Sabtu, 26 Februari 2011

Rembulan Terperangkap Ranting Dahan

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

(Pemenang III Sayembara Cerita Pendek Berdasar Cerita Panji yang Diadakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang 2010)

API hidup saya menyala di atas takdir yang lebih banyak bukan atas kuasa saya sendiri. Arusnya mengalir bagai di atas rel warisan para pendahulu saya. Saya hanyalah lokomotif dan pikiran saya adalah masinisnya yang lebih sering berganti orang lain ketimbang diri saya sendiri.

Dalam hati kecil sebetulnya saya menggemari segala dunia batin dan pemikiran yang terkait erat dengan ilmu psikologi. Entah mengapa selepas SMA saya masuk di jurusan Sastra Indonesia dengan spesialisasi bidang ilmu filologi.1) Ya, seperti halnya terjadi pada penggalan hidup saya yang lain, terhadap hal ini pun sebagai jalan tengah, saya lebih nikmat menyebutnya sebagai misteri takdir Tuhan.

Begitulah, saya yang sangat mengagumi misteri kejiwaan manusia kemudian terbawa arus menjadi mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Airlangga yang mengambil studi teks-teks sastra klasik. Dalam waktu yang terhitung cepat, lagi-lagi di luar dugaan saya, saya bisa menyelesaikan mata kuliah-mata kuliah berat dengan singkat.

Saya sungguh tidak mengerti potongan perjalanan hidup ini. Pertanyaan saya seputar itu pun tak pernah terjawab lengkap. Apalagi penggalan lain juga tak pernah terjawab oleh pengetahuan saya. Lagi-lagi, seperti biasa, untuk menghibur diri pikiran saya tersebut kemudian saya percaya pada takdir lain yang lebih dahsyat di luar diri saya.

Percaya pada takdir dan tentu saja yakin pada Tuhan.

Jadi sesungguhnya saya hanya ingin mengisahkan tentang takdir saya sendiri. Saya sama sekali tidak menceritakan orang lain. Apalagi cerita tentang orang lain yang sedang memerankan orang lain lagi. Sama sekali bukan.

Ini hanyalah perihal pribadi saya, pencarian diri saya, pertanyaan saya sendiri kepada diri saya. Saya hanya merasa semakin hari saya semakin tidak memahami diri saya sendiri. Apakah sebetulnya yang ada pada diri saya ini adalah pribadi saya ataukah sebetulnya ada banyak orang lain berdiam dalam tubuh, jiwa dan pikiran saya.

Semula saya tidak pedulikan hal itu benar—atas dasar pikiran memang tidak ada guna bagi setiap orang yang mencoba mencari orisinalitas dirinya. Pikiran yang ini ternyata hanya sesaat: ketidakpedulian yang sejenak, sekadar mampir saja. Yang lebih kuat justru dorongan untuk mencari kembali siapa sebetulnya sosok yang berdiri kaku atau duduk lembut di balik paras ayu, keras dan misterius perempuan seperti saya.

Saya tahu betul saya tidak bisa menguatkan suatu keyakinan atas dasar peristiwa sesaat, kejadian sejenak yang melintas. Tidak bisa. Bahwa yang melintas di tubuh dan jiwa saya senantiasa berkesinambungan. Betapa saya merasakan kesinambungan nasib dan takdir saya demikian nylenehnya.

Ah, mustahil saya sanggup mengisahkan diri saya sedemikian panjang sepanjang rel hidup saya yang aeng itu.

Takdir lain yang kemudian saya percaya adalah ketika saya mengambil penelitian untuk tesis di sebuah desa terpencil di Kecamatan Ngadiluwih, Kediri. Di sana saya mengampu pada sebuah keluarga yang sehari-harinya bergantung pada hasil pertunjukan kentrung. Seorang dalang dengan istri dan seorang putrinya. Sehari penuh mereka mengamen dengan perangkat musik kentrungnya kendang dan rebana menjajakan cerita dari kampung ke kampung. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun.

Saya seorang peneliti yang terus terang dipaksa untuk menggilai kentrung, setidaknya dari tulisan-tulisan seorang doktor kentrung, Dr Suripan Sadi Hutomo.2) Bahwa betapa kentrung hanya tinggal segelintir saja keberadaannya. Saya juga terpikat dengan kreasi naskah Jaka Tarub-nya Akhudiat 3) yang juga ditopang oleh pengetahuannya semasa muda melihat kentrung di tanah kelahirannya.

Begitulah, lagi-lagi saya terdampar, tanpa kehendak saya sendiri—ini yang membedakan saya dengan pribadi seorang Doktor Kentrung.

Kali ini saya terdampar di keluarga dalang kentrung itu. Yang lelaki namanya Pak Jebrak, istrinya Juminten dan putri satu-satunya Juminem. Atas permintaan mereka, saya diminta tinggal bersamanya. Tentu saja semula saya menolak. Akan tetapi karena saya digariskan menjadi peneliti Kentrung, penolakan saya menjadi tidak beralasan. Terlebih ketika Pak Jebrak dan Mak Juminten mengatakan saya adalah rezekinya, maka sama sekali tidak ada alasan bagi saya untuk tidak tinggal dan hidup bersama mereka.

Saya menjadi tahu betul suka duka hidup mereka. Dukanya lebih banyak saya tahu ketimbang sukanya. Demikian pula perasaan saya pun sebagai seorang mahasiswi yang selama ini lebih banyak suka, akhirnya lebih banyak berduka bersama keluarga Pak Jebrak. Satu-satunya suka cita yang misterius berdiam pada saya adalah ketika Pak Jebrak mengatakan paras saya yang cantik inilah sumber tambahan rezeki buat mereka. Oleh karena itu ketika saya mengatakan saya akan membebani hidup mereka yang sulit, ditolak mentah-mentah oleh mereka. Saya tidak mengerti. Akan tetapi saya merasa bahwa paras saya memang lumayan cantik.

Saya tinggal bersama mereka selama berbulan-bulan. Seperti keluarga mereka sendiri. Seperti ayah ibu dan adik saya. Makan bersama, tidur pun bersama. Tapi bukan ini semua yang hendak saya ceritakan.

Saya hanya bercerita tentang diri saya.

***

CERITA tentang saya belum akan berakhir. Akan tetapi saya pikir cerita tentang penderitaan mereka segera berakhir setelah dalang Jebrak meninggal karena usia senja. Disusul kemudian tak berapa lama Mak Juminten pun menyusul. Beberapa hari sebelum meninggal Pak Jebrak membawakan Kisah Asmara Raden Panji dan Dewi Sekartaji tak henti-hentinya. Ini di luar kebiasaannya yang senantiasa diselingi dengan kisah Lahirnya Jaka Tarub pada hari lain. Meskipun demikian sama sekali ini bukan hal yang menarik perhatian saya.

Saya sudah berbulan-bulan bersamanya sehingga cerita itu menjadi tidak penting dan hampir tidak ada muatan yang cukup bagus untuk penelitian saya dan masa depan kentrung itu sendiri. Karena ini hanyalah penelitian sastra lama—sastra lisan yang sudah ketinggalan zaman. Andai saya bisa berbicara banyak perihal penelitian psikologi mereka, tentu dalam bayang saya hasilnya sangat menakjubkan. Tetapi begitulah lagi-lagi saya harus mengembalikan diri pada garis hidup saya.

Yang kemudian sangat mengejutkan saya—meskipun sebetulnya saya tidak kaget dengan posisi saya seperti ini—adalah saat Pak Jebrak dan juga dikukuhkan oleh Mak Juminten berharap, lebih tepatnya meminta saya menjadi dalang kentrung menggantikannya. Sebetulnya yang saya kejutkan lebih pada mitos-mitos di sekitar kentrung sebab bagaimanapun sebagai orang yang mengerti kejiwaan, sedikit banyak saya percayai. Sementara mereka pun memiliki seorang putera. Dari sisi kejiwaan seorang anak, termasuk mitos-mitos pengampu berdasarkan teori psikolog Carl Gustav Jung, ini tentu persoalan yang tidak sederhana.

Buat saya sendiri, dalam benak saya, betapa kurang ajar Pak Jebrak dan juga Mak Juminten—orang yang demikian menderita—punya keberanian untuk ikut andil dalam menentukan garis hidup saya: mentakdirkan saya untuk menjadi dalang. Pilihan katanya untuk menunjuk hidung, mata dan muka saya menjadi dalang menakjubkan saya. Apalagi alasannya. Pak Jebrak dalam usianya yang demikian renta betul-betul menyakinkan saya. Katanya daya tarik, sorot mata, kharisma dan juga pengetahuan mendalam saya lebih dari cukup untuk menjadikan saya dalang terhormat.

“Meskipun saya perempuan?”

“Meskipun kamu perempuan,” katanya.

Maklum, meski bukan tak boleh, memang tidak lumrah dalang perempuan. Bahkan generasi terakhir para dalang kentrung di Tulungagung, Nganjuk, Bojonegoro, Ponorogo, semuanya lelaki. Tidak satupun yang perempuan. Pak Jebrak menganugerahi nama baru untuk saya: Kilisuci—tokoh dalam kisah cerita panji yang jarang sekali ia tampilkan, mungkin karena memang tidak menarik. Karena itu saya pun juga tidak bangga dengan nama putri Prabu Airlangga yang menjadi pendeta dan memilih bertapa di puncak gunung itu. Andaikata saya diberi hak untuk memilih, saya lebih memilih Anggraini, gadis cantik lembut nan lugu dari hutan sebelah. Setidaknya cocok dengan paras saya yang menurut Pak Jebrak mengundang rezekinya ini. Tetapi begitulah, sama sekali dalam hidup saya tidak pernah sekalipun saya bisa menentukan diri saya sendiri. Ujung-ujungnya pun saya kian meragukan diri saya sendiri sebelum jatuh dalam penyesalan yang menjurang.

Tak berapa lama setelah Pak Jebrak turut campur menentukan garis hidup saya, ia meninggal. Ujian pertama saya ketika saya diminta mewakili keluarga memberikan sambutan perpisahan saat upacara mengantar jenazah Pak Jebrak ke liang lahat. Menurut saya inilah ujian terberat sepanjang hidup saya, ketika hendak menentukan sesuatu hal, memutuskan satu perkara antara diri saya dengan orang lain. Justru saya diminta berbicara tentang orang lain. Saat itu, saya pun tidak menceritakan tentang pribadi Pak Jebrak. Tepatnya saya hanyalah menceritakan diri saya sendiri selaku orang dengan predikat baru yang menempel pada tubuh saya yaitu calon dalang—hasil karya almarhum.

Kuliah saya berantakan. Penelitian saya kandas. Saya tidak tahu persis kecewa ataukah tidak merasakan apa-apa. Yang jelas, saya sedang menghadapi dunia baru yang lebih nyata. Seorang dalang. Seorang anak panggung. Seorang anak panggung yang terbiasa memikirkan diri saya sendiri, takdir saya sendiri dan tidak memikirkan orang lain. Saya untuk sementara tidak bisa membayangkan bagaimana saya musti membawakan tokoh-tokoh lakon sebagaimana biasa dikisahkan Pak Jebrak bila melihat diri saya seperti ini.

Saya hanya berpikir bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Pak Jebrak, kisah-kisahnya tentang masa lalu, tentang dongeng Cerita Panji sama sekali tidak banyak berguna kecuali untuk menyambung hidup keluarga pengamen ini. Tidak lebih dari itu. Demi alasan itu pun, Pak Jebrak tidak mampu, tidak layak hidup meskipun bisa mengantarnya hingga ujung usianya. Apalagi untuk saya, jujur saja, sama sekali tidak berguna. Satu-satunya harapan saya pun kandas dengan jalan hidup yang sudah puluhan tahun ditempuh keluarga Pak Jebrak. Saya gagal meraih sarjana strata dua. Meskipun tentu saja ini bukan berarti bakal menggagalkan seluruh jalan hidup saya. Tidak bisa. Saya tidak boleh berpikir demikian. Saya sendiri yang tidak mengizinkannya hal itu terjadi, tak lain demi masa depan saya sendiri.

Masa depan? Masa depan saya ya hari ini: sebagai seorang dalang perempuan pilihan Pak Jebrak.

Sebagai seorang yang demikian, yang pertama kali saya lakukan setiap kali pertunjukkan adalah mengakui diri saya seperti itu. Posisi saya sebagai dalang seperti itu. Mengatakan hal sebenarnya pada hadirin—paling tidak menjelaskan garis hidup saya yang paling mutakhir adalah sedemikian itu. Sementara jika pun upacara-upacara sebelum pertunjukkan yang seolah menguatkan, menyakinkan, menghormati posisi saya sebagai dalang hal itu hanyalah kebetulan saja, hanya masalah bentuk artistik saja. Misalnya setiap kali ada pertunjukkan terlebih dulu digelar slametan, mengantar doa. Di panggung dibentangkanlah kain-kain warna hitam agar seolah-olah sakral. Lalu alat musik kendang jidor latihan pemanasan, silakan. Penembang juga demikian—suaranya yang melengking seolah membuat bulu kuduk hadirin merinding berdiri, silakan juga.

Saya tetaplah saya. Sekalipun di panggung kentrung nama saya Kilisuci. Saya bukanlah dalang kentrung yang sebenarnya. Bagi saya menggelar pertunjukkan kentrung hanyalah menghadirkan tokoh-tokoh saja. Tidak lebih dari itu. Karena itu tokoh-tokoh yang saya hadirkan dalam cerita-cerita saya pun sesungguhnya nasibnya serupa dengan saya sendiri. Mereka sedang bergelut dengan dirinya sendiri, mencari dirinya sendiri. Mungkin mereka tidak menyukai saya. Barangkali lebih dari itu mereka membenci sama sekali terhadap saya oleh karena tidak terima atas perlakuan saya pada mereka yang dengan seenaknya memberi embel-embel sebuah nama, lalu dengan nama itu mempersempit pikiran mereka. Saya bisa mengerti apabila hal itu terjadi pada mereka yang memiliki perasaan-perasaan yang sama seperti yang saya rasakan. Hanya saja terkadang ketidaktahuan saya pada diri saya sendiri menyebabkan saya pun tidak bisa sepenuhnya memahami mereka.

Mereka tidak sendiri. Mereka tidak hanya tokoh-tokoh dalam cerita panji. Lebih dari itu mereka tokoh yang tidak bisa menemukan dirinya sendiri pun juga terjadi pada banyak orang hadirin penonton-penonton pertunjukan kentrung saya. Saya tidak bisa menipu diri saya untuk menjadi dalang sebagaimana diinginkan Pak Jebrak. Juga sebagaimana dikehendaki oleh hadirin sekalian. Saya pun sudah merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan mereka bahwa bagaimana mungkin saya bisa menentukan kisah-kisah para tokoh yang demikian agungnya di mata mereka, sementara saya sendiri tidak becus mengurus diri saya sendiri. Saya menjadi orang yang tidak pernah bisa sampai hati.

Saya hanyalah orang biasa yang tidak sanggup menentukan jalan cerita. Ucapan, tindakan saya adalah semata-mata milik saya sendiri. Sekalipun saya diberi kuasa untuk menentukan hidup mati mereka, namun kekuasaan itu tidak pernah betul-betul saya gunakan. Sekalipun saya menggenggam takdir sebagaimana takdir Tuhan atas umatnya, tapi saya juga amat percaya setiap yang di luar diri saya berhak untuk menentukan takdirnya sendiri-sendiri.

“Sekali lagi saya meminta maaf kepada hadirin sekalian karena saya tidak sanggup untuk merebut takdir saya sendiri, termasuk takdir saya untuk menjadi dalang bagi tokoh-tokoh pujaan anda-anda sekalian,” nyatanya kalimat ini selalu berkali-kali saya sampaikan dalam setiap satu pertunjukkan.

Itulah sebabnya saya membiarkan dengan seenak saya sendiri memilih tokoh-tokoh Raden Panji, Dewi Anggraini, Dewi Sekartaji, Raja Jenggala, Raja Kediri, Permaisuri, Patih Brajanata di antara mereka sendiri. Di mata saya mereka semua hadirin penonton sekalian sama saja. Yang membedakan mereka hanyalah diri mereka sendiri—sejauh mana memahami diri mereka sendiri, seberapa berani menanggapi saya sebagai dalang yang kiranya sangat terhormat, karena memang saya menghormati diri saya sebagai orang yang sudah semestinya memberi kehormatan lebih kepada orang lain—penonton pertunjukkan saya.

Yang ada di pikiran saya sekarang adalah bagaimana menjelaskan situasi ini, bagaimana menghadapinya di panggung pertunjukkan. Sementara saya menghadapi pikiran saya sendiri, mereka pun musti mengerti diri sedang menghadapi persoalan pikirannya sendiri, perasaannya sendiri, emosinya sendiri. Asalkan tidak membohongi diri mereka sendiri, apalagi membohongi hati nuraninya sendiri pula.

Lantas bagaimana dengan diri saya? Mampukah saya mengemban selaku seorang dalang yang berbesar hati, tanpa sedikitpun mempertontonkan arogansi kekuasaan seorang dalang?

Yang saya ingat satu-satunya bekal saya mendalang adalah petuah Pak Jebrak yang menyakini sosok dalang yang menyingkapkan diri simbol ketuhanan dan kuasa menghidupkan wajah-wajah wayang ke dalam ruh jiwa manusia.

Pan ki dalang sejati-jati ning ratu
Sang ratu gentya ing nabi
Nabi gentya ning Hyang Agung
Ratu nabi prasasat ing
Hyang Mahagung kang kadalon 4)

Beruntunglah, saya seorang perempuan. Lembut, penuh kasih sayang dan yang pasti sudah sepantasnya diempukan.

***

PERTUNJUKAN dimulai. Saya bersiap diri di tengah. Setelah musik kentrung kendang dan rebana dimainkan rancak dengan nada tinggi, satu dua tembang dinyanyikan, musik mulai menurun lalu saya persilakan hadirin penonton untuk bersiap memilih tokoh-tokoh kisah Cerita Panji. Mula-mula orang-orang golongan tua yang terbiasa dengan dalang Pak Jebrak, memprotes keras. Saya dianggap lancang dan tidak menghormati karya leluhur-leluhur mereka. Namun setelah saya jelaskan mereka pun akhirnya paham, meskipun sebagian lainnya terutama golongan tua yang kehabisan nafas disebut-sebut kelompok pelestari kebudayaan dan tradisi adiluhung mencerca saya dan mengutuk saya kualat.

“Sebaiknya saudara belajar menjadi dalang dimulai dari menjadi dalang bagi diri anda sendiri. Mengapa hal itu tidak anda lakukan?” saya katakan kepada mereka terutama yang menghujat saya.

Mereka tidak bisa menjawab.

Kalaupun ada yang menjawab saya kira seringkali jawabannya sangatlah klise:

“Karena saya bukan keturunan dalang.”

“Lha wong saya tidak diberi wahyu untuk menjadi dalang,” jawab yang lain.

Pada saat keributan seperti itu, biasanya saya katakan pada mereka bahwa saya pun mengalami hal serupa dengan mereka. Bahwa saya sedang belajar menjadi dalang, sebetulnya hanyalah dalang untuk diri saya sendiri, utamanya. Sementara mengenai apa yang mereka sebut wahyu, tidak datang dengan sendirinya. Wahyu tetaplah harus diburu. Saya dalam hal ini sedang memburu wahyu itu. Harus jujur saya akui, tidak untuk orang lain, tetapi untuk diri saya sendiri.

Kekacauan hadirin penonton menyenangkan buat saya, karena ini tentu menjadi pertunjukan sendiri yang tidak kalah menariknya. Anggaplah ini carangan bagi setiap pertunjukkan, pikir saya. Kekacauan yang menurut saya akibat dari persoalan yang sangat subtansial: memperdebatkan otoritas seorang dalang. Hal yang sangat melegakan adalah, diantara mereka para hadirin mulai banyak yang menyatakan niatnya untuk menjadi dalang. Tentu saja ini menurut saya suatu hal yang jauh di luar pikiran saya. Maksud saya jauh dari kondisi saya yang sebenarnya.

Saya merasa tidak mampu dan belum pantas menjadi dalang, sementara penonton di hadapan saya justru berteriak-teriak karena didorong keinginannya untuk menjadi dalang. Tentu saja saya belum tahu apakah di balik keinginan mereka itu sebetulnya disokong oleh takdir mereka sendiri ataukah tidak. Inilah menurut saya pertunjukan yang sebenarnya: Mempertontonkan diri untuk tampil sebagaimana adanya ataukah ada maksud lain di balik pertunjukan dari cerita-cerita ini.

“Ini soal kejujuran, Bung!” suara mereka entah dilempar kemana saja, bahkan ke angkasa.

Sampai di sini di antara kami statusnya sama, nilainya sama, posisinya pun sama. Tiba-tiba kami terikat dalam satu kesepakatan, entah apa namanya. Kami bukanlah siapa-siapa. Kami sama sekali tak kuasa mempertontonkan kelebihan sendiri-sendiri. Kalau pun kami dianggap punya kelebihan, hanyalah saling mengingatkan soal kejujuran itu. Tetapi kelebihan ini pun dimiliki oleh setiap orang, bukan hanya dimiliki oleh seorang dalang. Apalagi dalang yang diberi wahyu untuk melakukan itu. Sama sekali tidak. Sementara soal wahyu itu sebenarnya jauh di luar kami semua. Wahyu itu seperti tamu yang datang ke rumah. Bukan tuan rumah yang betah tinggal dalam gedung megah tetapi tidak pernah beranjangsana pada tetangga. Oleh karena itu bagi kami satu-satunya kepercayaan pada wahyu itu adalah datang pada diri sendiri, dalam suasana pertunjukan yang tidak dikuasai oleh seorang dalang.

“Pertunjukan ini hanyalah usaha untuk membangun rumah, dan mengundang tamu untuk beranjangsana ke dalam ruangan diri pribadi kita,” tutur saya lebih kepada diri saya sendiri, sebetulnya.

Sampai di sini saya kira di antara kami dalang, awak panggung juga penonton sebetulnya sudah saling mengenali diri masing-masing. Siapakah sebetulnya kami? Siapakah sebetulnya diri kami di balik tubuh-tubuh kami ini?

Pertunjukkan tak lebih dari suatu kesepakatan batin naluriah yang mempertemukan kami. Pertunjukkan ini adalah pertemuan untuk membangun rumah, sayan untuk menyambut calon tamu kita yang akan datang. Mungkin kepada tamu yang belum kita kenal betul, selama ini seringkali kita berbasa-basi menyembunyikan sesuatu di balik tubuh kami. Akan tetapi di antara kami, sama sekali tidak ada sekecil apapun yang bisa disembunyikan dari kami. Kami sama-sama tahu rahasia kami. Bahwa kami ini semua sebetulnya hanyalah awak panggung, hanyalah aktor, hanyalah anak wayang yang ditakdirkan untuk terus mengundang tamu sebanyak-banyaknya agar senantiasa suatu saat tidak perlu lagi menyembunyikan suatu rahasia apapun.

“Kami hanyalah aktor yang berakting dalam pertunjukkan maha penting ini. Kami menari, kami menjamu dan kami menemukan diri kami di hadapan penonton yang agung, agar di luar pertunjukkan tidak perlu lagi segala kemunafikan kami yang dipertontonkan oleh makhluk lain dengan ritual gelap yang menyihir dan menipu kami,” ujar saya mulai tak jelas untuk saya sendiri ataukah untuk orang di luar diri saya.

Musik kentrung yang monoton itu terus naik turun menanti cerita-cerita mengendarainya. Tembang-tembang melayang. Sang dalang tidak juga memainkannya selain karena sibuk dengan pikiran dan hatinya sendiri, seolah dengan kesadaran tinggi ia menanti pemain-pemain saling berhamburan dari arah panggung pertunjukkan. Musik hanya turun naik merespon para aktor yang keluar dari arena penonton pagelaran itu.

“Nyi Kilisuci, saya tidak peduli apakah engkau dalang, sutradara, pengarang atau orang yang didapuk sebagai itu,” seorang pemuda tampaknya bakal memuntahkan gejolak hatinya. “Saya tidak peduli dengan saudara, karena saya sebetulnya hanyalah peduli pada diri saya sendiri saja. Akan tetapi karena ini suatu pertunjukkan penting dan kita dipertemukan di sini, saya yakin persoalan saya pun pada akhirnya juga menjadi persoalan saudara. Terus terang ini bukan pilihan saya sendiri, kalau pun saya meloncat dari arena penonton ke panggung ini untuk menjadi tokoh Raden Panji Kuda Waneng Pati. Saya tidak tahu dan tiba-tiba saja saya ditakdirkan menjadi tokoh ini. Saya tahu, saya tidak mampu menipu diri sebagai Raden Panji Kuda Waneng Pati, karena saya kira saya seperti anda lahir di sebuah negara miskin dan dari keluarga miskin pula. Penderitaan telah memberi banyak pelajaran pada saya dan saya sama sekali tidak pernah menerima ajaran sebagai seorang putra raja, apalagi seorang putra mahkota raja yang kelak diberi hak untuk menguasai rakyat jelata. Sama sekali tidak, Nyi Kilisuci. Walaupun sebetulnya tentu saja menjadi raja adalah keinginan banyak orang. Seperti anda, saya pun terobsesi untuk menjadi raja, meski pada malam hari ini sama sekali tidak punya pengetahuan apa saja kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi raja selain punya kekuasaan mutlak atas segalanya itu. Sayang, pada tahun 2010 ini saya mustahil menjadi raja. Yang sangat mungkin adalah bilamana saya menjadi dalang sebagaimana keinginan Raden Panji Kuda Waneng Pati. Saya ingin menjadi dalang yang sesungguh-sungguhnya dalang. Bukan dalang hanya demi tujuan membo-membo untuk bertemu banyak orang dan siapa tahu diantara banyak orang itu saya jumpai kekasih hati saya. Bukan. Seperti anda, saya ingin menjadi dalang untuk diri saya sendiri. Jadi sayalah Raden Panji Kuda Waneng Pati yang pura-pura kaya, Nyi. Satu-satunya yang tidak bisa saya tutup dengan kepura-puraan adalah kekayaan agung saya yang saya tanam dalam lubuk sanubari saya: cinta. Yang lain prekketek! Tidak ada obsesi terbesar dalam hidup saya pada pertunjukan ini kecuali memburu cinta. Bukit kan kudaki, laut kuseberangi pun rel kereta api kususuri tak lain demi untuk menemukan cinta sejati saya. Biarpun saya harus pura-pura kerja menjadi kuli, atau menyampaikan cerita-cerita seperti ini semuanya atas nama cinta. Apalagi hanya cinta dan perjodohan saya dengan Dewi Sekartaji. Cuma masalah kecil di kuku jari kelingking saya. Tidak sulit saya memerankan pertunjukkan ini sampai pada perjodohan dengan Putri Raja Kediri, Prabu Jayawarsya yang karena tidak cukup menyandang namanya di bumi sebab itu masih harus memakai nama Dewi di depannya. Karena itulah dalam kisah ini, saya rela keluar masuk hutan belantara demi cinta. Untuk sementara karena ini semata-mata demi kepentingan saya sendiri, saya abaikan dulu biar pun hutan-hutan tempat saya mengembara penuh dengan borok-borok gundul di tubuhnya. Saya juga abaikan panasnya kota karena jarum-jarum sinar matahari langsung menyengat kulit dan tak tertahan apapun di bumi. Saya tidak peduli, satu-satunya yang tidak bisa saya abaikan adalah pekerjaan karena saya tidak bisa hidup dengan menganggur. Menganggur itu pedih, saudara-saudara. Sebab saya harus cukup tahu diri mana yang betul-betul untuk kepentingan saya sendiri dengan membela kepentingan orang lain. Kalau pun diantara anda sekalian protes, hal itu maklum karena memang betapa sulit untuk betul-betul memisahkan demi kepentingan diri sendiri dengan kepentingan masyarakat apalagi demi kepentingan ilmu pengetahuan. Sulit. Tapi sekali lagi ini hanya untuk sementara. Mata saya melihat. Kuping saya mendengar. Kulit saya merasa. Hati saya pun cukup peka—biarpun saya seorang kuli biasa. Kepada saudara sekalian saya katakan, bukankah saya sendiri yang berhak menentukan jalan hidup saya? Menentukan pengembaraan batin saya, menentukan mimpi saya. Sekalipun saya lihat anda sekalian bermaksud bunuh diri, untuk sementara akan saya biarkan karena itu memang benar-benar hak saudara.”

Terus terang saya tersindir dengan tutur ucapan pemuda itu.

Selanjutnya pertunjukan malam itu tergambar seperti ini:

Ini saya tafsirkan dari suluk-suluk yang disampaikan penembang, meskipun saya sulit untuk mempercayai seluruh gambaran ceritanya. Suluk hanyalah kembang. Sekadar kerangka, sementara tokoh-tokoh cerita dalam pertunjukan malam ini, sebagaimana anda dengar sendiri sulit untuk diberi kerangka cerita.

Raden Panji Kuda Waneng Pati, mereguk nikmat hayat. Putera mahkota Kerajaan Jenggala itu takjub pada keindahan alami yang memancar dari senyum merekah di bibir Dewi Anggreini. Keindahan serupa mata air bening dari pegunungan perawan.

Pahlawan Kahuripan itu ingkar pada ayahandanya Prabu Jayantaka yang hendak menjodohkan putranda dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji. Sepenggal perjodohan demi niat melumatkan batas-batas yang dibuat Mpu Baradah nan sakti. Resi-resi Syiwa dan Wisnu telanjur menganugerahkan berkahnya, tatkala hendak dibangun kerajaan yang besar.

Itulah harapan sang ayah, Prabu Jayantaka melanjutkan cita-cita leluhurnya yang bijaksana Rake Halu Syri Lokesywara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikramatunggadewa. Hasrat yang bergolak sebelum akhirnya undur diri merasa sia-sia dan menjadi guru bangsa dengan mengikuti jejak putranda sang Kilisuci bertapa di biara Pucangan.5 Panjilah satu-satunya yang berdarah langsung keturunan Mpu Sindok, cikal bakal Ahala Isyana. Akan tetapi perjalanan pencarian jatidirinya ke hutan dan pegunungan telah mendamparkan jiwanya pada gadis Anggraini. Ia pun percaya perjumpaanya dengan gadis itu pun dharmanya untuk melunasi kedamaian abadi menuju kamoksan.

Akan tetapi apakah benar pertunjukan malam ini hanya tentang manusia luar biasa? ataukah manusia biasa? Ataukah justru bukan manusia juga ambil bagian dari pertunjukkan? Lantas bagaimana itu bisa terjadi bagi seorang aktor?

Terus terang sebagai manusia biasa dan sebagai orang yang pura-pura sebagai dalang, saya iri dengan segala yang ada pada Dewi Anggraini. Kecantikannya. Keindahannya. Kelembutannya. Ketulusannya. Kebesaran jiwanya. Segala kelebihannya itu telah melenyapkan setiap kekurangannya. Apalagi hanya sepotong sandang pangan papan, tiada tercermin dari yang ada pada Dewi Anggraini. Karena itulah andai saya diizinkan untuk memilih, saya tentu memilih kesempurnaan jiwa raga pada diri Dewi Anggraini. Tapi itu mustahil. Betapa saya masih terikat dengan urusan dunia. Sementara Dewi Anggraini saya kira bukanlah seorang manusia. Bukan. Dia sesungguhnya malaikat yang turun ke dunia dan memerankan sosok perempuan, tinggal menyendiri di hutan belantara dan jika pun turun ke kota, bukanlah soal betul bagi tugas dan kewajiban spiritualnya mengemban amanah Tuhan semesta sekalian alam.

“Apa yang bisa saya kemukakan perihal sosok seperti ini, saudara-saudara. Manusia setengah dewa atau dewi yang menyamar selaku manusia. Karena itu hadirin sekalian, saya tentu salut kepada perempuan yang memerankannya, sekaligus kehormatan baginya. Walaupun saya yakin tak seorang pun yang sanggup untuk itu, selain nabi dan orang yang menerima wahyu untuk itu. Akan tetapi sebagai orang yang iri hati kepadanya, dan sebagai dalang yang musti memberi kepercayaan pada tokoh-tokohnya, terus terang saya berat hati. Saya tidak pernah berjumpa dengan malaikat, bermimpi pun saya tidak pernah, meskipun berkali-kali mengagumi wanita cantik untuk cermin diri saya sendiri. Memang saya akui, kadang-kadang kita bisa melukis kecantikan manusia dengan puisi, dengan sepotong bulan bugil bulat yang timbul dan tenggelam di bukit yang kedatangannya pun senantiasa diharapkan orang. Tetapi itu hanya metafora, hanya bahasa puitik. Yang justru daya tariknya oleh karena kita tidak bisa menguasainya. Tetapi ini? Ini nyata—setidaknya dalam cerita malam ini—bahwa setiap orang, juga setiap lelaki akan mendambakan seluruh yang dia punya. Orang yang meninggalkan alamnya yang abadi untuk turun ke bumi. Lalu bagaimana engkau memerankan ini hei Dewi Anggraini? Bagaimana engkau menyembunyikan jatidirimu di bumi ini? Apakah di alam asalimu ada sekolah akting sehingga kau berani eksperimen di dunia yang penuh tipu muslihat ini? Ceritakanlah!”

Dewi Anggraini memang luar biasa cantik. Semampai. Andaikata saya bukan perempuan, persetan dengan pertunjukkan ini. Protes saya hanya melayang, tenggelam di balik tetabuhan irama kendang dan rebana. Andai saya lelaki, saya bisa merebutnya dari Panji Kuda Waneng Pati. Sayangnya, dasar saya tidak bisa menentukan diri saya sendiri, nama saya pun tidak matching dengan kisah ini. Saya dipaksa menjadi Kilisuci dan tidak bisa ikut menentukan jalan cerita. Menjadi seorang pendeta dan pertapa. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang pertapa bila tak turun dari gunung dan menjumpai alam nyata? Tidak ada kuasa. Tidak ada cerita. Tetapi pertapa yang sesungguhnya adalah Dewi Anggraini yang sanggup menyihir cerita menjadi begitu menakjubkan dan mengagumkan. Dialah yang menjadi sumber inspirasi semua orang yang mengenalnya, mendengar ceritanya, menerima mimpinya, melihat sosoknya. Entah oleh karena tubuhnya bersinar bagai kilau cahaya bulan ataukah jiwanya yang menyihir setiap yang ingin tahu jati dirinya.

“Ayo, Nduk…ceritakan. Jangan ragu. Kamu lebih cantik dari Dewi Parwati. Tubuhmu lebih bersinar ketimbang betis Ken Dedes!”

“Ah..Nyi Kilisuci sebetulnya melebih-lebihkan. Saya hanya gadis dusun di pinggir hutan. Saya perempuan biasa, anak orang biasa dan tidak ada teman main kecuali bermain dengan binatang-binatang di tepi hutan ini. Hanya itu. Cara pandang Nyi Kilisuci hanyalah cara melihat dan mengatakan bahwa saya nyentrik, nyleneh. Iya kan? Masak saya seperti ini dibilang malaikat? Yang benar aja dong. Saya hanyalah orang yang mencoba memahami diri, kelebihan dan kekurangan saya. Harus saya akui, saya tidak punya apa-apa. Karena itu saya tidak pernah punya keberanian untuk hidup lebih dari yang saya punya. Apalagi untuk bermimpi. Tidak. Saya mensyukuri apa yang saya punya dan karena itu takdir bagi saya sebetulnya datang dan pergi. Saya hanya menunggu dan tidak pernah menjumpai takdir dengan sendirinya. Saya nrimo, pasrah. Andaikata dalam cerita ini saya diizinkan untuk menambah nama di belakang saya, mungkin nama saya akan menjadi Dewi Anggraini Alhamdulillah. Saya tidak punya keberanian apapun apalagi untuk menentukan takdir orang-orang besar di luar diri saya. Satu-satunya yang saya punya hanyalah keberanian untuk menawarkan diri kepada Nyi Kilisuci untuk tampil malam ini. Hanya itu. Syukurlah, Nyi Kilisuci dalang yang berbaik hati, tidak menghukum saya manakala saya melanggar kekuasaannya. Keberanian saya untuk itu tak lain disokong oleh penderitaan hidup saya sepanjang masa, saudara-saudara sekalian. Penderitaan abadi, dan mustahil saya terbebas dari penderitaan ini. Penderitaan ini asyikk, Bung. Inilah bagi saya suatu cinta. Jadi cintalah yang saya punya. Sebetulnya ini pun berlebihan saudara-saudara sekalian. Mati sakjroning urip, urip sakjroning pati.6) Saya sendiri tidak mengerti mengapa menyuarakan ini, sepertinya ini bukan suara saya sendiri kok. Jadi sudahlah… hidup saya hanya menunggu waktu, menanti peristiwa dan menyongsong matahari. Saya tidak perlu mengatur diri, karena sudah ada yang mengatur. Kalau cinta dan perjodohan saya pun direnggut oleh begundal, saya kira dialah begundal yang tidak beruntung melintas di hidup saya. Sebaliknya, bila yang memburu cinta saya adalah seorang putra raja, mungkin dia sedang keblinger saja. Apa yang diharapkan dari gadis seperti saya? Hanya cinta? Mana ada lelaki zaman sekarang memuja cinta?”

“Jangan merendahkan diri seperti itu, Aini—panggilan Dewi Anggraini,” tutur Nyi Kilisuci. “Pandanganmu seperti itu hanyalah menambah luka perempuan dan menjadikannya objek lelaki. Maraknya poligami tak lain akibat pikiran serupa padamu masih diamini perempuan, Aini. Bagaimana bila itu lantas terjadi padamu? Dewi Anggraini menjadi istri kedua atau istri pertama dari sekian istri suaminya?”

“Lho..Nyi, jangan menitip pesan. Apalagi mendekte saya, dong. Sepenuhnya itu urusan pribadi, dan bukan urusan dalang. Saya sendiri tidak masalah, sepanjang atas dasar jatidiri cinta. Bukankah cinta tidak mengenal upacara, Nyi? Upacara hanyalah sekian potongan waktu dari penderitaan hidup atas nama cinta. Cinta dan upacara tidak ada hubungannya, Nyi. Silakan menggelar upacara sebanyak mungkin, pasti upacara usai juga. Cinta sejati adalah hidup ini, tidak bisa disederhanakan. Lantas lelaki mana yang berani menjamin akan dirinya telah menemukan cinta sejatinya? Saya kira ini pertanyaan penting bagi setiap perempuan. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, akan tetapi urgen dijalani di atas takdir keduanya. Takdir yang ditentukan sosok dalang dan takdir yang ditentukannya sendiri,” sergah tokoh yang mengaku gadis dari tepi hutan jati itu.

“Tapi saya tidak bisa menentukan apapun. Juga atas kamu, Aini,” ujar Nyi Kilisuci.
“Itulah kelebihanmu, sekaligus kekuranganmu. Kau tidak bisa menipu dirimu sendiri, Nyi,” balasnya.

“Kupercayakan kepadamu, kau menepis anggapan kebanyakan orang terhadap perempuan, Aini.”

“Itu masalah kecil Nyi. Sudah tugas saya dalam pertunjukan malam ini. Akan tetapi untuk sementara biarlah ini menjadi rahasia. Saya pun membutuhkan rahasia itu, karena tidak semua penonton cerdas olah pikir dan olah rasa. Mereka akan mengikuti semua jalan cerita sebagaimana kita ucapkan dan jalani. Saya kira rahasia saya pun menjadi bagian dari rahasia Nyi.” Lantas Dewi Anggraini membisikkan sesuatu kepada Nyi Kilisuci. “Sepakat?” Disambut anggukan ritmis Nyi Kilisuci dan genderang gendang.

“Baiklah, sekarang apa yang bisa anda lakukan, Aini.”

“Menunggu. Anda ini bagaimana sih?”

“Menunggu musik? Suluk?”

“Apa saja.”

“Baiklah. Musik. Suluk tidak penting lagi. Hanya pesan orang bijak itu.”

Musik kentrung kembali bertalu. Sudah tidak monoton lagi karena para pemusik sanggup memunculkan gairah bermainnya. Sementara Dewi Anggraini sedikit undur ke belakang, tidak jauh dari posisi saya selaku dalang. Hingar bingar penonton kendati hanya segelintir orang saja setelah ditinggalkan kaum tua, menggairahkan penonton lainnya.

Saya sendiri membayangkan. Mereka telah turut serta menjadi pemain. Bukan hanya penonton ketika rekan-rekan mereka sesama penonton memerankan tokoh-tokoh kisah dalam Cerita Panji ini. Mereka hanya seolah tinggal menunggu giliran saja, menjadi tokoh utama atau tokoh sampingan yang dalam pertunjukkan ini sama-sama pentingnya.

Lantas muncullah Panji Kuda Waneng Pati. Tokoh yang saya benci sekaligus saya puji. Saya sama sekali tak punya pengetahuan tentang satu hal ini. Saya hampir menutup mata sepanjang ia mengisahkan dirinya. Karena itu kisah yang terjadi di bawah ini sama sekali tidak masuk dalam alam pikiran saya. Saya tidak pernah bercinta dengan lelaki, meskipun saya pernah mengenal dan dekat dengannya. Saya tidak pernah mengerti bagaimana lelaki menggunakan haknya untuk menawarkan cinta pada perempuan pujaannya. Karena itu yang terjadi dengan kisah di bawah ini murni atas kehendak mereka berdua. Di luar campur tangan saya. Apalagi untuk mengisahkannya kembali di lain waktu. Satu-satunya yang berdiam di pikiran saya adalah kekaguman pada seorang kuli batu yang menawarkan cinta kepada gadis miskin yang cantiknya luar biasa.

Kisahnya seperti ini:

Sang Panji memutar otak memerah hati—hati seorang kuli bangunan—untuk merebut cinta gadis pujaan semua orang. Meskipun dia menyadari ini kekonyolan, tetapi Sang Panji boleh bermimpi. Jadi mungkin ini hanyalah cerita mimpi Sang Panji di hadapan kekasihnya. Dunia yang jauh tetapi diimaninya karena tiada larangan setiap orang untuk bermimpi. Justru mimpi yang paling kaya tentu adalah mimpi orang miskin. Jikapun ada mimpi yang lebih mahal dari pada itu tentu adalah mimpi orang-orang yang menderita. Mimpi yang disokong penderitaan dari luka hati yang paling dalam.

Betapa sampai di sini panji pun menebus keindahan dirinya, di hadapan Dewi Anggraini.

“Aini, kekasihku. Harus jujur saya akui, saya pun tidak pernah mempercayai ini semua terjadi sungguh di dunia nyata. Sayalah lelaki yang terpilih untuk bercinta denganmu, menyelami kedalaman hatimu dan melabuhkan segala harapan hidup saya. Hidup apapun telah saya tempuh. Perjalanan panjang cinta saya pada hidup sepanjang waktu hingga kini. Tiada yang saya kejar hingga hutan belantara dan pegunungan ini kecuali ilmu pengetahun mendalam dan juga cinta. Dan setelah sekian lama, saya putuskan untuk mendamparkan jiwa saya padamu, Aini. Saya percaya. Saya yakin engkaulah ujung terjauh dari samudera cinta yang saya arungi dengan sampan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup. Biarpun guru terbaik bagiku adalah jalanan, Aini. Engkaulah jalan paling lempang dan terdekat untuk melunasi kedamaian hati saya menuju keabadian, Aini. Percayalah pada saya. Yakinlah pada saya. Saya telah benar-benar sanggup menyingkap tudung cinta sejatimu, juga tirai kasih hati saya, Aini. Saya pun telah mampu menepis keraguan dalam hati saya sendiri, bagaimana mungkin gadis secantik dan seindah engkau tinggal di hutan belantara yang basah lembab dan berbahaya ini? Engkaulah kiranya bidadari yang memberikan perasaan damai, menumbuhkan persemaian bunga-bunga cinta di dada saya. Bagimu saya bukanlah putera mahkota dalam kisah ini, bagimu saya pun bukan seorang kuli bangunan yang menunggu limpahan kerja dari proyek-proyek ternama. Melainkan bagimu, tentu sayalah seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh kedamaian hatimu,” bisiknya dengan mesra.

“Jangan terburu nafsu Mas Panji. Saya hanyalah seorang gadis dusun. Saya hanya bisa masak, manak dan macak seadanya. Apakah tertuju pada gadis seperti itu yang kau namakan cinta sejatimu itu?”

“Sumpah mati, lebih dari itu, Aini, Kekasihku. Saya sudah menyuarakan suara dari hati saya setelah saya melihat dengan mata ketiga saya, mendengar dengan pendengaran batin saya, engkaulah cinta yang sesungguhnya, cinta yang tulus tanpa diembel-embeli kuasa atas dunia. Cinta yang tidak teraniaya, Aini. Percayalah. Tentu engkau pun menunggu lelaki yang membawa cinta sejati seperti itu bukan? Namun demikian sebelumnya maafkanlah, bilamana saya kesulitan untuk menyuarakan kata hati saya ini dengan bahasa biasa. Karena itu kusampaikan dengan puisi seperti ini. Karena memang tidak ada yang bisa saya sampaikan atas nama cinta selain dengan puisi, Aini. Saya pikir, ini pun belumlah cukup buat seorang gadis sesempurna engkau. Segala puisi boleh menawar keindahan bahasa puitik apapun, tetapi kepada cintamu saya sama sekali tidak bisa menawar apa-apa, Aini. Sebab itu apalah arti sepotong puisi seperti ini yang dibuat oleh seorang kuli? Akan tetapi demi cintaku padamu, dengarkanlah, renungkanlah, rasakanlah nikmatnya penderitaan cinta kita ini. Kekasih, telah sempurna kebahagiaanku di atas derita oleh karena menemukan sebutir permata di antara derai-derai cemara yang menari kukuh diterjang taifun. Selamat tinggal perjalanan menembus ruang menyeberang belantara untuk samadi di bawah rindang pohon pengetahuan. Kini telah saya temukan sebutir doa pada seuntai tasbih yang sirna, lalu bangkitlah raga yang linglung dari persembahyangan yang tak sempurna. Kekasihku, telah kutemukan bayang-bayang pengganti bayang tubuhku yang setia mengikuti kemana pun kami berdiam, lari dan sembunyi: engkaulah pilihan dewa. Juga pada saya, atas nama cintanya,” suara lelaki itu mengalun bagai syair lagu.

Lalu mereka berjanji setia untuk tidak terpisahkan biarpun oleh kekejaman ruang dan waktu. Di luar janji itu, tepuk tangan riuh menyambut cinta keduanya. Para penonton sorak-sorai antara percaya dan tidak percaya. Mereka saling bertanya antara mimpi, cerita dan kenyataan kisah cinta Aini dan Panji. Antara tidak mengerti, kurang mengerti dan pura-pura mengerti jalinan asmara keduanya.

Sementara saya, tidak tahu apa-apa. Saya hanya sibuk dengan kenangan saya sendiri tentang cinta itu, yang saya kira tidak juga saya temukan dimana muaranya. Saya hanya yakin memiliki sebutir kecil terselip dalam lipatan ingatan.

“Luar biasa, Kang,” sambut penonton sesama kuli.

“Tidak kusangka anda demikian hebatnya,” celetuk yang lain.

“Anda seorang kuli, tetapi begitu mahir berpuisi. Puisi cinta. Baru kini saya sadari ternyata anda seorang penyair meskipun selama ini tanpa syair.”

“Terimakasih bila anda sekalian para penonton puas. Akan tetapi jujur saja saya tidak mengerti apa yang baru saya lakukan. Saya hanya mengikuti kata hati saya selaku seorang pecinta yang menerima kata-kata indah bagai curahan air hujan.”

“Terus terang sebagai sesama kuli, saya bangga.”

Saya masih tetap diam tepekur. Tidak mengerti. Rasanya pengetahuan saya jauh dari pengetahuan para penonton dalam hal cinta. Hingga seorang penonton yang kritis mengusik saya pun, saya tetap tak bisa berbuat banyak. Saya pikir sebetulnya saya sudah hendak dikudeta sebagai seorang dalang. Namun saya kira tidaklah mengapa, karena saya berpendapat bahwa sebetulnya merekalah dalang sebenarnya dan berhak menentukan dirinya sendiri, pikirannya, perbuatannya juga mimpi-mimpinya.

“Bagaimana Nyi Kilisuci? Masih juga anda sibuk dengan diri anda sendiri? Kiranya anda sudah mendekati saatnya petuah-petuah anda didengar banyak orang.”

Saya masih menggeleng.

Tiba-tiba dari kerumunan penonton mengalirlah suluk dari orang golongan tua yang tetap ngotot bahwa pertunjukkan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa bimbingan orang orang-orang tua. Suluk yang diikuti oleh munculnya dua orang tua mewakili kelompok mereka.

Tersiraplah darah ayahanda Sang Prabu Jayantaka mengetahui gairah cinta kedua sejoli yang berakhir di pelaminan. Andai tak tertekuk hatinya oleh sang Permaisuri, mungkin amarah akan muntah dan darah berlinangan dimana-mana. Pemahaman getar-getar cinta yang berbeda ditambah prasangka yang subur akibat tiada pengetahuan suci yang menghamba pada ketulusan jalannya jiwa kembara menumbuhsuburkan benih petaka. Sang Prabu Jayawarsya Tunggadewa, raja Kediri, ayahanda Dewi Sekartadji merasa terhina dan mendorong kegiatan mata-mata. Maka dikirimlah sejumlah telik cikal bakal permusuhan yang telah diduga sebelumnya sebagaimana Mpu Baradah yang menumpahkan air suci dari guci di tangannya.

“Saya memang bukan seorang raja dan selamanya tidak akan pernah menjadi raja. Akan tetapi saya seorang ayah. Bagi saya seorang ayah jauh lebih mulia ketimbang seorang raja.”

“Demikian pula saya. Sebagai seorang ayah saya akan membiarkan anak saya menuju kedewasaannya, memilih jalan hidupnya. Sebagai seorang ayah saya hanya minta dihormati oleh anak-anak saya. Saya tahu sebagai seorang ayah tidak semua yang saya percayai dan yakini suatu saat kelak masih akan cukup berguna buat anak-anak saya. Karena itu silakan anak-anak saya memakai tradisi yang kami punya sepanjang masih berguna dan membuang jauh yang sia-sia. Anakku zaman tentu akan barubah. Akan tetapi satu hal yang tidak ingin saya berubah: saya tidak ingin melihat anak-anak saya berperang saling membunuh menaklukkan yang lain. Ini petuah sebagai ayah. Apalagi sebagai ayah saya tidak sampai hati untuk membunuh anak-anak saya sendiri karena saya bukanlah nabi yang ditugaskan untuk itu.”

“Akan tetapi ini politik. Politik berkata lain. Suara raja adalah suara Tuhan. Harus ada yang dikorbankan dalam politik demi tujuan mulianya mempersatukan kembali dua kerajaan ini. Meskipun anak-anak kita sendiri yang kita korbankan. Akan tetapi bila niat baik tidak gayung bersambut, peranglah pilihannya.”

Perang saudara besar bakal terjadi dan tak bisa dihindarkan, sebagaimana dilukiskan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dalam perang besar antara keluarga Pandawa dan Kurawa dalam Baratayuda. Sebuah muasal kenangan getir bagi Kediri dan Jenggala berarak di depan mata. Sontak ketegangan politik kedua negara memuncak.

“Bagaimana Nyi Kilisuci? Apakah belum juga anda bisa memberikan petuah malam ini, untuk kami?”

“Petuah?”

“Ya.”

“Tidak. Nama saya bukan Kilisuci dan saya bukan pertapa. Satu-satunya yang menyebabkan saya sudi menyandang ini karena dipercaya Pak Jebrak dan saya pernah kuliah di Universitas Airlangga. Saya tidak pernah menolak apapun apalagi tahta dan hak saya yang musti saya terima. Kilisuci itu manusia bijak yang hanya ada dalam cerita—putra Sang Prabu Airlangga dan memilih jadi pertapa, menjadi dewa penolong yang sakti dan gaib,” tepis saya.

Saya hanya ingin katakan kalaupun saya bisa sampaikan semata-mata untuk diri saya sendiri dari suara hati nurani saya sendiri. Saya masih percaya ini. Bahwa cinta akan mengalahkan segalanya kecuali cinta itu sendiri. Ini bukan soal pertunjukkan cinta atau bukan. Tidak ada yang lebih bijak dari cinta itu. Seorang yang bijak mungkin masih menyimpan kemunafikan di dalamnya, sekalipun ia seorang pertapa. Akan tetapi setiap yang menjunjung tinggi cinta biarpun itu orang biasa, lebih agung dari kekuasaan apapun. Apalagi hanya soal politik kenegaraan. Cinta seorang kuli akan menggetarkan sebuah negara yang dibangun kokoh di atas penderitaan rakyatnya.

“Anda sekalian tentu sudah menduga apa yang bakal ditempuh oleh Mas Panji dan Aini yang dimabuk asmara. Keduanya akan bersumpah sehidup semati di atas bangunan cintanya. Demi cintanya diakorbankan segalanya, apalagi hanya seorang kuli. Ada yang tidak setuju?” saya mencoba memancing emosi penonton.

“Tapi dia sudah dijodohkan dengan Sekartaji demi tugas mulia politik kenegaraan,” seseorang mencoba berargumen.

“Ah, prek dengan politik,” langsung saya memotongnya. “Mana mungkin seorang kuli menimbang-nimbang politik? Dan lagi bukan zamannya, Bung, perjodohan seperti itu. Itu hanya ada dalam cerita panji dengan motif kekuasaan politik di balik perjodohan itu. Saya bicara kenyataan dari teropong hati nurani saya setidaknya untuk diri saya sendiri. Pengetahuan yang saya gali dari suara kecil di hati saya sendiri. Saya tidak perlu belajar cinta dari kesaktian ilmu tantra Mpu Baradah yang ternyata juga berujung dengan sekte-sekte di dalamnya.”

Pengakuan pertama dari Nyi Kilisuci langsung mengundang keributan penonton dari golongan tua. Jumlah mereka pun bertambah. Yang semula hanya dua tiga orang, lalu berkelompoklah mereka yang tidak puas dengan Nyi Kilisuci. Mereka memprotes sikap dalang yang tidak lebih mementingkan pribadi. Kesabaran mereka untuk menjadi penonton sudah mencapai titik batas. Mereka mulai timbul keinginan untuk menyampaikan mosi tidak percaya pada dalang. Juga benih-benih untuk mendongkel dalang Nyi Kilisuci tak terbendung.

“Hei…Nyi Kilisuci. Dari tadi anda bicara tentang kenyataan anda sendiri. Sama sekali pertunjukan kentrung ini tidak serius memberi pelajaran pada para penonton.”

“Ini pertunjukan. Bukan kenyataan.”

“Turun!!!”

Permintaan ini disambut hingar bingar teriakan yang sama sejumlah orang yang tidak puas. Beberapa yang tidak sabar langsung naik panggung dan menuturkan kisah sesuai versi mereka.

“Maaf saudara-saudara sekalian. Sejatinya Anggraini hanyalah duri yang tidak jelas muasalnya. Dia hanyalah pengacau garis hidup yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Hidup. Oleh karena itu, seorang Raja yang diberi kuasa Tuhan, Prabu Jayantaka musti melenyapkan gadis ingusan yang tidak tidak beradab itu. Dia musti disingkirkan karena merusak bangun tatanan dua kerajaan yang dengan kemauan mulia hendak dipersatukan. Dengan alasan politik, lantas diperintahkanlah Tumenggung Brajanata untuk mencari sarung baru keris terhunus. Setelah terlebih dahulu mengungsikan Panji ke Pucangan. Tak lain sarung baru itu adalah dada gadis Anggraini.”

Mendengar penuturan pria tak bermutu dan kurang ajar itu darah saya tersirap. Saya emosi karena darah perempuan saya merasa dihinakan. Saya kira ini seringkali terjadi, tetapi karena ini di depan mata, mustahil saya membiarkannya. Emosi saya tidak tertahan karena ini berkait erat dengan kenyataan dan bukan sekadar pertunjukkan yang diagung-agungkan pria tak mau berpikir itu.

“Sebagai perempuan, saya tidak terima dengan sikap anda meremehkan perempuan. Sebagai orang yang mengagungkan pertunjukkan pun anda sangat tidak menghormati dalang. Tidak hanya itu, anda pun telah begitu sombong di hadapan kekuasaan dalang yang lebih tinggi. Sejujurnya perlu saya sampaikan, meski sama-sama perempuan saya justru mendambakan hidup di bawah bayang-bayang cinta sejati Dewi Anggraini. Sama sekali saya tidak menghendaki pribadi Kilisuci. Anggraini, dialah perempuan yang sebetulnya tokoh utama dalam pertunjukan malam ini. Tanpa Anggraini, pertunjukan ini tanpa makna. Tanpa Anggraini malam gelap berkepanjangan karena Anggraini senantiasa memancarkan sinar gairah cinta sepanjang masa yang tiada berkesudahan. Hanya orang-orang yang menerima takdir pengetahuan akan keindahan yang terbuka hatinya menangkap bias sinar cinta dari perempuan Anggraini. Bagi saya, Dewi Anggraini bagai rembulan. Tapi anda sekalian dengan kebodohan yang lestari hanya berusaha menjaring rembulan sambil menusuk-nusuk tubuhnya dengan reranting dahan. Maaf saya kira saya berkata demikian lebih dari semata-mata karena saya seorang perempuan, Tuan-Tuan,” tiba-tiba suara saya seperti air hujan.

“Rembulan tidak akan pernah bersinar tanpa matahari, bukan?”

“Hei..lumayan juga pikiranmu tukang becak.”

“Tapi sebaiknya dalam pertunjukkan ini kita tidak mempertajam masalah keadilan laki-laki dan perempuan. Itu terlalu masuk ke dunia nyata.”

“Yang ingin saya tegaskan,” tutur saya, “Setiap takdir tidaklah musti tak bisa ditawar. Dan itu telah banyak dilakukan oleh gadis Anggraini, perempuan yang miskin, lemah. Akan tetapi dengan jiwa besarnya, ketulusannya, cinta kasihnya ia menawar itu takdirnya hingga di ujung keris Tumenggung Brajanata. Inilah mimpi saya di dunia nyata, saudara-saudara sekalian. Mimpi saya yang tak pernah menghampiri tubuh dan jiwa saya. Oleh karena itu saya pun tak punya keberanian untuk menyampaikan mimpi-mimpi saya ini dalam setiap pertunjukkan ini. Terus terang saya tidak memiliki kekuatan dan kemampuan batin untuk itu, biarpun sebetulnya saya sebagai dalang diberi kuasa. Ini pertarungan hebat dalam jiwa saya antara kenyataan, pertunjukkan dan mimpi saya sendiri. Mohon saudara-saudara sekalian memaklumi. Sesungguhnya saya bisa mempengaruhi saudara-saudara sekalian dengan segala daya pikiran, perasaan, dan hati nurani saya. Bila perlu dengan mengutip ayat-ayat kiriman Tuhan. Akan tetapi sejujurnya saya tidak bisa. Akan tetapi saya kira bila itu terjadi, saya bukanlah dalang yang menjaga amanah dengan baik. Karena sebagai seorang dalang saya pun seorang pribadi yang memburu amanah untuk diri saya sendiri. Saya kira pengalaman batin saya pun hanya untuk diri saya sendiri, tidak untuk diberitakan, dikabarkan apalagi untuk membuat reputasi saya sebagai dalang kian menjulang. Tidak. Sudah menjadi tekad saya untuk menjadi dalang tanpa wayang, penyair tanpa syair, saudara-saudara sekalian.”

Sebagai dalang, yang bisa saya lakukan hanyalah menggelar pertunjukkan ini. Lalu saya menjadi pelayan yang mengajak saudara-saudara sekalian mandi cahaya sinar rembulan dari pertunjukan ini. Siapa diantara kita yang mencium sedekat-dekatnya pada kerendahan hati rembulan, maka niscaya pertunjukkan seperti malam ini akan abadi, dinanti dan tak pernah lekang oleh waktu.

Hmmm….betapa rendah hati sang rembulan meski dirinya tak pernah bersedih karena tak memiliki cahaya itu dengan sendirinya, namun ia iklas membagi kepada siapapun di alam ini. Tak pernah pilih kasih, tidak pernah gelisah sekalipun terpenjara di reranting pepohonan atau kedinginan di danau yang teduh, tak pernah kesepian sekalipun kehadirannya hanya untuk menjadi saksi setiap bencana atau petaka. Kesabarannya mengumpulkan cahaya sepotong demi sepotong sebelum menuju purnama adalah kesabaran yang dianugerahkan padanya di dunia nyata.

Bayangkan andai kata di dunia nyata, seorang panglima tentara lulusan terbaik dan jam terbang tempur yang tinggi bernama Brajanata tiba-tiba dipilih untuk membunuh seorang perawan manis dengan kecantikan luar biasa. Apa yang terjadi?

“Jadikan dia istri kedua. Beres!”

“Tapi suara Tuhan membisikkan dia harus membunuh dan tangan Tuhan menyerahkan sebilah keris untuk disaruhkan pada dadanya.”

“Ya..Tuhan yang ini biadab betul.”

“Lanjutkan.”

Maka sang tentara itu bergelut, bergulat dengan batinnya sendiri sebagai seorang ksatria yang tinggi jam terbangnya di medan kurusetra. Seorang yang kemudian tersudut untuk menaklukkan keragu-raguan dalam dirinya, seorang yang terpilih karena telah menyimak petualangan Batara Krisna terhadap Arjuna yang ragu dalam Bhagawadgita. Inilah sebuah kisah keraguan untuk melenyapkan saudara, orangtua bahkan gurunya.

Kini keraguan itu musti ditaklukkan Brajanata sekalipun harus menghunus seorang wanita, perawan dengan kecantikan luarbiasa. “Jangan engkau berbicara sebagai perempuan! Engkau adalah kesatria Jenggala yang mengenal kehormatan dirinya!” Bukan keragu-raguan itu yang menusuk kalbu, tapi kesanggupannya yang menuntut layu kehormatan dirinya. Betapa Brajanata harus menipu, memaksa diri dari dosa, membunuh, entah atas nama apa. Kehormatan? Tugas negara? Ataukah bukan atas nama itu semua?

Kekalahan pertama Panglima Tentara Nasional Kerajaan itu di hadapan perawan Anggraini adalah saat ia keluarkan jurus akhirnya: membujuk. Dibujuklah Anggraini menyusul kekasih tercintanya, Panji yang sedang gerah ke Muara Kamal. Kita semua tidak bakal tahun dan tiada yang sanggup menyingkap isi pikiran gadis Anggraini dan Panglima Brajanata selama diam dalam perjalanan. Mustahil bisa. Kalaupun bisa tentulah cuma karangan atau dalam pertunjukkan.

Di tengah hutan itulah, kekalahan kedua Temenggung Brajanata, saat melampiaskan niatnya membunuh Anggraini. Dia tak pernah bisa melenyapkan keraguannya untuk membunuh gadis itu. Jelas Brajanata seorang tentara yang desersi karena keraguannya makin menggila saat Anggreini justru ikhlas dibunuh begitu dirinya tahu jadi penghalang perkawinan Panji dengan Sekartaji demi kepentingan kerajaan.

“Bagi saya seorang perempuan, saat seperti itu yang terjadi adalah ketika Panglima Tentara masih tertutup keraguan oleh belas kasihan, dan juga hati dan nyalinya yang luluh lantak, Anggreini cepat menyarungkan sendiri keris itu ke dadanya terucap dengan kata yang teramat menyentuh: Biar kuhapuskan diriku sendiri karena adaku di dunia hanya menambah beban kepada orang lain.”

“Sebagai seorang lelaki, andai saya Brajanata, sudah pasti saya menyaksikan itu semua dengan perasaan hancur. Karena jiwa ksatrianya takluk di depan seorang wanita. Ya, ketabahanku tak ada artinya dibandingkan ketabahan dan kesedihannya dalam meleburkan diri guna kepentingan yang lebih agung.”

“Andai saya seorang Panglima Tentara….”

“Ssstttt….percuma. Tentara belum boleh bersuara….”

Anggraini telah sirna. Bagai angslup di lembah terdalam dan tertahan reranting dahan.
Semenjak itu Panji dalam duka terdalamnya jatuh dalam kemuraman panjang. Ia jadi pemabuk, hilang ingatan dan hidup hanya dalam bayang-bayang matahari.

Takdir lain juga terjadi pada Sekartadji. Ia menyingkir dari kediamannya dan tak pernah punya keberanian untuk menunjukkan muka. Ia sibuk menyembunyikan diri di balik topeng wajahnya manakala tampil di hadapan orang banyak.

Pertunjukkan ini tak pernah selesai sampai di sini.

Tidak pernah ada yang sanggup membunuh Anggraini, apalagi membunuh cintanya. Sebaliknya mereka kian memuja cinta gadis itu. Demikian pula tokoh Panji selalu enggan untuk menjadi gila—meski seharusnya hilang akalnya. Sementara pada Sekartadji kebanyakan malah lebih suka mempertontonkan parasnya, terutama bila bermaksud berbuat kebaikan mottonya pun kini: rame ing pamrih sepi ing gawe.

***

SAYA sendiri tidak pernah benar-benar lulus dari setiap ujian hidup. Saya gagal menemukan jati diri saya sendiri. Saya kandas meraih gelar sarjana dari spesialisasi filologi Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Apalagi saya pun tak bisa memegang amanah menjadi dalang dengan baik. Mungkin karena saya perempuan. Tetapi saya sendiri menyakini tidak ada hubungannya dengan keperempuanan saya.

Yang pasti saya juga kehilangan banyak hal: kesempatan juga kenangan.

Sampai suatu ketika dalam suatu pertunjukkan yang entah mungkin yang terakhir, diantara penonton itu ada sesosok lelaki yang sepertinya pernah saya kenal sebelumnya. Tepatnya dia sama-sama pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Bukan saja pernah saya kenal, lebih tepatnya kami pernah punya kenangan, pernah saling jatuh hati hanya tidak pernah terucapkan.

Namanya Panji Kuncoro Hadi. Dia seorang penyair yang semasa mahasiswa menggunakan syair-syairnya untuk memikat gadis-gadis di kampus. Salah satunya syair-syair itulah yang membuat saya terpikat padanya. Syair-syair itu tidak pernah benar-benar pergi dari tubuh dan jiwa saya. Sekalipun pada akhirnya Mas Panji pergi meninggalkan saya.

“Ini tidak adil,” katanya waktu itu. “Sebagai penyair saya tahu betul tentang keadilan dan kini saya sedang dianiaya oleh kedua orangtua saya dengan memaksa menjodohkan saya agar mengawini perempuan dari keluarga kaya. Yang benar saja, hari gini masih dijodoh-jodohin? Saya lelaki, penyair lagi. Ini lebih busuk dari Datuk Maringgih!”

Soal keadilan pula yang menjadi alasan Mas Panji selanjutnya untuk meninggalkan saya. Ia pun menjadi pemuja penderitaan. Ia juga meninggalkan gadis pilihan orangtuanya dan menyingkir dari kehidupan keluarga. Beberapa tahun kemudian, dia pun dikenal dengan kredo penyair tanpa tanah air puisi dengan buku kumpulan puisi masterpiecenya Penyair Tanpa Syair.

Betapa ini sepotong keajaiban, bila suatu malam tiba-tiba Mas Panji ada di antara penonton pertunjukan Kentrung saya. Padahal semasa mahasiswa saya tidak pernah tahu dia menjadi juru bicara pelestari kebudayaan tradisional.

“Semata-mata karena kenangan, Aini,” katanya pada saya yang senantiasa membangkitkan hasrat tarian di hati. “Ada sepenggal syair yang tak bisa kutulis tetapi menyihir saya untuk melangkah kaki di tempat ini, menjumpaimu.”

“Apa kabarmu?”

“Masih seperti dulu: memeram luka dan membalutnya dengan derita.”

“Aku rindu dengan syair-syair cintamu, Mas Panji.”

“Ah, puisi terbaikku hanyalah apa yang menjadi bayangan jiwamu. Aku dan juga syair-syairku senantiasa ada di bawah bayang-bayangmu, Aini. Jadi apalah arti sepotong puisi bagimu, kini?”

Saya tidak bisa menipu diri. Saya menangis mendengar pengakuannya.

“Maafkan aku, Aini. Jalan penderitaanku telah demikian menyeretmu jauh lebih nestapa. Saya kira kau pun tak pernah menemukan cinta itu.”

“Aku menghormatimu, Mas Panji. Cukup bagiku syair-syairmu.”

“Aini, semenjak tak ada lagi kau, lukaku adalah luka kenyataan melampaui luka kenyataan puisi. Tiada kesedihan paling muram di dunia ini selain padaku yang kehilangan syair terbaik dan tak pernah lahir sebagai sajak ini. Karena itu kukejar terus bayanganmu dengan mata batinku yang tak pernah keliru—penderitaan telah cukup mengajariku untuk itu, Aini. Malam ini kulihat bayanganmu terbang dengan sayapnya menuju arah bulan purnama. Semakin membuat mata batinku yakin engkaulah kekasih para dewa. Aini, sungguh aku ingin menjadi matahari bagimu.”

Sebagai perempuan tak ada yang bisa saya lakukan kecuali menangis.

“Aini, maukah kau menjadi pendamping hidupku?”

Sebagai perempuan tak ada yang bisa saya lakukan…

“Menjadi istriku, Aini.”

Sebagai perempuan…

“Bagiku hanya kau yang sanggup memberi kedamaian, ketenangan, keindahan dan kemuliaan. Kami ingin hidup disinari kegemilangan cahayamu bulan,” ungkap Panji menatap dengan sepenuhnya hasrat rindu pada rembulan.

Airmata saya menderas, seperti hujan yang menyejukkan hati. Ada yang bergemuruh seperti guntur memecah di dada saya.

“Ya. Berhentilah mendalang, Aini.”

Ini permintaan serius dari Mas Panji, selain ajakannya untuk memulai perbuatan-perbuatan baik demi kebahagiaan orang banyak dan melupakan setiap kepentingan diri sendiri. Permintaan yang saya kira setali-tiga uang dengan petuah seorang dalang.

“Ah, biarlah andai kekasihku ini menggantikanku sebagai dalang. Tak mengapa,” pikir saya.

Bagi saya tidaklah sulit untuk melepas amanah Pak Jebrak menjadi dalang. Akan tetapi yang sangat sulit saya lepaskan adalah kebiasaan saya untuk mengubah nama-nama orang susuka saya sendiri. Saya tidak peduli dengan nama. Saat demikian yang berkuasa di pikiran saya adalah: apalah arti sebuah nama. Namun di sebalik itu dalam diri saya pun diam-diam tumbuh kasih sayang pada nama-nama itu: aku punya nama, maka aku ada.

Pada detik malam purnama itu dan malam-malam selanjutnya tidak pernah ada yang menyingkap bahwa sayalah sebetulnya gadis yang dijodohkan untuk mendampingi hidup Mas Panji oleh orangtuanya beberapa tahun lalu itu. Tidak pernah ada yang kuasa membuka rahasia ini.

Saya sendiri, biarpun sebagai dalang yang sekarang beralih profesi menjadi pengarang dan menuliskan cerita ini tidak pernah tahu rahasia itu. Yang saya lakukan hanyalah mengganti nama-nama tokoh cerita saya sesuka hati saya.

Sama sekali jauh dari kemampuan saya untuk menyingkap suatu rahasia.[]

Surabaya, 25 Juni 2010

Catatan:

1) Ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia terutama dengan menelaah teks-teks sastra kuno atau sumber-sumber tertulis klasik. Menurut catatan Reymond dan Wilson (1968), filologi sudah dipelajari sejak abad ke-3 SM dan sudah berkembang di Iskandariyah, Yunani Kuna. Ilmu yang secara etimologis berarti “cinta kata” (karena berasal dari kata philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata) itu berkembang museum kuil tempat dewi kesenian Dewi Muses dalam mitologi Yunani. Di Museum inilah tempat mula kegiatan pengkajian naskah-naskah klasik yang salah satu tokohnya Erathostenes (295-214 SM) karena banyak memiliki ilmu pengetahuan juga dikenal sebagai ahli sastra. Perpustakaan di museumnya diperkirakan menyimpan 200-490 naskah. Berkat jasanya, teks-teks klasik Yunani Kuno dapat ditemukan dan sampai sekarang dalam keadaan baik. Sementara Universitas-universitas di Indonesia mengembangkan filologi melalui teori-teori dari sarjana-sarjana Belanda.

2) Cerita ini diilhami pengalaman Suripan Sadi Hutomo yang kemudian disebut Dalang Kentrung di hadapan tim penguji doktoralnya di Universitas Indonesia. Suripan, seorang doktor yang dijuluki “Doktor Kentrung, ” tak lain karena perhatiannya yang luas pada tradisi lisan, khususnya kentrung. Disertasinya yang dipertahankan di hadapan penguji Prof. Kuntjaraningrat, Prof. Harsya W. Bachtiar, Prof Sujudi dengan promotor fokloris Prof. Dr. James Danandjaja berjudul Sarahwulan: Cerita Kentrung dari Tuban. Suripan lahir di desa Ngawen, Kec. Ngawen, Blora, 5 Februari 1940 dan setamatnya dari SMA Bag. B di Blora, melanjutkan studinya ke FKIP Universitas Airlangga, Malang, tamat tahun 1968, lalu 1978 –1980 mempelajari filologi di Universitas Leiden, Belanda itu juga mendapat julukan “folkloris humanistis Indonesia pertama” setelah lulus doktoral dari Universitas Indonesia. Dalam laporannya Majalah Tempo, pada 15 Agustus 1987 sebagaimana dikutip Tempo Online, Cerita Kentrung Sarahwulan dibawakan oleh Mbok Rati, Mbok Jimah dan Pak Wadji (Suami Mbok Rati) mengamen di Desa Bate, pelosok 65 km dari Tuban, Jawa Timur. Menurut pengakuan Suripan, dirinya memang tak asing dengan kentrung yang dikenalnya sejak di rumah keluarganya, di Blora. Waktu itu, tutur Suripan, tahun 50-an. Keluarganya yang mitoni, atau memperingati tujuh bulan kehamilan, menampilkan kentrung, untuk hiburan. Alunan kisah Joko Tarub yang disaji seorang dalang kentrung wanita, sangat mengesankan baginya. Kesan itulah yang mengantarnya mendalami kentrung. Menurut catatan Suripan Sadi Hutomo, kentrung tersebar di sepanjang sungai Brantas hingga beberapa daerah lain. Ini sastra lisan yang dibawakan seorang dalang yang terkadang seorang perempuan. Dengan berlagu, sang dalang bercerita, diiringi musik sederhana berupa gendang dan satu rebana yang dimainkan semalam suntuk. Di Blitar, kentrung itu bernama templing atau kempling. Di Kediri, Ponorogo, Kentrung disebut Jemblung. Perbedaan lain di tiap daerah itu lebih karena variasi, gaya penceritaan, gending serta perbendaharaan cerita. Masih menurut Suripan sebagaimana dikutip media tersebut, di Blitar, kelompok dalang Semi, Markam, Mat Mosan hampir selalu menggunakan tembang-tembang Jawa yang populer yang di Tuban sering diharamkan. Dalang Basuni dari Ponorogo, ketika membuka kisah senang pula membaca doa panjang lebar dalam bahasa Arab, suatu hal yang tak ada dalam tradisi kentrung mana pun. Meskipun kentrung itu tradisi lisan alias hafalan, menurut Suripan namun hal itu terkait dengan tradisi tertulis macapatan atau naskah Joharsyah yang diduga berakar dari sastra Arab-Parsi. Karena itu, ragam cerita kentrung memang sulit lepas dari suasana Islam: Nabi, wali, Arab, atau pesantren. Ada pula kisah murwakala alias pencegah bala. Karena itu, tutur Suripan, tak usah heran jika Mbok Rati masih terpikat menabuh gendangnya, walau usianya hampir 70 tahun. Ia mendalang lantaran warisan. Mbah Siman dan Mbok Sukila, orangtuanya, dulu memaksa Rati kecil untuk belajar mengentrung. Tentang cerita yang dihafal, Mbok Rati mengaku hanya menguasai enam saja. Banyak hal yang menyebabkan kesenian ini mati, termasuk diantaranya mitos kentrung sendiri. Konon untuk jadi dalang kentrung, orang itu harus pula keturunan pengentrung. Konon pula, para pewaris kentrung selalu berakhir buta. Kerabunan mata Mbok Rati yang kini sedang menuju proses kebutaan, katanya, adalah gara-gara kentrung. Andai Mbok Rati masih hidup mungkin sekarang dia bersedih, melihat satu-satunya anaknya—karena ia tak memiliki putra lain—kesenian kentrung telah tenggelam di telan zaman. Sesedih syair-syairnya berikut ini: sampun bakdo anggen ngentrung/dulure sing duwe omah sampun bakdo dikentrungi/ngentrung ono babakane/ sepur ono setasion/gerobak ono nepose/perahu kapal ono jangkare… Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada Jumat, 23 Januari 2001.

3) Dalam pengantar naskahnya tersebut, Akhudiat dramawan kelahiran Rogojampi, Banyuwangi, 5 Mei 1946 itu menulis: Suatu malam, ketika umur 7 tahun, di kampung Krajan, Rogojampi, Banyuwangi, saya nonton kentrung konon dari Trenggalek. Sekali itu melihat dan sampai sekarang tak pernah jumpa kentrung. Dalang membacakan kisah Jaka Tarub. Naskah ini salah satu yang memenangkan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta tahun 1974. Naskahnya yang lain Graffito (1972), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975), Re (1977), dan kesemuanya memenangkan sayembara penulisan lakon versi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

4) Terjemahannya: Dengan demikian si dalang sungguh merupakan gambaran sejati sang raja. Raja itu wakil sang nabi, sang nabi wakil yang maha agung, bila kita memandang raja atau nabi, kita seolah-olah memandang yang agung. Dinukil dari megatruh, Centini V dalam P. J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Penerbit Gramedia, 1990: 289

5) Menurut ahli filologi Poerbatjaraka sebagaimana dicatat Sejarawan Prof Aminudin Kasdi, berdasarkan strukturnya Cerita Panji selalu menampilkan empat orang raja bersaudara, saudara tertua menjadi seorang pendeta bernama Kilisuci. Empat kerajaan yang disebut adalah Jenggala atau Kuripan, Daha atau Kedhiri atau Mamenang, Gagelang atau Urawan dan Singasari. Konon kini tempat yang disebut-sebut Biara Pucangan adalah di sekitar komplek Candi Jolotundo di Gunung Penanggungan, Dusun Biting Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Candi Jolotundo merupakan peninggalan Prabu Airlangga dan komplek tersebut juga diyakini sebagai tempat pertapaan Prabu Airlangga. Pada relief tertulis tahun 899 saka atau 977 Masehi. Dari catatan arkeolog asal Cologne, Jerman, yang meraih doktor di Sydney University dengan spesialisasi studi Cerita Panji, penemuan situs Gunung Penanggungan ini bermula dari arkeolog Belanda yang beberapa kali naik gunung tersebut. WF Stutterheim dan A Gall pada 1936 bersama penduduk setempat menemukan puing situs dan arca. Pada 1940-an VR van Romont juga naik dan menemukan punden, candi, pertapaan dan situs-situs yang mencapai jumlah 81 buah. Kekhasan Gunung Penanggungan puncaknya dilingkari 8 bukit. Konon dalam mitos sastra Jawa Kuna, Tantu Panggelaran dikisahkan ada gunung suci Gunung Meru yang dibawa oleh dewa-dewa dari India ke Jawa, karena luarbiasa besar dan jauh perjalanan, ada bagian gunung yang terjatuh di bagian barat Jawa. Sehingga pulau Jawa seimbang dan yang di bagian timur jatuh, puncak gunung dekat Penanggungan sementara badan gunung menjadi Gunung Semeru. Jadi Gunung Penanggungan tak lain adalah bagian atas Gunung Meru yang dianggap suci tersebut.

6) Terjemahan bebasnya: “kematian di dalam hidup dan hidup dalam kematian.”

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae