Jumat, 11 Maret 2011

Lain Ladang Lain Belalang

Remy Sylado*
Kompas, 27 Feb 2011

NUR, ada dua prosa bagus pada pekan-pekan terakhir ini terpajang di toko buku yang patut kau jadikan koleksi di dalam perpustakaanmu.

Pertama, Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, agaknya nama asli. Kedua, Blues Merbabu karya Gitanyali, agaknya nama sasaran.

Kebetulan kedua pengarang ini sama-sama berasal dari lingkung kerja kewartawanan. Jadi rasanya kau tidak perlu ragu, Nur, bahwa mereka sudah terlatih menulis dengan pandai. Sebab, kalau kau pernah melongok cara kerja kewartawanan, tentu kau tahu bagaimana mereka dilatih untuk bukan hanya sekadar pandai saja tetapi juga cendekia. Istilah sinis Belanda di Indonesia zaman lampau menyangkut kecendekiaan wartawan adalah meester op alle wapens, cempiang atas segala senjata.

Begitulah, Nur, saya sedang membeka kau, bahwa kedua buku ini bagus, sebab penulis-penulisnya—yang notabene berangkat dari latar belakang keyakinan berbeda, dan sekaligus itu mengingatkan kita akan adanya kalimat sakti ”bhinneka tunggal ika”–bercerita di bawah leluri yang tak sama atas jiwa ”cempiang segala senjata” tersebut, disertai ungkapan-ungkapan plastis yang karuan memberimu pengetahuan mendasar peri kehidupan insani yang beragam dari pengalaman-pengalaman pribadi mereka.

Ketika saya mengatakan padamu perkara pengalaman pribadi, dengannya saya bermaksud menyampaikan kesimpulan, bahwa membaca prosa di atas sama seperti menyimak dengan interesan model bacaan catatan harian. Sebuah catatan harian biasanya memikat sebab di situ pelaku utama yang membangun cerita adalah sang Aku yang menguasai betul jalannya citarasa, intuisi, emosi, pathos, pendeknya asosiasi gagasan-gagasan secara utuh. Selain itu, dengan menempatkan sang Aku sebagai subyek bersama-sama dengan sosok-sosok pendukung antara peranan Dia-Mereka-Kamu-Kalian, maka di situ penulisnya bisa menyusun daya ingat kreatifnya dengan leluasa atas kejadian-kejadian masa lampau untuk menjadi aktual pada masa kini.

Catatan harian

Seingat saya, bentuk catatan harian paling masyhur sebagai prosa adalah cerita tentang anak Yahudi yang bersembunyi di atas loteng sebuah rumah tingkat di Amsterdam pada masa Perang Dunia II. Tentu saja saya tidak mengatakan padamu bahwa kedua prosa di atas, khususnya karya Gitanyali yang begitu telanjang, adalah sebuah catatan harian. Catatan harian mengacu pada fakta. Sedang kedua prosa di atas adalah fiksi. Toh kedua-duanya membutuhkan imajinasi. Sebab imajinasi adalah motor bagi semua karya kreatif.

Memang, saya melihat Blues Merbabu dan Ranah 3 Warna seperti dua buah catatan harian imajinatif. Cara penulisannya pun amat mengandalkan imajinasi pada ingatan-ingatan kreatif atas situasi dramatis, romantis, namun realistis, dari masa yang sudah berlalu, menjadi aktual dan menawan pada masa sekarang dan kelak. Untuk hal tertentu menyangkut lancarnya mengacu peristiwa-peristiwa manusiawi dan plastisitas penulisan kejadian-kejadian ragawi, akhirnya saya ingin bilang ini sejenis catatan harian dalam fiksi yang muazam.

Lumrahnya catatan harian ditulis mengikuti langkah-langkah retrospektra, sementara kedua prosa di atas cenderung dibilang meyakinkan sebagai fiksi yang ditulis dengan dua langkah, yaitu introspektra: pengamatan penghayatan atas diri sendiri, dan ekstrospektra: pengamatan penghayatan atas diri orang lain. Biasanya para aktor teater, dalam metode realisme dalam atau inner-realism yang belajar dengan tertib perkara retrospektra: mengamati penghayatan dengan melihat cermin di saat kejadiannya tengah berlangsung.

O, ya, Nur, dalam pada itu, perlu kau ketahui, Ahmad Fuadi adalah orang Minang yang tidak tertarik berdagang, alumnus Pondok Modern Gontor, beristri satu, dan selama tinggal di rumah kos pada masa kuliahnya selalu ditaburi doa-doa pengharapan oleh ibu dan ayahnya.

Kemudian, Gitanyali, orang Jawa berambut kribo macam Ahmad Albar yang fotonya pun ditaruh di cover buku, tak menyebut secara persis pawiyatannya, tapi terbuka dan lugu menyatakan di masa kanak dirinya sudah berhubungan seks dengan banyak wanita kelas tante-tante berumur 30 tahun, dan menanggung masalah karena cap PKI.

Nah, begitu, Nur, yang bisa kau baca dari kedua prosa tersebut.

Supaya kau bisa pula membayangkan sekilas tentang hal-hal yang menarik dan katakanlah itu merupakan sisi-sisi timbangan bobotnya, baik saya ambil kutipan yang menunjukkan harkat penulisnya.

Dari Ranah 3 Warna, saya kutipkan buatmu pernyataan Fuadi di halaman 331, yaitu dialog antara sang Aku dan Rusdi: ”Rus, kiaiku dulu mengajariku untuk man shabara zhafira. Artinya, siapa yang sabar akan beruntung. Jadi selama kamu sabar, hanya soal waktu, keberuntungan ini akan hadir cepat atau lambat.” Pernyataan ini masih diulanginya lagi di halaman 334, ”Man jadda wajada dan man shabara zhafira, itu tekadku.”

Prosa Fuadi ini seperti mengajak kau belajar pelbagai pengetahuan sambil berwisata di banyak tempat. Penggambarannya terhadap berbagai negeri dengan ciri-ciri lokasinya lumayan detail. Dia memang pernah tinggal di Kanada, Amerika Serikat, Singapura, London, Aman, dan lain-lain. Kalau kau punya bukunya, kau bisa lihat di sampulnya ada gambar peta Saint Raymond di Kanada, Amman di Jordania, dan Bandung di Jawa Barat.

Lelucon, kalau boleh dibilang begitu, yang sudah terlalu klise, adalah cerita soal nama Bali dan Indonesia di luar negeri sana. Ini muncul di halaman 345. Ceritanya begini:

”Dari mana Anda berasal, my friend?” tanya Lance padaku tiba-tiba, seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan.

”Dari Indonesia. Pernah mendengar Indonesia?”

”O, saya pernah melihat sebuah pulau indah tropis bernama Bali di TV. Pulau yang indah dengan gunung api, sawah, dan pantai. Apakah Indonesia dekat dengan Bali?”

”Bali itu adalah salah satu provinsi di Indonesia,” aku mencoba menjawab dengan sabar.

Tetapi, dari Blues Merbabu kau dapatkan kata-kata mutiara, dan hal itu pasti bisa membuatmu terinspirasi untuk hidup semadyanya. Di halaman 167 Gitanyali memberi kawruh buatmu. Katanya, ”Tidak benar orang berhenti hidup dalam mimpi ketika usia bertambah dan menjadi tua. Orang menjadi tua karena berhenti bermimpi. Aku tidak pernah menjadi tua.”

Setelah itu, ada adegan karikatural tersua di halaman 172. Ini soal yang tertutup untuk dibicarakan pada zaman penjajahan Orde Baru: rezim militeristis yang sangat ketat memberlakukan apa yang disebut-sebut sebagai bersih lingkungan dalam pers terhadap keluarga PKI. Di situ ada percakapan antara sang Aku dan Nita tentang perasaan menjadi anak PKI.

”Aku tidak pernah membaca doktrin Marx atau Lenin. Semasa kecil aku membaca Winnetou, komik-komik roman, bacaan porno berbentuk stensilan, menyukai Window of the World, Reader’s Digest, tak bisa melupakan Butch Cassidy and the Sundance Kid, The Graduate…”

”Jadi apa itu komunisme?”

”Kamu seharusnya dulu tanya Soeharto, Sudomo, atau siapa saja yang antikomunis. Yang komunis membaca Marx dan Lenin. Yang antikomunis memahami Marx dan Lenin. Aku bukan dua-duanya. Kalau kamu bertanya kapan Estee Lauder menciptakan produk pertamanya mungkin aku bisa menjawab…”

Gitanyali memang menunjukkan sosok sang Aku akrab dengan budaya pop. Dia bicara soal Grand Funk Railroad (hal 185), Woodstock (hal 64), memuja Katharine Ross (hal 161), menguping Shocking Blue (hal 117), suka Tommy James & The Shondells (hal 63), berfoto di poster Bob Dylan (hal 131), tapi membilang Che Guevara heroik (hal 160).

Dan, yang menonjol di sini adalah lelaki—dalam sosok sang Aku—merupakan teladan jago cinta yang memperoleh kepintarannya itu dari pengalamannya dengan banyak wanita sejak masih berbau kencur. Maka, jika berpihak pada pikiran kakek-kakek jadul: Belajarlah bikin dosa dengan alasan cinta pada sosok sang Aku dari Blues Merbabu ini.

Nah, Nur, itu sekelumit simpai dari dua prosa di atas yang barangkali menarik juga buatmu. Selebihnya baca saja sendiri. Mungkin kau punya pendapat yang berbeda dengan saya. Maksud saya, kita harus belajar kembali bersikap semadyanya terhadap semua hal: kebudayaan, kemasyarakatan, politik. Jika saya bilang kedua prosa di atas bagus, saya tidak boleh memaksamu untuk menjadi sama seperti saya. Soalnya ini perkara kesenian, galib terjadi ketaksamaan selera. Bukankah kita pun punya hafal-hafalan ”bhinneka tunggal ika” yang kini sedang diuji kembali kesaktiannya, dan konon di setiap ladang selalu ada belalang yang berbeda, Nur?

*) Penulis terpilih oleh Komunitas Nobel Indonesia sebagai pemenang bidang kesusastraan 2011
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/02/lain-ladang-lain-belalang.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae