Minggu, 17 April 2011

Tambo Raden Sukmakarto

Dwicipta
Kompas, 2006/05/07

Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu.

Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir. Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya.

Seorang opsir dan dua pembantunya, setelah mendapat laporan dari seorang kacung, meninggalkan tempatnya berdiri di belakang Gubernur Jenderal Idenburg yang sedang berbahagia meresmikan gedung kesenian itu dan melangkah menuju pada lelaki berpakaian Jawa itu. Mereka menggelandang lelaki ganjil itu ke ruang pemeriksaan sementara.

“Apa yang kau nyanyikan? Apakah kau menghina ratu kami?” tanya opsir itu setelah menggelandang lelaki aneh itu ke ruang keamanan.

Laki-laki itu memandang sang opsir dengan raut muka tiada salah. Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt. Justru sepanjang digelandang, mulutnya berdecak-decak kagum mengamati lukisan pelukis Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil lalu. Dan ketika sudah berada di kantor keamanan di lantai dua itu, ia tak henti-hentinya memandangi potret seorang Jenderal di masa perang Jawa, penakluk pemberontakan Diponegoro dan Bonjol.

“Ia kurang hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara sorot matanya tak membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang ia praktikkan di masa perang,” katanya bak seorang kampiun kurator lukisan.

Opsir itu murka dan menampar mukanya.

“Dasar Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di ruang peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan. Sekarang kau menghina tuan Jenderal De Kock yang terhormat,” katanya dengan gusar.

“Aku seorang seniman, apakah aku salah kalau berpendapat? Bukankah gedung ini dibangun untuk keagungan kesenian Hindia Belanda?” kata lelaki berkulit sawo matang itu dengan mimik menuntut.

“Bahkan seorang seniman sekalipun harus punya aturan, bukan seperti pemberontak macam kamu,” jawab sang opsir. “Apa yang kau nyanyikan di ruang peresmian itu?”

“Wilhelmus van Nassau.”

“Itu bukan lagu kebangsaan bangsa kami. Itu lagu Jawa.”

“Karena kunyanyikan dalam bahasa Jawa. Kalau tuan sekiranya tahu bahasa Jawa, tentu tuan akan mengerti lagu itu,” jawabnya dengan enteng. Pukulan tangan beberapa kali dari opsir tinggi besar itu membuat darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Barangkali bibir dan tulang rawannya pecah dipukuli oleh opsir itu dan dua pengawalnya.

“Kau mau menipu kami?!”

“Saya tidak menipu, Tuan. Saya bicara sesungguhnya.”

Opsir itu meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi dalam waktu singkat. Tak lama setelah meninggalkan ruangan itu, ia kembali lagi dengan membawa seorang Belanda lain yang berpakaian indah dan pesolek.

“Coba kau nyanyikan lagi lagu yang tadi kau lantunkan di ruang peresmian,” Opsir itu memerintahnya.

Lelaki itu memandang sang opsir yang tak sedikit pun memiliki senyum. Ketika ia beralih memandang orang Belanda berpakaian sipil dan pesolek itu, ia mendapati kesan bersahabat pada dirinya. Sinar matanya menunjukkan rasa belas kasihan melihat hidung dan mulutnya mengeluarkan darah.

“Saya tidak pernah melihat tuan sebelumnya,” katanya tanpa mengindahkan perintah Opsir itu.

Sang Opsir murka dan berniat melayangkan pukulan padanya, namun Belanda pesolek itu memberikan isyarat supaya ia menghentikan perbuatannya.

“Saya baru datang dari Surabaya. Saya tinggal di sana selama tiga tahun. Tentu saja tuan tak mengenal saya,” katanya dengan bahasa Jawa yang halus.

“Oh, tuan bisa berbahasa Jawa? Ah, tuan sungguh berbudaya, tahu di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Siapa nama tuan?”

“Nama saya Hooykaas. Katanya tuan menyanyikan Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Apakah benar tuan telah menyanyikannya dalam bahasa Jawa?”

“Benar.”

“Bagaimana tuan menerjemahkan lagu itu ke dalam bahasa Jawa? Ingin rasanya saya mendengarkannya dari mulut tuan sendiri,” katanya.

“Apakah tuan benar-benar mau mendengarkan? Saya kira semua orang Belanda berbudaya. Tapi saya malah mendapatkan pukulan.”

“Pukulan dan kekerasan fisik adalah tata cara interogasi, tuan. Tata cara sesama orang berbudaya lain lagi bukan? Ayolah, saya ingin mendengarkan tuan menggubah lagu kebangsaan negeri kami,” kata Belanda pesolek itu dengan suara halus.

Lelaki itu kemudian menyanyikan lagu Jawa yang terdengar aneh di telinga opsir dan dua pengawalnya itu. Sementara Belanda pesolek bernama Hooykaas mendengarkan nyanyiannya dengan saksama. Wajahnya yang berdahi lebar sedang memikirkan sesuatu. Setelah lelaki itu selesai menyanyikan lagunya, bola mata Hooykaas bersinar-sinar gembira.

“Aha, tuan bisa menggubah liriknya ke dalam bahasa Jawa yang indah. Tak pernah kudengarkan lagu kebangsaan kami dinyanyikan dalam bahasa selain bahasa Belanda. Tuan benar-benar memiliki darah seni yang kuat,” katanya.

Opsir yang mendengarkan komentar Belanda pesolek itu tertegun mendengar komentarnya.

“Tapi ia menghina ratu karena menyanyikan lagu kebangsaan dengan cara yang aneh. Tuan Gubernur Jenderal tentu akan murka dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tubuhnya akan dicerai-beraikan dengan empat kuda yang lari ke empat penjuru mata angin. Tuan tahu Peter Elberfeld? Nasib tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya.

Tuan Hooykaas memandang opsir yang tadi menyiksa lelaki itu. Tiba-tiba cahaya terang seperti melintas dari dahi lebarnya dan merasuk ke dalam kepalanya. Ia memalingkan muka ke arah lelaki itu. Tangannya bergerak ke arah kantong saku dan mengambil sapu tangannya. Diserahkannya benda putih persegi empat terbuat dari bahan sutra halus dan berkilat kepada lelaki itu.

“Hapuslah darah tuan. Nasib hidup tuan barangkali tidak lama lagi. Pertama tuan menghina bangsa kami dengan menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Kedua, menurut pengakuan opsir kami, tuan membalikkan belangkon yang tuan pakai ketika lagu kebangsaan kami mulai berkumandang. Itu perbuatan menghina bangsa tuan sendiri. Dan yang ketiga, masih menurut opsir kami, tuan menghina lukisan potret salah satu pahlawan perang kami di tanah Hindia ini, seorang strateeg yang andal seperti Jenderal De Kock,” katanya dengan senyum simpul.

Sambil menghapus darah yang masih menetes dari mulut dan hidungnya, ia melirik sebentar ke arah lukisan itu.

“Ah, aku yakin tuan tahu belaka letak kesalahan lukisan ini. Bagaimana Jenderal besar semacam De Kock tak memiliki syarat-syarat seperti yang saya katakan pada opsir tuan ini. Dia seorang strateeg seperti kata tuan tadi, tapi di mana tuan dapati kesan itu pada lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan yang ada di sisi kirinya. “Bisa tuan bandingkan ketika pelukis kami yang tersohor di daratan Eropa melukis Pangeran Diponegoro, musuh Jenderal De Kock pahlawan tuan itu. Padahal bangsa tuan memiliki pelukis-pelukis yang tersohor di seluruh dunia. Bangsa kami hanya memiliki Raden Saleh.”

“Ah, saya kagum pada tuan. Rupanya tuan memiliki pandangan yang luas. Apakah tuan pernah melihat lukisan Raden Saleh?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ya, tuan. Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris selama dua tahun. Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di seluruh Eropa. Saya datang ke bekas rumahnya di Belanda. Apa pekerjaan tuan kalau saya boleh tahu?” tanyanya dengan raut muka acuh tak acuh.

“Saya seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di Hindia Belanda karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang dituliskan sastrawan besar kami, Multatuli. Sastrawan Agung Goethe dari negeri Jerman saja kagum dengan Hindia Belanda. Itulah sebabnya saya sampai di sini. Sedangkan tuan Gubernur Jenderal Idenburg adalah teman saya semasa menyelesaikan studi di Belanda. Itulah sebabnya saya dipanggil dalam peresmian gedung ini,” katanya.

“Kabarnya tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa kami,” sergahnya.

“Tentu saja, Tuan. Dia amat menghormati kesenian. Tapi dia juga penguasa politik di negeri ini.”

“Oh, benarkah? Tapi seorang penguasa negeri sekalipun tak akan dengan mudah menjatuhkan hukuman bukan? Saya dengar dia banyak memanggil kaum intelektual dan seniman Hindia Belanda ke kantornya dan untuk acara-acara resmi. Ia memang keras terhadap aktivitas politik kaum pribumi seperti Dr Cipto dan Suwardi dan orang dari negeri tuan sendiri seperti Douwes Dekker. Tapi orang seperti saya apakah menghina bangsa tuan?”

Belanda pesolek itu terpukau dengan ketenangan dan wajah tiada bersalah dari lelaki itu. Ucapannya tajam, namun apa yang keluar dari mulutnya amat menarik hatinya. Rencananya berjalan mulus. Opsir yang menginterogasi lelaki itu duduk gelisah di atas kursinya, mengetukkan jemarinya pada meja. Opsir itu silih berganti dengan tuan Hooykaas menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di gedung itu. Yang satu dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman, sedangkan pihak yang lain berusaha mengarahkan pembicaraan ke arah kesenian. Keduanya bersitegang dan hampir adu mulut untuk menentukan apakah inlander yang kini mereka interogasi itu bersalah.

Akhirnya mereka bersepakat menyerahkan persoalan itu kepada tuan Gubernur Jenderal setelah acara berlangsung.

Desas-desus perilaku Raden Sukmakarto menyebar di seluruh Batavia. Orang-orang mulai bertaruh tentang berapa banyak waktu bagi lelaki nyentrik itu untuk menghirup napas bebas di muka bumi. Sampai pada saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan tidak sabar.

Entah bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang bertanya padanya kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar orang. Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur.

“Setelah bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya.

Kisah Raden Sukmakarto itu menyebar menjadi berita heboh di Batavia, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu. Muncul pula desas-desus lain bahwa lelaki berkulit sawo matang itu telah membohongi tuan Hooykaas dengan mengganti lirik lagu yang dinyanyikannya di dalam gedung peresmian dan di depan tuan Hooykaas sendiri. Sejak itu para intel melayu selalu mengikutinya. Namun mereka tak kunjung memiliki alasan kuat untuk membongkar desas-desus yang beredar itu.

Yogyakarta, Akhir Februari 2006
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2006/05/07/tambo-raden-sukmakarto/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae