Puji Santosa
http://sastra-indonesia.com/
1. Pengantar
Dimensi hubungan manusia dengan Tuhan sering digambarkan secara vertikal atau transendental, yakni manusia sebagai makhluk dan Tuhan sebagai khalik atau Maha Pencipta. Banyak orang membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan sehingga menjadikan hubungan manusia dengan Tuhan sangat mendasar bagi kehidupan manusia di dunia. Sila pertama dari dasar negara Republik Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa tentulah segala sesuatunya selalu bertumpu pada dasar negara tersebut. Jadi, tidaklah mengherankan apabila corak hubungan manusia dengan Tuhan itu lebih bersifat hakiki. Meskipun demikian, tidak banyak pengarang drama Indonesia modern yang menulis hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini disebabkan oleh adanya kondisi dan situasi politik negeri kita, khusunya pada waktu 1960-an, yakni terjadi tekanan sosial politik dan ekonomi yang lebih dirasakan dominan daripada ketenangan melaksanakan ibadah kepada Tuhan.
Penulisan sastra drama yang kurang memfokuskan pada masalah ketuhanan dalam periode tahun 1960-an itu disebabkan oleh banyak hal, antara lain, (1) tidak adanya kebebasan kreatif dari para penulis drama akibat tekanan para penguasa pada waktu itu, (2) kondisi sosial ekonomi yang belum mapan, (3) kurangnya minat masyarakat terhadap permasalahan ketuhanan, dan (4) kepekaan masyarakat terhadap permasalahaan keagamaan yang dikawatirkan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat akibat persepsi yang salah. Akibat dari itulah seputar tahun 1960-an hanya muncul dua naskah drama yang bertemakan ketuhanan, yaitu drama Iblis karya Mohammad Diponegoro (1963) dan drama Kebinasaan Negeri Senja karya Mansur Samin (1968). Dua drama itu bertemakan ketuhanan sehingga muncul adanya citra manusia yang beriman kepada Tuhan dan citra manusia yang ingkar dan munafik kepada Tuhan. Tipe manusia seperti itu banyak kita jumpai dalam masyarakat yang multi majemuk ini.
Di tengah kesibukan bangsa kita menghadapi teror mental dan politik dari Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berorientasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) semasa pemerintahan Orde Lama, pada tahun 1963 di majalah Budaya Nomor 1–2, Januari–Februari 1963, terbit sebuah drama yang bertema ketuhanan karya Mohammad Diponegoro berjudul Iblis. Meskipun drama ini merupakan cerita ulang atau saduran dari Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail (cukilan kisah dari kitab suci), isi drama tersebut cukup memberi keteguhan iman para pembaca ketika mennghadapi teror mental dan politik pada waktu itu. Kehadiran drama tersebut dapat membangkitkan perjuangan bangsa yang mulia dan luhur berdasarkan pada asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, kehadiran drama yang bertema ketuhanan tersebut juga dianggap sebagai usaha untuk mengembalikan keimanan yang telah lama hilang akibat situasi sosial politik yang tidak menentu arahnya. Alternatif lain yang ditawarkan Mohammad Diponegoro dalam dramanya Iblis tersebut adalah sebagai suluh bagi masyarakat yang berada di kegelapan dalam perjalanannya atau dalam upayanya mencari dan menemukan Tuhan.
Setelah kita digemparkan oleh situasi politik atas tragedi nasional pemberontakan PKI tahun 1965, baru pada tahun 1968 di majalah sastra Horison tahun ke-3 nomor 4, bulan April, terbit drama karya Mansur Samin berjudul Kebinasaan Negeri Senja. Pada waktu karya drama ini terbit, kita telah memasuki awal pemerintahan Orde Baru yang berarti pula kita memasuki tatanan sosial politik dan ekonomi baru yang secara murni dan konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Tema ketuhanan yang disajikan oleh Mansur Samin dalam karyanya tersebut sesuai dengan jiwa dan pandangan hidup bangsa kita. Mansur Samin yang dilahirkan dari keluarga kecil yang taat beribadah kepada agamanya di Tapanuli Selatan, mencoba mengingatkan kembali akan pentingnya keteguhan atas keyakinannya kepada Tuhan. Melalui karya drama tersebut Mansur Samin menggambarkan keadaan suatu negeri akan binasa bila orang-orangnya tidak beriman kepada Tuhan. Oleh karena itu, kesombongan dan keingkaran serta kemunafikan manusia yang tanpa didasari oleh rasa keimanan kepada Tuhan akan membuat kehancuran suatu negara. Hal ini jelas bahwa Mansur Samin berniat baik mengingatkan kita agar tetap teguh beriman kepada Tuhan sesuai dengan dasar negara Pancasila.
2. Dimensi Keimanan Manusia Kepada Tuhan
Drama Iblis karya Mohammad Diponegoro berkisah hal keimanan Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu Tuhan untuk menyembelih anaknya, Ismail. Sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan niat sucinya sesuai dengan perintah Tuhan, datanglah dua iblis, yaitu Iblis Perempuan dan Iblis Laki-Laki, guna membujuk dan merayu Siti Hajar (istri Ibrahim yang melahirkan Ismail). Iblis bermaksud ingin menggagalkan niat suci Ibrahim untuk menyembelih anaknya melalui bujuk-rayunya Siti Hajar. Namun, usaha demi usaha yang dilakukan Iblis tersebut selalu gagal dan tidak pernah menemui hasilnya. Siti Hajar yang semula dianggap Iblis adalah wanita yang lemah keimanannya kepada Tuhan, ternyata dia adalah seorang wanita yang saleh dan teguh imannya kepada Tuhan. Akhirnya, Iblis itu harus berhadapan dengan Ibrahim dan Ismail sendiri untuk menggagalkan niat suci Ibrahim tersebut.
Ketika menghadapi Ibrahim dan Ismail, ternyata Iblis itu tidak dapat berbuat banyak seperti yang diinginkannya. Sebagai tokoh manusia yang taat dan teguh beriman kepada Tuhan, Ibrahim dan Ismail terlalu kokoh untuk hanya sekadar digoda oleh Iblis. Ibrahim tetap teguh beriman kepada Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya, yaitu menyembelih anaknya, Ismail. Keteguhan iman Ibrahim itu diimbangi pula oleh ketaatan anaknya, Ismail. Dalam hal ini Ismail bersedia atau merelakan jiwanya untuk disembelih ayahnya demi keimanannya kepada Tuhan. Ketika menghadapi kenyataan seperti itulah, Iblis bertobat dan tidak mengganggu lagi keimanan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Sia-sialah Iblis menggoda keteguhan orang-orang yang beriman kepada Tuhan.
Dari sekelumit ringkasan cerita tersebut dapat dibayangkan adanya dua bentuk citra, yaitu (1) citra manusia yang beriman kepada Tuhan, dan (2) citra makhluk yang tidak beriman atau ingkar kepada Tuhan. Kelompok pertama diwakili oleh Siti Hajar, Ibrahim, dan Ismail. Kelompok yang kedua diwakili oleh Iblis Perempuan dan Iblis Laki-laki. Sesusai dengan judul esai ini, yaitu “Dimensi Ketuhanan dalam Drama Iblis dan Kebinasaan Negeri Senja”, tokoh yang digambaran atau citra yang dibicarakan adalah tokoh manusianya, bukan tokoh makhluk yang lainnya. Dalam pembahasan ini tokoh Iblis tidak dibicarakan karena penulis mengalami kesulitan menentukan posisi tokoh Iblis. Sebab, tokoh Iblis itu dapat sebagai iblis yang sebenarnya, makhluk yang bukan manusia seperti yang diungkapkan dalam kitab suci, dan tokoh Iblis sebagai personifikasi atau lambang manusia yang memiliki watak dan perilaku seperti Iblis. Oleh karena itu, daripada menemui kebimbangan penentuan keberadaan tokoh Iblis seperti itu maka tokoh Iblis tidak dibicarakan.
Tokoh Siti Hajar digambarkan sebagai seorang istri yang setia dan taat terhadap suami, serta teguh beriman kepada Tuhan. Pada awalnya tokoh Iblis mengganggap bahwa Siti Hajar adalah tokoh yang paling lemah, rapuh, dan mudah digoda sehingga menipis rasa keimanannya kepada Tuhan. Akan tetapi, kenyataannya tokoh Siti Hajar memiliki keteguhan iman yang tidak mudah tergoyahkan oleh bujuk rayu, hasutan, dan godaan Iblis. Setiap godaan yang dilakukan oleh Iblis kepada Siti Hajar selalu berakhir dengan kegagalan. Hal itu terlihat seperti dalam kutipan berikut.
Siti Hajar:
Bagaimana kau bisa tahu?
Iblis Perempuan:
Apa yang tak kuketahui? (Pause) Karena itu aku
datang sebagai sahabatmu, untuk memberi tahu
kau bahwa sia-sia saja kau menanti Ibrahim.
Dia akan meninggalkan kau lagi seperti dulu ia
biarkan kau di sini diserahkan kepada alam yang kejam.
Siti Harjar:
(Seperti pada diri sendiri) Dia tidak akan
berbuat begitu. Ismail ialah kecintaannya.
Lebih dari yang lain. Dia mesti datang kemari.
Iblis Perempuan:
Untuk kembali kepadamu?
Siti Hajar:
Kalau tidak kepadaku tentu kepada Ismail.
Iblis Perempuan:
Tapi Ishak sekarang sudah lahir.
(Pause) Gunakanlah pikiranmu, Hajar.
Siti Hajar:
(Siti Hajar membelakangkan Iblis Perempuan,
kemudian seperti pada diri sendiri)
Ismail dilahirkan karena kehendak Tuhan.
Dia diberi nama Ismail
karena Tuhan telah mendengar doa Ibrahim.
Dan kami ditinggalkan di sini karena kehendak Tuhan juga.
Diserahkannya kepada-Nya,
dan benar Tuhan telah merawat kami dengan karunia-Nya
sampai Ismail menjadi besar.
(Diponegoro, 1963:36) (Ejaan disesuaikan dengan EYD)
Cakapan antara Siti Hajar dan Iblis Perempuan tersebut menggambarkan betapa kuatnya dimensi keimanan Siti Hajar kepada Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari kehendak Tuhan. Ibaratnya ia hanya semata-mata sebuah wayang yang dipermainkan oleh Pak Dalang. Ismail terlahir karena kehendak Tuhan. Anak itu diberi nama Ismail juga karena kehendak Tuhan. Demikian halnya dengan dirinya, Siti Hajar, ditinggalkan oleh Ibrahim di sebuah padang pasir yang tandus dan kering juga atas kehendak Tuhan. Jadi, segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Tuhan.
Bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan merupakan wujud rasa keimanan yang nyata kepada Tuhan. Dengan memiliki keimanan yang teguh, bulat, dan kuat itulah Siti Hajar mampu mengatasi godaan Iblis Perempuan. Ia tidak mudah ditaklukan oleh Iblis Perempuan dengan segala bujuk dan rayuannya. Iblis Perempuan kecewa kepada Siti Hajar karena usahanya untuk menggagalkan niat Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail, tidak tercapai. Penggalan cakapan berikut juga menggambarkan betapa kuat dan kokohnya jiwa keimanan Siti Hajar.
Siti Hajar:
(Berseru) Ibrahim! (Perkataannya terhenti setelah
menyadari bahwa ia keliru, yang datang bukan
Ibrahim. Siti Hajar surut.) Siapa kau? Kenapa kau
masuk tidak ketuk pintu terlebih dahulu?
Iblis Laki-laki:
(Tertawa) Ha…ha…ha.., pintu sudah terbuka.
Apa perlunya mengetuk lagi?
Siti Hajar:
Apa maksudmu kemari? Aku belum kenal kau!
Iblis Laki-laki:
Aku kemari karena melihat seorang perempuan cantik
yang sedang bersedih hati.
Siti Hajar:
Jangan kurang ajar padaku!
Iblis Laki-laki:
(Mendekat Siti Hajar) Oh, Hajar.., Hajar!
Siti Hajar:
(Mengancam) Kutampar mukamu yang buruk itu
kalau kau beran mendekat lagi!
(Diponegoro, 1963:37)
Rasa keimanan Siti Hajar yang tinggi itu mampu mengusir Iblis Laki-laki dari hadapan dirinya. Hal ini dikarenakan Siti Hajar memiliki keberanian, tanpa rasa was khawatir dan takut kepada Iblis tersebut sehinggga membuat si Iblis lari terbirit-birit menjauhi Siti Hajar. Iblis laki-laki merasa kewalahan menghadapi Siti Hajar yang semula dianggap remeh, lemah, mudah dirayu, dan tipis keimanannya kepada Tuhan. Namun, kenyataannya Siti Hajar adalah wanita yang tangguh, tegar, tidak mudah dirayu, dan teguh keimanannya kepada Tuhan. Oleh karena itu, Iblis laki-laki cepat meninggalkan Siti Hajar dan kemudian pergi untuk menggoda Ibrahim. Kedua iblis tersebut menganggap Ibrahim adalah musuh satu-satunya yang ada di dunia ini dan harus ditaklukan. Hal itu dapat diketahui dari ujaran Iblis Perempuan berikut.
Iblis Perempuan:
Sekarang tidak ada di duniia ini manusia
yang menjadi musuhku nomor satu selain Ibrahim.
(Menunjuk kepada Ismail) Lihat! Ayah anak ini
adalah musuhku nomor satu. Ibrahim namanya.
Ibrahim yang dahulu dilahirkan dari benih
seorang pematung berhala! Hah! Kalau kalian
semua seperti Ibrahim, sekarang ini dunia
akan akan aman, damai, dan makmur. (Pause)
Dan kalian baru pantas bisa ketawa!
(Diponegoro, 1963:30)
Ibrahim yang dianggap sebagai musuh nomor satu oleh Iblis adalah seorang yang berjiwa revolusioner. Dikatakan demikian karena Ibrahim terlahir dari keluarga penyembah berhala. Ayah Ibrahim adalah seorang pematung dan sekaligus pemuja berhala. Atas jiwa revolusionernya itu Ibrahim dapat meninggalkan kebiasaan ayahnya memuja berhala. Patung-patung buatan dan sekaligus sembahan ayahnya itu oleh Ibrahim dihancurkan dan hanya disisakan satu patung besar. Ini merupakan bukti jiwa revolusioner Ibrahim. Ia hanya bertakwa dan beriman kepada Allah. Keteguhan dan keimanan kepada Allah itulah yang membuat diri Ibrahim mampu melawan godaan Iblis ketika hendak melaksanakan perintah Allah menyembelih anaknya, Ismail. Kutipan cakapan berikut merupakan bukti keteguhan iman Ibrahim kepada Allah.
Iblis Perempuan:
Ibrahim. Aku hanya mau bilang bahwa aku amat
kecewa dengan kau!
Ibrahim:
(Ketawa) Selamanya kau akan kecewa dengan aku.
Iblis Laki-laki:
Dulu kukira kau seorang ayah yang baik.
Yang cinta betul pada anakmu.
Tadi siang pun, waktu kau bertemu dengan Ismail,
aku masih mengira kau memang ayah yang baik.
Baik sekali. Tapi,
sekarang dengan segala bukti yang ada padamu,
kau ternyata seorang ayah yang amat, dan amat jahat!
(Pause) Ibrahim. (Pause, tiada sahutan) Ibrahim!
Ibrahim:
Teruskan, teruskan!
Iblis Laki-laki:
Ha, bagus. Jadi, kau dengarkan juga omonganku, Heh?
Perkataanmu amat manisnya siang tadi itu, Ibrahim.
Tamasya, tamasya. (Ketawa)
Tentu kau tahu apa maksudmu dengan tamasya.
Kau telah kelabuhi istri dan anakmu.
Tamasya, tamasya! Ismail senang sekali kau ajak tamasya.
Istrimu juga gembira hatinya karena kau
ternyata telah menunjukkan cinta-cintamu yang palsu itu
dengan berlebih-lebih pada Ismail.
Hajar jadi terlupa bahwa Ishak sudah lahir.
Dan ia percaya kau akan ajak Ismail bertamasya.
Ismail pun sama sekali tidak tahu sebenarnya
dia akan kau sembelih di puncak gunung.
Istrimu tidak tahu
anak kesayangannya akan kau habisi nyawanya.
Itulah jahatnya kau sebagai seorang ayah dan seorang suami!
(Pause) Tak ada yang lebih gila
dari seorang ayah yang menyembelih anaknya sendiri.
(Pause lagi, menanti jawaban Ibrahim yang tak juga datang)
Coba tanya hatimu sendiri, Ibrahim.
Hatimu sendiri—
hati seorang ayah dari anak yang tampan dan cerdas.
Tegakah engkau melakukan perbuatan keji itu Ibrahim?
(Membentak) Tegakah?!
Ibrahim:
Aku heran, kau bisa mengatakan sesuatu yang benar.
Iblis Laki-laki:
Kenapa tidak?
Ibrahim:
Biasanya omonganmu dusta melulu.
Iblis Laki-laki:
Jadi, bagaimana?
Ibrahim:
(Tenang dan tegas) Besok pasti kusembelih Ismail.
(Diponegoro, 1963:49–50)
Tokoh Ibrahim yang memiliki dimensi iman yang teguh kepada Tuhan itu tidak akan mempan oleh bujuk dan rayu Iblis untuk mengurungkan niatnya menyembelih Ismail. Meskipun pada hakikatnya omongan Iblis itu ada benarnya sesuai dengan akal sehat, tetapi iman lebih kuat dari sekadar kebenaran akal sehat. Kebenaran yang berasal dari Tuhan adalah mutlak nilainya, dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pada umumnya orang menyebutnya dogma atau aksioma. Adapun kebenaran yang berasal dari makhluk lainnya, entah itu manusia atau iblis, kebenarannya bernilai relatif. Terlebih, kata-kata Iblis berisi dusta melulu dan selalu berlawanan dengan Sabda Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, iman kepada Tuhan yang bulat dan kokoh akan mampu mengalahkan bujuk rayu dari Iblis.
Keteguhan iman Ibrahim tersebut juga diimbangi oleh keteguhan iman Ismail. Meskipun Ismail itu masih kecil dan belum dewasa (masih lugu dan belum tahu membedakan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan akal sehat), tetap memiliki rasa keimanan kepada Tuhan yang teguh dan kuat sehingga mampu mengalahkan godaan Iblis. Berkat keteguhan iman Ismail itulah Tuhan menganugerahkan kebahagiaan kepada keduanya dengan mengganti Ismail dengan seekor domba. Gambaran keteguhan iman Ismail itu terlihat dalam cakapan diri Ismail berikut.
Ismail:
Kalau itu wahyu,
tentu Tuhan memang memerintahkan ayah berbuat begitu.
Dan kalau itu merintah Tuhan, jangan ayah ragu-ragu.
Kerjakanlah ayah. Ismail tidak takut apa-apa.
Mudah-mudahan Ismail tetap sabar….
(Diponegoro, 1963:57)
Citra tokoh Ismail yang teguh imannya kepada Tuhan itu mampu mengingatkan dan menyadarkan Ibrahim agar tidak ragu-ragu melaksanakan perintah Allah. Ibrahim harus berani menghilangkan rasa keragu-raguannya untuk melaksanakan perintah Tuhan menyembelih anaknya. Ismail rela berkorban demi keteguhan imannya kepada Allah. Setiap wahyu Tuhan selalu berisi kebenaran dan akan membawa kepada kebahagiaan. Bentuk penyerahan diri Ismail itu akhirnya membuahkan rasa bahagia semua umat. Ismail tidak jadi korban penyembelihan ayahnya karena Tuhan telah menggantinya dengan seekor domba. Daging domba yang telah disembelih oleh Ibrahim itulah yang kemudian dibagi-bagikan kepada semua fakir miskin. Manusia yang beriman kepada Tuhan memang perlu pengorbanan.
3. Dimensi Keingkaran Manusia kepada Tuhan
Manusia banyak yang ingkar kepada Tuhan. Mereka tidak percaya akan keberadaan Tuhan, bahkan ia lebih percaya kepada dirinya sendiri. Gambaran manusia yang ingkar kepada Tuhan seperti itulah yang terdapat dalam drama Kebinasaan Negeri Senja (Samin, 1968). Dalam drama tersebut digambarkan adanya seseorang yang ingkar kepada Tuhan, yaitu tokoh Sobat dan Tokoh. Ia sama sekali tidak percaya akan keberadaan Tuhan sehingga ia termasuk orang-orang yang berdosa. Bersama dua teman yang lainnya, yaitu Tokoh dan Ulama, tokoh Sobat mendapatkan kecelakaan ditabrak kereta api sehingga mereka meninggal dunia. Ketika roh mereka sadar dan sudah meninggalkan badan jasatnya, tampaknya mereka kebingungan karena tidak tahu arah dan tempatnya kini berada. Mereka hanya mengetahui suatu daerah yang asing dan belum pernah dikenalnya ketika masih hidup di dunia.
Ketika Tokoh dan Sobat tengah mencari salah seorang kawannya yang ikut kecelakaan kereta api dengannya, datanglah tokoh Tamu yang diikuti oleh tokoh Ulama. Sobat dan Tokoh sudah tidak kenal lagi dengan Ulama, temannya ketika megalami kecelakaan kereta api dahulu. Hal itu disebabkan bahwa Ulama telah mati dan kini roh Ulama itu datang menjemput kedua temannya bersama Tamu. Kedatangan Tamu adalah untuk mencabut nyawa Tokoh dan Sobat untuk diserahkan kepada Sang Penguasa Agung. Tamu sudah mendapat izin dari Tuhan untuk mencabut roh manusia, termasuk Sobat dan Tokoh. Jadi, Tamu adalah Malaikat Maut. Ketika akan dicabut nyawanya itulah mereka mendengarkan catatan Malaikat atas dosa-dosa yang telah diperbuat semasa hidup di dunia.
Dosa yang paling besar bagi Tokoh dan Sobat adalah ingkar terhadap Tuhannya. Mereka tidak mengakui akan adanya Tuhan sebagai Maha Pencipta. Dua orang tokoh ini lebih percaya kepada suatu kenyataan, yakni benda yang dapat dilihat oleh mata kepala, dapat diraba, dan dapat dicium baunya. Mereka lebih percaya pada sesuatu yang kongkret atau nyata. Sesuatu hal yang abstrak bagi mereka itu hanya ilusi, mimpi, dan atau khayalan. Oleh karena itu, tokoh Tamu yang mendapat delegasi dari Tuhan atas kekuasaannya berusaha membuktikan agar keduanya percaya akan keberadaan Tuhan. Agar jelasnya perhatikan kutipan cakapan berikut.
Sobat:
Lalu untuk apa Saudara datang kemari?
Tamu:
Untuk mencabut nyawa.
Saya ditugaskan untuk mencabut nyawa Saudara-saudara,
satu persatu.
Sobat:
Ditugaskan siapa?
Tamu:
Tuhan!
Sobat:
Apa Tuhan ada? (Tokoh ragu-ragu)
Tamu:
Pendapat Sobat bagaimana?
Sobat:
Saya tidak percaya ada Tuhan.
Tamu:
Itulah yang akan saya buktikan.
Inilah yang terpenting maksud kedatangan saya kemari
untuk membuktikan bahwa Tuhan selalu ada. Mari kita mulai!
(Samin, 1968:115)
Kutipan cakapan di atas menggambarkan betapa tidak percayanya tokoh Sobat terhadap keberadaan Tuhan. Ia menjadi seorang yang ingkar akan keberadaan Tuhan. Jadi, citra tokoh Sobat adalah manusia atheis. Selama hidupnya, ia tidak akan mengenal Tuhan. Oleh karena itu, ketika Tamu menjawab bahwa dirinya sebagai utusan yang ditugaskan oleh Tuhan untuk mencabut nyawa mereka, Sobat bertanya ragu: Apakah Tuhan ada? Hal ini disebabkan bahwa Sobat sulit untuk menerima dengan akal pikirannya bahwa Tuhan itu ada. Terlebih, ketika Tamu menyuruh Ulama untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tentu tokoh Sobat mengalami kesulitan menerma semua keterangan Ulama. Apalagi ia harus mengakui keberadaan Tuhan, tentu Sobat semakin mendapat kesulitan yang luar biasa.
Sobat menganggap bahwa masalah mati itu tidak dapat membuktikan akan keberadaan Tuhan. Mati hanya menjadikan manusia sengsara dan tidak bahagia. Hal ini jelas dikatakan oleh tokoh Sobat: “Mati memang sesuatu yang tidak berbahagia (Samin, 1968: 115). Dalam menghadapi kematiannya itu, tokoh Sobat akan sedapat mungkin melawan maut. Ia akan berusaha melawan dengan penuh kesadaran agar tidak mati. Itu sebagai suatu pertanda bahwea ia hidup, Gambaran keingkaran tokoh Sobat itu terlihat dalam kutipan berikut.
Sobat:
Saya mau melihat bukti dengan kepala mata saya sendiri.
Saya mau berhadapan dengan kenyataan.
Saya mau melawan segala bentuk yang mematikan.
Saya mau melawan maut!
Ulama:
Berarti Saudara mau menyamai Tuhan.
Itu satu hal yang mustahil. Itu pekerjaan gila!
Sobat:
Tuan menganggap saya gila?
Aku bukan mau menyamai yang bernama Tuhan.
Sebab, aku tidak pernah percaya atas adanya Tuhan.
Tegasnya aku cuma mengakui adanya kenyataan.
Segala kenyataan yang akan membahayakan hidupku,
harus kulawan dengan penuh kesadaran.
Inilah tandanya bahwa aku hidup!
Aku tidak mau menyerah sebelum mengadakan perlawanan!
(Samin, 1968:117)
Citra manusia Sobat yang tidak mempercayai adanya Tuhan itu disebabkan tidak adanya bukti yang dapat dilihat oleh mata kepalanya sendiri. Suatu hal yang keliru apabila manusia ingin membuktikan keberadaan Tuhan hanya dengan mengandalkan bukti kenyataan yang dapat dilihat dengan mata kepalanya. Bagamanakah dengan orang yang buta matanya? Apakah orang yang buta matanya itu juga tidak percaya akan adanya Tuhan? Jelaslah, hal ini sangat bergantung pada pribadi manusia masing-masing. Ada manusia yang meskipun buta matanya tetap percaya bahwa Tuhan itu ada. Keberadaan Tuhan memang tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia. Kehadiran Tuhan hanya dapat dirasakan dalam hati atau dilihat dengan mata hati. Hal ini disebabkan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan unsur, melainkan sesuatu hal yang gaib, sulit dimengerti dan dipahami oleh akal pikiran manusia dan rahasia abadi yang tak pernah digapai oleh akal pikiran manusia.
Pendapat manusia Sobat yang hanya mengandalkan pada kenyataan yang ada di dunia seperti itu jelas salah. Padahal sesuatu kenaytaan yang ada di dunia ini sifatnya sementara, fana, cepat rusak, dan tidak abadi. Sebaliknya, Tuhan adalah abadi (kekal) dan tidak dapat rusak. Oleh karena itu, Ulama menganggap manusia Sobat adalah gila. Apalagi manusia Sobat ingin melawan maut atau melawan kodrat Tuhan yang telah ditakdirkannya, jelas itu sesuatu hal yang keliru dan gila. Gambaran itu dikemukakan oleh manusia Ulama sebagai berikut.
Ulama:
Saudara tidak dapat mengadakan perlawanan
terhadap kekuasaan Tuhan. Sebab, Saudara tidak dapat
melarang siang supaya jangan jadi siang.
Atau melarang malam supaya jangan jadi malam.
Tegasnya Saudara tidak bisa mengadakan yang terus tiada.
Atau meniadakan yang terus ada.
Semua berlaku karena kodrat dan kekuasaan Tuhan!
Sobat:
Aku mau menciptakan dunia di mana semua rakyat bersatu.
Aku mau menjadikan sistem sama rata
bagi rakyat-rakyat di dunia.
(Samin, 1968:117)
Citra manusia Sobat tersebut jelas mengingkari pada kodrat dan iradat Tuhan yang telah terjadi selama ini. Tokoh manusia Sobat akan menciptakan sebuah dunia yang sama rata dan sama rasa. Di dunia ciptaan manusia Sobat itu tidak ada pendek, tidak ada panjang, tidak ada kaya, tidak ada miskin, tidak ada kurus, tidak ada gemuk, tdak ada keadilan, dan tidak kelaliman. Setiap pertentangan yang ada di dunia ini akan ia hapuskan. Rakyatlah yang akan menjadi hakim. Rakyat juga tidak akan kenal mati sebab mati hanya membawa kepada kesengsaraan dan tidak bahagia. Oleha kerana itu, tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Ia lebih percaya kepada dirinya sendiri. Hal itu diucapkannya sendiri oleh manusia Sobat kepada manusia Ulama seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.
Sobat:
Aku lebih percaya kepada diri sendiri daripada kepada Tuhan.
Ulama:
Adanya percaya di dalam jiwa Saudara,
merupakan satu tanda adanya kodrat Tuhan.
Mengakui adanya kodrat Tuhan dalam diri
berarti mengakui adanya Tuhan.
Sobat:
Orang selalu menyembah Tuhan.
Sebab itu kuciptakan sendiri Tuhanku di dalam diriku.
Aku menjelmakan diriku sebagai tuhanku sendiri.
(Samin, 1968:117)
Perbuatan dan pikiran manusia Sobat itu bila dilihat dari kacamata keagamaan adalah seorang yang murtad, mengingkari keberadaan Tuhan, dan ingin menciptakan Tuhannya sendiri. Pikiran yang demikian itu jelas tidak sehat atau gila. Ia berani menghina akan kebenaran Tuhan dan sekaligus menghina diri sendiri. Seseorang tidak mungkin menjadikan dirinya sendiri sebagai tuhannya sendiri. Pikiran atau pendapat manusia Sobat tersebut dinilai oleh tokoh Ulama sebagai pelampiasan rasa iri hati tokoh Sobat akan kebenaran dan kekuasaan Tuhan. Namun, penilaian tokoh Ulama tersebut dibantah oleh tokoh Sobat. Ia sebenarnya tidak iri akan kekuasaan dan kebenaran Tuhan, tetapi sebenarnya ia tidak percaya akan keberadaan Tuhan.
Kemudian apa yang terjadi? Bagaimanapun pada akhirnya manusia Sobat harus menyerah kepada kodrat Tuhan. Ia tidak akan mampu melawan maut dan ia harus mati. Sebelum manusia Sobat mati, Malaikat el maut menunjukkan dosa-dosanya ketika ia masih hidup di dunia. Salah satu dosa yang tak terampuni adalah ingkar terhadap Tuhan. Dosa yang lainnya adalah memanfaatkan rakyat untuk menjegal partai lain dan menghasut supaya benci kepada pemimpin. Dosa manusia Sobat tersebut terlihat dalam kutipan cakapan berikut.
Tamu:
Tanggal 30 Juli, bulan November, tahun sekian, jam delapan
malam lewat 15 menit. Di dalam rapat rahasia partai anu,
telah diputuskan untuk menjegal partai lain.
Dan massa rakyat harus dipe ngaruhi dengan segala cara,
supaya benci terhadap beberapa pemimpin.
Tujuan yang pokok untuk kemenangan partai.
Sobat yang baik! Apakah cara tadi dapat dikatakan persatuan?
Apakah dengan cara menjegal partai lain,
bisa memakmurkan nasib rakyat?
(Samin, 1968:115)
Kutipan cakapan di atas jelas menunjukkan dosa-dosa atas perbuatan manusia Sobat ketika semasa hidup di dunia. Dosa-dosa manusia Sobat yang dibacakan oleh Tamu itu hanya sebagian. Ketika Tamu akan membacakan semua dosa-dosa yang diperbuat manusia Sobat, ia menolaknya. Manusia Sobat malu terhadap dirinya sendiri karena semua dosa-dosa dan rahasia hidupnya diketahui oleh tokoh Tamu. Selain itu, tokoh Sobat juga malu terhadap kedua temannya, Ulama dan Tokoh. Dalam merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya itu, manusia Sobat jadi teringat kepada kawannya yang telah menggelapkan dana partai yang telah dengan bersusah payang ia kumpulkan. Mengingat hal itu manusia Sobat marah-marah dan tidak berniat untuk kembali lagi ke dunia. Temannya itu telah berkianat terhadap partainya. Mereka semua juga mengkorupsi uang rakyat demi kebutuhan pribadinya. Mengingat akan hal itu membuat hati manusia Sobat menjadi kecut dan tak ingin kembali lagi ke dunia. Meski ia segan kembali ke dunia, ia juga takut terhadap kematian. Manusia Sobat menjadi ragu ketika menghadapi dilema yang memojokkan dirinya. Selama hidupnya ia tidak mengenal Tuhan. Oleh karena itu, ketika Malaikat Maut menanyakan: “Siapa Tuhanmu? (Man Rabbuka?), manusia Sobat tidak dapat menjawabnya. Ia menjadi gugup, gemetar, mengaduh, terhuyung-huyung, dan terbanting masuk ke pintu neraka. Peristiwa tersebut diungkapkan dalam kutipan cakapan berikut.
Tamu:
(Makin dekat dengan pintu) Man Rabbuka?
Sobat:
Saya tidak tahu…!
Tamu:
(Bersikap aneh dan mengambil posisi ke tempat jauh,
suaranya gurau) Man Rabbuka? Man Rabbuka?
Sobat:
(Menggigil dan terhuyung)
Tolong…! Aduh…!
Tolong Gusti…, tolong sakit! Aduh sakit!
Tamu:
(Suaranya menggemuruh)
Man amaluka! Man Rabbuka?
Sobat:
(Tersungkur) Tidak…. tahu….
Tamu:
Hai setiap manusia!
Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber segala cipta!
Sumber segala paham. Sumber segala aliran.
Sumber segala tenaga. Dan sumber segala yang fana.
Terimalah hukum kebinasaan negeri senja,
hukum bagi setiap manusia.
Jalan terakhir telah tiba bagimu, jalan tak ada pulang.
Sobat:
(Menjerit dan meratap,
terhuyung dan terbanting ke depan pintu)
Tolong… Ampun, sakit, tolong!
(Samin, 1968:121)
Citra manusia yang ingkar terhadap Tuhan sepert tokoh Sobat tersebut akhirnya menemui ajalnya juga. Pintu neraka telah terbuka untuk manusia-manusia yang ingkar kepada Tuhan seperti tokoh manusia Sobat. Gambaran manusia Sobat seperti itu cukup banyak di dunia ini. Mansur Samin melukiskan keberadaan tokoh yang ingkar kepada Tuhan itu hanya sebagai pertanda atau peringatan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan adalah vital, utama, dan sangat penting untuk dihayati dan diamalkannya. Setiap manusia yang hidup di bumi persada Indonesia harus mampu mengenal, memahami, dan menghayati makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dasar negara, Pancasila. Ini bertujuan agar manusia mengenal Tuhannya dan jalan hidupnya tidak tersesat ke neraka.
4. Dimensi Kemunafikan Manusia Kepada Tuhan
Manusia yang penuh dosa lainnya dalam drama “Kebinasaan Negeri Senja” karya Mansur Samin adalah manusia Tokoh dan manusia Ulama. Mansur Samin menggambarkan kedua tokoh tersebut sebagai manusia yang munafik, yakni berkianat, tidak menepati janji, dan pembohong. Manusia Tokoh adalah seorang wanita abangan, agama hanya tercantum pada KTP, dan sama sekali tidak ada pelaksanaannya. Ia mengaku beragama Islam, tetapi ketika Tamu meminta untuk mengucapkan dua kalimat sahadat, Tokoh tidak dapat menjawabnya. Kemunafikan Tokoh merupakan dosa besar yang tidak terampuni oleh Tuhan. Gambaran kemunafikan Tokoh tersebut terlihat dalam kutipan berikut.
Tokoh:
Terus terang saja, agama Islam yang saya anut,
adalah Islam abangan!
Tamu:
O, begitu! Lalu, apa hak Nyonya
menyebut diri Nyonya sebagai orang Islam?
Padahal, mengucapkan kalimat sahadat saja
Nyonya tidak bisa.
Apakah itu namanya tidak bohong?
Tokoh:
Terserah pada Tuan ….
(Samin, 1968:116)
Kutipan cakapan di atas merupakan gambaran sebagian dari dosa manusia Tokoh yang menganut Islam abangan. Sebagai seorang pemimpin partai poltik itu manusia Tokoh juga melakukan korupsi guna memperkaya diri sendiri. Banyak perusahaan-perusahaan milik manusia Tokoh ada di mana-mana dan itu merupakan hasil “kongkalikong” dengan beberapa pejabat pemerintah. Persekongkolan itu membuat si Tokoh menjadi kaya raya. Uang untuk membiayai jalannya perusahaan diperoleh dari uang rakyat. Namun, ketika menghadapi maut harus mendapat kecelakaan kereta api. Itu merupakan buah dari perbuatannya. Bentuk persekongkolan Tokoh tersebut secara jelas terlihat dalam kutipan berikut.
Sobat:
Jangan pura-pura Nyonya.
Kongkalikong. Sama-sama tahu, laaa…. (Satir).
Tokoh:
Kongkalikong apanya?
Sobat:
Baiklah, saya pun blak-blakan saja.
Mari sama-sama kartu terbuka (menarik nafas, tenang).
Tokoh:
(Marah) Ayo! Saya kongkalikong apa? (Mendesak).
Sobat:
Gedung milik Nyonya yang ada di kota X.
Kemudian PT. Nyonya yang ada di kota Z.
Harta kekayaan Nyonya yang tersebar di mana-mana.
Itu semua dari mana Nyonya dapatkan?
Uang yang diperoleh untuk membeli ini dan itu,
dari mana Nyonya garuk?
(Samin, 1968: 113–114)
Kutipan di atas menggambarkan betapa munafiknya Tokoh yang tidak mengakui perbuatannya. Ia tidak mau dituduh sebagai seorang yang memanfaatkan jabatan dan korupsi uang rakyat. Harta kekayaan yang diperoleh oleh Tokoh mengaku dari hasil jerih payahnya bekerja keras selama ini. Padahal, kekayaan itu semua dari hasil persekongkolan dengan para pejabat lainnya. Selan itu, Tokoh juga memanfaatkan jabatan sebagai pemimpin partai guna memperkaya diri sendiri. Dana yang rencana untuk kegiatan partai, ia pergunakan untuk kepentingan diri sendiri. Apabila ia ditanya mengenai dana kegiatan partai, jawaban yang diberikan selalu berputar-putar sehingga tidak memuaskan rakyat yang bertanya. Bahkan, rakyat yang berani menanyakan tentang dana kegiatan partai dianggap berani melawan kekuasaannya.
Selain dosa-dosa penyelewengan jabatan dan korupsi dana kegiatan partai, manusia Tokoh juga berdosa karena telah menelantarkan anak dan suaminya. Ia berbuat mesum dan zinah dengan orang lain dalam salah satu kamar gedung partai. Ia juga berpidato ke mana-mana, berdiskusi di mana-mana, tetapi untuk tujuan kotor sebagai pelepas nafsu belaka. Dengan demikian ia sungguh seorang munafik yang tidak tahu diri. Gambaran manusia Tokoh seperti itu terlihat dalam kutiipan cakapan berikut.
Tamu:
Tidak perlu Sobat jawab.
Itu tanggung jawab pribadi Sobat sendiri.
Sekarang giliran Nyonya.(Kepada Tokoh)
Nyonya paling sering saya dengar mengucapkan kata-kata
revolusioner dan reaksioner.
Sekarang saya bertanya.
Apa perbuatan Nyonya di sebuah gedung
pada malam Selasa yang baru lalu?
Tokoh:
Biasa. Membicarakan partai.
Tamu:
(Menggeleng) Dengan peluk-pelukan?
Bercumbu dengan orang yang bukan suami Nyonya?
Tokoh:
Siapa bilang?
Tamu:
Tuhan melihatnya.
Perlu saya sebut apakah perbuatan Nyonya selanjutnya?
Tokoh:
Tuan menuduh yang bukan-bukan!
Tamu:
Di kamar nomor 19, jam 10 malam.
Dua manusia berasal dari partai Polan, melakukan ….
Tokoh:
(Menutup muka dengan kedua tangannya dan
kemudian menjerit) Sudah!
Tamu:
Nyonya akui perbuatan bejat itu?
Tokoh:
(Malu dan diam)
Tamu:
Dengan berbuat begitu, apakah Nyonya
berhak menyebut diri Nyonya seorang yang revolusioner?
Alangkah keji perbuatan Nyonya mengotori tujuan partai.
Nyonya melenggang ke sana kemari
sedang tugas sebagai ibu rumah tangga
dan teman akrab suami, jadi terlantar.
Nyonya pidato, ngomong, berdebat, diskusi di mana-mana,
tapi semua untuk pelepas nafsu kotor Nyonya!
(Samin, 1968:116)
Gambaran manusia Tokoh seperti itu memang ada di dunia ini. Banyak ibu rumah tangga yang melalaikan kewajibannya sebagai istri, pendamping suami, dan ibu dari anak-anaknya. Manusia Tokoh hanya mementingkan kepuasan diri pribadinya, tanpa memperhatikan tanggung jawanya sebagai ibu rumah tangga. Kegiatan politik yang selama ini dilakukan hanya sebagai kedok, pelepas nafsu belaka, dan munafik dengan kenyataan yang ada. Tuhan akan selalu melihat dan tahu semua perbuatan manusia sehingga manusia tidak perlu berbohong, dusta, dan menutupi kenyataan yang terjadi. Meskipun orang lain tidak tahu atau melihat perbuatan keji kita, Tuhan pasti tahu dan pasti melihat semua perbuatan manusia.
Citra manusia munafik lainnya adalah tokoh Ulama. Ia adalah seorang ulama yang sudah sejak jauh-jauh hari mengenal akan Tuhannya. Namun, ia seorang munafik dengan cara berselingkuh dan perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Meskipun ia sudah menjadi seorang ulama, kadang kala ia masih berbuat dosa hanya karena tertarik pada barang-barang duniawi. Ulama pernah menyalahgunakan hak dan wewenang kaum fakir miskin. Zakat fitrah yang seharusnya diberikan kepada kaum fakir miskin oleh Ulama diselewengkan untuk kebutuhan partai. Citra manusia Ulama seperti itu terungkap dalam kutipan cakapan berikut.
Tamu:
Zakat dan fitrah yang Tuan kumpulkan hari raya
yang baru lalu, sudahkah Tuan serahkan kepada yang berhak?
Ulama:
Belum. Sebab, partai saya membutuhkannya.
Lalu saya serahkan kepada partai saya.
Tamu:
Begitukah seharusnya menurut agama yang Tuan anut?
Ulama:
Saya berdosa.
Tamu:
(Mengeluarkan catatan lain dari tas kecil)
Di kota N, di rumah bercat kuning, pada tanggal sekian;
apa saja perbuatan Tuan di rumah itu?
Ulama:
Saya akui semua. Saya melakukan banyak dosa.
(Rasa menyesal dan putus asa)
(Samin, 1968:116)
Manusia Ulama cepat mengakui semua dosa-dosa yang pernah dilakukannya ketika masih hidup di dunia. Ia beranggapan bahwa tidak ada gunanya menutup-nutupi semua salah dan dosa yang pernah diperbuatnya. Malaikat mencatat semua perbuatannya itu. Berarti Tuhan tahu semua perbuatan yang pernah dikerjakannya. Sikap yang ditunjukkan Ulama itu memang jantan, tapi tidak bijaksana. Sifat fatalistik yang ditunjukkan oleh manusia Ulama tidak disertai usaha bertobat atau rasa penyesalan terhadap dosa. Seharusnya perbuatan dosa itu ditebusnya dengan pengorbanan suci yang mampu menunjukkan kebesaran jiwa dengan menolong yang lemah serta membimbing orang yang tersesat agar kembali kepada jalan kebenaran atau jalan yang ber akhir pada kebahagiaan sejati.
5. Simpulan
Dimensi hubungan manusia dengan Tuhan dalam drama Indonesia modern tahun 1960-an merupakan masalah yang paling hakiki dari persoalan hidup manusia. Oleh karena itu, para penulis naskah drama tidak begitu saja mengabaikan persoalan hubungan manusia dengan Tuhan ini ke dalam karya dramanya. Terlebih, semasa tahun 1960-an itu adalah masa yang penuh dengan intrik politik, sosial, mental, dan kebudayaan dari Lekra yang menolak kepercayaan kepada Tuhan. Mohammad Diponegoro dan Mansur Samin tampil ke permukaan panggung drama Indonesia modern untuk menyuarakan batinnya tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Drama “Iblis” (Diponegoro, 1963) dan drama “Kebinasaan Negeri Senja” (Samin, 1968) merupakan bukti nyata kepedulian penulis drama Indonesia modern terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui karya dramanya yang berjudul “Iblis” itu Mohammad Diponegoro ingin menegakkan iman manusia kepada Tuhan. Iman manusia Indonesia haruslah kuat, tangguh, kokoh, dan bulat seperti yang dicontohkan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar. Manusia yang imannya teguh, kokoh, dan bulat akan mampu melawan godaan Iblis sehingga dirinya mendapat anugerah Tuhan berwujud kebahagiaan.
Selain manusia yang beriman dan mendapatkan anugerah Tuhan yang berwujud kebahagiaan, juga ada manusia yang berbuat ingkar (tidak percaya akan adanya Tuhan), dan munafik (berkianat, tidak menepati janji, dan pembohong) sehingga mereka penuh berlumuran dosa. Hukuman bagi mereka yang ingkar, dan munafik itu adalah neraka jahanam. Manusia-manusa yang penuh berlumuran dosa itu digambarkan secara jelas dalam drama “Kebinasaan Negeri Senja” oleh Mansur Samin. Manusia-manusia seperti itu dicontohkan Mansur Samin secara simbolik melalui perbuatan tokoh Sobat, Tokoh, dan Ulama. Selama hidup mereka di dunia banyak berbuat dosa sehingga menjelang ajalnya harus melalui kecelakaan tabrakan kereta api. Jelas tema drama ini menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang penuh dosa dapat sebagai lambang kehancuran suatu negeri. Apabila manusia-manusia penghuni negara itu tidak beriman kepada Tuhan, akan hancurlah suatu negara tersebut. Oleh karena itu, jika ingin negara ini tetap kuat dan kokoh harus dilandasi dengan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Daftar Pustaka
Asmara, Ady. 1978. Apresiasi Drama. Bandung: Timbul.
Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Diponegoro, Mohammad. 1963. “Iblis” dalam Budaya XII/1–2.
Esten, Mursal. 1992. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara: Teks Sandiwara “Cindua Mato” karya Wisran Hadi dalam Hubungan dengan Mitos Minangkabau “Cindau Mato”. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV. Jakarta: Gunung Agung.
——- 1986. Daftar Drama I. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Kratz, Ernst Ulrich. 1988. Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Saleh, mBijo. 1967. Sandiwara dalam Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung.
Samin, Mansur. 1968. “Kebinasaan Negeri Senja” dalam Horison Tahun III/ Nomor 4.
Satoto, Sudiro. 1991. Pengkajian Drama I & II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Sitanggang, S.R.H., dkk. 1995. Struktur Drama Indonesia Modern 1980–1990. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——- 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sumardi, dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920–1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sundari, Siti, dkk. 1985. Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh & Edan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Wasana, Sunu. 1989. “Drama Indonesia Sebelum Perang”. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Yundiafi, Siti Zahra, dkk. 1993. Kritik Sosial dalam Karya Drama Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumber: http://www.facebook.com/notes/puji-santosa/dimensi-ketuhanan-dalam-iblis-dan-kebinasaan-negeri-senja/10150122606854344
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar