Rabu, 20 Oktober 2010

Pembelajaran Sastra Butuh Mak Erot

Anjrah Lelono Broto*)
http://edukasi.kompasiana.com/

Apabila pelajar SMA di Amerika Serikat telah membaca 32 judul buku selama tiga tahun masa pendidikannya, di Jepang dan Swiss 15 buku, sedangkan pelajar SMA di Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam telah membaca 5 – 7 judul buku sastra, bagaimana dengan pelajar SMA di Indonesia? Survey sederhana yang dilakukan Taufiq Ismail menunjukkan bahwa pasca era Algemeene Middelbare School (AMS), pendidikan lanjutan tingkat atas di masa penjajahan Belanda, pelajar SMA di Indonesia telah membaca 0 – 2 judul buku sastra saja. Padahal, pada era AMS tersebut, selama menempuh pendidikan pelajar diwajibkan untuk membaca 15 – 25 judul buku sastra.

Ironis sekali, kondisi minim literasi sastra pelajar SMA di Indonesia ini terjadi di negeri yang kaya dengan literasi sastra dan pada saat kita menikmati udara kemerdekaan. Semakin ironis, ketika menteri pendidikan yang baru lengser kemarin, Anton Soedibyo, nampak tekun sekali mempromosikan pendidikan kejuruan (SMK). Padahal, kita semua memahami bahwa dalam pendidikan kejuruan, orientasi pembelajaran terletak pada pengetahuan dan kemampuan bidang eksakta yang jelas tidak memasukkan pembelajaran sastra dalam kegiatan belajar-mengajarnya. Sedangkan, menteri pendidikan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, Muhammad Nuh, juga berniat ‘meLANJUTKAN’ program UNAS, bahkan bermaksud menggunakan hasilnya sebagai pijakan penerimaan mahasiswa baru. Sekali lagi, UNAS yang hanya bertumpu pada kemampuan menghitamkan lembar jawaban secara untung-untungan jelas tidak membutuhkan literasi sastra.

Selama ini, pengajaran sastra di lingkungan lembaga pendidikan cenderung menjadi pilihan ke sekian dari fokus arah dan strategi pengelolaan pembelajaran. Bila teater dan tari berdiri di lingkungan ekstrakurikuler, sangatlah wajar kalau mereka mendapat perlakuan ala Borjuis-Proletar. Tetapi, lukis dan sastra berada di lingkungan pembelajaran intrakurikuler, kenyataannya dua kutub kesenian dan kebudayaan ini juga menerima perlakuan yang sama. Tari di’okulasi’kan pada bidang studi Kertakes, sedangkan sastra terpaksa di’cangkok’kan pada bidang studi Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung dipandang sebagai ‘tempelan’ atau ‘penggenap’ yang eksistensinya terpinggirkan dan cenderung untuk ditiadakan oleh elemen-elemen lembaga pendidikan.

Beberapa tahun yang lalu, lingkungan pendidikan kita mengenal agenda Sastrawan Masuk Sekolah yang gencar digelar Depdiknas bekerja sama dengan Yayasan Indonesia dan Majalah Horison. Hari ini, agenda tersebut sudah tidak terdengar lagi gemanya. Agenda kegiatan yang mentransmigrasikan sastrawan-satrawan nasional semacam Taufik Ismail, Acep Zam Zam Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Radar Panca Dahana, ataupun Taufik Ikram Jamil ke dalam lingkungan lembaga pendidikan tersebut hari ini tenggelam dengan agenda-agenda pendidikan seperti SBI, RSBI, Kelas Akselerasi, Sertifikasi Guru, MBS, dan lain sebagainya. Mungkinkah karena founding-nya telah berakhir kontraknya? Bisa jadi, toh dalam pesta demokrasi 2009 kemarin juga sepi dari pengamat dan pengawas independen seperti KIPP ataupun JPPPR karena founding luar negerinya tersapu badai krisis global.

Mursal Esten pernah melansir pernyatan yang cenderung minor terhadap agenda Sastrawan Masuk Sekolah ini. Ada kekhawatiran dalam benak Esten, agenda tersebut hanya akan menciptakan ketertarikan pada ‘pesona’ figur sang sastrawan dari pada penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra. Menurut Esten, penjelajahan komunikasi imajinatif adalah roh mendasar kegiatan apresiasi teks sastra. Beberapa sastrawan di daerah juga menilai bahwa kehadiran sastrawan ke dalam lingkungan pendidikan hanya merupakan extravaganza. Karena, apresiasi teks sastra yang dilakukan hanya bersifat semu. Dengan kata lain, hal ini justru merupakan pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastra itu sendiri (Surabaya Post, 13/07/2005). Cucuk Suparno menyebut bahwa agenda penghadiran sastrawan ke sekolah justru hanya menjadi snobisme, yang mengagumi sastrawan ‘tertentu’ secara berlebihan yang nir esensi dari apresiasi sastra (Malang Pos, 08/03/2006).

Bertolak pada pendapat di atas, maka besar kemungkinan agenda transmigrasi sastrawan ke dalam lingkungan lembaga pendidikan sama halnya dengan promosi album band-band baru yang bergenre teenlit. Padahal sama halnya dengan musik, sastra juga memiliki kekayaan khazanah genre yang apabila pola transformasinya kepada pembaca pemula (pelajar SMA) tidak dilakukan secara holistik akan menimbulkan penyimpangan pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Mungkin saja, aspek pasar menjadi pertimbangan utama agenda ini namun bukankah ini pijakan kebijakan yang rapuh?

Jujur harus diakui, apresiasi sastra bukanlah suatu hal yang menarik dan serta-merta bisa dilakukan. Mengingat kondisi rendahnya budaya literasi masyarakat kita, dengan sendirnya tidak semua pelajar kita adalah ‘kutu buku’ dan ‘doyan’ baca teks-teks sastra. Beberapa fakta yang berkembang dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah adalah; pertama, kegiatan apresiasi sastra cenderung dianggap tidak memiliki prospek yang cerah di masa depan. Berbeda dengan kegiatan belajar Matematika atau Bahasa Inggris yang dianggap implementatif dengan nilai-nilai praksis lingkungan. Akibatnya, pelajar yang memiliki keseriusan dan intensitas tinggi dalam kegiatan apresiasi sastra justru mendapatkan cibiran, bahkan hambatan dari lembaga pendidikan itu sendiri (Baca “Sastra Berduka Di Sekolah”).

Conny Semiawan, guru besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini masih sangat terpengaruh dan mengikuti arus global sehingga penyelenggaraannya mengalami kekurangan dalam hal orientasi sasaran dan kesadaran terhadap potensi yang dimiliki. Termasuk di dalamnya potensi apresiatif terhadap sastra.

Kedua adalah tidak semua guru memiliki minat dan bakat dalam apresiasi sastra yang proporsional sejalan dengan tuntutan profesi. Jangankan mengelola pembelajaran sastra secara memikat, mengkaji teks-teks sastra untuk dirinya sendiri pun mayoritas guru di lingkungan lembaga pendidikan masih terhempas dan terputus. Imbasnya, peserta didik pun menjadi bulan-bulanan aksi pembodohan massal karena guru hanya sekedar memberikan seonggok hafalan teori sastra. Bahkan, penulis menjumpai fakta bahwa kompetensi dasar apresiasi sastra tak jarang justru dilewati lantaran prosentase kemunculannya dalam materi UNAS relatif kecil. Guru memilih mengorbankannya dengan pertimbangan kekhawatiran jebloknya perolehan nilai UNAS.

Ketiga, robohnya perpustakaan kami. Buku-buku di perpustakaan sekolah, terlebih buku-buku teks sastra, telah lama tidak mengalami perhatian serius dari pengelola lembaga pendidikan. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Depdiknas, memang terkesan enggan untuk membumikan sastra dalam lingkungan lembaga pendidikan. Meskipun jelas tidak akan diakui oleh kalangan birokrat di lingkaran kekuasaan pemerintah, mereka berasumsi bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap akselerasi pembangunan. Hal ini membuat dunia penerbitan buku (yang jelas mempertimbangkan untung-rugi) lebih memilih memilih mencetak buku paket dan LKS ketimbang buku-buku teks sastra. Perpustakaan sekolah pun bertahun-tahun hanya dihuni buku-buku teks sastra warisan orde baru yang sudah “basi” dan ketinggalan zaman. Adalah sebuah kewajaran apabila wawasan sastra guru dan pelajar masih berkutat di era “Siti Nurbaya”, “Layar Terkembang”, ataupun “Burung-Burung Manyar”. Ketika ada peserta didik yang ‘doyan’ baca teks sastra kemudian bertanya kepada guru tentang “Saman”, “Supernova”, “Ketika Cinta Bertasbih”, ataupun “Laskar Pelangi”, bisa jadi guru akan berkeringat dingin.

***

Peradaban yang terus menggeliat seiring globalisasi menuntut penempatan sastra materi sosialisasi yang urgen dalam lingkungan lembaga pendidikan. Mengapa? Karena karya sastra memiliki andil besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian individu. Tengoklah pengaruh Buku “Laskar Pelangi” dalam merekonstruksi paradigma mengajar guru hingga ketika diangkat ke layar lebar membuat sosok Cut Mini (pemeran Bu Maimunah) identik dengan guru dan dunia pendidikan. Buktinya, Depdiknas getol menggaetnya sebagai model iklan Sekolah Gratis.

Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat urgen. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.

Teks sastra selayaknya media pembedah-pencerah menguraikan kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi global kehidupan jelas bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh siapa pun, dimana pun, serta kapan pun. Selain dibutuhkan totalitas pemahaman dan penghayatan yang serius, membedah kandungan teks sastra tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Dalam pembimbingan apresiasi sastra di lingkungan lembaga pendidikan seyogyanya meninggalkan slogan dan retorika yang semata berbasis pencitraan. Apakah jika sastrawan kaliber nasional telah melakukan transmigrasi ke sebuah sekolah maka pelajar di sekolah tersebut mendadak piawai mengapresiasi teks sastra? Tentu saja, jawabannya tidak. Namun, bukan berarti haram untuk untuk dilakukan bukan?

Ketika kapasitas dan profesionalitas guru mulai ramai dipertanyakan oleh publik dan dianggap impoten dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi teks sastra kepada peserta didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke lingkungan lembaga pendidikan? Karena besar kemungkinan kehadiran sastrawan-sastrawan tersebut mampu menjadi ‘Mak Erot’ yang mampu menyembuhkan frigiditas sastra di sekolah dan merevitalisasi hasrat elemen-elemen sekolah dalam proses pembelajaran sastra. Dus, agenda Sastrawan Masuk Sekolah perlu kiranya dipahami sebagai bagian dari usaha mengembalikan vitalitas apresiasi sastra pelajar.

Kondisi tak terpungkiri bahwa pelajar kita lebih mengenal Miyabi dari pada puisi-puisi Sutardji Chalzoum Bachri seyogyanya tidak berlangsung lebih lama lagi.

***

Pendapat Mursal Esten dan Cucuk Suparno di atas yang mengkhawatirkan adanya penyesatan apresiasi sastra siswa oleh munculnya keterpesonaan kepada figur sastrawan dan memarjinalkan teks sastranya, memang boleh-boleh saja. Mengingat, tahapan pembelajaran yang paling awal adalah lakuan imitatif yang bersifat personal. Tak salah apabila pelajar memandang sastrawan bak seorang selebritis yang menaburkan mimpi kepada penggemar. Namun, andaikata sang sastrawan mampu hadir sebagai guru dan mengembangkan pola pembelajaran partnership yang berkesinambungan maka kehadiran mereka akan menjadi ‘Mak Erot’ yang mampu meningkatkan kembali vitalitas apresiasi sastra di lingkungan pendidikan yang telah bertahun-tahun mengidap impotensi.

Pada konteks inilah sastrawan dituntut perannya sebagai guru dan rekan diskusi yang aduhai. Sastrawan dituntut tidak hanya pandai menterjemahkan teks-teks sastra kepada guru dan peserta didik, mereka juga seyogyanya mampu melakukan transformasi nilai estetika dan gagasan yang terpancar dari teks-teks sastra sehingga membebaskan mitos sastra sebagai ‘dunia lain’ yang ‘menakutkan’ untuk dikunjungi. Pada episode inilah, sastra tidak semata dipahami sebagai produk budaya melainkan media pencerahan, layaknya kitab suci.

Merujuk pada asumsi hilangnya founding agenda Depdiknas, Yayasan Indonesia, dan Majalah Horison, tentu saja menghadirkan sastrawan-sastrawan ibu kota ke lembaga pendidikan di seluruh Indonesia adalah persoalan tersendiri. Persoalannya, dimanakah peran sastrawan lokal? Lantas, mengapa sekolah-sekolah yang ada di daerah tidak memiliki inisiatif sendiri untuk membangun sinergi dengan sastrawan di lingkungannya? Mungkinkah apresiasi sastra kita memang benar-benar impoten dan butuh sentuhan tangan cekatan Mak Erot?

*) Litbang LBTI, Anggota Teater Kopi Hitam Indonesia.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae