Menculik Rangda

Yuliarsa
http://www.balipost.co.id/

AKU tiba di desa. Di bawah papan "selamat datang" aku berhenti. Langit merah di balik rumpun kelapa, beri bayangan seolah desa mengambang bagai pulau di tengah laut sawah.

Penduduk tak akan selamati aku kalau tahu maksud kedatanganku yaitu mencuri sebuah pusaka (berbentuk topeng) tersimpan di belakang pura. Barang pusakaku sesungguhnya.

Bapakku dulu seniman tenar di desa ini. Penari, pemahat, pande, pengidung, dukun juga. Kelompok tari Calonarang-nya terkenal disegani di mana-mana dan menantang. "Siapa berani, aku ini Durga," pekik bapakku dari balik topeng Rangda, mentas dekat kuburan tengah malam.

***

Suatu hari bapakku hilang. Kelompok tarinya lantas bubar bagai serdadu tanpa komando. Tidak ada yang berani perankan Rangda, dewi kematian itu lagi. Topengnya lalu disimpan di dalam bilik belakang pura. Malam tertentu, kata penduduk, topeng itu suka mengeram, meraung sendiri. Maka dijauhi, diberi sesaji, dan ditinggal lagi. Bilik itupun jadi angker. Pohon beringin menyerubungi dengan akar bergelantungan. Sedikit sinar menerobos antara daun bergoyang menari di atas atap, bagai roh gaib mengawalnya.

Kuparkir sepeda motor di balik rumpun rumput di ujung sawah. Menunggu sampai tak ada orang lagi lewat di sana. Beberapa petani di kejauhan makin menjauh, pulang bersama kelam menjelang malam.

***

Malam itu sempurna gelap, sempurna sepi, tak ada bintang di langit. Satwapun bungkam. Alarm meraung dari kejauhan disusul truk menderu-deru baur derapan sepatu militer. Hanya sekompi, selebihnya penduduk desa bersenjata parang, linggis, tombak, keris, bambu runcing. Beringas garang dalam seragam tameng merah hitam, mata menyala dibakar dendam diterangi cahaya obor.

Bagai malaikat mereka dobrak beberapa rumah, menyerbu masuk, keluar lagi, menyeret lelaki, tua dan muda, wanita juga, didorong naik truk yang berjejal penuh tawanan. Tak ada teriakan, tak ada yang melawan. Mungkin sia-sia juga menjerit di tengah gemuruh dan todongan laras senapan. Justru banyak yang keluar, berdiri di depan rumah, menunggu jemputan, beberapa memanjat sendiri, bergelantungan di belakang truk, menderu, menerobos gelapnya malam pembantaian.

Ibu merangkul tubuh kecilku, tertelungkup di lantai mobil tua milik tetangga, berguncang hebat ngebut tinggalkan desa. Karung dan sarung dibentangkan menutupi tubuh wanita dan anak-anak sembunyi dari incaran penjemput maut. Isak tangis wanita yang hilang suami anak dan bapak begitu lirih, tapi tajam, sangat tajam menusuk batinku dan menggema di sana selamanya. Dari celah lantai mobil kulihat debu dan kerikil berpencar seperti pijaran bintang kecil menerobos gelap malam ke pengungsian.

***

Kata ibu, bapakku tewas dalam pertandingan perang gaib.
Sebagai dukun dan pawang sakti, tantangan mengadu ilmu harus diterima. Dan dia kalah melawan pendeta sakti dari Jawa, sekarang ikut jadi abdinya di alam sana. Memang, masih kuingat, pada waktu tertentu, penduduk ramai keluar tengah malam, berjejer di pinggir jalan menghadap bentangan sawah luas. Di seberang sana dekat pantai, pertandingan ilmu gaib (katanya) bisa menampak. Berbentuk pijaran bola api meluncur ke langit mirip meteor warna-warni, disambut bola api lainnya. Sesaat bergumul lalu meledak terpencar jadi percikan bintang-bintang kecil, bertebaran kelap-kelip ke segala arah, ke pelosok-pelosok, selokan, ke balik daun dan rimbun rerumputan. Kunang-kunang.

Menjelang pagi penduduk pulang, tak ada perang malam itu. Ditunda lain kali. Barangkali (ada yang berbisik) kunang-kunang sekitar itu adalah jelmaan roh orang yang dulu dibantai, dijejerkan di jalan, lalu dilindas truk, digusur hidup-hidup di kuburan masal dekat sana. Sebagian menjelma jadi ribuan burung bangau putih, sampai sekarang masih bergerombol di ujung desa. Seolah mengingatkan, ada suami, bapak, anak dan istri yang hilang tak pernah kembali lagi. Kebetulan saja lenyapnya bapak bersamaan dengan penangkapan dan pembunuhan politik waktu itu, kata ibu.

***

Malam sempurna gelap. Kudorong pintu. Tak terkunci. Penduduk desa mungkin yakin tak akan ada yang berani masuk ke bilik angker. Apalagi mencuri Rangda yang bermukim di dalamnya. Atau mungkin sengaja tak dijaga dengan harap lenyap sendiri, tak lagi suka mengganggu, repot memberi sesaji.

Dalam gelap kuraba-raba, Rangda disimpan dalam keranjang. Kucabut, kumasukkan ke dalam karung, setelah kuikat dalam gulungan, secepat kilat aku melompat keluar, dan menderu di atas motor. Debu kerikil berhamburan sepanjang jalan di belakangku bagai pijaran bintang-bintang kecil menerobos gelap malam.

Kurasa Rangda meronta-ronta dalam karungnya. Barangkali hanya goncangan sepeda motorku saja. Meskipun begitu, sia-sia kalaupun dia bisa menangis. Karena secepatnya malam itu harus kulewati. Besok pagi pembeli akan menunggu harga tinggi. Rangda bisa dikaji peneliti akademik. Atau dikoleksi pedagang barang antik.

* Maret 2004

Catatan:
- Rangda: salah satu tokoh/karakter dalam cerita Calonarang.
- Tameng: pasukan sipil yang dipersenjatai.