak bersepakat dengan Saut Situmorang yang menyatakan kritik sastra telah mati. Kita memiliki tokoh-tokoh semacam Kris Budiman, Hudan Hidayat, Arif B Prasetyo, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, dan lain-lain. Kesemuanya terus menulis untuk mewujudkan kritik sastra yang sehat. Berusaha memasuki teks sastra untuk diapresiasi. Ditafsirkan. Lihat saja tulisan Kris Budiman yang membahas puisi Mashuri dan Iyut Fitra. Tulisan tersebut cukup mampu menelaah dan memposisikan puisi dalam kerangka struktural. Dan setelah melalui penelaahan, baru diketahui, puisi Mashuri dan Iyut Fitra masih lemah dalam menjalin logika tekstual,” kata kritikus sastra Ribut Wijoto.

Kris Budiman sendiri memilih untuk tidak memusingkan perkara siapa yang mampu, bisa dan boleh, serta akan mengkritik karya seni. Baginya, kritikus adalah juga pembaca. “Siapa saja yang pernah belajar kritik sastra silahkan menulis kritik sastra. Yang penting punya bekal keterampilan pengetahuan untuk membuat itu.” Artinya, bagi Kris, tidak masalah apakah sang kritikus adalah jebolan Fakultas Sastra atau justru pelaku sastranya sendiri.

Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya sendiri.

“Ada betulnya memang anggapan itu. Terutama kalau tolak ukurnya adalah media massa cetak, seperti koran, majalah, dan jurnal khusus seperti Horison. Karena yang muncul di media ini kan pasti lebih banyak praktisi. Yaitu sastrawan yang juga melakukan kritik. Situasi ini sebenarnya tidak ideal. Karena bagaimanapun ada unsur subyektif yang kemudian tak mampu lagi dibedakan apakah dia sedang mengkritik atau sedang memuji teman komplotannya atau sedang melakukan studi sastra. Karena kalau bicara mengenai kritik kan sebenarnya berbicara mengenai sebuah disiplin. Keilmuan yang berkembang kan di perguruan tinggi. Masalahnya tidak banyak orang di perguruan tinggi yang menerapkan kritik itu mendapatkan publisitas dari media massa cetak umum,” kata Ibnu Wahyudi pada Jurnal Nasional.

Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya menjadi pihak “ideal” dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan sungguh-sungguh.

Mayoritas Sampah

Seperti yang digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara jernih dan argumentatif. “Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai tugas. Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra. Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Baca buku teorinya hanya ketika masih kuliah. Artinya, dosen tidak mampu membimbing mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang. Tapi tidak bisa dipungkiri, pasti ada satu atau dua skripsi yang memiliki kekuatan kritik sastra. Persoalannya, apakah pihak penerbit mau susah payah menyisir ke kampus-kampus.”

Belum lagi miskinnya buku teori kritik sastra. Dalam literatur Kritik “Sakit’ Sastra Indonesia dalam Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008 di situs www.sastra-indonesia.com, Liza Wahyuninto menjelaskan bahwa hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun sulit didapat karena jumlahnya sedikit dan dimiliki oleh kalangan terbatas.

Di sinilah Ibnu Wahyudi melihat adanya ketimpangan antara kritik sastra oleh pelaku sastra dan oleh sarjana sastra. Yaitu bahwa banyak dari kalangan sarjana sastra tidak punya sikap melihat sastra sebagai bagian kehidupan intelektual mereka.

“Banyak faktor yang menyebabkan kritik sastra ditinggalkan jauh di belakang oleh karya sastranya. Mungkin saja karena media untuk kritik sastra terbatas. Atau karena pendidikan sastra kurang baik. Dan faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sistem. Atau ada kondisi lain seperti persoalan ekonomi yang membuat kritik tidak ditulis orang. Jadi jangan menyalahkan akademisi atau sastrawan yang mengkritik. Boleh aja sastrawan menulis kritik seperti pelukis mengomentari pelukis lain. Kalau masalah subjektivitas, memang apa sih yang obyektif?” kata Kris Budiman yang tulisan-tulisannya, terutama mengenai sastra, gender, dan media, dipublikasikan di beberapa surat kabar, majalah, jurnal, dan buku bunga rampai.

Karena keterkaitan yang disampaikan oleh Kris ini, jadi terlihat bahwa tidak sesederhana itu menyimpulkan mengenai perkembangan kritik sastra di dunia perguruan tinggi. Faktanya, Ribut bersama teman-teman di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) termasuk dari salah satu produk akademik yang mayoritas adalah bekas mahasiswa Sastra Indonesia Unair Surabaya. “Tapi proses kreatif kami lebih banyak berada di luar kampus. Itu artinya, tidak ada keterkaitan langsung antara proses pengajaran dengan proses kreatif. Kami harus menciptakan sendiri forum-forum diskusi sastra. Tapi apakah kami ada kalau tidak ada Fakultas Sastra. Hal ini masih perlu diperdebatkan lagi.”

Ketika kritik sastra akademik ternyata perlu ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastra. Itu artinya batas antara kritik sastra akademik dan non-akademik menjadi kabur. Mungkin ini merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri, seperti yang diungkapkan Ibnu.

Mencari Kritik Argumentatif

Tapi rupanya dinamika semacam ini terjadi juga di negara-negara Barat. Atau, lebih tepatnya, apa yang terjadi pada kritik sastra di Indonesia memang segala sesuatu yang terjadi di luar negeri. Bahkan, teori-teori yang dipakai dalam sebuah kritik sastra adalah teori yang berasal dari Barat. Biar bagaimana pun, budaya kritik sendiri memang bukan kepunyaan bangsa ini. Wajar kalau banyak dari kontennya memang mengacu ke Barat.

Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan.

Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. Apa pun istilahnya, kata Maman Mahayana dalam http://mahayana-mahadewa.com, telah ada perbincangan yang membahas perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Maman mengakui kalau teori dan kritik sastra Barat tidak dapat terhindarkan.

“Kalau kita baca karya Danarto dengan pendekatan luar negeri ya nggak cocok. Cuma metode kritik kita pinjam. Tapi, saya kira, meskipun pada tahun 70-an ada perdebatan antara kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra UI, M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, dan kritik Ganzheit dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, para pengkritik sekarang juga sudah lupa. Teori ini jarang dipakai waktu mengkritik. Terutama kritik sastra di media massa cetak. Paling di jurnal khusus, tapi itu jarang,” kata Ibnu lagi.

Meski begitu, di mata Ribut yang esai sastranya pernah jadi pemenang pertama pilihan Pusat Bahasa Depdiksnas, percobaan apresiasi karya sastra tetap penting. “Semakin banyak apresiasi tentu akan membuat situasi sastra bertambah ramai. Kondusif. Kita memang membutuhkan perspektif dan eksplorasi baru. Itu karena usia sastra modern Indonesia juga belum terlalu tua. Kita bisa menuliskan kritik sastra secara argumentatif dan mendalam saja sudah bagus. Jadi keinginan untuk menelorkan teori sastra sendiri adalah keinginan yang terlalu berlebihan.”

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae