Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno
http://majalah.tempointeraktif.com/
Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum puncak.
Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka rehat. Kabut tampak tebal di puncak Mahameru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.
“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
* * *
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus dipahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Di sini, tentunya disertasi John Maxwell, Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiositas,” kata Arief. Di film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. Apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah saya memang di keluarga pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”
Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.
Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia, karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”
* * *
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Film berusaha menampilkan independensi Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah Meutia Hatta (kini Menteri Peranan Wanita kabinet SBY-Kalla).”
Film juga menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan Pembaharuan.
Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri biasanya diselundupkan kepada pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,” kenang Boeli.
Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” katanya.
Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “Mat Gawat”, seseorang yang melihat persoalan dengan kacamata selalu dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”
“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of drama-nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966. Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di sana….”
* * *
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
“Konsep Gie mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. Sang koboi turun ketika kota kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.
“Hok Gie termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI. Dia termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset, tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.
Di saat kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.
Dalam film, perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”
John Maxwell melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat masa depan negara ini. There are men and women so lonely they believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian) tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengekalkannya sebagai sebuah citra.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar