Restoe Prawironegoro Ibrahim
http://www.suarakarya-online.com/
Kini seni telah mengalami demistifikasi. Seni tidak lagi sebagai sesuatu yang adiluhung, ia mengalami pembedaan dan larut dalam kehidupan keseharian juga. Daya transendensinya terserap habis oleh kenyataan-kenyataan diluar dirinya. Setelah zaman romantik, seni harus terus menerus mengubah prinsip-prinsip dan substansinya untuk menahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai kemungkinan yang lahir bersamaan perkembangan zaman ini, termasuk kekuatan-kekuatan yang progresif, yakni kekuatan tekhno-ekonomi.
Untuk itu pendekatan-pendekatan yang estetis semata dalam menganalisa karya-karya seni, seringkali terjebak pada asumsi bahwa karya seni begitu saja diterima sebagai lahir dari tangan seorang seniman. Walau sebetulnya keberadaan seni, terutama seni tradisonal (baca: seni pertunjukan rakyat maupun seni pertunjukan tradisonal) sama sekali jauh dari asumsi tersebut.
Seni tradisi adalah produk dari interaksi sosial-politik dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, ketika kita melihat seni tradisi diletakkan dalam frame - gedung pertunjukan - sebagai karya performing arts, akan muncul satu persoalan yang tidak mudah dipecahkan, yaitu dimanakah posisi seniman modern yang berada dalam klaim “penciptaan-individual” dengan struktur proses seni yang menopang keberadaannya, ketika ia berkeinginan mengangkat seni tradisi ke dalam daerah pentasnya.
Akhir-akhir ini banyak koreographer kita yang berlandaskan menengok tradisi, melestarikan dan mengembangkan tradisi, meletakkan berbagai fenoma seni tradisi sebagai ilham maupun lahan garapannya. Melihat gejala tersebut maka kasus yang pertama sekali muncul sebagai gejala permukaan: sang koreographer tidak lagi sebagai “sang pencipta”, akan tetapi sebenarnya ia tidak lebih sebagai seorang tekhnisi yang menyiasati seni tradisi secara tekhnologis melalui kemampuan, manajemen dan peralatan panggungnya. Atau sang koreographer hanya sekadar melakukan modifikasi kembali terhadap seni tradisi tersebut atas kebutuhannya sendiri sebagai seorang koreographer.
Ada dua pilihan sikap untuk berhadapan dengan seni tradisi, di mana kesemuanya itu berhadapan dengan problem besar. Antara sekap kesenian yang jauh berbeda dalam seni tradisi dengan seni modern walaupun seringkali kita mencoba menyelesaikannya dengan alasan menggali, melestarikan dan mengembangkan peninggalan yang sudah turun temurun.
Bagaimanapun juga seorang koreographer yang melakukan modifikasi terhadap seni tradisi demi kepentingan ekspresi individualnya mengandung asumsi menciptakan versi baru atau seni tradisi tersebut. Dan dalam seni tradisi, modifikasi atau kerja seorang koreographer seharusnya tidak pernah lepas dari masalah-masalah keberadaan sebuah masyarakat dalam mencari legitimasi eksistensinya.
Secara generasi, seni tradisi merupakan produk dan simbol budaya dari keberadaan masyarakatnya. Suatu keberadaan yang begitu kuat yang turut berkembang bersamaan dengan perkembangan sosial politik di mana masyarakat itu berada dan meluas melampaui batas wilayah kultural masyarakat pendukung seni itu sendiri. Di sinilah kesenian telah memasuki perhitungan budaya. Maka berhadapan dengan seni tradisi terasa pentingnya koreographer menjadi seorang antropolog.
Fenomena
Antropologi adalah studi tentang keseluruhan atas fenomena insani (human phonomena) yang terdapat di manapun dan kapanpun di muka planet ini dan diluarnya. Lebih dari itu, antropologi menurut Margareth Mead; adalah salah satu dari ilmu “humanities” yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota kelompok sosial, mempelajari kesenian, folklore, tradisi lisan dan berbagai perangkat yang ada didalamnya.
Menghadapi dan mendalami seni tradisi dengan berbagai kompleksitasnya, maka pendekatan dengan ilmu antropologi akan dapat kita jadikan “pisau analisis” guna menguak sampai kedalam seni tradisi, tidak semata-mata melihat bentuknya saja.
Dengan kata lain, pendekatan antropologis mengandung pengertian: pentingnya seorang koreographer sekaligus menjadi seorang antropologi dalam dunia seni tari, supaya tidak begitu saja menangkap fenomena seni tradisi dari satu sisi yang sempit, yaitu aspek bentuk semata.
Seperti yang sering kita jumpai, dengan dalih menggali, melestarikan dan mengembangkan kekayaan seni tradisional, membuat banyak para seniman tari kita berduyun-duyun ke pedalaman. Apalagi komitmen pariwisata sebagai komoditi non-migas yang dikumandangkan secara nasional diharapkan mampu menampilkan bagian terbesar kekayaan alam budaya kita, termasuk kekayaan seni tradisi kita.
Kenyataan itulah yang akhirnya membuat sebagian besar para koreographer kita melakukan “kegenitan” atau “distorsi intelektual”. Mengumpulkan berbagai referen atas seni tradisional yang terbatas melihat seni tradisional tersebut hanya sebagai “tarian”. Yang mana referen tersebut akhirnya hanya mampu menampilkan modifikasi-modifikasi yang dilakukan terhadap seni tradisional tersebut atas kebutuhan sebuah “versilisasi”. Kenyataan ini yang perlu kita waspadai.
Ekologi
Tanpa mengecilkan arti dan peranan para koreographer kita yang semakin hari semakin menjamur keberadaannya, mari kita amati apa yang telah dilakukan oleh Sardono W. Kusomo sebagai studi perbandingan.
Ketika Sardono W. Kusomo mementaskan karyanya berjudul Meta Ekologi, Hutan Plastik, Kerudung Asap di Kalimantan dan Tekhnophobia; dengan salah satu medianya; membuka ladang lumpur, onggokan plastik dan planetarium sebagai medan keseniannya. Terlepas dari alasan metafisika maupun filosofis yang menghantar pementasan tersebut, yang terjadi sebenarnya: Sardono W. Kusomo, telah merobek-robek estetika tari.
Estetika tari yang berpijak dari “pemerasan transendental” terhadap dimensi keseharian manusia menjadi suatu penciptaan gerak yang mengacu pada ide-ide keindahan semata-mata, telah diguncang oleh pertunjukan Sardono W. Kusomo tersebut menjadi manusia yang secara antropologis tidak bisa dilepaskan dari ekologinya.
Peranan seniman tari (baca: koreographer) dalam hubungan di atas telah mendapatkan makna baru, sebagai seorang antropolog yang meletakkan pihakkan tari tidak lagi pada kepatuhan terhadap konvensi-konvensi, tetapi bagaimana seorang seniman tari mampu mengaktualisasikan penemuannya terhadap manusia kembali dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya kini. Dengan kata lain, ketika Sardono W. Kusomo membuat pertunjukan lagi dengan karya Hutan Plastik dan Kerudung Asap di Kalimantan.
Ia tidak berbicara soal kesenian tradisonal suku Dayak semata-mata, namun soal ekosistem masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kasus penebangan dan pembakaran hutan. Sekalipun yang terlahir dalam bentuk pementasannya, koreografinya tetap menyiratkan bentuk-bentuk tari tradisional suku Dayak, yang “konon” perlu digali dan dilestarikan sebagai potensi kultural masyarakat Indonesia.
Sardono W. Kusomo tidak berangkat dari kesenian semata-mata, lebih dari itu berangkat dari sebuah persoalan. Identik dengan salah satu ideologi koreographer Doris Humprey dalam bukunya Seni Menata Tari, bahwa sebuah konsep koreografi tidaklah harus berbicara tentang ruang, waktu, tenaga dan terjebak dalam exshibisionis movement semata-mata, namun lebih dari itu, harus berpijak pada sebuah subject matter atau pokok persoalan.
Dunia tari pada dasarnya memiliki dimensi multi media pada dirinya sendiri yang berpijak pada gerak sebagai substanse. Dan dengan pendekatan multi media tersebut, tari berarti dapat dipecah dan dianalisa menjadi; media musik, media teater, media sinema, media seni rupa, media sastra dan media gerak itu sendiri, yang memiliki kekuatan dan kekhasan sendiri-sendiri dalam sebuah bingkai pertunjukan.
Pemecahan atau pemisahan itu juga bermakna, bahwa kesenian adalah suatu pengucapan total, tidak hanya berarti; seni tari, seni teater, seni musik, seni rupa, seni sastra atau seni sinematografi. Dengan kata lain, pada perkembangannya kini, seni dikembalikan kepada keseluruhannya atau totalitasnya.
Dengan perjalanan tarinya yang penuh dengan terobosan alternatif itu, Sardono W. Kusomo telah memperlihatkan kepada kita, tentang kompleksitas kesenian kotemporer kita yang sudah berada ditengah-tengah arus lalu lintas komunikasi dan transportasi. Pada akhirnya substanse kesenian Sardono W. Kusomo telah melampaui bidangnya sendiri sebagai seorang koreographer.
Ia kini lebih tepat disebut sebagai seorang koreographer plus. Dan apa yang dilakukannya dapat kita jadikan alternatif pemikiran tentang pendekatan koreografi. ***
* Penulis adalah cerpenis, penyair, dan penikmat budaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar