Rabu, 06 Juli 2011

Arogansi Teks Dan Elaborasi Penakluk Ide: Sebuah Prolog Kegelisahan

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

Manusia adalah pencipta budaya, dan sosial sebagai kekuatan ambisi untuk proses berbudaya. Individualitas berfikir setidaknya mampu membentuk budaya, namun budaya sendiri akan mempengarui manusia terhadapa kepribadian seseorang. Keduanya sebagai akar relasi akomodatif, dalam artian saling menyesuaikan dan dapat berkembang selama manusianya tidak menafikan sejarah pendahulu, kamudian dikemas ke dunia kekinian. Sebab itulah, sejarah sebagai tiang kekuatan bangsanya bahwa bangsa tersebut dikatakan bangsa yang banyak menyimpang tradisi-berbudaya.

Dengan kata lain, keberadaan budaya sekarang adalah hasil perkembangan dari budaya tradisional. Sama seperti hasil kesusastraan kekinian, sebaliknya merupakan perpanjangan kesusastraan yang dibangung dari sastra kedaerahan. Mulai dari lingkungan kerajaan, keraton, kaum kromo daerah, sastra Melayu peranakan, dan sastra Indonesia modern. Yang pasti hasil karya itu sebagai rekaman akan zamannya, paling tidak cerminan deskriptif pribadi dari hasil kekuatan sosial yang mempengarui.

Sastra Indonesia modern sendiri berakar dari sastra Melayu (kesusastraan Indonesia lama). Pengetahuan segala kejadian yang terkait dengan sastra Melayu, baik beredar dari mulut atau bentuk tulis itulah yang dimaksud dengan sastra Indonesia lama. Sedangkan sejarah sastra Indonesia modern, penulis tidak sepatutnya mengupas secara keterkaitan, karena dalam buku yang banyak kita baca, sejarah sastra Indonesia banyak ditunggangi politik kepentingan-pemikiran korup dan kekuasaan kolonial yang gagap mengolah perubahan.

Meski begitu, perlulah dicamkan untuk lebih kritis dalam mengamati sejerah perkembangan sastra Indonesia secara objektif dan general. Pentingnya ini akan menghadirkan analisis dari beberapa pemikiran, baik berbentuk estetika penceritaan kekinian, simbolisme tokoh, sampai polemik kesusastraan dan beberapa aliran sastra yang dari tahun 80-an hingga sekarang menuai banyak perdebatan. Dalam sastra (puisi) sejauh ini juga menawarkan kebebasan, entah dalam pemilihan kata, model ekspresi, sampai menyelingkungi konvensi. Sampai-sampai terkadang kita linglung untuk memahami teks tersebut, karena banyaknya benturan benda-benda seolah tidak ada keterkaitan, dan fungsionalitas yang dapat membentuk struktur. Terkesan sok dianggap serius, walaupun penulisnya sendiri terkadang ”kowah-kowoh” untuk menafsirkan, malah membuatnya terjerambah pada kemandulan kreatifitas. Pola ini tak ubahnya kompetensi kegenitan, dianggap keblinger. Bisa jadi melacur kepincangan eksistensi dengan berbagai statemen kubangan.

Seakan-akan ada nuansa bentuk state of madness, yaitu bentuk-bentuk kegilaan histeria di mana hubungan realitas batin telah sirna dan pikiran manusia telah terpisah dari perasaan. Di samping itu, kemasan teks yang ditawarkan pengarang terkadang juga minim pengetahuan, sehingga berdampak pada pemaksaan ide yang dalam logika berfikir terkesan ”ngamplah” walaupun kegiatan intelektual pengarang melahirkan keindahan estetik, tetapi referent yang didapat-nya masih kering. Problematika inilah yang penulis perlu garis bawahi, pengarang seolah-olah ingin memberi wabah (propaganda;tulis) kepada pembaca, namun olah intelektualitasnya masih perlu dipertanyakan. Pemahamannya dirasa arogansi teks yang kebenaran dan kepastiannya salah kaprah, toh sebetulnya sastra indentik dengan fiksi namun fiksi yang terbentuk dari fakta realitas kamudian pengarang membumbui dengan teks-teks imajinatif.

Sehubungan dengan itu kita dapat menemukan beberapa bagian terkecil dari antologi puisi Aditya, seperti pada puisi

Manuskrip
:buat Wiasa Hestitama

seperti gamelan jawa yang asyik mendengkur di museum
ditinggal keraton-keraton tua pergi naik kereta
menuju stasiun-stasiun baru, yang disebut televisi
di mana Mpu Gandring atau Mahapatih Gajah Mada tak lagi kita jumpai
sejarah sudah bengkok, menyempal dari akar tua tradisi
menempuh jauh jalan tol, menghampiri kota-kota yang sok sibuk
mengurusi penggusuran lokalisasi untuk pelebaran industri

anjungkan panji-panji plastik: junkfood dan softdrink di barisan depan
meneriakkan yel-yel berbahaya:
hei kau anak muda, come on, come on, join us brother.
hei , apa itu ditanganmu, naskah kuno? manuskrip apa peta buta?
kok tidak bersampul, dimakan rayap, apa hebatnya sih?
itu bisa dibaca ya, terus buat apa? Jual sajalah
atau tukarkan sebotol bir di diskotik terdekat
”come on man, join us, let’s dance and drunk together…”

saudara, bukankah gong yang dulu pernah ditabuh moyang kita
gaungnya sampai di telinga Columbus, dan juga Vasco Da Gama.
pelayaran demi pelayaran, kapal-kapal tak dikenal begitu lancang
tanpa permisi menciumi pipi kepulauan ini abad demi abad
mereka cuma minta, cuma-cuma dan tak pernah membeli
itu artinya kita kaya, kaya raya, saudara!
ning nong ning gung – ning nong ning gung

Ngoro, 2011

Pada puisi yang berjudul “Manuskrip” jelas-jelas penulis mengganpnya naskah atau manuskrip sebagai suatu yang paling bernilai (an sich), akar sumber budaya, karena manuskrip adalah bukti otentik tradisi tulis nenek moyang kita. Bahkan Negara Malaysia banyak berburu naskah Melayu tidak lain sebagai kekuatan Negara, mereka banyak membeli naskah-naskah dari Masyarakat Sumatra, Kalimantan. Kelak mereka menginginkan bahwa Malaysia menjadi pusat sastra Melayu tua.

Meskipun manuskrip sebagai tongga kekuatan tradisi sejarah tulis, dan kekayaan intelektual bangsanya, namun kalau kita sedikit toreh puisi di atas bahwa kesemrawutan kota, modernisasi;

menempuh jauh jalan tol, menghampiri kota-kota yang sok sibuk
mengurusi penggusuran lokalisasi untuk pelebaran industri.

Tidak sepatutnya menjadikan pengaruh, korelasi antara manuskrip dan kemajuan zaman kemiskinan moral, hedonisme, termasuk jenis makanan dan minuman mengandung bahan kimia beracun untuk bunuh diri masal secara perlahan.

Sebenarnya diera modern seperti ini yang patut kita salahkan bukanlah diri kepribadian seseorang, kenapa mereka enggan untuk mempelajari gamelan, atau sekedar cinta dan merawat naskah-naskah nenek moyang kita. Tetapi salahkanlah pada pemerintah, dalam hal ini pihak pemegang sistem pendidikan nasional. Mereka mulai lincah dalam memojokkan pelajaran dan wawasan nuansa kedaerahan, berakibat pada minimnya pengetahuan budaya kedaerahan pada generasi kita, umumnya. Bahkan pihak Indonesiais (barat) yang peduli pada naskah-naskah kita, dan mereka hidup di lingkungan perkotaan, yang kebudayaan sudut kota banyak dipenuhi kesemrawutan kian beragam dan budaya hedonisme, terkadang atheis.

Kita tengok pakar-pakar peneliti naskah di Indonesia seperti, Cohen Struart, Gericke, Van der wolen, Van der tuuk, Kern, Gonda, Juynboll, Sellabear, Winstend, Van Ronkel, Raffles, Robson, Behrend, Crewfurd, dsb. Dan naskah-naskah kita banyak diburu dan diteliti oleh Negara lain, sedangkan Indonesia sendiri belum mampu untuk menghargai sumber budayanya sendiri. Indonesia saat ini hanya mampu berontak kolektif kalau budayanya diperkosa oleh negara tetangga. Sebenarnya kita sangat terharu oleh neraga Malaysia, Singapura, Brunai, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Spanyol, Italia, Prancis, Amerika, dan Belgia mereka banyak peduli dan sebagai peneliti aktif naskah-naskah kita.

Sehingga tidak perlu arogan dalam mengungkap sebuah gagasan, sebuah kekuatan karya dapat diukur dari kekuatan teks itu sendiri. Semakin “blarah nang kawul-kawul” teks itu, semakin enggan pula pembaca untuk menggurui kesan dan pesan yang tersimpan dalam teks. Malah dianggapnya kubangan murahan dengan polesan estetis, tetapi teksnya kering eksperimentasi fakta struktural.

Memaknai hakikat berkarya pasti ada sisi kelebihan dan kekurangan. Namun kita patut berbangga diri karena cak genjus yang masih usia brondong sudah mampu menelorkan teks keterbukaan yang dibentuk berdasarkan kepiawaian pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai media ungkap gagasan, termasuk melahirkan keindahan estetika-humoris sebagai alat wejangan sense humanitas. Hampir semua puisi cak genjus adalah sebuah kegelisahan, berak evaluatif pengarang selama bermigrasi dari beberapa warung kopi. Lagi-lagi teks dijadikan jalinan komunikasi, dan kemenyan simbol terselubung dengan memborong semangat kemanusiaan.

Kiranya, jika kita tengok filosofi puisi yang ditulis cak genjus merupakan puisi yang bertemakan sederhana sekecil atom, tetapi menyimpan elektron dan beberapa partikel zat, tetapi masih punya kepekaan konseptual pada elektron dan proton, yaitu kontruksi sosial. Coretan peristiwa warung kopi dijadikan dominasi (eksperimentasi) fakta sosial, keluh kesah kondisi maupun terkondisi terlilit sistem sekaligus keberpihakan dan budi pekerti mengajarkan untuk berbuat jujur tanpa ada rasa keserakahan.

Disadari atau tidak sepertinya mas genjus orang yang sudah piawai dalam membangung maupun mencipta ide. Dia mampu merekam setiap kejadian di warung kopi, entah warung itu dekat mesin ATM, stasiun, terminal, sampai ledokan tempat prostitusi. Warung bagi dia adalah markas objek sastra, menyimpan jeritan impian dari seorang rakyat kecil yang hari-hari bekerja sebagai buruh tani, tambal ban, jok sadel, pedagang sayur di pasar, pekerja seks, dsb. Sesekali mas genjus juga menggambarkan kebisingan kota yang dipenuhi ketimpangan, kepalsuan, materialistik, dan watak-watak pragmatis.

Bagaimanapun juga, semua persoalan di atas dalam antologi puisi ini adalah sebuah deskripsi dan kebenaran reflektif yang ada di masyarakat sekitar kita. Namun yang sebelumnya penulis tidak sangka bahwa mas genjus juga menyimpan kegelisahan diri pribadinya, baik masalah asmara, keluarga, dan kondisi sepi keuangan. Berdasarkan pembacaan penulis, antologi puisi ini adalah ”berak kegelisahan” pada persoalan pribadi, masyarakat, dan negara yang banyak dimunculkan dari orang-orang pinggiran (kurang beruntung secara materi). Yang pasti coret demi coret dalam antologi puisi mas genjus seperti membangun identitas resistensi-perlahan karena tumbuh dari kegelisahan kondisi, dengan maksud memperhalus nilai moral. Semoga

1) Asdi S. Dipodjojo, Kesusastraan Indonesia Lama Pada Zaman Pengaruh Islam (Yogyakarta: Lukman, 1986) hal. 4

2) Zainuddin Fananie dalam Sastra: Idiologi, Politik, Dan Kekuasaan. (Muhammadiyah Universitas Press, 2000: 22) Hal yang kasat mata dijadikan kekuatan tanpa menomorsatukan logika perfikir. Kata dijadikan kekuatan Sugestif, sehingga integrasi (kaitan) antar teks kurang bisa menawarkan gagasan yang inovatif disegala pihak, terkecuali.

*) Agus Sulton, Tinggal dan berkarya di Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae