Rabu, 20 Oktober 2010

Antropologi dalam Dunia Koreographer

Restoe Prawironegoro Ibrahim
http://www.suarakarya-online.com/

Kini seni telah mengalami demistifikasi. Seni tidak lagi sebagai sesuatu yang adiluhung, ia mengalami pembedaan dan larut dalam kehidupan keseharian juga. Daya transendensinya terserap habis oleh kenyataan-kenyataan diluar dirinya. Setelah zaman romantik, seni harus terus menerus mengubah prinsip-prinsip dan substansinya untuk menahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai kemungkinan yang lahir bersamaan perkembangan zaman ini, termasuk kekuatan-kekuatan yang progresif, yakni kekuatan tekhno-ekonomi.

Untuk itu pendekatan-pendekatan yang estetis semata dalam menganalisa karya-karya seni, seringkali terjebak pada asumsi bahwa karya seni begitu saja diterima sebagai lahir dari tangan seorang seniman. Walau sebetulnya keberadaan seni, terutama seni tradisonal (baca: seni pertunjukan rakyat maupun seni pertunjukan tradisonal) sama sekali jauh dari asumsi tersebut.

Seni tradisi adalah produk dari interaksi sosial-politik dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, ketika kita melihat seni tradisi diletakkan dalam frame - gedung pertunjukan - sebagai karya performing arts, akan muncul satu persoalan yang tidak mudah dipecahkan, yaitu dimanakah posisi seniman modern yang berada dalam klaim “penciptaan-individual” dengan struktur proses seni yang menopang keberadaannya, ketika ia berkeinginan mengangkat seni tradisi ke dalam daerah pentasnya.

Akhir-akhir ini banyak koreographer kita yang berlandaskan menengok tradisi, melestarikan dan mengembangkan tradisi, meletakkan berbagai fenoma seni tradisi sebagai ilham maupun lahan garapannya. Melihat gejala tersebut maka kasus yang pertama sekali muncul sebagai gejala permukaan: sang koreographer tidak lagi sebagai “sang pencipta”, akan tetapi sebenarnya ia tidak lebih sebagai seorang tekhnisi yang menyiasati seni tradisi secara tekhnologis melalui kemampuan, manajemen dan peralatan panggungnya. Atau sang koreographer hanya sekadar melakukan modifikasi kembali terhadap seni tradisi tersebut atas kebutuhannya sendiri sebagai seorang koreographer.

Ada dua pilihan sikap untuk berhadapan dengan seni tradisi, di mana kesemuanya itu berhadapan dengan problem besar. Antara sekap kesenian yang jauh berbeda dalam seni tradisi dengan seni modern walaupun seringkali kita mencoba menyelesaikannya dengan alasan menggali, melestarikan dan mengembangkan peninggalan yang sudah turun temurun.

Bagaimanapun juga seorang koreographer yang melakukan modifikasi terhadap seni tradisi demi kepentingan ekspresi individualnya mengandung asumsi menciptakan versi baru atau seni tradisi tersebut. Dan dalam seni tradisi, modifikasi atau kerja seorang koreographer seharusnya tidak pernah lepas dari masalah-masalah keberadaan sebuah masyarakat dalam mencari legitimasi eksistensinya.

Secara generasi, seni tradisi merupakan produk dan simbol budaya dari keberadaan masyarakatnya. Suatu keberadaan yang begitu kuat yang turut berkembang bersamaan dengan perkembangan sosial politik di mana masyarakat itu berada dan meluas melampaui batas wilayah kultural masyarakat pendukung seni itu sendiri. Di sinilah kesenian telah memasuki perhitungan budaya. Maka berhadapan dengan seni tradisi terasa pentingnya koreographer menjadi seorang antropolog.

Fenomena

Antropologi adalah studi tentang keseluruhan atas fenomena insani (human phonomena) yang terdapat di manapun dan kapanpun di muka planet ini dan diluarnya. Lebih dari itu, antropologi menurut Margareth Mead; adalah salah satu dari ilmu “humanities” yang mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota kelompok sosial, mempelajari kesenian, folklore, tradisi lisan dan berbagai perangkat yang ada didalamnya.

Menghadapi dan mendalami seni tradisi dengan berbagai kompleksitasnya, maka pendekatan dengan ilmu antropologi akan dapat kita jadikan “pisau analisis” guna menguak sampai kedalam seni tradisi, tidak semata-mata melihat bentuknya saja.

Dengan kata lain, pendekatan antropologis mengandung pengertian: pentingnya seorang koreographer sekaligus menjadi seorang antropologi dalam dunia seni tari, supaya tidak begitu saja menangkap fenomena seni tradisi dari satu sisi yang sempit, yaitu aspek bentuk semata.

Seperti yang sering kita jumpai, dengan dalih menggali, melestarikan dan mengembangkan kekayaan seni tradisional, membuat banyak para seniman tari kita berduyun-duyun ke pedalaman. Apalagi komitmen pariwisata sebagai komoditi non-migas yang dikumandangkan secara nasional diharapkan mampu menampilkan bagian terbesar kekayaan alam budaya kita, termasuk kekayaan seni tradisi kita.

Kenyataan itulah yang akhirnya membuat sebagian besar para koreographer kita melakukan “kegenitan” atau “distorsi intelektual”. Mengumpulkan berbagai referen atas seni tradisional yang terbatas melihat seni tradisional tersebut hanya sebagai “tarian”. Yang mana referen tersebut akhirnya hanya mampu menampilkan modifikasi-modifikasi yang dilakukan terhadap seni tradisional tersebut atas kebutuhan sebuah “versilisasi”. Kenyataan ini yang perlu kita waspadai.

Ekologi

Tanpa mengecilkan arti dan peranan para koreographer kita yang semakin hari semakin menjamur keberadaannya, mari kita amati apa yang telah dilakukan oleh Sardono W. Kusomo sebagai studi perbandingan.

Ketika Sardono W. Kusomo mementaskan karyanya berjudul Meta Ekologi, Hutan Plastik, Kerudung Asap di Kalimantan dan Tekhnophobia; dengan salah satu medianya; membuka ladang lumpur, onggokan plastik dan planetarium sebagai medan keseniannya. Terlepas dari alasan metafisika maupun filosofis yang menghantar pementasan tersebut, yang terjadi sebenarnya: Sardono W. Kusomo, telah merobek-robek estetika tari.

Estetika tari yang berpijak dari “pemerasan transendental” terhadap dimensi keseharian manusia menjadi suatu penciptaan gerak yang mengacu pada ide-ide keindahan semata-mata, telah diguncang oleh pertunjukan Sardono W. Kusomo tersebut menjadi manusia yang secara antropologis tidak bisa dilepaskan dari ekologinya.

Peranan seniman tari (baca: koreographer) dalam hubungan di atas telah mendapatkan makna baru, sebagai seorang antropolog yang meletakkan pihakkan tari tidak lagi pada kepatuhan terhadap konvensi-konvensi, tetapi bagaimana seorang seniman tari mampu mengaktualisasikan penemuannya terhadap manusia kembali dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya kini. Dengan kata lain, ketika Sardono W. Kusomo membuat pertunjukan lagi dengan karya Hutan Plastik dan Kerudung Asap di Kalimantan.

Ia tidak berbicara soal kesenian tradisonal suku Dayak semata-mata, namun soal ekosistem masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kasus penebangan dan pembakaran hutan. Sekalipun yang terlahir dalam bentuk pementasannya, koreografinya tetap menyiratkan bentuk-bentuk tari tradisional suku Dayak, yang “konon” perlu digali dan dilestarikan sebagai potensi kultural masyarakat Indonesia.

Sardono W. Kusomo tidak berangkat dari kesenian semata-mata, lebih dari itu berangkat dari sebuah persoalan. Identik dengan salah satu ideologi koreographer Doris Humprey dalam bukunya Seni Menata Tari, bahwa sebuah konsep koreografi tidaklah harus berbicara tentang ruang, waktu, tenaga dan terjebak dalam exshibisionis movement semata-mata, namun lebih dari itu, harus berpijak pada sebuah subject matter atau pokok persoalan.

Dunia tari pada dasarnya memiliki dimensi multi media pada dirinya sendiri yang berpijak pada gerak sebagai substanse. Dan dengan pendekatan multi media tersebut, tari berarti dapat dipecah dan dianalisa menjadi; media musik, media teater, media sinema, media seni rupa, media sastra dan media gerak itu sendiri, yang memiliki kekuatan dan kekhasan sendiri-sendiri dalam sebuah bingkai pertunjukan.

Pemecahan atau pemisahan itu juga bermakna, bahwa kesenian adalah suatu pengucapan total, tidak hanya berarti; seni tari, seni teater, seni musik, seni rupa, seni sastra atau seni sinematografi. Dengan kata lain, pada perkembangannya kini, seni dikembalikan kepada keseluruhannya atau totalitasnya.

Dengan perjalanan tarinya yang penuh dengan terobosan alternatif itu, Sardono W. Kusomo telah memperlihatkan kepada kita, tentang kompleksitas kesenian kotemporer kita yang sudah berada ditengah-tengah arus lalu lintas komunikasi dan transportasi. Pada akhirnya substanse kesenian Sardono W. Kusomo telah melampaui bidangnya sendiri sebagai seorang koreographer.

Ia kini lebih tepat disebut sebagai seorang koreographer plus. Dan apa yang dilakukannya dapat kita jadikan alternatif pemikiran tentang pendekatan koreografi. ***

* Penulis adalah cerpenis, penyair, dan penikmat budaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae