Jumat, 04 Februari 2011

Ketika Semua Berjalan Mundur

Sungging Raga
http://korantempo.com/

Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur….

KALIMAT itu berputar-putar dalam pikiran Ruminah, semacam sugesti yang kuat. Ia mendapatkan kalimat itu dari sebuah buku puisi berjudul Pada Bantal Berasap. Di situ tertulis nama pengarangnya, Afrizal Malna. Siapa ia, Ruminah tidak tahu. Ia hanya menemukan buku itu di atas meja, sepertinya milik tamu ayahnya yang ketinggalan–atau sengaja ditinggal?

Setengah jam lalu Ruminah memang masih melihat ayahnya berbincang dengan seorang tamu laki-laki yang menurutnya cukup aneh, suaranya agak berat, sepatunya besar, kepalanya botak, dan bahasa Indonesianya sangat baku. Ayah Ruminah memang sering berdiskusi dengan tamu-tamunya tentang puisi. Ia bisa memaklumi kalau teman ayahnya hampir semua aneh, sebab ayahnya penyair, suka berteman dengan yang aneh-aneh. Misalnya, ada teman ayahnya yang suka berbicara dengan celana, Ruminah lupa namanya. Tetapi Ruminah tidak pernah merasa ayahnya aneh, atau mungkin saja ia menolak logika nyata itu, bahwa sebenarnya sang ayah itu juga aneh, bahkan mungkin yang paling aneh, hanya saja Ruminah enggan untuk mengakuinya.

Koleksi buku puisi ayahnya sangat banyak, ada perpustakaan kecil yang terletak di dekat halaman belakang. Namun Ruminah jarang sekali menengoknya, sebab ia juga tak begitu tertarik dengan puisi, ia mengunjungi perpustakaan itu hanya ketika dipanggil untuk membantu membersihkan dan merapikan buku-buku yang berserakan. Ayahnya memang begitu: kalau sudah kumat–istilah “kumat” ini datang dari ibunya–maka sang ayah akan berendam berjam-jam di perpustakaan itu, mengenakan kacamata, lantas membaca seperti melahap segala-galanya. Ruminah terkadang membaca beberapa judul buku yang dirapikannya: Hujan Bulan Juni, Menjadi Penyair Lagi, Dongeng Anjing Api, Jantung Lebah Ratu, Sejarah Lari Tergesa, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing….

Karena membaca judul-judulnya saja sudah aneh, maka Ruminah tak pernah membuka barang selembar isi dari buku-buku itu, meski ia tahu bahwa ayahnya sangat berharap ia membukanya barang sesaat.

Namun rasa tak-penasaran Ruminah bobol juga ketika melihat sebuah buku puisi tergeletak di atas meja, sementara sang ayah sudah pergi dengan tamunya, mungkin ke tepi danau, mencari inspirasi, mungkin sudah menyatu dengan hujan.

Ruminah lantas iseng membuka salah satu halaman buku puisi itu, dan menemukan sebuah puisi berjudul “Di Halaman Belakang”, dan matanya terantuk pada kalimat “Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur.”

Ia berhenti di situ, dahinya mengernyit. “Apa benar?” gumamnya. Sejenak ia merenung. “Kalau begitu kenapa tidak ada yang mau berjalan mundur, ya?”

Entah mengapa, Ruminah mencerna kalimat itu begitu cepatnya. Ia mulai berpikir, matanya melihat benda-benda di ruang tamu: meja, sofa, guci, kaca jendela, nyamuk, lalat, semut, keramik, lampu, bayangan tubuhnya.

Ruminah hendak menciptakan tanda-tanda. Ia melihat segala sesuatu, berharap, barangkali ada yang berjalan mundur di rumah ini.

Ya. Barangkali, ada.

“NAH, pasti ayah belum membaca kalimat di puisi itu. Ayah ‘kan tidak berjalan mundur,” pikir Ruminah di malam harinya, ketika ia tak bisa tidur akibat kalimat itu. Tiba-tiba ia ingin sekali menunjukkan halaman buku puisi yang masih diingatnya itu kepada sang ayah, tetapi ayah dan ibunya sedang bertandang ke rumah tetangga, barangkali ada keperluan. Lagipula, entah di mana buku itu sekarang: baru saja ia ke ruang tamu, tetapi meja telah kosong, sang ayah pasti sudah merapikannya. Pasti akan susah sekali buku itu dicari di perpustakaan. Ia jadi bingung, lalu kembali ke kamar.

Sekarang Ruminah benar-benar yakin dan percaya dengan kalimat tersebut. Bahwa tak ada yang akan kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur. Ruminah mengingat-ingat, memangnya apa yang sudah ia tinggalkan selama ini?

Untuk mengetahuinya, Ruminah mulai belajar untuk berjalan mundur. Ia segera bangkit dan berdiri tegak. Ia tersenyum-senyum sendiri. Di percobaan pertama, ia mencoba melangkah mundur dari jendela menuju pintu kamar. Ruminah bergerak perlahan-lahan. Agak sulit ternyata kalau menghadap ke depan dan melangkah ke belakang. Namun nyatanya ia berhasil. Ruminah berjalan mundur tanpa gangguan, hanya tangannya yang meraba-raba ke belakang, takut menabrak sesuatu, ia menjadi lebih hati-hati, sampai akhirnya tangannya menyentuh daun pintu.

Ruminah lega. Ia bisa berjalan mundur meski hanya empat meter, tetapi ia benar-benar melihat apa yang ada di dalam kamarnya, di sekelilingnya, dan segala sesuatu menjauh perlahan-lahan.

“Kalau berjalan maju, aku meninggalkan sesuatu, tetapi kalau berjalan mundur, aku tidak meninggalkan sesuatu, justru aku yang ditinggalkan.” Ia memulai kesimpulan perdananya.

Karena masih penasaran, Ruminah mencoba berjalan mundur di tempat yang lebih jauh, kali ini dari kamarnya menuju pintu depan. Ia keluar kamar. Sejenak ia melihat jalan yang tidak lurus, meja kaca, lemari dan beberapa vas bunga, dan ia harus melakukan satu belokan.

Ruminah mulai berbalik, menghadap pintu kamar, dan mulai berjalan mundur. Kebetulan juga suasana rumah sedang sepi. Ia tak perlu was-was kalau-kalau nanti dibilang gila.

Ruminah bergerak. Langkah pertamanya berhasil, dan ia baru sadar, satu langkah saja berjalan mundur, dadanya berdegup kencang, takut menabrak sesuatu.

“Jadi, kalau berjalan mundur, kita selalu waspada.” Gumam Ruminah. Ia senang, ia senang karena menemukan hal baru, benar-benar baru meski sangat sepele. Tetapi setelah beberapa langkah, badannya menyenggol sesuatu. Ia terkejut. Sebuah vas bunga! Ruminah cepat-cepat menoleh. Ternyata tidak sampai jatuh, hanya terguling di tepi lemari. Ia lantas mendirikannya kembali, dan berbalik, melanjutkan langkah mundurnya.

Beberapa puluh detik kemudian Ruminah sudah tiba di pintu depan. Ia lega, meski kali ini agak lama dan tidak begitu mulus. Tetapi baru kali ini ia berjalan mundur. Hal sederhana yang sebelumnya tak sempat ia pikirkan. Ruminah begitu girang, ia melompat-lompat beberapa kali, tertawa sendiri, lantas bergegas masuk kamar, menutup pintu, melompat ke kasur, dan tidur.

APA yang ada di pikiran Ruminah pun akhirnya terbawa ke dalam mimpi. Dan ternyata ia mengalami mimpi yang ajaib.

Dalam mimpinya, Ruminah melihat sebuah kota, di mana semua manusia berjalan mundur; bahkan tak hanya manusia, semua kendaraan juga berjalan mundur: mobil, sepeda motor, becak, gerobak sampah, bus kota, mikrolet, truk, kereta api, hingga pesawat di langit, semuanya mundur. Namun anehnya, tak satupun dari kendaraan itu bertabrakan. Seakan-akan ada mesin otomatis yang mengatur segalanya. Orang-orang pun juga tak saling membentur, mereka berjalan begitu pelan, begitu tenang. Setiap kali hendak berbelok, mereka berhenti, seperti menunggu sesuatu.

“Tidak, tidak,” gumam Ruminah. “Mereka tidak bertabrakan karena mereka saling berhati-hati.”

Ruminah mulai mencari pembenaran atas apa yang dilihatnya. Ia juga melihat ke arah matahari, yang jangan-jangan juga berjalan mundur!

“Aduh. Apakah hari-hari juga ikut mundur? Apakah waktu juga ikut mundur? Apakah semuanya takut akan meninggalkan sesuatu?” pikir Ruminah. Tiba-tiba saja naluri kepenyairan mulai tumbuh dalam dirinya, tentu saja Ruminah tak menyadarinya. Ia mulai mempertanyakan hal-hal yang mendasar: apakah orang-orang pernah mengamati sendiri jejak kaki yang ditinggalkannya? Apakah orang-orang melihat benda-benda apa yang meninggalkannya? Apakah orang-orang sudah tidak lagi rakus untuk melihat apa yang jauh di depannya, melainkan sibuk untuk melihat apa yang justru ditinggalkannya?

“Dengan berjalan mundur, seseorang bisa melihat jejak kakinya sendiri, seseorang bisa melihat seluruh benda menjauhinya, namun tak satupun yang luput dari pandangan.”

Tetapi dalam mimpinya itu ia heran, tak ada seorang pun yang dikenalnya, semua adalah orang-orang asing, kotanya pun asing.

“Ini bukan Purworejo,” batinnya. Namun hal itu tak mengurangi ketakjubannya, ia mulai menelusuri kota, mencari barangkali ada yang dikenalnya. Dan ia semakin heran.

“Seharusnya mereka tetap bertabrakan, setidaknya satu atau dua kali. Aku saja menabrak vas bunga sewaktu berjalan mundur dari kamar ke pintu depan. Orang yang berjalan maju saja masih sering bertabrakan, apalagi kereta api kalau lewat perlintasan yang tidak ada palang pintunya, suka menabrak mobil sembarangan.”

PAGI harinya, Ruminah bangkit dan melompat ke depan cermin. Setelah merapikan rambutnya yang kusut, ia segera melangkah ke pintu, membukanya. Dan ia terkejut.

Ruminah melihat ayah dan ibunya berjalan mundur. Ia menoleh ke kiri, kucing Persia peliharaannya juga ikut mundur, dan ia pun semakin heran ketika melihat ikan-ikan di akuarium juga berenang mundur dengan ekor warna-warni yang senantiasa bergerak menciptakan riak air.

Apa aku masih dalam mimpi, gumamnya. Ia segera menggigit bibirnya sendiri untuk membuktikan bahwa ini bukan mimpi, ia juga mencubit pergelangan tangannnya beberapa kali, sampai akhirnya lari ke kamar mandi, mengguyur kepalanya dengan air.

Bukan mimpi.

“Ada apa, Ruminah?”

Terdengar suara ayahnya dari arah meja makan. Ruminah segera meraih handuk, ia merasakan semuanya, gigitan di bibir, cubitan, dan guyuran air. Tetapi ia masih tidak percaya. Ia berhambur menuju ayahnya, tentu saja ia berlari maju.

“Ayah. Apa ini masih mimpi?” tanya Ruminah dengan sedikit terbata-bata.

“Hah? Mimpi?”

“Ya. Apa ayah sudah baca satu kalimat di buku puisi yang tertinggal di meja kemarin?”

“Buku puisi?”

“Betul. Buku puisi Afrizal Malna. Kenapa sekarang ayah berjalan mundur? Apa ayah sudah membaca kalimat ‘tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur’? Apakah ayah takut meninggalkan sesuatu?”

Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu, justru ayahnya yang tak paham. Sejak kemarin lelaki itu memang sudah heran, mengapa anak gadisnya tiba-tiba berjalan maju, ke depan. Padahal semua makhluk yang bisa bergerak di dunia ini, di atas bumi ini, termasuk waktu dan hari-hari, sejak dahulu jelas berjalan mundur.

“Sudahlah, kamu ini aneh-aneh saja. Ayah mau berangkat kerja.” Lelaki itu beranjak dari meja makan, berjalan mundur ke pintu depan, mengambil sepatu.

“Tapi, Yah. Ini pasti gara-gara…”

Ruminah berlari mengejar ayahnya, tetapi belum selesai ia bicara, gadis itu terkejut bukan kepalang. Jantungnya hampir saja lepas melihat apa yang ada di hadapannya.

Kali ini, sang ayah memakai sepatu di atas kepalanya.
***

Sungging Raga lahir dan dibesarkan di Situbondo, Jawa Timur. Kadang-kadang tinggal di Yogyakarta untuk bekerja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae