Asarpin*
Lampung Post, 6 April 2008
ADA dua cerpen S.W. Teofani yang pernah terbit di Lampung Post yang menggoda imaji saya saat membacanya: Gapura Pulau Panggung (12-2-2006) dan Gapura Doa (16-3-2008). S.W. Teofani belum begitu dikenal sebagai penulis cerpen, bahkan namanya sangat samar, tapi dua cerpennya ini hemat saya layak dipertimbangkan. Teofani mampu menghadirkan kersik kata-kata tanpa beban dalam berbahasa. Alunan rimanya terasa hening seperti peri kesepian-sejenis vibrasi yang hanya memberi perhentian sejenak untuk kemudian berjalan mengalir pelan dan bening menuju mata air sumber kecemerlangan.
Dua cerpen ini ingin saya lekatkan dalam satu laboratorium pembacaan teks yang hidup dalam menangkap daya kekuatan pengarang dalam mendayakan harkat kata dalam cerita yang memang pendek. Dua cerpen ini pantas disebut “cerita isotopi” dengan semangat kasih sayang yang menyuguhkan teknik penulisan cerita yang piawai dengan kata-kata yang isotopinya sendiri nyaris tandas.
Bahasa dari Duka yang Bisu
Metafora gapura dalam dua cerpen ini mendulang keakraban dan keintiman sang narator yang berusaha mempermainkan gebalau hidup di tengah chaos. Sang pengarang bahkan ingin menghadirkan suspens diam-diam dan sangat sederhana. Dalam cerpen Gapura Doa narator mengakhiri kisahnya semacam kamuflase yang tak mengejutkan karena ini memang bukan puisi: ini “Taqdir” katanya.
Dalam Gapura Pulau Panggung, S.W. Teofani-nama pena Susilowati ini-dengan intim menghayati gapura dengan menampilkan pernik-pernik psikologis antara pulang dan pergi: atau rumah dan pulang dalam cerpen. Cerpen ini mengungkai tematik cinta, takdir, dan maut yang penuh gelora. Pengarang tidak terjebak pada pskologis Freudian atau cinta Platonik, melainkan menghadirkan kisah cinta yang sejenis dengan cinta sufistik, penuh takzim pada keterbatasan dan kesementaraan manusia di hadapan Sang Khalik.
Amanah-amanah yang tampil dalam larik ceritanya memang harus tampil dan tidak mengurangi bobot diksi lirisnya. Doa sang tokoh perempuan dalam Gapura Doa tidak lagi menjelma sebagai doa syariat, melainkan sebuah puisi liris yang posesif. Bahasanya terasa gagu, kalimatnya pendek-pendek, dan tak hendak mengembang walau sering tergoda untuk berkembang. Metafora gapura pun begitu kuat menggoda imaji sang pengarang.
S.W. Teofani menampilkan denting suara penari yang meliuk seperti ranting bergoyang di dahan atau seperti menonton penyair yang menari dan bercerita dengan ringannya, berbaur seketika dengan alunan regium Mozart yang menyihir penyair. Kehadiran kembang dan bunga-bunga dalam cerpennya seakan menyuguhkan cerita fantasi yang mengajak kita masuk ke dalam cerita sembilan waktu model sufi Robiah Al-Adawiyah.
Cerpen Gapura Pulau Panggung dibuka dengan bahasa liris: Engkau datang dalam waktuku. Waktu yang selalu mempersembahkan kisah-kisah baru; entah nyata atau fatamorgana. Kita mengada di dalamnya, bersama dalam mimpi-mimpi yang menjelma dalam kenyataan. Kenyataan yang tersembunyi di balik mimpi-mimpi…Cerpen Gapura Doa dimulai dari: Aku coba melupa, menutup sirip kenangan dengan taburan doa, mengelupas tiap helai tanpa nada; meski tak pernah benar-benar mencapai amnesia. Gapura itu tetap dan selalu ada, di ceruk paling maya, mengada dalam taman jiwa. Gigir ngarai yang pernah kita sisir, memanggil dengan suara paling mesra…
Nuansa main-main masih terbaca kuat dan membuat saya terbetot oleh permainan gema, alunan detonasi dan desir pencarian yang seakan meloncatkan ludah harapan di pucuk klorofil daun damar kaca. Sebuah refleksi yang belum sampai satire tapi masuk dalam rasa hayatan yang kuat. Sayang sekali S.W. Teofani kurang teliti dalam mempermainkan logika kata-kata. Kalimatnya masih kurang pitch control dalam menyanyikan puisi kefanaan dan kehidupan lewat metafora gapura hingga seting ceritanya bunyar dan tidak masuk akal; di negeri salju (Eropa) tak berapa lama muncul harum bunga kopi dan musim durian; dalam keheningan menghayati syair khakhiwang di “tanah kelahiran”, tiba-tiba muncul kata pendingin salju kutub dan gapura itu makin indah. Kalau idiom-idiom yang menunjukkan Lampung dihilangkan justru cerpen Gapura Doa jauh lebih menawan ketimbang dipaksakan karena bisa merusak kejadian yang sedang berlangsung.
Bahasa cerpen Gapura Pulau Panggung dan Gapura Doa hampir saja mendekati bahasa Khalil Gibran-pujangga pemuja cinta dan bayang-bayang. Dalam ketangkasan mengikuti arus ritmik berbahasa, sang pengarang menghadirkan kata-kata sampai mengeluarkan gema dan tak lagi terpaku pada satu rumusan gaya dan tema yang ditetapkan ideologi media, yang masih bersifat dicari-cari.
Dalam mengiringi sebuah pemberangkatan ke negeri salju tempat bersemayam harapan dan anugerah, bahasanya menampilkan refleksi anti-sentimentalisme. Ketika sang tokoh pergi, tak ada lagi pikiran untuk bisa pulang kembali menghirup harum kopi dan laut biru atau “pulau yang damai” karena “kita terlupa tentang kehilangan”…”aku lupa jalan pulang”…”sunyi” dan “Hidup adalah hari ini yang mesti kita nikmati”, bukan kemarin atau yang akan datang.
Walau gapura sudah di depan mata, katakan saja bahwa dawai lara putri Gibran telah membuat bimbang dan memutuskan tidak jadi pulang karena sayap-sayap patah tak sampai menemui-Nya, karena kata terus saja berkisar pada makna takdir penghabisan agar sang putri Gibran bisa sampai di pantai kesadaran imaji diam, atau karena hujan telah menjatuhkan putik bunga dari kuncupnya, atau ranting kayu yang terpelanting miring dari curuknya. Ahai, biarlah logika bertabrakan asal kisah yang dituliskan jadi semerbak wewangian, menjelma rajah peri kesepian yang ingin mendaki langit lazuardi kehidupan.
Susilowati seakan menjelmakan dirinya sebagai putri Gibran yang secara layak menafsirkan Sayap-Sayap Patah, Jiwa-Jiwa Pemberontak, Tuhan-tuhan Bumi hingga Taman Sang Nabi. Warna suram begitu kuat membayang sang monolog perempuan mirip Selma Karamy yang dilukiskan Gibran tatkala jiwanya terampas di hadapan takdir yang mematahkan sayap-sayap cintanya hingga takdirnya pun berakhir. Dua cerpen satu tema ini mampu menghadirkan dialog batin yang mengawali bencana cinta sang putri Gibran yang bimbang, yang dengan tangkas mengekspresikan pulang dan pergi antara negeri salju dan negeri kopi, negeri musim gugur dan negeri musim durian.
Sang perempuan adalah sang tokoh pembebasan yang menantang di hadapan kumbang jantan:” Andai kutinggal semua kenang, kau terlunta dalam sengsara. Bila kususuri jalan gapura, tidakkah ada yang terluka?” Sang perempuan tak ingin dijinakkan dan tunduk pada pesona cinta laki-laki dan memilih melepas semua kenangan walau ia tahu apa akibatnya. Kata-katanya menggemakan larik puisi dari sang pujangga yang terluka tapi tak ingin luka untuk kedua kalinya.
Kenangan yang menyakitkan seakan terayun-ayun di gaba-gaba kenangan oleh hempasan harapan dan kedamaian abadi yang “bukan patah dahan, kekasih”, tapi sebuah keberangkatan yang sunyi menuju kehidupan. Renungan rantau yang tak ingin kembali. Sebuah ikhtiar pada ketakziman yang sementara. Sebuah renungan dalam menerima kehilangan secara lapang. Bukan meratapi atau melantunkan samudera air mata terhadap masa lalu, tapi kekinian yang menghidupkan kisah. Sebuah kematian sekaligus kehidupan. Amorfati, kata Nietzsche.
Membaca cerpen dengan desah gebalau, suatu renungan pribadi sunyi, suatu lirik bening atau bisikan senyap dari makna sepi yang hanya kedengaran bagi pembaca yang berhati besar, yang bersiap untuk paham, memang terasa nikmat. Sugesti puitik dengan klimak penampilan larik doa yang-sambil mengutip frase Dami N. Toda-sebuah rintik bening di tengah danau kehidupan yang hanya terdengar suara “plung” dengan satu kata: “Amin!” Maka larik ini dapat dibandingkan dengan puisi Terry McDonagh ini: suatu saat,/ketika kita tak berani/membicarakan beberapa sajakku/yang setengah jadi-Amin!
Metafora Pemikat Baru
Kadar makna cerpen Susilowati tidak ditentukan hanya dengan ukuran kata atau intrusi bahasa, melainkan metafora atau imajinasi. Metafora merupakan bentuk puitika bagi cerpen yang berfungsi sebagai sebuah kerja penakwilan. Kritik cerpen tidak berhenti pada sebatas ilustrasi dengan memaparkan dan menjelaskan isi sebuah cerita atau malah mencincangnya. Apa yang disebut ilustrasi (washf) kata Adonis (2007), kenyataannya cuma “bersifat gradasi”; suatu penyusunan yang “menggabungkan elemen-elemen sesuatu hingga karakteristiknya tampak melalui sifat-sifat yang sudah dikenal sebelum membacanya”. Ilustrasi sering kali menyusun sesuatu dengan hati-hati dan tekun, lamban, sementara metafora berusaha menangannya secara cepat bagai kilat yang memberikan indikasi bahwa nilai dari suatu cerpen bukanlah ilustratif tapi metaforik.
Metafora mewujud dalam vibrasi yang melirik-mengenalkan sesuatu dengan cara yang berbeda. Apa yang penting bagi Susilowati bukan lagi sesuatu itu sendiri, melainkan hubungan yang ada antara sesuatu dengan sesuatu yang lain-sebuah atribut dan makna sunyi mencari yang muncul dari kontemplasi. Metafora bukan lagi cuma hiasan yang memberikan warna dan dinamika terhadap gaya bahasa, tapi sebuah ketaksaan yang terpola pascaluka yang membedakan inti kemaknaan dalam situasi yang “normal”. Cara S.W. Teofani menyambung cerita cukup unik: “ini kali pertama kau kehilangan seorang sahabat” dan disambung “kita bertemu pada kali yang lain”.
Ketika mengekspresikan kosmos secara metaforis, sang pengarang tak hendak mengubah alam menjadi citra sesuatu, tetapi jagad itu justru bisa berubah menjadi citra itu sendiri. Dari sini tampak bahwa metafora yang ditampilkan agak main-main dan segala kemungkinan dalam menerima kehilangan, sementara cerpenisnya sendiri tidak menerimanya-entah eksplisit maupun implisit.
Di sini metafora memperlihatkan transformasi yang menjadi tinanda dari pengalaman hidup yang kepenuhan. Sang pengarang mampu mengungkai pencarian intrusi sekaligus metafora yang hidup dan memancarkan pesona hingga mata terpana oleh bobot renungan dan bisa jadi kemunculannya hanya sekali dan disusul kelahiran dua kali untuk menepati janji.
Walhasil, inilah cerpen yang menghadirkan cerita metafora pemikat baru atau permajasan yang sublim. Sang pengarang menampilkan suatu kekayaan kemaknaan dan mentransformasikan dunia bawah sadarnya dengan penuh penghayatan untuk kemudian mentransformasikan suatu fiksi menurut citra dan gayanya sendiri.
* Asarpin, Pembaca sastra
Sumber: dijumput dari http://ulunlampung.blogspot.com/2008/04/bingkai-cerpen-dari-metafora-pemikat.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar