Jumat, 22 Oktober 2010

Soe Hok Gie: Kegelisahan tanpa Ujung

Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno
http://majalah.tempointeraktif.com/

Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.

Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum puncak.

Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka rehat. Kabut tampak tebal di puncak Mahameru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.

“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.

Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”

Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.

Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:

“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”

* * *

Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus dipahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.

Di sini, tentunya disertasi John Maxwell, Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.

Gie remaja tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.

Ayah Gie adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.

Pada waktu itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiositas,” kata Arief. Di film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. Apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah saya memang di keluarga pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”

Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.

Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia, karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”

* * *

Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Film berusaha menampilkan independensi Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.

Film menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah Meutia Hatta (kini Menteri Peranan Wanita kabinet SBY-Kalla).”

Film juga menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan Pembaharuan.

Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi sahabat-sahabat karibnya.

“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri biasanya diselundupkan kepada pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,” kenang Boeli.

Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” katanya.

Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.

Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “Mat Gawat”, seseorang yang melihat persoalan dengan kacamata selalu dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.

Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”

“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of drama-nya luar biasa,” kata Nono.

Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966. Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.

Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.

Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di sana….”

* * *

“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)

Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.

“Konsep Gie mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. Sang koboi turun ketika kota kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.

“Hok Gie termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI. Dia termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”

Kekecewaan lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset, tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.

Alinea yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”

Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.

Di saat kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.

Dalam film, perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”

John Maxwell melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat masa depan negara ini. There are men and women so lonely they believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian) tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengekalkannya sebagai sebuah citra.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae