Rabu, 01 Juni 2011

Pengantar Cerpenis Syekh Bejirum dan Rajah Anjing

Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/

Menulis pengantar cerpen? Saya rasa ini lebih berat dibanding membikin cerpen atau tulisan lainnya. Seperti saya dipaksa menapaktilasi detik perdetik dalam ruang dan waktu di setiap cerpen. Menguruti jejak sungguh sesuatu yang rumit dan melelahkan. Tapi itu tampaknya perlu dibuat. Agar saya tidak menciderai pembaca. Meski sebelas cerpen dalam kumpulan ini masih terasa menggeret-geret saya ke entah. Ada rasa longsor. Tenggelam. Gelap dan melenyap pelan-pelan. Cerita-cerita itu seringkali terasa merangsek di malam-malam ketika saya dilimbur kosong. Tapi biarlah mereka terus mengerubungi saya dan sisanya saya serahkan pada waktu dan semacam iman yang saya teguhi dalam berkarya.

Baiklah, perkenankan saya bercerita tentang “sisi lain” yang melatari proses kreatif saya. Saya mengenal dunia sastra sejak kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, pada 1997. Mula-mula saya tertarik baca-baca puisi dan kemudian tergerak menulis puisi dan bergaul dengan banyak penulis di selingkungan kampus. Jogja, telah menjadi medan kreatif sekaligus takdir yang tak terbayangkan sebelumnya yang mempertemukan saya dengan dunia menulis. Keluarga saya hidup di kampung yang bercirikan kehidupan agraris dengan tradisi ke-NU-an yang kental. Ibu saya dari keluarga Muhammadiyah. Ayah saya dari kalangan NU. Ditambah pengalaman nyantri di beberapa pesantren dan perjalanan-perjalanan saya menelusuri kitab-kitab kuning di beberapa pelosok pesantren. Sebagian jejak cerita itu sempat saya rekam yang setidaknya menjadi latar tak langsung dari cerpen-cerpen saya:

1. Pintu Cerita dari Demit Laut Kidul Hingga Kanjeng Khidir

Suatu hari, pada pertengahan 1997, ketika sembari kuliah saya mondok di pesantren Al-Muhsin, Condong Catur, Sleman, Jogja, saya mendapati seorang teman, Zamzuri, dari Bengkalis, Riau, yang tiba-tiba di suatu malam dirasuki sejenis dedemit. Sebagian teman santri menceritakan kemungkinan sebabnya adalah saat ia mencuci usus kambing hasil sembelihan hari Raya Kurban di sebuah kali di daerah Seturan (selatan Desa Karangnongko) dengan seorang teman dari Pati, Nawawi. Zamzuri berteriak lantang di tengah malam itu dengan merapalkan sejenis amalan dari kiainya di daerah Purworejo yang ia sebut “hizib nashar”. Amalan ini semacam aji-ajian dengan lafal Arab. Selain bermanfaat untuk keselamatan diri, hizib tersebut berfaedah mengusir setan dan jin prayangan. Ada puluhan hizib sejenis itu yang bisa dilakoni dengan cara puasa. Bentuk lain hizib berupa “rajah”. Rajah adalah sejenis tato berhuruf dan berangka Arab. Coraknya macam-macam. Buku Dimensi Mistik Islam dan Misteri Angka karya Annemerie Schimmel menjabarkan perihal itu. Sedang dalam kitab-kitab kuning, terdapat puluhan referensi yang bisa dirujuk. Ada kitab Syamsul Ma’arif, Al-Aufaq, Tajul Arifin, dan lain-lain.

Pulang dari kali itu, selang 2 hari, Zamzuri kerasukan. Mengamuk membabi buta. Menggegerkan pondok. Orang-orang kampung Nglaren dibuat gempar. Hampir 2 bulanan ia tidak dapat disembuhkan. Meski sudah dibawa ke mana-mana hingga ke kiai-kiai ampuh di Jawa Timur. Ia meracau sendiri dan saya dengar darinya cerita kenapa ia mengalami peristiwa demikian. Ia menjawab bahwa ia kalah tanding dengan siluman perempuan dari laut kidul yang berambut panjang tanpa badan. Jadi bentuknya hanya kepala dan diujung lehernya berjulaian usus dengan darah segar yang menggelambir hingga menyentuh tanah. Karena tak satupun yang dapat memulihkannya, terpaksa orangtuanya menjemputnya dan dibawa pulang. Sampai sekarang saya tidak tahu kabarnya.

Serpih cerita lain adalah ketika saya bersama penyair Kuswaidi Syafe’i (Cak Kus). Pada 20 Desember 2007, saya mengantarkan Cak Kus ke UIN Malang untuk undangan diskusi sastra. Sehari sebelumnya, pas hari Senin, ia menginap di rumah saya. Di rehat waktu itu, ia minta dianter ke sejumlah “kiai karomah”, atau “gus jazab” atau “kiai linuwih”. Kami sudah saling paham dan saya mengerti harus bagaimana. Berangkatlah kami mengunjungi Gus Di atau Gus Mawardi di Dusun Kembang Sare, Mojowangi, Mojowarno, Jombang. Inilah sebenarnya tujuan Cak Kus ke Jombang. Sebab Gus Di pernah berfoto bareng dengan Kanjeng Khidir. Foto ini awalnya saya peroleh dari Mbah Yono (salah seorang warga di kampung saya), lantas saya scan. Suatu hari sebelum hari itu saya diminta oleh kawan saya, Pak Azzet dari Jogja, yang tertarik pingin melihat sosok Nabi Khidir itu kayak apa. Foto itu lalu saya kirim kepadanya. Dari Pak Azzet foto itu nyungsang ke kawan lain, Hendra Widiarto. Lewat Hendra, Cak Kus tidak sengaja melihat foto itu di layar monitor Hendra yang bekerja sebagai layouter dan desain cover di penerbit Pustaka Pelajar. Cak Kus sangat antusias campur setengah sadar melihatnya. Jadilah saya, pada 19 Desember 2007, mengantarkan Cak Kus ke Gus Di. Cak Kus ngobrol dengan gelora meluap-luap dan penuh takzim dengannya yang telah tersingkapkan batinnya mampu berjumpa langsung dengan Kanjeng Khidir. Demikian juga Cak Kus, ia mengaku saat itu dirinya sering ketemu Kanjeng Khidir dengan perwujudan berbeda-beda. Mereka asyik-masyuk mengobrol. Saya bengong sendirian. Kini Cak Kus tak lagi menulis puisi maupun esai sebagaimana sebelumnya di tahun 1990-an sampai esai terakhirnya di Jawa Pos tentang polemik sastra GSM (Gerakan Sahwat Merdeka) yang sebelumnya disulut Taufiq Ismail di koran Republika pada kisaran 2005.

Dua cerita pengalaman di atas adalah contoh kerangka dasar, sebagaimana saya menyelesaikan cerpen Maria van Pauosten atau Arung Beliung.

2. Pintu Cerita dari Dua Kitab Iblis

Pada pagi 12 November 2007, bersama Amaluddin, seorang penyair yang memiliki kumpulan sajak Mantra-Mantra Meleleh (terdiri dari 1000 syair) tapi himpunan sajak itu selalu ditolak penerbit, saya meluncur dengan mengendarai sepeda motor Grand Honda ’94 dari Jombang menuju Jl. Sasak dan Jl. Panggung di Surabaya. Ternyata kota industri yang hiruk-pikuk ini juga menyimpan sekitar 50-an toko buku kitab kuning. Sejarah tlatah padepokan Sunan Ngampel Delta hingga Pangeran Pekik berlintasan di sepanjang jalan ini.

Dalam buku catatan harian saya, saya sudah menyiapkan daftar kitab yang saya cari: Hilyat Ahliya karya Abu Nuaym Al-Isfahani (w.1038 M), Qut Al-Qulub karya Ali Ibnu ‘Atiya Al-Haritsi Al-Makki (w.996 M), sejumlah karya Fariduddin Attar (seperti Usfurnama, Ganjnama, Musibatnama, Ilahinama, Lisan Al-Ghayb, dan Mazhar Al-Ajaib), Awarif Al-Ma’arif karya Suhrawardi Al-Maqtul, Taflis Iblis karya Ibnu Ghanim Al-Maqdisi (abad 13 M), Talbis Iblis karya Abi Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzy (w. 597 M), Masrab Al-Arwah karya Al-Baqli, Asrar al-Tauhid karya Ibnu Munawwar, dan Haqiqah Al-Haqiqah karya Imam Sana’i.

Setelah menyusuri belasan toko buku di dua jalan itu, terutama di TB. Menara Kudus dan TB. Al-Hidayah, ternyata hanya ada satu kitab dari semua kitab tersebut: Talbis Iblis. Saya dapati kitab ini di TB. Ahmad Nabhan, Jl. Panggung 146 Surabaya. Selebihnya, serampung mencermati sekian katalog, yang ada hanyalah kitab-kitab fiqih, tajwid, dan fashalatan. Saya beli Talbis Iblis, berisi bagaimana iblis mereka-daya manusia dengan segala kenikmatan dunia yang paling tersamar agar makhluk Tuhan itu terjerumuskan ke lembah dosa. Justru yang saya cari Taflis Iblis tidak ada. Kitab ini mengabarkan ihwal kebangkrutan dan betapa kedodorannya iblis kala mencoba menipu-daya kaum sufi. “Akal khayali” yang mewujud dalam tubuh wadak manusia bertarung dengan “akal hudhuri” yang dititiskan Allah kepada hamba-hamba terkasihnya. Kaum sufi klasik di sini dalam kesejarahannya yang panjang juga kita temui dalam cerita wali di Jawa dengan sosok Siti Jenar atau Malang Sumirang yang termaktub dalam Babad Jaka Tingkir.

Cerita ini bisa menjadi pintu lain ketika pembaca coba menelusuri cerpen Surabawuk Megatruh.

3. Pintu Cerita dari Renik Naskah Babad

Saya masih merasakan gelora “taman gaib Jawa” dan sejarahnya yang termaktub dalam sejumlah naskah babad. Salah satunya adalah Serat Centini yang digubah ulang secara prosais oleh Elizabeth D. Inandiak. Naskah ini diterbitkan secara berseri oleh penerbit Galang Press pada 2006. Seri pertama Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, kedua Minggatnya Cebolang, ketiga Ia yang Memikul Raganya, dan yang buncit Nafsu Terakhir. Menyusuri ceritanya seperti merenangi samudra peristiwa yang bercahaya, ngeri-bisu, angkara dan kembara nafsu yang binal, dengan gelimang kesia-siaan dan kefanaan. Saya merasakan Elizabeth mengembarai sosok-sosok di kedalaman batin Tambangraras, Jayengraga dan Jayengwesti bersama kedua punakawan mereka, Nuripin dan Kulawirya untuk menemukan kembali Amongraga.

Adegan homo antara Kulawirya dengan Nuripin sungguh memerindingkan zakar. Peristiwa Kulawirya yang zakarnya kena raja singa, lalu untuk mengobatinya, ia benamkan palatnya itu ke dubur kuda betina. Juga persetubuhan ganjil nan hiruk antara Jayengraga dengan tiga gadis kelewat jelek (Banem, Banikem dan Baniyah). Namun Jayengraga merasakan keindahan sinaran daging yang terpendam dalam keburukan wadak mereka. Pada bagian Pulau Besi diceritakan tentang kelimun cinta duniawi dan ilahiah yang diujikan Allah kepada Amongraga dan Tambangraras. Akhirnya keduanya berhasil menyatu dalam keheningan-Nya. Lalu mereka diperjumpakan dengan Endrasena yang berkisah tentang keadaan terakhir Ayahanda Sunan Giri di sel Mataram.

Pada bagian lain, Amongraga dan Tambangraras berhadapan langsung dengan Sultan Agung, yang lagi menyamar jadi petapa. Tapi mereka tahu. Lalu mereka menyerahkan diri seraya berkata: Kami serahkan wujud manusia kami kepada kebijaksanaan Sang Raja, karena kami tidak dapat membebaskan diri sendiri sembari tetap menjadi diri sendiri. Buatlah agar pengembaraan kami ke batas-batas ilmu kebahagiaan bisa berlanjut hingga termakan oleh kekuasaanmu sesuai dengan adat asal mula Mataram.

Kemudian keduanya menjelma menjadi ulat. Ulat Amongraga dilahap Sang Sultan, sedang ulat Tambangraras ditelan Pangeran Pekik. Di bagian pungkasan pada buku Nafsu Terakhir terhadir kisah Raja Amangkurat I, putra Sultan Agung, yang lalim terhadap rakyatnya hingga lantaran isu munculnya orang dalam yang dinyana akan menggulingkan tahtanya dengan dukungan sejumlah ulama kraton, maka lima ribu ulama di setiap sudut Mataram ditangkap, lalu digorok, ditembaki dan disembelih.

Teks yang saling berjalin-kelindan menyusup dan bergerak tanpa batas ke dalam teks terkait yang sesungguhnya, bagi saya, adalah pembayangan diri pengarang semata atas pembacaan sastrawi yang dilakukannya. Bisakah pengarang hidup tanpa sejarah atau dongeng yang menyimpan politik, tragedi, dan kehancuran? Kejatuhan dan keterasingan manusia ke dunia adalah dongeng asali yang dihamburkan oleh “Sesuatu” Yang Tak Terbatas itu. Maka, saya, dalam cerpen Abu Zardak, Prahara Giri Kedaton, Huru-hara Babarong, atau Montel, mencoba mengongkosi alur narasi “yang lain” untuk menghadirkan teks lain. Pekerjaan ini seperti menyusun ulang potongan-potongan arca atau reruntuhan candi di malam hari.

4. Semacam Pintu Buku Kecil ke Biografi Kecil

Petilan beberapa cerita di atas hanyalah salah satu contoh di mana pengalaman saya sebagai pribadi, mulai bersentuhan dengan khazanah pesantren, mistisisme Islam-Jawa, dan perjalanan saya dalam memahami teks-teks keislaman mulai dari kitab-kitab yang mengajarkan banyak hal semisal kitab Jurumiyah (tata bahasa Arab yang paling bawah), fiqh, ushul fiqh, qawaidul fiqh, sampai di masa kuliah dengan memamah buku-buku keislaman dan kejawaan yang lumayan lawas misalnya dari karya-karya Ibnu Arabi, Ibnu Athaillah, Ainul Qudat, Harun Nasutian, Iqbal, Rumi, Ronggowarsito atau Pak Simuh yang kerap mengupas sinkretisme Islam-Jawa. Semua itu menuntun persinggungan saya secara alami dengan buku-buku sastra dan lainnya.

Pendek kata, saya hidup dengan jejak-jejak pengalaman seperti itu yang selanjutnya ketika saya dalam proses berkarya nyaris tidak tahu persis jika ditanya sejumlah teman: kenapa cerpen-cerpenmu sangat “klenik” sekali. Sebutan “mbah dukun” tiba-tiba disematkan begitu saja oleh editor saat dua buku saya Syekh Branjang Abang (2007) dan Geger Kiai (2009), keduanya tentang cerita-cerita dari bilik pesantren yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Pesantren, lini Penerbit LKiS Jogja. Padahal saya bukan dukun. Saya cuma santri kluyuran yang berusaha ingin menjadi penyimak dan pencatat khazanah pesantren yang bagi saya sangat melimpah ruah. Saya kadang membayangkan Syekh Nawawi al-Bantani yang telah menganggit 114 kitab. Kitab-kitabnya hampir 80 persen menjadi bahan ajar di seluruh pesantren di Nusantara hingga ke wilayah Timur Tengah. “Beliau pernah bermimpi dihadiahi sebuah pena oleh Rasululloh. Dan tatkala bangun ia mendapati pena itu di genggaman tangannya,” begitu yang saya dengar dahulu dari kiai saya. Boleh jadi dengan pena itulah ia mampu berkarya seabrek itu. Dalam Kongres Kebudayaan Pesantren tahun 1998 di pesantren Pandan Arang, Magelang, Menteri Agama RI, Tholhah Hasan, menyebut bahwa pesantren laksana “raksasa yang sedang tidur”. Saya tidak paham saat itu, apakah ungkapan itu hanya imajinasi yang mletik begitu saja ataukah basa-basi. Saya hanya memahami buku-buku sejarah peradaban Islam, khususnya di Nusantara. Jenis cerita tutur beginian teramat banyak ditemukan dalam tulisan Gus Dur, misalnya dalam bukunya Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur (LKiS: 2010).

Tahun 1997 sampai 2003 di Jogja adalah masa-masa di mana saya tenggelam dalam membaca, berburu buku-buku lawas, berziarah dengan kelompok Mbah Siroh dari Karangnongko ke makam-makam ulama dan raja-raja di seputar Jogja, sembari sedikit demi sedikit mengasah dan mempertajam berkarya. Puisi merupakan keseriusan saya yang paling utama. Namun saya selalu merasa gagal menulis puisi yang baik. Setidaknya menurut ukuran saya. Tidak banyak puisi saya yang saya kirim ke koran. Dan memang hanya 1-2 yang pernah nyantol di Kedaulatan Rakyat dan Majalah Kuntum. Saya terus bertanya pada diri sendiri kenapa ketika saya sudah banyak nulis puisi, saya tetap merasa gagal. Saya tidak tahu jawabannya. Tapi, batin saya, saya harus terus berusaha. Dan di saat-saat demikian saya mengimbangi dengan menulis esai dan sesekali cerpen. Saya tidak menyadari, justru saya lebih banyak nulis esai, dan cerpen hanya beberapa gelintir. Bisa dikata upaya saya menulis esai dan cerpen adalah untuk menempa ketelatenan dan kesungguhan agar suatu saat saya dapat membikin puisi yang lebih baik. Kadang sebab lain juga membayang-bayangi bahwa pengalaman membaca puisi-puisi karya orang lain itulah yang mengubur keyakinan saya akan puisi-puisi saya. Saya kadang berpikir, cerpen-cerpen saya adalah produk gagal atau ampas kering cerpen-cerpen itu adalah pelarian saya dalam kegagalan menulis puisi. Kenapa muncul relasi yang tak berjuntrung ini, saya tidak tahu. Mungkin sangat naif dan tidak penting dijelas-jelaskan dan biarlah demikian.

Sebelas cerpen dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing ini saya garap dari tahun 2002 hingga 2009. Demikianlah yang dapat saya antarkan. Untuk Nurel Javissyarqi dan Pustaka Pujangga, matur suwun sudah sudi menerbitkan kumpulan cerpen ini. Kepada Bang Afrizal Malna, saya sampaikan terima kasih berkenan meluangkan waktu memberi kata pengantar. Juga untuk istriku dan anakku, kalianlah yang menguatkan bara hidupku. Dan kepada semua sahabat, saya sampaikan terima kasih atas semua dukungan dan apresiasinya.

Tandes, 26 Mei 2010

*) dijumput dari buku “Syekh Bejirum dan Rajah Anjing,” karya Fahrudin Nasrulloh, terbitan PuJa [PUstaka puJAngga] tahun 2011.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae