Binhad Nurrohmat
http://www.kr.co.id/
BILA DISENSUS, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, “sakral”, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara kebudayaan kita.
Hampir setiap kota provinsi di Indonesia memiliki penyair yang dianggap sebagai wakil dari basis geografis-administratifnya masing-masing. Bahkan ada predikat personal-geografis yang dilekatkan pada identitas seorang penyair didasarkan pada tempat domisilinya, misal Afrizal Malna Penyair Jakarta, Acep Zamzam Noor Penyair Bandung, Amien Wangsitalaja Penyair Yogyakarta, Warih Wisatsana Penyair Bali, Isbedy Stiawan ZS Penyair Lampung dan masih banyak lagi.
Selain itu, saking banyaknya jumlah serta interaksi yang kuat antar penyair, mereka mendirikan komunitas atau forum di daerahnya masing-masing, yang sebagian besar anggota dan ketua serta pendirinya adalah penyair juga. Di Bandung ada Forum Sastra Bandung (FSB), di Jakarta ada Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), di Bali ada Sanggar Minum Kopi (SMK). Menurut sebuah penelitian, ada lebih dari 50 komunitas di sekitar Jabotabek. Kecenderungan mengelompok seperti ini tak ditemukan pada kelompok penulis sastra yang lain.
Ada sejumlah asumsi mengenai kecenderungan itu. Pertama, untuk menciptakan komunikasi kreatif yang lebih intens melalui acara atau agenda pertemuan. Kedua, manifestasi ketakpercayaan atau ketakmampuan untuk ‘sendirian’ mengolah potensi kreatif, sehingga membutuhkan kelompok atau komunitas untuk mengukuhkan eksistensi. Maka ada gejala seolah komunitas-komunitas itu menjelma sebagai ‘blok-blok’ kelompok sastrawan tertentu yang menunjukkan adanya upaya saling bersaing satu dengan yang lain dan memiliki ‘massa fanatik’ masing-masing.
Fenomena kepenyairan kita belum juga surut, setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks puisi. Hampir setiap penyair kita pernah mempublikasikan/mengirimkan puisi ke media massa (yang memiliki rubrik puisi) dan memiliki antologi puisi tunggal maupun kolektif dalam bentuk manuskrip maupun buku. Juga sudah lama ada media yang mengkhususkan diri memuat puisi seperti Jurnal Puisi. Situs-situs sastra kita seperti Cybersastra.net dan Bumimanusia.or.id juga lebih banyak diserbu puisi. Penghargaan sastra Anugerah Sastra Chairil Anwar, Lontar Award, Khatulistiwa Literary Award, Rancage (dan masih banyak lagi) maupun penghargaan sastra dari mancanegara seperti SEA Write Awards (Thailand), Hadiah A Teeuw (Belanda), maupun Hadiah Yayasan Wertheim (Belanda) lebih banyak yang disabet penyair ketimbang kelompok penulis sastra yang lain. Gambaran-gambaran demikian barangkali yang telah ikut memberikan sebuah pembesaran citra kepenyairan kita tampak kuat, mapan dan legitimated dalam dunia penulisan sastra kita sampai detik ini.
Massa Penyair
NAMUN pembesaran citra itu tak selalu persis dengan kondisi obyektif kualitas mayoritas kepenyairan kita. Ada semacam pars prototo dalam dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam “massa penyair” –istilah yang semoga saya pakai sementara saja. Massa ini berada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Lampung, Tangerang dan daerah-daerah lainnya dan sekarang masih aktif bekerja memproduksi teks puisi yang melimpah jumlahnya.
Rekor jumlah penyair kita mungkin sebuah ‘prestasi’ tersendiri secara sosiologis dan fenomena menarik di mata para pengkaji cultural studies. Tapi prestasi jumlah itu tampaknya sangat jelas tak seimbang dengan jumlah upaya eksplorasi yang lebih jauh. Sebagaimana karakter massa, puisi penyair kita saat ini cenderung seragam tema dan pengucapannya. Penyair kita seperti bekerja dalam sebuah rumah berdinding cermin, sehingga yang berada di dalamnya satu sama lain saling berpantulan bayangannya, melakukan pesta besar interteks.
Penyair kita saat ini lebih banyak mempertebal garis capaian-capaian lama yang sudah digaritkan para pendahulunya ketimbang melakukan eksplorasi inovatif dan hanya berputar-putar dalam labirin capaian-capaian lama itu dan tak kunjung mampu menembus batas garis atau menemukan lorong keluar dari dinding-dinding labirin usang yang mengurungnya itu. Barangkali tuduhan demikian ini sudah klise, berulang-ulang. Tapi justru itu menjadi sebuah petunjuk bahwa kepenyairan kita memang belum berubah dan tak beranjak dari titik-titik itu juga.
Dari kondisi demikian, sampai-sampai ada ungkapan pesimis-retoris dari lingkungan penyair muda seperti Jamal D Rahman, “Jika para penyair terdahulu telah hampir menghabiskan eksplorasi dalam pengucapan, apalagi yang bisa tersisa untuk kami?”. Pesimisme ini sebuah representasi wajar dari dalam lingkungan penyair kita yang sadar diri dan sekaligus gelisah dengan kemacetan mobilitas estetik dalam perpuisian kita saat ini. Pesimisme ini dengan sangat menggebu dan panjang lebar dinilai esais Nirwan Dewanto sebagai adanya perasaan dibebani oleh sejarah sastra nasional. Menurut esais ini, ada yang patut dipertimbangkan dari ungkapan ini, antara lain, bahwa dia (Jamal D Rahman-pen) sedang menyempitkan dunia dan menutup mata pada sumber dari segala zaman yang sebenarnya bisa dia pilih secara merdeka, tetapi ternyata tidak pada ‘para penyair terdahulu’ (…) sehingga dia tak pernah siap menjelajahi kemungkinan yang begitu kaya dalam khazanah puisi yang sesungguhnya (…) ibarat sebuah bidang lukisan sudah terisi barik dan jejak para pendahulu, sehingga baginya hanya tersisa sebuah pojok kosong yang kecil saja, di mana ia hanya bisa melanjutkan bentuk-bentuk yang sudah (terlanjur) ada.
Saya kira dalam konteks ini Jamal D Rahman dengan ungkapan pesimistik itu hanya ingin jujur memberikan sebuah representasi obyektif kondisi kepenyairan kita saat ini. Dan tanggapan kritis Nirwan Dewanto itu suatu upaya terobosan untuk memberikan solusi yang kemungkinan bisa menjawab dan memecahkan pesimisme penyair Jamal D Rahman itu. Representasi jujur-obyektif Jamal D Rahman tentang kepenyairan kita dan dialektika-kritis sebagaimana yang ditawarkan Nirwan Dewanto, adalah contoh persentuhan dua pendapat yang aktif dan produktif. Tanpa harus berpolemik panjang berbusa-busa sebagaimana tradisi polemik kita selama ini tentang dunia sastra kita yang cenderung tanpa hasil cuatan solusi atau dialektika yang signifikan dan hanya menjadi tumpukan wacana yang beku, tak fungsional, nihil. Dua pendapat itu merupakan wujud keprihatinan mendalam terhadap dinamika kepenyairan kita saat ini. Banyakkah makhluk sejenis ini yang masih mau meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menyumbangkan pemikirannya bagi perkembangan puisi kita?
Adanya sinisme, olok-olok intelektual ataupun sekadar anekdot yang nyata-nyata ditujukan pada hasil kerja kepenyairan kita saat ini, kerap muncul dengan nada vulgar dan menggugat (melalui forum diskusi maupun tulisan di media massa) itu saya kira sangat wajar, bahkan ‘menguntungkan’ dan di baliknya mungkin justru mengeram niat baik untuk bersikap kritis dan obyektif pada kondisi kepenyairan kita saat ini. Menurut saya, sikap sumbang itu bukan suatu nonsense belaka. Sikap itu mesti diterima dan dimaknai sebagai representasi yang memiliki akar-akar kausalitas obyektif yang bisa dirunut pijakan paradigma dan nilai kebenarannya. Dengan pemahaman lain, sikap sumbang itu menjadi semacam warning signifikan bagi kepenyairan kita saat ini. Semua itu representasi kerja kritik dalam versi lain.
Kenapa Jadi Massa
KESERAGAMAN dan kemacetan mobilitas estetik puisi penyair kita saat ini disinyalir, salah satunya, karena adanya bias berlebihan dari semaraknya puisi kita di media massa jurnalisme sastra. Terutama koran. Koran-koran penting (di Jakarta) yang memiliki rubrik puisi konon selalu kebanjiran serbuan kiriman naskah puisi para penyair yang berdomisili di Jakarta maupun daerah. Kondisi demikian seringkali merepotkan pihak redaksi untuk melakukan pemilihan terhadap unggunan naskah yang menumpuk di mejanya. Hal ini memaksa redaktur untuk harus memilih dengan kriteria-kriteria tertentu yang mungkin bersifat subyektif, sebab tidak adanya konvensi yang jelas dan pasti tentang puisi (yang baik). ‘Subyektif’ di sini lebih tepatnya sebagai sebuah pilihan yang sesuai dengan selera redaktur, yang kadang tak bisa dipaparkan secara rinci dan jelas. Akibatnya, muncul identifikasi terhadap sebuah corak atau warna puisi yang dimuat media jurnalisme sastra tertentu yang diidentikkan dengan pilihan selera redakturnya. Contoh, pada tahun 70 dan 80-an koran Berita Buana ketika masih memiliki rubrik puisi yang diredakturi Abdul Hadi WM yang identik dengan puisi sufistik, atau majalah Aktuil yang diredakturi Remy Silado dengan puisi mBeling. Kecenderungan identifikasi demikian ini berlangsung juga pada media jurnalisme sastra saat ini, meskipun agak tak mudah untuk merumuskan dan memetakannya secara tepat-menyeluruh.
Sementara itu penyair kita sudah kadung mempertaruhkan dan menggantungkan media ekspresi puisinya melalui media jurnalisme sastra (khususnya koran) dengan semacam ‘histeria publikatif’. Hal ini membuat penyair kita terpaksa (sadar atau di luar sadar) kompromi dalam kerja kreatifnya, menyesuaikan diri dengan corak puisi media jurnalisme sastra yang diharapkan bisa memuat puisinya. Kondisi demikian membuat puisi yang dimuat media dijadikan sebagai konvensi puisi. Salah kaprah ini pun seakan-akan menjadi kesadaran umum penyair kita tentang hakikat kerja kreatif, terutama puisi. Tapi justru pola kerja demikian membuat keseragaman penulisan puisi penyair kita ‘selamat’ dan menemukan wilayah atau medium dan memberi ruang yang bisa menampung ekspresinya yang dipercayai dapat memberikan legitimasi kepenyairan, terutama media jurnalisme sastra yang dinilai memiliki citra istimewa. Akibat ketergantungan berlebihan ini, membuat penyair kita menjadi kehilangan kepribadian, mampat eksplorasi kreatifnya yang radikal-alternatif dan sekadar menjadi massa pengikut mainstream puisi tertentu, mungkin, dengan kadar fanatisme yang memalukan.
Gambaran di atas menunjukkan sebuah disorientasi eksistensial penyair kita yang lebih banyak melebarkan ruang legitimasi melalui media jurnalisme sastra dan menciutkan ruang untuk eksistensialisasi individu penyair lewat nilai sastra itu sendiri. Puisi dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan efektif untuk mencari sumber pemasok ke dalam ruang eksistensi yang belum penuh dengan cara simbolik hadir menemui publik pembaca yang seluas-luasnya. Sehingga seorang penyair merasa sudah berhasil bila puisinya dimuat media jurnalisme sastra dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya.
Penyair kita tanpa sadar justru lebih banyak ‘belajar’ menulis puisi secara sekilas dari puisi yang dimuat media jurnalisme sastra itu dan sangat jarang membaca, belajar dan melakukan pembandingan khazanah puisi dari literatur (buku) penyair lain (terutama puisi dunia) yang sebenanrya layak untuk dijadikan bahan untuk belajar karena khazanahnya yang begitu beragam dan luas. Puisi koran kemudian menjadi mainstream yang luas dan kuat yang diam-diam ‘melemaskan’ gairah idealisme kerja kreatif yang difference atau alternatif. Kelemasan ini berlangsung massal dan hanya segelintir penyair yang berani dan mampu mengambil jalan lain dan bekerja keras melepaskan diri dari kelemasan massal itu, lalu belajar dan berpaling pada literatur lain yang lebih memungkinkannya mendapatkan keluasan wawasan puitika.
Jam Kerja Laborat
PENYAIR KITA sangat jarang yang memiliki disiplin dan metoda kerja kreatif, atau katakanlah ‘jam kerja’, yang diterapkan secara ketat. Misal, dalam sehari berapa jamkah penyair kita menggeluti puisi, bertarung dengan bahasa, bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan artistik di ‘laboratorium’ kerjanya? Tradisi menulis puisi penyair kita masih bersifat sambil lalu dan lebih mengandalkan keterampilan bakat alam belaka sebagaimana cara kerja seniman tradisional. Payahnya disiplin dan metoda kerja membuat penyair kita terperosok ke dalam kepicikan-kepicikan pada mainstream penulisan yang tidak berkembang dan konservatif, sehingga terpencil dari perkembangan puisi (yang sesungguhnya) jauh di luar sana.
Selain itu, dimensi intelektual penyair kita jarang diasah dengan bahan-bahan wacana sastra dan kebudayaan secara luas, sehingga kesadaran intelektualnya tidak dinamis, bahkan merosot ditandai dengan minimnya pemikiran sastra dari penyair kita. Efek dari kemerosotan dan ketidakdinamisan intelektual ini adalah kekurangmampuan (kemalasan?) untuk mengambil saripati kazanah sastra dan wacana yang ada untuk keperluan memperkaya agenda kerja kreatifnya. Sehingga kritik-kritik puisi yang ada saat ini pun menjadi tidak operasional, karena penyair kita tidak memiliki kepekaan intelektual.
Massa penyair ini kemudian menjadi sekadar para pecandu bahasa yang letih tapi terus saja keras kepala bekerja dengan cara memunguti bias-bias dan remah-remah puisi mainstream yang ada dan tak ada usaha untuk mencoba menembus khazanah puitika yang lebih luas yang masih mungkin dirambahinya. Sebab bagi penyair kita, produktivitas terlanjur jadi ukuran penting. Maka, sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, biografi kerja (track record) kepenyairan kerap menjadi kebanggaan dan seringkali direkayasa dengan pembubuhan-pembubuhan biografi kepenyairan yang tak jujur (‘Dusta Biografis’ Kepenyairan Indonesia, Republika Minggu, 2 Desember 2001).
Kemana massa penyair kita saat ini akan menempuh arah perkembangannya? Energi budaya yang fantastik itu masih menggeliat-geliat, asyik sendiri dan hiruk-pikuk di tempat di tengah gemuruh percepatan perkembangan ilmu, teknologi maupun cabang-cabang seni lain yang berada di sekitarnya. Betapa luar biasa perkembangan prosa kita dengan sejumlah capaian, masterpiece dan tokoh sastrawannya yang mumpuni dan diakui dunia internasional. Penyair kita sekarang harus menengok serta mempertimbangkan gemuruh di sekitarnya itu untuk menggenjot dan mereformasi hasil kerja kreatifnya seoptimal mungkin, atau hanya akan jadi kerak kebudayaan nasional yang tersisih di negeri sendiri (apalagi bagi standar seni kosmopolit). Percayalah, bila tidak ada perubahan fundamental terhadap pola kerja dan wawasan intelektual yang meluas melampaui batasan-batasan lokal dan nasional, penyair kita kian terpuruk dan menjadi sehimpun massa yang hanya ribut-ribut dengan persoalan-persoalan usang dan klise itu melulu.
* Binhad Nurrohmat, penyair dan kurator Indonesia Literature Watch.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar