Anjrah Lelono Broto*)
http://edukasi.kompasiana.com/
Apabila pelajar SMA di Amerika Serikat telah membaca 32 judul buku selama tiga tahun masa pendidikannya, di Jepang dan Swiss 15 buku, sedangkan pelajar SMA di Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam telah membaca 5 – 7 judul buku sastra, bagaimana dengan pelajar SMA di Indonesia? Survey sederhana yang dilakukan Taufiq Ismail menunjukkan bahwa pasca era Algemeene Middelbare School (AMS), pendidikan lanjutan tingkat atas di masa penjajahan Belanda, pelajar SMA di Indonesia telah membaca 0 – 2 judul buku sastra saja. Padahal, pada era AMS tersebut, selama menempuh pendidikan pelajar diwajibkan untuk membaca 15 – 25 judul buku sastra.
Ironis sekali, kondisi minim literasi sastra pelajar SMA di Indonesia ini terjadi di negeri yang kaya dengan literasi sastra dan pada saat kita menikmati udara kemerdekaan. Semakin ironis, ketika menteri pendidikan yang baru lengser kemarin, Anton Soedibyo, nampak tekun sekali mempromosikan pendidikan kejuruan (SMK). Padahal, kita semua memahami bahwa dalam pendidikan kejuruan, orientasi pembelajaran terletak pada pengetahuan dan kemampuan bidang eksakta yang jelas tidak memasukkan pembelajaran sastra dalam kegiatan belajar-mengajarnya. Sedangkan, menteri pendidikan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, Muhammad Nuh, juga berniat ‘meLANJUTKAN’ program UNAS, bahkan bermaksud menggunakan hasilnya sebagai pijakan penerimaan mahasiswa baru. Sekali lagi, UNAS yang hanya bertumpu pada kemampuan menghitamkan lembar jawaban secara untung-untungan jelas tidak membutuhkan literasi sastra.
Selama ini, pengajaran sastra di lingkungan lembaga pendidikan cenderung menjadi pilihan ke sekian dari fokus arah dan strategi pengelolaan pembelajaran. Bila teater dan tari berdiri di lingkungan ekstrakurikuler, sangatlah wajar kalau mereka mendapat perlakuan ala Borjuis-Proletar. Tetapi, lukis dan sastra berada di lingkungan pembelajaran intrakurikuler, kenyataannya dua kutub kesenian dan kebudayaan ini juga menerima perlakuan yang sama. Tari di’okulasi’kan pada bidang studi Kertakes, sedangkan sastra terpaksa di’cangkok’kan pada bidang studi Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka cenderung dipandang sebagai ‘tempelan’ atau ‘penggenap’ yang eksistensinya terpinggirkan dan cenderung untuk ditiadakan oleh elemen-elemen lembaga pendidikan.
Beberapa tahun yang lalu, lingkungan pendidikan kita mengenal agenda Sastrawan Masuk Sekolah yang gencar digelar Depdiknas bekerja sama dengan Yayasan Indonesia dan Majalah Horison. Hari ini, agenda tersebut sudah tidak terdengar lagi gemanya. Agenda kegiatan yang mentransmigrasikan sastrawan-satrawan nasional semacam Taufik Ismail, Acep Zam Zam Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Radar Panca Dahana, ataupun Taufik Ikram Jamil ke dalam lingkungan lembaga pendidikan tersebut hari ini tenggelam dengan agenda-agenda pendidikan seperti SBI, RSBI, Kelas Akselerasi, Sertifikasi Guru, MBS, dan lain sebagainya. Mungkinkah karena founding-nya telah berakhir kontraknya? Bisa jadi, toh dalam pesta demokrasi 2009 kemarin juga sepi dari pengamat dan pengawas independen seperti KIPP ataupun JPPPR karena founding luar negerinya tersapu badai krisis global.
Mursal Esten pernah melansir pernyatan yang cenderung minor terhadap agenda Sastrawan Masuk Sekolah ini. Ada kekhawatiran dalam benak Esten, agenda tersebut hanya akan menciptakan ketertarikan pada ‘pesona’ figur sang sastrawan dari pada penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra. Menurut Esten, penjelajahan komunikasi imajinatif adalah roh mendasar kegiatan apresiasi teks sastra. Beberapa sastrawan di daerah juga menilai bahwa kehadiran sastrawan ke dalam lingkungan pendidikan hanya merupakan extravaganza. Karena, apresiasi teks sastra yang dilakukan hanya bersifat semu. Dengan kata lain, hal ini justru merupakan pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastra itu sendiri (Surabaya Post, 13/07/2005). Cucuk Suparno menyebut bahwa agenda penghadiran sastrawan ke sekolah justru hanya menjadi snobisme, yang mengagumi sastrawan ‘tertentu’ secara berlebihan yang nir esensi dari apresiasi sastra (Malang Pos, 08/03/2006).
Bertolak pada pendapat di atas, maka besar kemungkinan agenda transmigrasi sastrawan ke dalam lingkungan lembaga pendidikan sama halnya dengan promosi album band-band baru yang bergenre teenlit. Padahal sama halnya dengan musik, sastra juga memiliki kekayaan khazanah genre yang apabila pola transformasinya kepada pembaca pemula (pelajar SMA) tidak dilakukan secara holistik akan menimbulkan penyimpangan pemahaman terhadap sastra itu sendiri. Mungkin saja, aspek pasar menjadi pertimbangan utama agenda ini namun bukankah ini pijakan kebijakan yang rapuh?
Jujur harus diakui, apresiasi sastra bukanlah suatu hal yang menarik dan serta-merta bisa dilakukan. Mengingat kondisi rendahnya budaya literasi masyarakat kita, dengan sendirnya tidak semua pelajar kita adalah ‘kutu buku’ dan ‘doyan’ baca teks-teks sastra. Beberapa fakta yang berkembang dan dikembangkan oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pendidikan di sekolah adalah; pertama, kegiatan apresiasi sastra cenderung dianggap tidak memiliki prospek yang cerah di masa depan. Berbeda dengan kegiatan belajar Matematika atau Bahasa Inggris yang dianggap implementatif dengan nilai-nilai praksis lingkungan. Akibatnya, pelajar yang memiliki keseriusan dan intensitas tinggi dalam kegiatan apresiasi sastra justru mendapatkan cibiran, bahkan hambatan dari lembaga pendidikan itu sendiri (Baca “Sastra Berduka Di Sekolah”).
Conny Semiawan, guru besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahwa pendidikan di negeri ini masih sangat terpengaruh dan mengikuti arus global sehingga penyelenggaraannya mengalami kekurangan dalam hal orientasi sasaran dan kesadaran terhadap potensi yang dimiliki. Termasuk di dalamnya potensi apresiatif terhadap sastra.
Kedua adalah tidak semua guru memiliki minat dan bakat dalam apresiasi sastra yang proporsional sejalan dengan tuntutan profesi. Jangankan mengelola pembelajaran sastra secara memikat, mengkaji teks-teks sastra untuk dirinya sendiri pun mayoritas guru di lingkungan lembaga pendidikan masih terhempas dan terputus. Imbasnya, peserta didik pun menjadi bulan-bulanan aksi pembodohan massal karena guru hanya sekedar memberikan seonggok hafalan teori sastra. Bahkan, penulis menjumpai fakta bahwa kompetensi dasar apresiasi sastra tak jarang justru dilewati lantaran prosentase kemunculannya dalam materi UNAS relatif kecil. Guru memilih mengorbankannya dengan pertimbangan kekhawatiran jebloknya perolehan nilai UNAS.
Ketiga, robohnya perpustakaan kami. Buku-buku di perpustakaan sekolah, terlebih buku-buku teks sastra, telah lama tidak mengalami perhatian serius dari pengelola lembaga pendidikan. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Depdiknas, memang terkesan enggan untuk membumikan sastra dalam lingkungan lembaga pendidikan. Meskipun jelas tidak akan diakui oleh kalangan birokrat di lingkaran kekuasaan pemerintah, mereka berasumsi bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap akselerasi pembangunan. Hal ini membuat dunia penerbitan buku (yang jelas mempertimbangkan untung-rugi) lebih memilih memilih mencetak buku paket dan LKS ketimbang buku-buku teks sastra. Perpustakaan sekolah pun bertahun-tahun hanya dihuni buku-buku teks sastra warisan orde baru yang sudah “basi” dan ketinggalan zaman. Adalah sebuah kewajaran apabila wawasan sastra guru dan pelajar masih berkutat di era “Siti Nurbaya”, “Layar Terkembang”, ataupun “Burung-Burung Manyar”. Ketika ada peserta didik yang ‘doyan’ baca teks sastra kemudian bertanya kepada guru tentang “Saman”, “Supernova”, “Ketika Cinta Bertasbih”, ataupun “Laskar Pelangi”, bisa jadi guru akan berkeringat dingin.
***
Peradaban yang terus menggeliat seiring globalisasi menuntut penempatan sastra materi sosialisasi yang urgen dalam lingkungan lembaga pendidikan. Mengapa? Karena karya sastra memiliki andil besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian individu. Tengoklah pengaruh Buku “Laskar Pelangi” dalam merekonstruksi paradigma mengajar guru hingga ketika diangkat ke layar lebar membuat sosok Cut Mini (pemeran Bu Maimunah) identik dengan guru dan dunia pendidikan. Buktinya, Depdiknas getol menggaetnya sebagai model iklan Sekolah Gratis.
Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat urgen. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.
Teks sastra selayaknya media pembedah-pencerah menguraikan kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi global kehidupan jelas bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh siapa pun, dimana pun, serta kapan pun. Selain dibutuhkan totalitas pemahaman dan penghayatan yang serius, membedah kandungan teks sastra tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Dalam pembimbingan apresiasi sastra di lingkungan lembaga pendidikan seyogyanya meninggalkan slogan dan retorika yang semata berbasis pencitraan. Apakah jika sastrawan kaliber nasional telah melakukan transmigrasi ke sebuah sekolah maka pelajar di sekolah tersebut mendadak piawai mengapresiasi teks sastra? Tentu saja, jawabannya tidak. Namun, bukan berarti haram untuk untuk dilakukan bukan?
Ketika kapasitas dan profesionalitas guru mulai ramai dipertanyakan oleh publik dan dianggap impoten dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi teks sastra kepada peserta didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke lingkungan lembaga pendidikan? Karena besar kemungkinan kehadiran sastrawan-sastrawan tersebut mampu menjadi ‘Mak Erot’ yang mampu menyembuhkan frigiditas sastra di sekolah dan merevitalisasi hasrat elemen-elemen sekolah dalam proses pembelajaran sastra. Dus, agenda Sastrawan Masuk Sekolah perlu kiranya dipahami sebagai bagian dari usaha mengembalikan vitalitas apresiasi sastra pelajar.
Kondisi tak terpungkiri bahwa pelajar kita lebih mengenal Miyabi dari pada puisi-puisi Sutardji Chalzoum Bachri seyogyanya tidak berlangsung lebih lama lagi.
***
Pendapat Mursal Esten dan Cucuk Suparno di atas yang mengkhawatirkan adanya penyesatan apresiasi sastra siswa oleh munculnya keterpesonaan kepada figur sastrawan dan memarjinalkan teks sastranya, memang boleh-boleh saja. Mengingat, tahapan pembelajaran yang paling awal adalah lakuan imitatif yang bersifat personal. Tak salah apabila pelajar memandang sastrawan bak seorang selebritis yang menaburkan mimpi kepada penggemar. Namun, andaikata sang sastrawan mampu hadir sebagai guru dan mengembangkan pola pembelajaran partnership yang berkesinambungan maka kehadiran mereka akan menjadi ‘Mak Erot’ yang mampu meningkatkan kembali vitalitas apresiasi sastra di lingkungan pendidikan yang telah bertahun-tahun mengidap impotensi.
Pada konteks inilah sastrawan dituntut perannya sebagai guru dan rekan diskusi yang aduhai. Sastrawan dituntut tidak hanya pandai menterjemahkan teks-teks sastra kepada guru dan peserta didik, mereka juga seyogyanya mampu melakukan transformasi nilai estetika dan gagasan yang terpancar dari teks-teks sastra sehingga membebaskan mitos sastra sebagai ‘dunia lain’ yang ‘menakutkan’ untuk dikunjungi. Pada episode inilah, sastra tidak semata dipahami sebagai produk budaya melainkan media pencerahan, layaknya kitab suci.
Merujuk pada asumsi hilangnya founding agenda Depdiknas, Yayasan Indonesia, dan Majalah Horison, tentu saja menghadirkan sastrawan-sastrawan ibu kota ke lembaga pendidikan di seluruh Indonesia adalah persoalan tersendiri. Persoalannya, dimanakah peran sastrawan lokal? Lantas, mengapa sekolah-sekolah yang ada di daerah tidak memiliki inisiatif sendiri untuk membangun sinergi dengan sastrawan di lingkungannya? Mungkinkah apresiasi sastra kita memang benar-benar impoten dan butuh sentuhan tangan cekatan Mak Erot?
*) Litbang LBTI, Anggota Teater Kopi Hitam Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar