Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Anak, seperti juga hewan, menggunakan semua indra mereka untuk menemukan dunia. Kemudian seniman datang dan menemukannya lagi dengan cara yang sama (Eudora Welty).
Mari bercermin pada anak, tuan. Dan mari beranak pada cermin, kawan.
Seorang anak adalah pribadi spontan. Kadang penuh kejutan. Sementara cermin adalah tempat mengaca diri, menbatap bayang-bayang wajah sendiri. Sebuah refleksi yang tak jarang melahirkan kebuncahan. Seperti kata parodi yang disukai Jorge Luis Borges, di depan cermin wujud kita berubah lebih dari satu. Antara cermin dan ayah terdapat persamaan: yakni sama-sama melahirkan banyak manusia.
Orang yang mencintai anak-anak adalah orang yang mencintai banyak kejutan dan hal-hal tak terduga, penuh kenaifan dan kepolosan, tapi juga kejujuran. Sementara orang yang mencintai cermin, tidak harus orang yang gemar bercermin, mendamba hidup penuh warna. Sang pemuja malam dfan bayang-bayang, seperti al-Hallaj, Nietzsche, Chairil Anwar. Berdiri di depan cermin menatap wajah lebih dari satu. Di depan cermin Jorge Luis Borges menghayati Tuhan bukan sebagai satu, tapi berbeda:
“Baginda Tuhan adalah maha tanpa muasal sekaligus maha tanpa nama atau wajah”, kata Borges dalam Sejarah Aib (LKiS, 2006) bab Cermin-Cermin Jahanam. “Dia tuhan yang tak pernah berubah, namun citranya merebakkan sembilan bayangan—mungkin juga sembilan ruang dan sembilan waktu—yang, seraya menurun ke penciptaan, mengemban dan mengepalai surga pertama. Dari mahligai turunan ilahi pertama ini muncul mahligai kedua, dengan malaikat-malaikat, kuasa, dan takhtanya sendiri, dan ini membentuk surga yang lebih rendah, yang merupakan pencerminan simetris dan surga pertama. Majelis kedua ini dicerminkan pada majelis ketiga. Lalu dicerminkan pada majelis yang lebih rendah, dan seterusnya, hingga berjumlah 999. Pengurus surga terindah ialah dia yang memerintah kita—bayangan dari bayangan dari bayangan lain lagi—dan pecahan keilahiannya mencapai nol”.
Mereka yang mencari kemurnian Tuhan bukanlah pada angka satu, atau bahwa Tuhan itu satu. Tuhan lebih pantas disebut nol, tak berbilang walau masih berupa bilangan. Nietzsche mendaraskan karya-karyanya yang orisinal dengan tiga metamorfosa (three metamorphoses): metamorfosa dari seekor unta; lalu seeokor unta menjadi seekor singa; dan seekor singa menjadi anak-anak. Metamorfosa pertama mengandung spirit yang pasrah-menerima, sementara kedua syarat dengan sepak-terjangnya yang garang, manusia bebas, pemberontak, dan spirit ketiga, seorang pendatang baru, suatu permainan, suatu gerakan pertama, suatu yang masih murni dan bebas dari “dosa”, dan karena itu menjadi kreatif, murni, orisinal.
Nietzsche pun berkata: “Seandainya aku tahu bagaimana caranya membujuk kalian kembali dengan seruling gembala! Seandainya singa betina kebijaksanaanku mau belajar mengaum dengan lembut! Sebab banyak yang telah kita pelajari dari satu sama lain! Kebijaksanaanku yang liar menjadi bunting di pegunungan yang sunyi; di atas batu-batu kasar dia telah melahirkan anak kesayangan!”
Banyak pengarang besar mencurahkan perhatiannya pada dunia anak-anak. Kalangan sastrawan—yang terkadang bersifat infantil dan penuh kenaifan sebagaimana anak-anak—sering mengajak kita untuk kembali ke masa kecil, menghayati pengalaman dunia anak-anak. Kecenderungan ini di negeri kita sering diperolok sebagai “masa kecil yang kurang bahagia”.
Mengapa banyak kalangan sastrawan mendambakan kembali masa anak-anaknmya? Sastrawan berkarya dengan kata atau bahasa, dan kata-kata yang dirindukan setiap kali seorang sastrawan mencipta sastra adalah kata yang segar, yang murni, yang orisinal. Dan bahasa jenis ini hanya terdapat pada anak-anak, dengan segala kepolosan dan kenaifannya. Tanpa kemurnian dan kebaruan tak akan ada kebudayaan. Tanpa keorisinal orang akan terus-terusan merasa tidak menjadi dirinya sendiri, atau teralienasi. Maka, sungguh kena apa yang pernah dikatakan Carmel Bird dalam buku Menulis dengan Emosi (Kaifa, 2001): ”Jika Anda bisa memiripkan diri dengan dengan diri Anda sewaktu kecil, Anda akan lebih mudah dan mampu melihat segalanya dengan lebih segar”.
Di mata Carmel Bird, seorang penulis tak hanya membutuhkan mata seorang anak, tetapi juga rasa ingin tahu dan imajinasi seorang anak. Pendapat ini dipertegas beberapa penulis perempuan yang jauh lebih dekat dan intim dengan dunia anak-anak. Arundhaty Roy misalnya, dalam The God of Smal Things, secara kreaif dan empatik melukiskan dunia anak-anak dengan tokoh kembar yang sering melontarkan kata-kata yang “murni”, “main-main”, “menohok”, dengan membalik seenaknya kata dan frasa yang telah dianggap “baku” oleh guru bahasa Inggrisnya, yang ternyata oleh sang narator disebut sebagai bahasa ibu yang pernah hidup di Kerala sebelum dihancurlkan oleh kolonial Inggris.
Banyak sastrawan yang secara terang-terangan menganjurkan kepada para penulis untuk merenggut kembali kata dan gaya bahasa anak-anak, seperti Nietzsche, Virginia Wolf, Charles Dickens, Chomsky, dan masih banyak lagi. Anak merupakan simbol dari orang yang secara lengkap dapat menghadirkan diri sendiri. Anak merupakan sebuah antitesa dari alienasi—merasa asing karena seluruh aktivitas dan laku hidupnya bukan cerminan dari diri sendiri.
Saya teringat satu paragrap dari Carmel Bird saat menyinggung kejeniusan Charles Dickens. ”Sebagian kejeniusannya terletak pada kenyataan bahwa dia tampaknya bisa mengakses alam emosional masa kanak-kanaknya. Oleh karena itu, dia mampu menyusun kembali, dalam cara yang sangat hidup, dunia tersebut dengan segala kesegarannya”.
Dari manakah sumber kata dan bahasa anak-anak muncul sehingga kita harus belajar pada mereka? Pertanyaan ini tampak lugu dan terlampau sederhana, namun ternyata sempat juga menyulut polemik yang cukup serius pada 1959 antara ahli linguistik Noam Chomsky dengan filsuf B.F. Skinner. Bagi Chomsky, anak-anak punya kemampuan dari lahir untuk menciptakan kata dan bahasa; mereka hanya diharuskan belajar perbendaharaan kata ketika sudah dewasa. Skinner bilang, tidak, anak-anak mendapatkan bahasa dari orang tuanya—membeo.
Terlepas dari argumen siapa yang lebih meyakinkan, namun kalau mengikuti argumen kedua tokoh ini, maka keduanya tak menapikan bahwa anak-anak bisa melahirkan kata-bahasa dan diksi yang jika dirangkai maka menjelma sebuah puisi atau bahkan prosa. Chomsky melihat kata-kata yang keluar dari mulut anak-anak adalah sesuatu yang murni dan orisinal yang ditandai dengan spontanitas. Cerocosan anak-anak sering kali menyerupai cerocosan orang yang sedang intens membacakan puisi, atau seperti mendengar para majelis pengajian yang sedang berzikir keras-keras.
Sejauh ini terdapat dua model bahasa puisi yang sering dicirkan puisi anak-anak, seperti pernah diungkap Hartojo Andangdjaja (1991): pertama, puisi yang lahir dari proses belajar kata dan bahasa pada anak-anak. Kedua, puisi yang lahir dari ketaksadaran si penyair. Dalam niveu ketaksadaran penyair ternyata terpendam lapisan kehidupan kanak-kanak. Ciri kedua ini diyakini kebanyakan oleh kaum neorolog (seperti Heyer, Rothaker, Donal B. Calne).
Ciri kedua ternyata banyak diterapkan penyair kita: beberapa puisi Sapardi Djoko Damono menampilkan puisi jenis kedua, di mana si penyairnya belajar kata-diksi pada anak-anak. Dalam puisi “Di Tangan Anak-anak” (1981), Sapardi menulis: “Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu, jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan, dan di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci”.
Di ujung puisinya, Sapardi sengaja mengutip perkataan seorang anak ketika ada orang yang usil dan mengganggu kata dan permainan diksinya, yang menjelma semacam amanah untuk menampilkan sebuah kamuflase: “Tuan, jangan kauganggu permainanku ini”, bisiknya. Selain Sapardi adalah Hartojo Andangdjaja, yang beberapa puisi dan esainya lahir dari keintiman menghayayati dunia anak-anak yang ia lukiskan sebagai puisi noise (bunyi).
Selain Sapardi dan Hartojo, agaknya Sitor Situmorang layak juga disebut penyair yang menerapkan ciri puisi yang menempatkan anak-anak sebagai tempat belajar. Ketika buku kumpulan puisi dua bahasanya terbit, Paris La Nuits: Paris di Waktu Malam (2002), yang kebetulan peluncuran bukunya saya ikut menghadiri, ada yang menggugat puisi Sitor terlampau iseng, main-main, lugu. Tanpa disangka-sangka Sitor menjawab: “Ya, bahasa puisi saya dalam Paris La Nuits kebanyakan iseng kayak anak-anak. Saya belajar menggunakan kata dan diksi dari anak-anak. Penyair harus kembali ke bahasa anak-anak”.
Mungkin jawaban Sitor tak sepersis itu, tapi kata “iseng” dan “anak-anak” itu tak pernah bisa saya lupakan. Di perjalanan pulang dari menghadiri acara peluncuran buku itu, saya bertanya pada Afrizal tentang pendapat Sitor tadi, dan Afrizal langsung berkata: “Nulis puisi itu kalau bisa bikin orang mual,” ketusnya. Puisi saya banyak lahir dari mulut Jilan”, lanjut Afrizal. Kita tahu Jilan adalah anaknya, yang waktu itu belum baru berusia tujuh tahun.
Sutardji Calzoum Bachri banyak menampilkan ciri puisi anak-anak sebagai niveu ketaksadaran penyairnya sendiri. Tardji tidak belajar kata dan diksi pada anak-anak, tapi sebuah niveu’ ketaksadaran dirinya sebagai penyair. Salah satu puisi Tardji sebagai niveu ketaksadarannya dalam penggunaan kata-diksi puisi anak adalah puisi “Belajar Membaca” dan “Sepisaupi” yang menampilkan diksi yang imun terhadap penjelajahan arti dan mirip cerocosan anak-anak, seperti “lukakakukakiku lukakakukakikaukah” atau “Sepisaupi/sepisau luka sepisau duri”.
Letupan kata-kata dengan mengandalkan iterasi atau tautologi yang muncul secara spontan menimbulkan rangsangan yang sebanding, sama dengan cerocosan anak-anak, bahkan cerocosan anak-anak yang mengalami gangguan bahasa yang bersifat khusus (specific language impairment); atau anak-anak yang mengalami delusi autistik, hiperaktif, diseksekutif, dan skizofrenia.
Beberapa puisinya sering hanya muncul fonem tunggal seperti p, a, m, a yang baru punya arti ketika beberapa fonem itu digabung, seperti pa atau ma. Namun kehendak untuk mencari arti dan makna pada puisi jenis ini tak juga banyak gunanya di sini, karena tetap saja menyisakan arti yang tak eksplisit, walau pun rasa sugestifnya nikmat dicecap. Puisi “Tragedi Winka & Sihka” yang bermain-main dengan kata Pot: “potapa-potitu potkaukah potaku” menarik dibandingkan dengan kenaifan si kembar dalam novel The God of Small Things karya Arundhaty Roy yang secara sengaja mempermainkan kata “Stop” yang diajarkan salah seorang guru bahasa Inggris dengan membaliknya menjadi “Pots-Pots-Pots”.
Misi yang dikandung diksi puisi semacam itu merupakan kehendak untuk berkata-kata dalam banyak wicara secara bersamaan, yang dalam bahasa neourologi sering dinamakan sebagai gejala glossolalia—gejala yang berupa letupan kata-kata yang tak berujung-pangkal pada orang yang tampaknya sedang kesurupan, atau mendapat ilham, wahyu.
Dalam situasi berbahasa Tardji tak jarang memunculkan sejenis aphasia—di mana tatabahasa lenyap dan pembaca yang berusaha ingin menyelam makna diksi puisinya pun mengalami reseptive aphasia—kerusakan pada fungsi tertentu pada bahasa sehingga kemampuan menangkap dan menafsirkan juga lenyap.
Penyair yang mengalami ekstase akan ikut membuat kata-diksi puisi yang dilahirkannya mengalami mabuk, bergetar melalui isyarat-padat yang mungil-bugil. Delusi-delusi akan muncul dengan spontan, bagaikan dentuman suara halilintar yang mengeluarkan bunyi dahsyat dan berusaha untuk menyambar keteraturan gelombang lautan lirik yang mengalunkan suasana nada-nada melankolis, dan semuanya terbungkus dengan berbinar-binar, halus, licin, dan rasa yang ditimbulkannya pun mirip orgasme yang bertahan lama.
Tardji lebih memilih bahasa dan diksinya sendiri sebagai cerminan anak-anak ketimbang bahasa kamusan yang dianggap sudah baku. Tapi di tangannya, bahasa Indonesia bisa berkembang sangat kreatif dan hidup, sebagaimana diakui banyak orang. Anak-anak kecil gemar mencari bentuk ucapan dan pengucapan yang tak biasa, yang beda, dan sering dianggap oleh guru sekolahnya mengacaukan ragam puspa tata bahasa, dan sering tak mudah dicerna, tapi dipaksakan juga untuk diberi arti.
Karena sering dianggap tak punya arti, maka sering dibilang kacau, ruwet, gelap, dan gagal. Maka jika ada remaja—yang jiwa serta perilakunya masih sangat dekat dengan masa anak-kana—menuliskan puisi sejenis ini, akan dianggap tak layak untuk dirayakan. Baca misalnya, bagaimana Budi Hutasuhut dengan percaya diri menceramahi puisi-puisi remaja untuk menghindari kecenderungan penggunaan kata dan bahasa model puisi Tardji dan menyarankan untuk menggunakan “bahasa yang baik dan benar”—frasa yang meninabobokkan yang lahir dari sebuah kecelakaan sejarah yang banyak mengandung laknat ketimbang berkat ini.
Demikian pula yang terjadi pada kritikus yang dipercaya untuk mengulas puisi-puisi remaja yang terbit di harian Radar Lampung. Mengikuti ulsan-ulasan kritikus di harian ini, betapa sangat hebatnya mereka menjejalkan amanahnya agar remaja-remaja kita mengikuti anjuran mereka dan segera sadar akan ampuhnya sindiran licentia poetica yang kerap kali mereka gunakan.
Wajar saja jika dari tahun ke tahun kita sering mengeluhkan miskinnya penyair yang melakukan pemberontakan secara kreatif dari kecenderungan bentuk diksi dan isi atau gaya yang berliris-liris dan menampilkan suasana nada-nada yang mengharu-biru membosankan.
Kini sudah saatnya bagi seorang yang terus menulis untuk sedikit bercermin pada niveu ketaksadarannya sebagai anak-anak sekaligus berkaca pada cermin. Karena dengan itu kita akan merasa sebagai orang merdeka, tanpa dibudak dan dikendalikan oleh orang lain. Tanpa terus-terusan merasa teralienasi lantaran tak bisa berdiri di kaki sendiri?
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 17 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar