Selasa, 25 Januari 2011

Bingkai: Cerpen dari Metafora Pemikat Baru

Asarpin*
Lampung Post, 6 April 2008

ADA dua cerpen S.W. Teofani yang pernah terbit di Lampung Post yang menggoda imaji saya saat membacanya: Gapura Pulau Panggung (12-2-2006) dan Gapura Doa (16-3-2008). S.W. Teofani belum begitu dikenal sebagai penulis cerpen, bahkan namanya sangat samar, tapi dua cerpennya ini hemat saya layak dipertimbangkan. Teofani mampu menghadirkan kersik kata-kata tanpa beban dalam berbahasa. Alunan rimanya terasa hening seperti peri kesepian-sejenis vibrasi yang hanya memberi perhentian sejenak untuk kemudian berjalan mengalir pelan dan bening menuju mata air sumber kecemerlangan.

Dua cerpen ini ingin saya lekatkan dalam satu laboratorium pembacaan teks yang hidup dalam menangkap daya kekuatan pengarang dalam mendayakan harkat kata dalam cerita yang memang pendek. Dua cerpen ini pantas disebut “cerita isotopi” dengan semangat kasih sayang yang menyuguhkan teknik penulisan cerita yang piawai dengan kata-kata yang isotopinya sendiri nyaris tandas.

Bahasa dari Duka yang Bisu

Metafora gapura dalam dua cerpen ini mendulang keakraban dan keintiman sang narator yang berusaha mempermainkan gebalau hidup di tengah chaos. Sang pengarang bahkan ingin menghadirkan suspens diam-diam dan sangat sederhana. Dalam cerpen Gapura Doa narator mengakhiri kisahnya semacam kamuflase yang tak mengejutkan karena ini memang bukan puisi: ini “Taqdir” katanya.

Dalam Gapura Pulau Panggung, S.W. Teofani-nama pena Susilowati ini-dengan intim menghayati gapura dengan menampilkan pernik-pernik psikologis antara pulang dan pergi: atau rumah dan pulang dalam cerpen. Cerpen ini mengungkai tematik cinta, takdir, dan maut yang penuh gelora. Pengarang tidak terjebak pada pskologis Freudian atau cinta Platonik, melainkan menghadirkan kisah cinta yang sejenis dengan cinta sufistik, penuh takzim pada keterbatasan dan kesementaraan manusia di hadapan Sang Khalik.

Amanah-amanah yang tampil dalam larik ceritanya memang harus tampil dan tidak mengurangi bobot diksi lirisnya. Doa sang tokoh perempuan dalam Gapura Doa tidak lagi menjelma sebagai doa syariat, melainkan sebuah puisi liris yang posesif. Bahasanya terasa gagu, kalimatnya pendek-pendek, dan tak hendak mengembang walau sering tergoda untuk berkembang. Metafora gapura pun begitu kuat menggoda imaji sang pengarang.

S.W. Teofani menampilkan denting suara penari yang meliuk seperti ranting bergoyang di dahan atau seperti menonton penyair yang menari dan bercerita dengan ringannya, berbaur seketika dengan alunan regium Mozart yang menyihir penyair. Kehadiran kembang dan bunga-bunga dalam cerpennya seakan menyuguhkan cerita fantasi yang mengajak kita masuk ke dalam cerita sembilan waktu model sufi Robiah Al-Adawiyah.

Cerpen Gapura Pulau Panggung dibuka dengan bahasa liris: Engkau datang dalam waktuku. Waktu yang selalu mempersembahkan kisah-kisah baru; entah nyata atau fatamorgana. Kita mengada di dalamnya, bersama dalam mimpi-mimpi yang menjelma dalam kenyataan. Kenyataan yang tersembunyi di balik mimpi-mimpi…Cerpen Gapura Doa dimulai dari: Aku coba melupa, menutup sirip kenangan dengan taburan doa, mengelupas tiap helai tanpa nada; meski tak pernah benar-benar mencapai amnesia. Gapura itu tetap dan selalu ada, di ceruk paling maya, mengada dalam taman jiwa. Gigir ngarai yang pernah kita sisir, memanggil dengan suara paling mesra…

Nuansa main-main masih terbaca kuat dan membuat saya terbetot oleh permainan gema, alunan detonasi dan desir pencarian yang seakan meloncatkan ludah harapan di pucuk klorofil daun damar kaca. Sebuah refleksi yang belum sampai satire tapi masuk dalam rasa hayatan yang kuat. Sayang sekali S.W. Teofani kurang teliti dalam mempermainkan logika kata-kata. Kalimatnya masih kurang pitch control dalam menyanyikan puisi kefanaan dan kehidupan lewat metafora gapura hingga seting ceritanya bunyar dan tidak masuk akal; di negeri salju (Eropa) tak berapa lama muncul harum bunga kopi dan musim durian; dalam keheningan menghayati syair khakhiwang di “tanah kelahiran”, tiba-tiba muncul kata pendingin salju kutub dan gapura itu makin indah. Kalau idiom-idiom yang menunjukkan Lampung dihilangkan justru cerpen Gapura Doa jauh lebih menawan ketimbang dipaksakan karena bisa merusak kejadian yang sedang berlangsung.

Bahasa cerpen Gapura Pulau Panggung dan Gapura Doa hampir saja mendekati bahasa Khalil Gibran-pujangga pemuja cinta dan bayang-bayang. Dalam ketangkasan mengikuti arus ritmik berbahasa, sang pengarang menghadirkan kata-kata sampai mengeluarkan gema dan tak lagi terpaku pada satu rumusan gaya dan tema yang ditetapkan ideologi media, yang masih bersifat dicari-cari.

Dalam mengiringi sebuah pemberangkatan ke negeri salju tempat bersemayam harapan dan anugerah, bahasanya menampilkan refleksi anti-sentimentalisme. Ketika sang tokoh pergi, tak ada lagi pikiran untuk bisa pulang kembali menghirup harum kopi dan laut biru atau “pulau yang damai” karena “kita terlupa tentang kehilangan”…”aku lupa jalan pulang”…”sunyi” dan “Hidup adalah hari ini yang mesti kita nikmati”, bukan kemarin atau yang akan datang.

Walau gapura sudah di depan mata, katakan saja bahwa dawai lara putri Gibran telah membuat bimbang dan memutuskan tidak jadi pulang karena sayap-sayap patah tak sampai menemui-Nya, karena kata terus saja berkisar pada makna takdir penghabisan agar sang putri Gibran bisa sampai di pantai kesadaran imaji diam, atau karena hujan telah menjatuhkan putik bunga dari kuncupnya, atau ranting kayu yang terpelanting miring dari curuknya. Ahai, biarlah logika bertabrakan asal kisah yang dituliskan jadi semerbak wewangian, menjelma rajah peri kesepian yang ingin mendaki langit lazuardi kehidupan.

Susilowati seakan menjelmakan dirinya sebagai putri Gibran yang secara layak menafsirkan Sayap-Sayap Patah, Jiwa-Jiwa Pemberontak, Tuhan-tuhan Bumi hingga Taman Sang Nabi. Warna suram begitu kuat membayang sang monolog perempuan mirip Selma Karamy yang dilukiskan Gibran tatkala jiwanya terampas di hadapan takdir yang mematahkan sayap-sayap cintanya hingga takdirnya pun berakhir. Dua cerpen satu tema ini mampu menghadirkan dialog batin yang mengawali bencana cinta sang putri Gibran yang bimbang, yang dengan tangkas mengekspresikan pulang dan pergi antara negeri salju dan negeri kopi, negeri musim gugur dan negeri musim durian.

Sang perempuan adalah sang tokoh pembebasan yang menantang di hadapan kumbang jantan:” Andai kutinggal semua kenang, kau terlunta dalam sengsara. Bila kususuri jalan gapura, tidakkah ada yang terluka?” Sang perempuan tak ingin dijinakkan dan tunduk pada pesona cinta laki-laki dan memilih melepas semua kenangan walau ia tahu apa akibatnya. Kata-katanya menggemakan larik puisi dari sang pujangga yang terluka tapi tak ingin luka untuk kedua kalinya.

Kenangan yang menyakitkan seakan terayun-ayun di gaba-gaba kenangan oleh hempasan harapan dan kedamaian abadi yang “bukan patah dahan, kekasih”, tapi sebuah keberangkatan yang sunyi menuju kehidupan. Renungan rantau yang tak ingin kembali. Sebuah ikhtiar pada ketakziman yang sementara. Sebuah renungan dalam menerima kehilangan secara lapang. Bukan meratapi atau melantunkan samudera air mata terhadap masa lalu, tapi kekinian yang menghidupkan kisah. Sebuah kematian sekaligus kehidupan. Amorfati, kata Nietzsche.

Membaca cerpen dengan desah gebalau, suatu renungan pribadi sunyi, suatu lirik bening atau bisikan senyap dari makna sepi yang hanya kedengaran bagi pembaca yang berhati besar, yang bersiap untuk paham, memang terasa nikmat. Sugesti puitik dengan klimak penampilan larik doa yang-sambil mengutip frase Dami N. Toda-sebuah rintik bening di tengah danau kehidupan yang hanya terdengar suara “plung” dengan satu kata: “Amin!” Maka larik ini dapat dibandingkan dengan puisi Terry McDonagh ini: suatu saat,/ketika kita tak berani/membicarakan beberapa sajakku/yang setengah jadi-Amin!

Metafora Pemikat Baru

Kadar makna cerpen Susilowati tidak ditentukan hanya dengan ukuran kata atau intrusi bahasa, melainkan metafora atau imajinasi. Metafora merupakan bentuk puitika bagi cerpen yang berfungsi sebagai sebuah kerja penakwilan. Kritik cerpen tidak berhenti pada sebatas ilustrasi dengan memaparkan dan menjelaskan isi sebuah cerita atau malah mencincangnya. Apa yang disebut ilustrasi (washf) kata Adonis (2007), kenyataannya cuma “bersifat gradasi”; suatu penyusunan yang “menggabungkan elemen-elemen sesuatu hingga karakteristiknya tampak melalui sifat-sifat yang sudah dikenal sebelum membacanya”. Ilustrasi sering kali menyusun sesuatu dengan hati-hati dan tekun, lamban, sementara metafora berusaha menangannya secara cepat bagai kilat yang memberikan indikasi bahwa nilai dari suatu cerpen bukanlah ilustratif tapi metaforik.

Metafora mewujud dalam vibrasi yang melirik-mengenalkan sesuatu dengan cara yang berbeda. Apa yang penting bagi Susilowati bukan lagi sesuatu itu sendiri, melainkan hubungan yang ada antara sesuatu dengan sesuatu yang lain-sebuah atribut dan makna sunyi mencari yang muncul dari kontemplasi. Metafora bukan lagi cuma hiasan yang memberikan warna dan dinamika terhadap gaya bahasa, tapi sebuah ketaksaan yang terpola pascaluka yang membedakan inti kemaknaan dalam situasi yang “normal”. Cara S.W. Teofani menyambung cerita cukup unik: “ini kali pertama kau kehilangan seorang sahabat” dan disambung “kita bertemu pada kali yang lain”.

Ketika mengekspresikan kosmos secara metaforis, sang pengarang tak hendak mengubah alam menjadi citra sesuatu, tetapi jagad itu justru bisa berubah menjadi citra itu sendiri. Dari sini tampak bahwa metafora yang ditampilkan agak main-main dan segala kemungkinan dalam menerima kehilangan, sementara cerpenisnya sendiri tidak menerimanya-entah eksplisit maupun implisit.

Di sini metafora memperlihatkan transformasi yang menjadi tinanda dari pengalaman hidup yang kepenuhan. Sang pengarang mampu mengungkai pencarian intrusi sekaligus metafora yang hidup dan memancarkan pesona hingga mata terpana oleh bobot renungan dan bisa jadi kemunculannya hanya sekali dan disusul kelahiran dua kali untuk menepati janji.

Walhasil, inilah cerpen yang menghadirkan cerita metafora pemikat baru atau permajasan yang sublim. Sang pengarang menampilkan suatu kekayaan kemaknaan dan mentransformasikan dunia bawah sadarnya dengan penuh penghayatan untuk kemudian mentransformasikan suatu fiksi menurut citra dan gayanya sendiri.

* Asarpin, Pembaca sastra

Sumber: dijumput dari http://ulunlampung.blogspot.com/2008/04/bingkai-cerpen-dari-metafora-pemikat.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae