Dwicipta
http://sastra-indonesia.com/
“…Suatu hari nanti aku akan menulis buku dan aku akan memakai namamu untuk tokoh utamanya.”
“Sebuah buku seperti Pertev dan Peter?” aku bertanya, jantungku berdegup.
“Bukan, bukan buku bergambar, melainkan sebuah buku yang di dalamnya aku menuturkan ceritamu.” [Kehidupan Baru, hal 422]
Osman mengenang percakapannya dengan paman Rifki itu di ujung usahanya dalam mengetahui teka-teki di balik berbagai peristiwa yang telah dialaminya. Ia telah terpukau oleh sebuah buku yang dibacanya, melakukan perjalanan demi perjalanan dengan bus, mengalami dan menyaksikan berbagai kecelakaan demi mendapatkan impiannya akan kehidupan baru seperti yang dijanjikan oleh buku itu. Adakah kemungkinan bahwa ia dan hidupnya adalah ciptaan paman Rifki, orang yang di kemudian hari diketahuinya sebagai penulis buku itu?
Novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini membuka kemungkinan pembacaan semacam itu. Untuk memuluskan skenario itu, penulisan sebuah buku yang didedikasikan bagi Osman kecil –anak cerdas teman sejawatnya di Perkeretaapian Negara– yang kelak mewujud dalam bentuk novel yang juga berjudul Kehidupan Baru, Paman Rifki ‘membunuh’ dirinya dalam novel karangannya, meskipun hampir di sepanjang novel tersebut kita merasakan kehadirannya yang terus-menerus, membayangi kehidupan Osman dari awal hingga akhir cerita. Pamuk tak berhenti hanya sampai di situ. Karyanya yang luar biasa ini seolah-olah mengembangkan lebih jauh kemungkinan-kemungkinan bercerita baru, yang kita sebut model bercerita posmodern, dengan mengeluarkan tokoh utama, Osman, dari dunia rekaan paman Rifki layaknya para keluarga Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian-nya Marquez merespons segala tulisan Melquiades, mengikuti dan mengomentari skenario yang telah dibuat paman Rifki untuknya.
Walaupun di akhir cerita sang tokoh tunduk pada desain besar yang telah membentuknya, namun ada fakta yang tak bisa dipungkiri di sepanjang novel ini dimana sang tokoh seperti melakukan suatu tanggapan berkesinambungan akan sosok penulis bukunya. Hasilnya adalah jalinan cerita memukau yang menggambarkan ketegangan antara kemandirian yang berusaha direbut oleh sang tokoh dan desain besar yang telah membentuknya. Pengarang yang semula ditempatkan sebagai pemegang otoritas tunggal atas tokoh-tokohnya kini harus menyerahkan sebagian otoritas itu pada tokoh-tokohnya tersebut. Ada humor segar nan intelek dalam hubungan antara tokoh dan pengarang dalam novel ini.
Pembacaan pertama
Marilah terlebih dahulu kita menelusuri alur konvensional dalam novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini, yang memakai baju cerita detektif, sebelum melihat salah satu varian pembacaan dari sekian kemungkinan varian pembacaan yang bisa dilakukan.
Osman adalah seorang mahasiswa jurusan teknik yang tinggal bersama ibunya yang sudah menjanda. Ketika berada di kampus dan sedang memandang seorang teman perempuannya, Janan, ia terpikat pada sebuah buku misterius yang ada di tangan perempuan itu. Selagi penasaran dengan isi buku itu, dalam perjalanan pulang ke rumah dengan melewati lapak penjualan buku bekas, ia melihat buku yang semula ada dalam genggaman tangan Janan itu di sebuah lapak. Sebagai usaha untuk memikat Janan sekaligus penasaran akan isi buku yang dipegang oleh perempuan itu, ia membeli, dan membaca buku yang menjanjikan sebuah kehidupan baru bagi siapapun yang membacanya itu. Di kampus, ketika bertemu kembali dengan Janan yang telah ditemani Mehmet, Osman diberitahu bahaya yang mengancam bila membaca buku itu.
Akibat membaca buku itu, dan usahanya menemukan Janan yang dianggap menjadi belahan jiwanya, Osman meninggalkan kehidupannya di Istanbul bersama ibunya maupun pendidikannya di Universitas. Selama berbulan-bulan ia melakukan banyak perjalanan, naik turun bus yang membawanya ke berbagai tempat di pedalaman Anatolia itu sebelum akhirnya bertemu dengan Janan dan melakukan perjalanan bersama dengan perempuan yang ia cintai itu. Dalam perjalanan tersebut mereka mengalami dan melihat banyak kecelakaan lalu lintas. Kadangkala mereka menemukan diri mereka dalam suatu keadaan letih antara tertidur dan terjaga, suatu keadaan yang membuat Osman berhasrat untuk meninggal dalam suatu tabrakan maut.
Titik balik dari perjalanan panjang kedua orang itu adalah ketika mereka sampai di Tempat kediaman Dr. Fine (barangkali lebih tepat dengan nama Turki yang dipakai Pamuk dalam versi bahasa Turki-nya, Dr. Narin) dimana setelah ia meninggalkan Janan selama seminggu dan kembali ke kediaman Dr. Narin perempuan yang ia cintai telah lenyap entah kemana. Di kediaman Dr. Narin ini, Osman dan Janan mendapatkan sebuah fakta bahwa Mehmet, teman sekampus mereka yang lebih dahulu membaca buku dan mencari Kehidupan Baru yang dijanjikan oleh buku itu, adalah anak dari Dr. Narin yang kabur dari rumah. Nama aslinya adalah Nahit. Naluri Osman mengatakan bahwa Mehmet, anak Dr. Narin dengan nama asli Nahit, masih hidup dengan kemungkinan kembali berganti nama –sebuah kemungkinan yang menemukan kebenarannya yang mengagetkan karena nama baru Mehmet alias Nahit itu adalah Osman, persis seperti namanya sendiri.
Dan tak lain tak bukan, bahaya akibat membaca buku itu berasal dari Dr. Narin. Dr. Narin, yang percaya bahwa anaknya minggat dari rumah karena membaca buku ini. Ia berusaha menghancurkan semua cetakan buku ini dan berusaha menghabisi siapapun yang membacanya lewat para mata-matanya yang memakai nama alias seperti Movado, Zenith, Seiko, Serkisof –semuanya nama merk jam. Salah satu korban pembunuhan ini adalah Paman Rifki, yang merupakan pengarang buku Kehidupan Baru yang sangat mengilhami Osman dalam pencarian sebuah dunia dan kehidupan baru.
Dirundung asmara tak berkesudahan dan tanpa kepastian pada Janan, meskipun ia ditinggalkan oleh perempuan itu yang menikah dengan seorang dokter dan pindah ke Jerman, Osman memutuskan pulang ke rumah dan menikah dan hidup kembali seperti biasanya. Pada suatu waktu, panggilan pada kehidupan baru kembali merasukinya, membuatnya kembali bepergian. Kepergiannya kali ini secara mengejutkan membuatnya bertemu dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman –persis seperti namanya sendiri. Setelah percakapan panjang dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman itu ia membunuhnya di dalam gedung bioskop. Kembali ke dalam bus dan berniat pulang kembali menemui istri dan anaknya, ia meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas dan jiwanya melayang ke dalam suatu Kehidupan Baru.
Pembacaan kedua
Jika kita mengikuti dengan seksama detil-detil yang menyempurnakan alur konvensional yang menciptakan pembacaan pertama tadi, secara mengejutkan kita akan menemukan kemungkinan pembacaan lain yang lebih menarik. Inilah yang mungkin membentuk pembacaan kedua dimana bentuk penceritaan yang konvensional dibongkar sedemikian rupa oleh Pamuk sehingga menciptakan spektrum penafsiran yang tak tunggal.
Argumen bahwa Osman adalah karakter rekaan Paman Rifki boleh jadi sebuah pembacaan kedua yang menarik dan logis. Dari kenangan Osman akan masa kecilnya, ketika pada suatu hari ia dan ayahnya berkunjung ke paman Rifki dan ditanyai berbagai nama stasiun di semenanjung Anatolia itu, dan kutipan yang ada di awal tulisan ini, nampak jelas jikalau sosok Melquiades telah menjelmakan diri pada diri paman Rifki. Kesadaran akan peran besar paman Rifki sebagai salah satu penentu jalan hidupnya baru disadari Osman dalam dialognya dengan Mehmet sebelum ia membunuh lelaki yang telah mengganti namanya dengan nama yang persis sama dengannya itu, ketika ia dan Mehmet sekedar iseng-iseng membuat generalisasi pada topik situasi mereka.
“Sebenarnya, segalanya sangat sederhana. Seorang lelaki tua fanatik yang menulis untuk majalah kereta api dan memandang hina perjalanan serta kecelakaan bus telah menulis buku yang terilhami oleh komik anak-anak goresan penanya sendiri. Lalu beberapa tahun kemudian pemuda optimistis seperti kami yang telah membaca komik tersebut dimasa kecil kebetulan membaca buku itu dan percaya bahwa seluruh hidup kami telah berubah total…” [Kehidupan Baru, hal 361].
Pegawai perkeretaapian negara ini, yang menulis seluruh kisah hidup Osman, selain menulis artikel di majalah Rail untuk para penggemar kereta api memang juga menulis dan membuat ilustrasi untuk serial komik anak-anak berjudul “Petualangan Mingguan Untuk Anak-anak” dan membuat komik berjudul Pertev dan Peter serta Kamus Berkunjung ke Amerika [hal 23-24]. Lewat gaya humornya yang khas, Pamuk menempatkan Osman pada posisi mengolok-olok otoritas besar paman Rifki selaku pencipta dirinya, yaitu pada momen ia dan Mehmet sedang membuat generalisasi pada situasi yang mereka alami, ketika Osman menyadari bahwa tempat pertemuan kembali mereka berdua adalah di Viran bag, kota kecil indah yang dan juga nama stasiun yang dulu gagal diingatnya sebelum ia mengunyah Karamel bermerk Kehidupan Baru pemberian Bibi Ratibe.
“…Kau tahu,” ujarku, dengan mengucapkan setiap suku kata dan menatap wajahnya, “berkali-kali aku menangap kesan bahwa buku itu adalah tentang diriku, bahwa ceritanya adalah cerita diriku…” [hal. 362]
Penelanjangan diri Osman tidak hanya berhenti pada diterimanya kesan bahwa dirinya adalah ciptaan paman Rifki. Setelah membunuh Mehmet atau Nahit, ia kembali ke Istambul, menjalani kehidupan baru dengan menikahi anak perempuan tetangganya. Sampai pada suatu malam, ketika sedang berjalan tanpa arah yang jelas, kedua kakinya membawa Osman ke rumah paman Rifki. Ia menelusuri asal-usul lebih detil penciptaan buku itu, yang juga merupakan penciptaan dirinya, dengan meneliti secara seksama tiga puluh tiga buku yang ada di rak buku Paman Rifki. Ia memperhatikan bahwa beberapa adegan dalam Kehidupan Baru, beberapa ungkapan dan fantasinya, diilhami oleh bahan-bahan dari buku itu atau dicomot begitu saja dari buku-buku-buku tersebut [hal. 407].
Dan barangkali inilah puncak dari olok-olok Pamuk pada superioritas pengarang atas tokoh-tokoh rekaannya dengan cara membuat si pengarang justru sebagai pihak yang dibedah secara seksama oleh tokohnya: “…saat aku membandingkan beragam fantasi dan ungkapan dalam bacaanku, aku menemukan bisikan-bisikan tersandikan di sela-sela teks yang dari sini aku dapat melacak rahasia mereka… Bangga atas kompleksitas jaringan keterkaitan yang kubuat, aku bekerja dengan penuh kesabaran seperti seseorang yang menggali sumur dengan sebatang jarum, dalam upaya untuk menebus sedemikian hal yang kuabaikan dalam hidup…” [Hal 411]
Secara indah Pamuk merangkai penggambaran malaikat dalam karangan paman Rifki dalam wilayah fiksional dan intertekstual. Pada wilayah fiksional, Osman mengenang pada gambar malaikat pada pembungkus Karamel yang bernama Kehidupan Baru yang sangat ia sukai di masa kecilnya, sebuah penggambaran yang setelah ia telusuri kepada orang yang membuatnya ternyata diilhami dari artis cantik Marlene Dietrich dari Jerman yang bermain dalam film Der Balue Engel yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Heinrich Mann. Penggambaran malaikat secara fiksional ini kemudian dipadukan secara referensial dengan gambaran malaikat-nya Rilke –yang juga berasal dari Jerman- dalam Duino Elegies. Dalam suratnya pada Lou Salome, Rilke mengatakan bahwa malaikat dalam Duino Elegies bukanlah malaikat yang berasal dari surganya orang Kristen, namun lebih mendekati malaikat-malaikat dalam surga kaum Islam.
Puisi Dalam Prosa dan Permainan Semiotika
Membaca novel ini, kita menemukan sebuah prosa yang digarap dengan ekspresi bahasa puitik yang memikat, terutama di bagian awal cerita. Dalam suatu wawancara, Pamuk mengakui intensinya pada penghadiran sebentuk prosa puitik semacam ini, dimana sumber ilham lahirnya novel Kehidupan Baru ini adalah karya-karya para penulis romantik Jerman.
“Prosa yang dilahirkan para penulis romantik Jerman memiliki suatu tarikan yang kuat dengan kematian; mereka mencari yang absolut dan berharap menciptakan sebuah ‘puisi’ yang jauh menjangkau pencarian ini hingga ke suatu platform non eksisten. Inilah buku –Kehidupan Baru- yang ditulis dengan harapan-harapan tersebut.” [The Other Colors: Selected essays and a story, hal. 147]
Maka sejak dari awal kalimat dalam novel ini, meskipun tidak menguasai seluruh novel melainkan hanya di bagian-bagian tertentu, ekspresi bahasa yang puitik ini telah menjerat perhatian kita. Seperti Gabriel Garcia Marquez, nampaknya Pamuk menyadari arti pentingnya yang besar dari kalimat pembuka novel yang memikat dan langsung menyergap perhatian pembaca, sehingga dibukalah novelnya itu dengan sebuah kalimat yang menghentak: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Memasuki bagian kedua novel ini, pembaca novel langsung disergap dengan sebuah kalimat lain yang membuat mereka terperangah: “Hari berikutnya aku jatuh cinta.” Jika di bagian pertama aspek puitik ini terjalin lewat sebuah perenungan mendalam akan efek sebuah buku dalam diri si tokoh, di bagian kedua kedua kita disuguhi sebuah penggambaran yang betul-betul puitik tentang pengalaman jatuh cinta Osman pada Janan, keresahannya dalam menanggung beban cinta dalam dadanya dan sebuah kehidupan baru yang terus menerus memanggilnya untuk mendekat. Semua hal ini memadat ketika Osman menempelkan keningnya di kaca jendela ruang Universitas, tempat dimana Janan menciumnya, sembari menatap butiran salju yang turun.
“Aku mengamati serpihan salju yang jatuh dalam deraian lembut hujan salju, yang berlengah-lengah tak pasti pada suatu titik mengejar serpihan salju lain, tak mampu membuat keputusan, ketika angin ringan bertiup dan menyapunya. Dan sesekali, sekeping serpihan salju lain meliuk di udara kemudian diam sesaat, lantas seakan telah berubah pikiran, ia lalu berbalik dan perlahan-lahan menuju angkasa…” [Hal. 47]
Hasrat untuk menciptakan sebuah “puisi” dalam prosa seperti pada karya-karya pengarang romantik Jerman ini tercermin kuat di dua bagian ini di samping pada penggambaran Pamuk akan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas, perjalanan-perjalanan bus tanpa henti yang dilakukan Osman, dan kepiluannya untuk menemukan kembali Janan sebelum diakhiri secara memikat pada momen-momen akhir novel ini, ketika fajar merekah di ufuk timur dan Osman melihat wujud malaikat seperti yang digambarkan dalam buku yang dibacanya serta ‘pintu’ kehidupan baru yang telah terbuka untuknya. Maka seiramalah apa yang telah disuguhkan oleh Pamuk dalam novelnya ini dengan apa yang ia nyatakan di bawah ini:
“Ketika sedang menuliskan novel ini, aku memutuskan menjadi seorang penyair. Maksudku, aku memutuskan bertindak secara parsial dengan intuisi-intuisiku dansecara parsiap seolah-olah seseorang sedang berbisik padaku. Dalam kenyataannya, saya tidak memaksudkannya untuk keseluruhan novel ini, namun hanya beberapa bagiannya. Bagian-bagian dimana kecelakaan lalu lintas dideskripsikan, dan dimana sang protagonis jatuh cinta dan berkelanan sendirian. Pada bagian-bagian ini aku menuliskannya tanpa rencana atau program. Sebagaimana mereka mungkin bicara, dewi Musae berkata padaku “hei!” dan kemudian dengan mudah aku menuliskannya seperti itu.”
Ekspresi bahasa yang puitik ini bertumpang tindih dengan peristiwa-peristiwa surealistik yang dialami tokoh-tokohnya. Maka tidak mengherankan jika kita mendapatkan kesan dari keseluruhan alur cerita ini bahwa yang riil dan yang surreal terus bergandengan dalam novel. Perjalanan-perjalanan dengan bus ke wilayah-wilayah pedalaman Turki dan kecelakaan-kecelekaaan lalu lintas yang realistik dalam novel ini dipadukan dengan respons Osman dan Janan yang kerapkali fantastik dan tak terduga-duga. Dalam suatu kecelakaan, misalnya, ketika keningnya berdarah, Osman merasakan suatu ekstase berdiri di ambang batas kehidupan lamanya dan kehidupan baru yang sedang dicarinya. Ia merasakan alangkah sudah dekatnya ia dengan malaikat yang telah digambarkan dalam buku yang telah ia baca. Ketika perjalanan Osman mengantarkannya pada Dr. Narin yang kemudian diketahui melakukan spionase dan pembunuhan terhadap pembaca buku Kehidupan Baru karangan paman Rifki lewat mata-matanya, sekali lagi, kita dihadapkan pada sesuatu yang riil dan fantastik sekaligus. Sekalipun Pamuk telah menata detil-detil cerita ini dengan sangat rapi, pembaca akan sulit memahami, misalnya, pergantian nama Mehmet sebanyak tiga kali –dari awalnya Nahit, kemudian berganti menjadi Mehmet, sebelum akhirnya berganti lagi menjadi Osman, persis seperti nama tokoh utama-, kenapa Janan meninggalkan Osman yang tengah mempelajari arsip-arsip di kediaman Dr. Narin, dan kenapa Osman meninggalkan pencariannya akan kehidupan baru setelah ditinggalkan Janan.
Hal lain yang sangat menarik perhatian dari novel ini adalah permainan semiotik memikat yang disuguhkan Pamuk. Lihatlah judul Kehidupan Baru-nya yang memiliki banyak hubungan rumit. Judul Kehidupan Baru ini pertama-tama menunjuk pada buku yang ditulis oleh Orhan Pamuk, dan kemudian mengacu pula pada buku yang dikatakan ditulis oleh Paman Rifki dalam novel Pamuk. Judul buku ini mengingatkan kita pada La Vita Nuova karya Dante, karena Paman Rifki —dan sebagai konsekuensinya Orhan Pamuk— menyebutnya sebagai sumber inspirasi: sebuah buku yang menjanjikan kehidupan baru bagi pembacanya—yang dinarasikan oleh seseorang yang mengenang bahwa dulu ia biasa melahap Karamel Kehidupan Baru. Di sinilah kita bisa melihat Kehidupan Baru sebagai sebuah penanda dengan tetanda ganda. Salah satu dari tetanda itu adalah La Vita Nuova karya Dante, sementara tetanda yang lain adalah kehidupan baru yang dituliskan dalam kasus yang lebih rendah yang kita harapkan hidup secara faktual. Namun Pamuk dengan piawai membuat tetanda ini kerapkali berubah, bahkan saling menggantikan.
Sebuah hubungan semiotik serupa bisa dilihat dalam citra malaikat yang ditemukan dalam pembungkus Karamel Kehidupan Baru. Pemilik pabrik karamel Kehidupan Baru ini, Sureyya, begitu menggandrungi Marlene Dietrich, artis yang berperan sebagai seorang perempuan bak malaikat yang dicintai oleh Professor Unrat dalam film Der Blaue Engel. Dari sinilah kemudian citra malaikat dalam pembungkus karamel itu muncul. Citra malaikat dalam Kehidupan Baru karya paman Rifki, dan secara otomatis mengacu pada Kehidupan Baru karya Pamuk, juga bisa ditarik benangnya pada penggambaran malaikat dalam Duino Elegies karya Rilke selain pada literatur-literatur timur seperti Kunci Kebijaksanaan karya Ibnu Arabi. Pamuk mengkombinasikan citra malaikat yang suci ini dengan citra-citra malaikat yang lain sehingga menciptakan suatu paradoks. Permainan semiotik inilah yang membuat karya Pamuk ini mengusung suatu unsur posmodern dalam cerita.
Kehidupan Baru: Alegori tentang Turki
Banyak kritikus yang menilai bahwa novel Kehidupan Baru ini adalah sebuah alegori tentang Turki yang terbangun dengan baik. Di luar Istanbul yang sekuler dan modern, terdapat daerah-daerah pinggiran atau pedalaman yang kumuh dan miskin dan tengah berjuang mencapai tujuannya di tengah serangan gencar globalisasi. Karamel Kehidupan Baru hanyalah sebuah kiasan dari semakin tergusur dan matinya produk-produk lokal dan bisnis kecil akibat membanjirnya produk-produk dari luar Turki. Mereka, produk-produk dan bisnis kecil lokal, tak mampu berkompetisi dengan kekuatan besar kapitalisme Barat yang tidak hanya melanda Turki namun juga seluruh dunia. Dari cerita Dr. Narin pada Osman kita tahu bagaimana yoghurt dingin tradisional atau serbet Ceri masam telah digantikan oleh Coca Cola, terpinggirkannya lem damar lokal oleh lem UHU yang lisensinya di bawah merk dagang berlambang burung hantu kecil manis dari Jerman, dan lenyapnya sabun lempung oleh membanjirnya sabun merk Lux. Gambaran penuh kemurungan ini memunculkan dugaan adanya konspirasi besar untuk menghancurkan Turki sekaligus mengakibatkan kemarahan yang mewujud dalam fundamentalisme agama dan konservatisme yang buruk.
Akibat Westernisasi yang dijalankan sejak era Kemal Ataturk, Turki menjadi sebuah bangsa yang penuh kontradiksi. Ia ingin menjadi bagian dari Uni Eropa guna memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, namun di sisi lain negeri ini masih menindas kebebasan ekspresi dan menutup pintu pada opini-opini yang kritis pada pemerintah dan kebijakan-kebijakannya. Pamuk membawa kita pada gambaran Westernisasi yang menegangkan dan penuh konflik di Turki ini secara literer, salah satunya, lewat kenangan Osman akan komik Pertev dan Peter dan Pahlawan-Pahlawan Kereta Api yang ia baca pada masa kanak-kanak, dan kemudian ia baca ulang dalam ruang arsip Dr. Narin. Namun yang paling menonjol, dan ini yang menjadi salah satu bagian utama novel Kehidupan Baru yang sangat indah, adalah curahan literer Pamuk untuk mengkritik kebebasan ekspresi di Turki lewat tindakan spionase, dokumentasi dan pembunuhan terhadap siapapun yang membaca buku Kehidupan Baru karya paman Rifki.
Penutup
Novel Kehidupan Baru ditulis oleh Pamuk ketika ia telah mengerjakan separuh dari novel My Name is Red –Namaku Merah Kirmizi. Selesai ditulis pada tahun 1994, bersama penerbitnya di Turki, Pamuk meluncurkannya dengan suatu kampanye iklan yang tak jamak. Mereka memasang papan-papan reklame di Istanbul yang bertuliskan kalimat pertama dalam novel itu: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Saat itu, strategi pemasaran novel yang dilakukannya adalah sesuatu yang baru dalam sistem literer Turki. Namun pembaca merespons-nya dengan baik sehingga novel Kehidupan Baru menjadi buku yang terjual paling cepat dalam sejarah literer Turki –satu menit per buku dalam pekan raya buku di Istanbul.
Para pengulas buku dan kritikus pun sibuk dengan novel ini. Oleh sebagian kritikus, novel ini dianggap terlalu terpusat pada kehidupannya sendiri –Pamuk adalah bekas mahasiswa Teknik Arsitektur yang meninggalkan studinya untuk bisa berkarir penuh sebagai penulis, serebral, dan sulit. Namun para penulis terkenal seperti Salman Rushdie dan John Updike, membandingkan novel Pamuk dengan karya-karya Marcel Proust, Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez dan Franz Kafka. Pamuk sendiri mengakui pengaruh Kafka yang besar dalam novel ini, terutama kecenderungan tokoh utama yang terserap pada dunianya sendiri.
Namun dalam terjemahan bahasa Inggrisnya yang digarap oleh Guneli Gun –penerjemah yang juga mengalihbahasakan novel Pamuk yang berjudul Black Book, novel ini cukup kontroversial dan mendapatkan dua tanggapan yang bertolak belakang di dua negara yang berbeda. Para kritikus di Inggris menganggap kualitas terjemahan Guneli Gun ini buruk sehingga novel ini mendapatkan penghargaan sebagai novel terjemahan terburuk tahun itu, sementara publik Amerika memuji tinggi terjemahan novel ini.
Terlepas dari kontroversi itu, kejeniusan Pamuk terletak pada kemampuannya untuk mengganggu konvensi-konvensi pembacaan kita. Jika bagi sebagian orang novel ini dianggap susah, namun bagi kritikus yang teliti, alih-alih terganggu, novel ini justru menyuguhkan padanya berbagai model pembacaan yang menarik. Dan yang paling utama, novel ini telah mewariskan pada kita suatu capaian literer luar biasa dimana kita bisa belajar darinya untuk melahirkan karya-karya yang lebih baik. Membaca novel ini kita seperti Osman ketika membaca buku yang mengubah seluruh hidupnya: “sudut pandang kita diubah oleh novel ini, dan novel ini diubah oleh sudut pandang kita.”
Sokawangi, Desember 2008
Untuk Ibuku tersayang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar