Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/
Menulis pengantar cerpen? Saya rasa ini lebih berat dibanding membikin cerpen atau tulisan lainnya. Seperti saya dipaksa menapaktilasi detik perdetik dalam ruang dan waktu di setiap cerpen. Menguruti jejak sungguh sesuatu yang rumit dan melelahkan. Tapi itu tampaknya perlu dibuat. Agar saya tidak menciderai pembaca. Meski sebelas cerpen dalam kumpulan ini masih terasa menggeret-geret saya ke entah. Ada rasa longsor. Tenggelam. Gelap dan melenyap pelan-pelan. Cerita-cerita itu seringkali terasa merangsek di malam-malam ketika saya dilimbur kosong. Tapi biarlah mereka terus mengerubungi saya dan sisanya saya serahkan pada waktu dan semacam iman yang saya teguhi dalam berkarya.
Baiklah, perkenankan saya bercerita tentang “sisi lain” yang melatari proses kreatif saya. Saya mengenal dunia sastra sejak kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, pada 1997. Mula-mula saya tertarik baca-baca puisi dan kemudian tergerak menulis puisi dan bergaul dengan banyak penulis di selingkungan kampus. Jogja, telah menjadi medan kreatif sekaligus takdir yang tak terbayangkan sebelumnya yang mempertemukan saya dengan dunia menulis. Keluarga saya hidup di kampung yang bercirikan kehidupan agraris dengan tradisi ke-NU-an yang kental. Ibu saya dari keluarga Muhammadiyah. Ayah saya dari kalangan NU. Ditambah pengalaman nyantri di beberapa pesantren dan perjalanan-perjalanan saya menelusuri kitab-kitab kuning di beberapa pelosok pesantren. Sebagian jejak cerita itu sempat saya rekam yang setidaknya menjadi latar tak langsung dari cerpen-cerpen saya:
1. Pintu Cerita dari Demit Laut Kidul Hingga Kanjeng Khidir
Suatu hari, pada pertengahan 1997, ketika sembari kuliah saya mondok di pesantren Al-Muhsin, Condong Catur, Sleman, Jogja, saya mendapati seorang teman, Zamzuri, dari Bengkalis, Riau, yang tiba-tiba di suatu malam dirasuki sejenis dedemit. Sebagian teman santri menceritakan kemungkinan sebabnya adalah saat ia mencuci usus kambing hasil sembelihan hari Raya Kurban di sebuah kali di daerah Seturan (selatan Desa Karangnongko) dengan seorang teman dari Pati, Nawawi. Zamzuri berteriak lantang di tengah malam itu dengan merapalkan sejenis amalan dari kiainya di daerah Purworejo yang ia sebut “hizib nashar”. Amalan ini semacam aji-ajian dengan lafal Arab. Selain bermanfaat untuk keselamatan diri, hizib tersebut berfaedah mengusir setan dan jin prayangan. Ada puluhan hizib sejenis itu yang bisa dilakoni dengan cara puasa. Bentuk lain hizib berupa “rajah”. Rajah adalah sejenis tato berhuruf dan berangka Arab. Coraknya macam-macam. Buku Dimensi Mistik Islam dan Misteri Angka karya Annemerie Schimmel menjabarkan perihal itu. Sedang dalam kitab-kitab kuning, terdapat puluhan referensi yang bisa dirujuk. Ada kitab Syamsul Ma’arif, Al-Aufaq, Tajul Arifin, dan lain-lain.
Pulang dari kali itu, selang 2 hari, Zamzuri kerasukan. Mengamuk membabi buta. Menggegerkan pondok. Orang-orang kampung Nglaren dibuat gempar. Hampir 2 bulanan ia tidak dapat disembuhkan. Meski sudah dibawa ke mana-mana hingga ke kiai-kiai ampuh di Jawa Timur. Ia meracau sendiri dan saya dengar darinya cerita kenapa ia mengalami peristiwa demikian. Ia menjawab bahwa ia kalah tanding dengan siluman perempuan dari laut kidul yang berambut panjang tanpa badan. Jadi bentuknya hanya kepala dan diujung lehernya berjulaian usus dengan darah segar yang menggelambir hingga menyentuh tanah. Karena tak satupun yang dapat memulihkannya, terpaksa orangtuanya menjemputnya dan dibawa pulang. Sampai sekarang saya tidak tahu kabarnya.
Serpih cerita lain adalah ketika saya bersama penyair Kuswaidi Syafe’i (Cak Kus). Pada 20 Desember 2007, saya mengantarkan Cak Kus ke UIN Malang untuk undangan diskusi sastra. Sehari sebelumnya, pas hari Senin, ia menginap di rumah saya. Di rehat waktu itu, ia minta dianter ke sejumlah “kiai karomah”, atau “gus jazab” atau “kiai linuwih”. Kami sudah saling paham dan saya mengerti harus bagaimana. Berangkatlah kami mengunjungi Gus Di atau Gus Mawardi di Dusun Kembang Sare, Mojowangi, Mojowarno, Jombang. Inilah sebenarnya tujuan Cak Kus ke Jombang. Sebab Gus Di pernah berfoto bareng dengan Kanjeng Khidir. Foto ini awalnya saya peroleh dari Mbah Yono (salah seorang warga di kampung saya), lantas saya scan. Suatu hari sebelum hari itu saya diminta oleh kawan saya, Pak Azzet dari Jogja, yang tertarik pingin melihat sosok Nabi Khidir itu kayak apa. Foto itu lalu saya kirim kepadanya. Dari Pak Azzet foto itu nyungsang ke kawan lain, Hendra Widiarto. Lewat Hendra, Cak Kus tidak sengaja melihat foto itu di layar monitor Hendra yang bekerja sebagai layouter dan desain cover di penerbit Pustaka Pelajar. Cak Kus sangat antusias campur setengah sadar melihatnya. Jadilah saya, pada 19 Desember 2007, mengantarkan Cak Kus ke Gus Di. Cak Kus ngobrol dengan gelora meluap-luap dan penuh takzim dengannya yang telah tersingkapkan batinnya mampu berjumpa langsung dengan Kanjeng Khidir. Demikian juga Cak Kus, ia mengaku saat itu dirinya sering ketemu Kanjeng Khidir dengan perwujudan berbeda-beda. Mereka asyik-masyuk mengobrol. Saya bengong sendirian. Kini Cak Kus tak lagi menulis puisi maupun esai sebagaimana sebelumnya di tahun 1990-an sampai esai terakhirnya di Jawa Pos tentang polemik sastra GSM (Gerakan Sahwat Merdeka) yang sebelumnya disulut Taufiq Ismail di koran Republika pada kisaran 2005.
Dua cerita pengalaman di atas adalah contoh kerangka dasar, sebagaimana saya menyelesaikan cerpen Maria van Pauosten atau Arung Beliung.
2. Pintu Cerita dari Dua Kitab Iblis
Pada pagi 12 November 2007, bersama Amaluddin, seorang penyair yang memiliki kumpulan sajak Mantra-Mantra Meleleh (terdiri dari 1000 syair) tapi himpunan sajak itu selalu ditolak penerbit, saya meluncur dengan mengendarai sepeda motor Grand Honda ’94 dari Jombang menuju Jl. Sasak dan Jl. Panggung di Surabaya. Ternyata kota industri yang hiruk-pikuk ini juga menyimpan sekitar 50-an toko buku kitab kuning. Sejarah tlatah padepokan Sunan Ngampel Delta hingga Pangeran Pekik berlintasan di sepanjang jalan ini.
Dalam buku catatan harian saya, saya sudah menyiapkan daftar kitab yang saya cari: Hilyat Ahliya karya Abu Nuaym Al-Isfahani (w.1038 M), Qut Al-Qulub karya Ali Ibnu ‘Atiya Al-Haritsi Al-Makki (w.996 M), sejumlah karya Fariduddin Attar (seperti Usfurnama, Ganjnama, Musibatnama, Ilahinama, Lisan Al-Ghayb, dan Mazhar Al-Ajaib), Awarif Al-Ma’arif karya Suhrawardi Al-Maqtul, Taflis Iblis karya Ibnu Ghanim Al-Maqdisi (abad 13 M), Talbis Iblis karya Abi Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzy (w. 597 M), Masrab Al-Arwah karya Al-Baqli, Asrar al-Tauhid karya Ibnu Munawwar, dan Haqiqah Al-Haqiqah karya Imam Sana’i.
Setelah menyusuri belasan toko buku di dua jalan itu, terutama di TB. Menara Kudus dan TB. Al-Hidayah, ternyata hanya ada satu kitab dari semua kitab tersebut: Talbis Iblis. Saya dapati kitab ini di TB. Ahmad Nabhan, Jl. Panggung 146 Surabaya. Selebihnya, serampung mencermati sekian katalog, yang ada hanyalah kitab-kitab fiqih, tajwid, dan fashalatan. Saya beli Talbis Iblis, berisi bagaimana iblis mereka-daya manusia dengan segala kenikmatan dunia yang paling tersamar agar makhluk Tuhan itu terjerumuskan ke lembah dosa. Justru yang saya cari Taflis Iblis tidak ada. Kitab ini mengabarkan ihwal kebangkrutan dan betapa kedodorannya iblis kala mencoba menipu-daya kaum sufi. “Akal khayali” yang mewujud dalam tubuh wadak manusia bertarung dengan “akal hudhuri” yang dititiskan Allah kepada hamba-hamba terkasihnya. Kaum sufi klasik di sini dalam kesejarahannya yang panjang juga kita temui dalam cerita wali di Jawa dengan sosok Siti Jenar atau Malang Sumirang yang termaktub dalam Babad Jaka Tingkir.
Cerita ini bisa menjadi pintu lain ketika pembaca coba menelusuri cerpen Surabawuk Megatruh.
3. Pintu Cerita dari Renik Naskah Babad
Saya masih merasakan gelora “taman gaib Jawa” dan sejarahnya yang termaktub dalam sejumlah naskah babad. Salah satunya adalah Serat Centini yang digubah ulang secara prosais oleh Elizabeth D. Inandiak. Naskah ini diterbitkan secara berseri oleh penerbit Galang Press pada 2006. Seri pertama Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, kedua Minggatnya Cebolang, ketiga Ia yang Memikul Raganya, dan yang buncit Nafsu Terakhir. Menyusuri ceritanya seperti merenangi samudra peristiwa yang bercahaya, ngeri-bisu, angkara dan kembara nafsu yang binal, dengan gelimang kesia-siaan dan kefanaan. Saya merasakan Elizabeth mengembarai sosok-sosok di kedalaman batin Tambangraras, Jayengraga dan Jayengwesti bersama kedua punakawan mereka, Nuripin dan Kulawirya untuk menemukan kembali Amongraga.
Adegan homo antara Kulawirya dengan Nuripin sungguh memerindingkan zakar. Peristiwa Kulawirya yang zakarnya kena raja singa, lalu untuk mengobatinya, ia benamkan palatnya itu ke dubur kuda betina. Juga persetubuhan ganjil nan hiruk antara Jayengraga dengan tiga gadis kelewat jelek (Banem, Banikem dan Baniyah). Namun Jayengraga merasakan keindahan sinaran daging yang terpendam dalam keburukan wadak mereka. Pada bagian Pulau Besi diceritakan tentang kelimun cinta duniawi dan ilahiah yang diujikan Allah kepada Amongraga dan Tambangraras. Akhirnya keduanya berhasil menyatu dalam keheningan-Nya. Lalu mereka diperjumpakan dengan Endrasena yang berkisah tentang keadaan terakhir Ayahanda Sunan Giri di sel Mataram.
Pada bagian lain, Amongraga dan Tambangraras berhadapan langsung dengan Sultan Agung, yang lagi menyamar jadi petapa. Tapi mereka tahu. Lalu mereka menyerahkan diri seraya berkata: Kami serahkan wujud manusia kami kepada kebijaksanaan Sang Raja, karena kami tidak dapat membebaskan diri sendiri sembari tetap menjadi diri sendiri. Buatlah agar pengembaraan kami ke batas-batas ilmu kebahagiaan bisa berlanjut hingga termakan oleh kekuasaanmu sesuai dengan adat asal mula Mataram.
Kemudian keduanya menjelma menjadi ulat. Ulat Amongraga dilahap Sang Sultan, sedang ulat Tambangraras ditelan Pangeran Pekik. Di bagian pungkasan pada buku Nafsu Terakhir terhadir kisah Raja Amangkurat I, putra Sultan Agung, yang lalim terhadap rakyatnya hingga lantaran isu munculnya orang dalam yang dinyana akan menggulingkan tahtanya dengan dukungan sejumlah ulama kraton, maka lima ribu ulama di setiap sudut Mataram ditangkap, lalu digorok, ditembaki dan disembelih.
Teks yang saling berjalin-kelindan menyusup dan bergerak tanpa batas ke dalam teks terkait yang sesungguhnya, bagi saya, adalah pembayangan diri pengarang semata atas pembacaan sastrawi yang dilakukannya. Bisakah pengarang hidup tanpa sejarah atau dongeng yang menyimpan politik, tragedi, dan kehancuran? Kejatuhan dan keterasingan manusia ke dunia adalah dongeng asali yang dihamburkan oleh “Sesuatu” Yang Tak Terbatas itu. Maka, saya, dalam cerpen Abu Zardak, Prahara Giri Kedaton, Huru-hara Babarong, atau Montel, mencoba mengongkosi alur narasi “yang lain” untuk menghadirkan teks lain. Pekerjaan ini seperti menyusun ulang potongan-potongan arca atau reruntuhan candi di malam hari.
4. Semacam Pintu Buku Kecil ke Biografi Kecil
Petilan beberapa cerita di atas hanyalah salah satu contoh di mana pengalaman saya sebagai pribadi, mulai bersentuhan dengan khazanah pesantren, mistisisme Islam-Jawa, dan perjalanan saya dalam memahami teks-teks keislaman mulai dari kitab-kitab yang mengajarkan banyak hal semisal kitab Jurumiyah (tata bahasa Arab yang paling bawah), fiqh, ushul fiqh, qawaidul fiqh, sampai di masa kuliah dengan memamah buku-buku keislaman dan kejawaan yang lumayan lawas misalnya dari karya-karya Ibnu Arabi, Ibnu Athaillah, Ainul Qudat, Harun Nasutian, Iqbal, Rumi, Ronggowarsito atau Pak Simuh yang kerap mengupas sinkretisme Islam-Jawa. Semua itu menuntun persinggungan saya secara alami dengan buku-buku sastra dan lainnya.
Pendek kata, saya hidup dengan jejak-jejak pengalaman seperti itu yang selanjutnya ketika saya dalam proses berkarya nyaris tidak tahu persis jika ditanya sejumlah teman: kenapa cerpen-cerpenmu sangat “klenik” sekali. Sebutan “mbah dukun” tiba-tiba disematkan begitu saja oleh editor saat dua buku saya Syekh Branjang Abang (2007) dan Geger Kiai (2009), keduanya tentang cerita-cerita dari bilik pesantren yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pesantren, lini Penerbit LKiS Jogja. Padahal saya bukan dukun. Saya cuma santri kluyuran yang berusaha ingin menjadi penyimak dan pencatat khazanah pesantren yang bagi saya sangat melimpah ruah. Saya kadang membayangkan Syekh Nawawi al-Bantani yang telah menganggit 114 kitab. Kitab-kitabnya hampir 80 persen menjadi bahan ajar di seluruh pesantren di Nusantara hingga ke wilayah Timur Tengah. “Beliau pernah bermimpi dihadiahi sebuah pena oleh Rasululloh. Dan tatkala bangun ia mendapati pena itu di genggaman tangannya,” begitu yang saya dengar dahulu dari kiai saya. Boleh jadi dengan pena itulah ia mampu berkarya seabrek itu. Dalam Kongres Kebudayaan Pesantren tahun 1998 di pesantren Pandan Arang, Magelang, Menteri Agama RI, Tholhah Hasan, menyebut bahwa pesantren laksana “raksasa yang sedang tidur”. Saya tidak paham saat itu, apakah ungkapan itu hanya imajinasi yang mletik begitu saja ataukah basa-basi. Saya hanya memahami buku-buku sejarah peradaban Islam, khususnya di Nusantara. Jenis cerita tutur beginian teramat banyak ditemukan dalam tulisan Gus Dur, misalnya dalam bukunya Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur (LKiS: 2010).
Tahun 1997 sampai 2003 di Jogja adalah masa-masa di mana saya tenggelam dalam membaca, berburu buku-buku lawas, berziarah dengan kelompok Mbah Siroh dari Karangnongko ke makam-makam ulama dan raja-raja di seputar Jogja, sembari sedikit demi sedikit mengasah dan mempertajam berkarya. Puisi merupakan keseriusan saya yang paling utama. Namun saya selalu merasa gagal menulis puisi yang baik. Setidaknya menurut ukuran saya. Tidak banyak puisi saya yang saya kirim ke koran. Dan memang hanya 1-2 yang pernah nyantol di Kedaulatan Rakyat dan Majalah Kuntum. Saya terus bertanya pada diri sendiri kenapa ketika saya sudah banyak nulis puisi, saya tetap merasa gagal. Saya tidak tahu jawabannya. Tapi, batin saya, saya harus terus berusaha. Dan di saat-saat demikian saya mengimbangi dengan menulis esai dan sesekali cerpen. Saya tidak menyadari, justru saya lebih banyak nulis esai, dan cerpen hanya beberapa gelintir. Bisa dikata upaya saya menulis esai dan cerpen adalah untuk menempa ketelatenan dan kesungguhan agar suatu saat saya dapat membikin puisi yang lebih baik. Kadang sebab lain juga membayang-bayangi bahwa pengalaman membaca puisi-puisi karya orang lain itulah yang mengubur keyakinan saya akan puisi-puisi saya. Saya kadang berpikir, cerpen-cerpen saya adalah produk gagal atau ampas kering cerpen-cerpen itu adalah pelarian saya dalam kegagalan menulis puisi. Kenapa muncul relasi yang tak berjuntrung ini, saya tidak tahu. Mungkin sangat naif dan tidak penting dijelas-jelaskan dan biarlah demikian.
Sebelas cerpen dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing ini saya garap dari tahun 2002 hingga 2009. Demikianlah yang dapat saya antarkan. Untuk Nurel Javissyarqi dan Pustaka Pujangga, matur suwun sudah sudi menerbitkan kumpulan cerpen ini. Kepada Bang Afrizal Malna, saya sampaikan terima kasih berkenan meluangkan waktu memberi kata pengantar. Juga untuk istriku dan anakku, kalianlah yang menguatkan bara hidupku. Dan kepada semua sahabat, saya sampaikan terima kasih atas semua dukungan dan apresiasinya.
Tandes, 26 Mei 2010
*) dijumput dari buku “Syekh Bejirum dan Rajah Anjing,” karya Fahrudin Nasrulloh, terbitan PuJa [PUstaka puJAngga] tahun 2011.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar