Sabtu, 26 Februari 2011

Epik dan Lirik yang Panjang Umur

Asarpin
http://www.lampungpost.com/

Biasanya saya akan menjawab agak ragu: Dengan seluruh tubuhnya. Ototnya menarik denyut pikiran, bulu pada dagingnya mengernyitkan denyar rasa yang menukik di kedalaman, otaknya bekerja merangsang bibir, gigi, lidah menggiring darah. Darah pada jantungnya memompa mesin perasaan, paru-parunya menapaskan atau mengembuskan. Maka jadilah puisi. Dan kena sentuh puisi Iswadi, maka bahasa membatu dan selanjutnya ia tamat sebagai bahasa; ia menjelma sajak.

Karena hampir semua ritme sajak liris terbentuk oleh kerja menghela napas dan mengembuskannya, seperti pendirian klasik Whitmen juga diakui Octavio Paz, maka hampir tak ada kata yang tepat untuk melukiskan makna sebuah sajak. Tapi izinkan aku mengutip sebuah frase dari kalif keempat kita dalam buku terjemahan Nahzul Balaghah: Kerja menghela napas dan mengeluarkannya, bisa menghasilkan embusan-embusan spiritual, atau ahwal, yang sesungguhnya berasal dari yang Maha Tanpa Muasal. Di sinilah “Sang Maha Tanpa Muasal memasukkan embusan-embusan di hatimu tanpa kau sadari”.

Puisi Iswadi, sebagai objek yang tersusun dari dan oleh kata-kata, memang tak gampang diberi label ini dan itu. Kata-katanya mengalir-masuk perlahan menukik dinding keharusan, seperti tetes hujan melubangi batu. Karena itu, atau karena salah satu tabiatnya itu, objek-objek (yang) tersembunyi atau terangkat ke permukaan sajaknya, justru tak tergapai pembaca. Lebih lagi jika pembaca seperti saya tidak akrab dengan metafor puitis Iswadi, yang hemat saya cenderung ekuivalen dengan yang lain.

Kefasihan mengungkapkan kehendak yang sederhana, remeh, yang kadang jelas kadang gelap, dengan lentik-lentik lirik yang menimbulkan epik, agaknya perlu mendapat perhatian sedikit di sini. Zaman epik yang dianggap telah berlalu ternyata masih hidup; mungkin tidak akan pernah berakhir. Walau perkembangan puisi kini nyaris sampai pada titik akhir sebagai alat menulis drama dan novel, epik tetap berada dalam pesona. Bisa jadi “warna” epik merupakan transmutasi atau patahan dari konvensi dramaturgi yang melahirkan sesuatu yang baru tapi bukan baru, bukan baru tapi juga baru. Bila biografi Iswadi kita sertakan di sini, tidak mustahil konvensi dramaturgi yang selama ini ia geluti juga bagian dari upaya menguatkan kematangan aku lirik dan epik.

Membaca kecenderungan wawasan puitik Iswadi memang harus bingung, kalau tidak bukan lirik dan epik namanya. Kebingungan itu bisa memuncak bila saja kita telusuri lebih menukik di dasar lirik epik yang apik.

Setidaknya, tak kurang dari tiga buah puisi setengah lirik setengah epik dalam Gema Secuil Batu: Fragmen Pertempuran, Fragmen Tanjungkarang, Dongeng Pepohonan. Ketiga sajak ini terasa membangkitkan kembali semesta gema dan analogi. Lirik dan epik adalah–sambil mengutip Karlina Leksono dalam konteks lain–”tradisi kuna yang panjang umur”.

Iswadi bekerja lewat proses transmutasi menjadi transformasi: Antara sajak liris dan mitos akhirnya menghasilkan gaya epik. “Sudah mafhum jika puisi epik bersandar pada dinding mitos–atau sesuatu yang dimitoskan atau seolah-olah mite–sebagai bahan mentahnya”, tulis Octavio Paz suatu kali.

Metamorfosa epik menjadi novel selama ini terjadi karena kemunduran relatif mitos di tangan sejumlah penyair modern di Barat. Sementara di Timur, sejumlah mitos terdesak pula oleh utopi politik sekaligus utopi erotik.

Mitos memiliki kedekatan dengan puisi liris dan filsafat. Dalam puisi liris, kedekatan itu terdapat dalam fungsi minimalis dari kata. Dalam filsafat, yaitu koinsidensi dengan gagasan semesta.

Dalam Gema Secuil Batu, ekuivalensi antara puisi lirik dan mitos menghasilkan epik pranovel yang tak mudah dibentang-pisahkan sebagaimana membentangkan waktu kronometris dan episode dalam epik yang telah jadi novel sekarang. Epik pranovel pradrama dekat dengan mitos; dan adalah mitos itu sendiri sekaligus puisi liris itu sendiri.

Proses yang unik ini sesuai dengan kelahiran tradisi epik sebagai bentuk-tengah atau bentuk-antara: Sejarahnya adalah tersingkapnya ruang antara sajak liris dan mitos, yang melahirkan sajak epik. Ruang interior atau lawa yang melahirkan puisi epik itulah yang kini tak lagi banyak digeluti oleh penyair.

Kehadiran lirik menjadi epik dalam Gema Secuil Batu bisa dinikmati melalui sekian banyak tema yang jadi kebutuhan eksistensial lirik dan epik. Pemaparan epik dalam puisinya tidak terlampau ketat. Alurnya buntung, tidak lengkap, tidak ada tahap-tahap atau episode-episode dan penokohan yang spektakuler.

Namun ada beberapa bentuk cerita dengan adegan-adegan yang seru nan syahdu, nenes, dan cengeng, dialog-dialog batin dalam ragam bentuk, deskripsi-ilustrasi dan musikalisasi, amanat, dan sublimitas yang sederhana, cukup kena, dan menggugah saya.

Semua ciri epik sebelum jadi novel dan drama begitu tipis jaraknya dengan lirik sehingga sulit sekali membedakan keduanya dengan tegas, sebagaimana halnya membedakan antara kata dan imaji dalam puisi Iswadi. Sublimitas “peristiwa” sering (hanya) dikonstruksi dengan sederhana, kadang dengan memasukkan tema sepele dan jauh dari tragedi dan kemabukan, apalagi histeria.

Kata hampir semuanya sunyi, bisu. Sikap kepenyairan yang jelas-jelas “fanatisme pada puisi” yang terungkap lewat frase “betapa nikmat hati yang tak bisa pasti” sebagai lawan dari ilmu pasti. Kata dan kalimat tersusun bagai tenun hening jiwa sebagai lawan tenung yang memaksa waktu.

Memang terdapat beberapa sajak yang membahana, hendak bermantra, tetapi tekanan bahana akhirnya jadi gema di ujung, dan terus masuk dalam bisik lirih seumpama subuh, kadang seperti asap yang senyap, bukan awan yang bergelombang, hingga melahirkan matra kewaktuan dan bukan matra keruangan.

Ketika komunikasi lewat kata telah diperalat sedemikian rupa, maka “gramatika secuil batu” bisa menjadi media yang tangkas untuk berkomunikasi dalam puisi. Ketika ada sesuatu yang dirasa mengganggu, maka batu adalah arsenal yang ampuh di tangan penyair.
***

Ada beberapa penyair yang juga menerbitkan buku puisi dengan judul batu. Sitor Situmorang dan Radhar Panca Dahana adalah dua nama yang dekat dengan gramatika kebatuan alias kebisuan.

Saya ingin menggunakan kembali kutipan saya atas telisik puisi Biografi Kehilangan Dina Oktaviani dalam membaca gramatika puisi Iswadi–yang keduanya memang bagaikan suami-istri yang serasi dan sama-sama “anak spiritual Goenawan”.

Melanggar sedikit gramatika tak mengapa, asal seperti Iswadi yang berhasil mengkrital pengalaman komunikasi yang tidak melantangkan suara, tetapi kediam-dirian yang hening. Puisi-puisinya ibarat seutas tali kebisuan, di mana gema bahasa hanyalah simpul-simpulnya. Artinya: Bunyi bukan yang utama.

Komunikasi dalam puisi tak cuma dengan bersuara. Seperti bunyi frase puitik Ivan Illich–dalam terjemahan yang kena oleh Goenawan Mohamad–komunikasi dengan kebisuan adalah kefasihan dari diam.

Kalau betul bahwa kata-kata adalah bagian dari keberdiam-dirian, begitu kata Illich, maka yang terdengar elok-laku-nian bukan bunyi atau suara, melainkan keheningan akan proses batin si pembuat kata itu. Berkomunikasi dengan diam, karena itu, menyuguhkan keintiman reflektif yang terasa lebih intens dan intim ketimbang dengan bersuara.

Sudah jelas dalam puisi ada bunyi dan sunyi, bahana dan diam, tetapi yang dominan dalam puisi Iswadi jelas bukan bahana, bukan bunyi, melainkan sunyi dan diam. Kalaupun masih terdengar bunyi, maka seturut dengan Iswadi, itulah bunyi suci (wingit).

Ada beberapa saja puisi yang melantunkan bunyi i di tengah dan di ujung baris, selebihnya bunyi a komposisi gerak-diam. Batu diam. Waktu membisu. Secuil batu yang bisu adalah material yang mengkristal. Batu pualam menjadi batu kaca. Batu tidak semua seperti hazar aswad karena ada batu damar yang berkilau bagai Acer Crystal di komputer tempatku mengetik telisik ini.

Batu adalah bagian dari laku kediamdirian yang membatu. Batu yang tergeletak di sudut jalan, di tepi kali, di sungai dan pegunungan,

sebagai material intim dalam Gema Secuil Batu.

Dengan batu, membatu, makna dan arti pun seperti udang di balik batu. Kadang bukan arti dan makna yang hadir, apalagi makna konotatif, melainkan cukup nikmati saja karena memang nikmat membacanya (di antara sajak nikmat membacanya adalah Seorang Sahabat, Selalu Kukatakan Padamu, Memandang, dan Asmara). Metafor-metafor mungil dan sepele mengandung isyarat pekat-kental.

*) Pembaca sastra.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae