Aang Fatihul Islam
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Pagi itu langit begitu cerah dihiasi indahnya awan putih yang berjalan begitu lembut bersama terangnya sinar matahari yang baru muncul dari biliknya. Beragam aktifitas mulai bertebaran di kota pahlawan dalam percikan-percikan semangat sesegar embun pagi dan sepanas sang matahari. Tiba-tiba melintas sesosok pemuda dengan sorot matanya yang begitu tajam dihiasi dengan alis tebal yang tertata rapi di atas matanya. Pemuda itu postur tubuhnya kekar dengan kulit sawo matang, rambut panjang sebahu dengan kaos oblong hitam dan celana jeans biru tua compang-camping terkesan seperti tampang preman berjalan menelusuri kota Surabaya. Orang sering menyebut nama akrab pemuda itu dengan panggilan Jatmiko, dia adalah seorang pemuda yang suka menelusuri jalan, nongkrong di warung kopi bersama teman-temannya untuk berdiskusi dan menyendiri di tempat yang sunyi ketika butuh ketenangan, menyegarkan fikirannya yang kalut agar kembali jernih lagi. Dia suka membawa buku untuk dibaca ketika ada waktu luang dan mendiskusikan hasil bacaannya bersama teman-temannya dengan harapan untuk menambah pengetahuan akan banyak hal sehinggah tidak buta terhadap realitas.
Siang itu terik matahari begitu terang dan menyengat kulit, sebuah kebetulan yang terjadi secara tidak kebetulan Jatmiko bertemu dengan seorang gadis cantik di suatu tempat dimana dia suka menyendiri untuk merenung, tepatnya di lembah pandalawangi. Dia takjub, kenapa gadis secantik itu juga suka menyendiri di tempat seperti ini. “Mungkin dia juga mencari ketenangan atau inspirasi sama seperti aku” (Hati Jatmiko berbisik). Gadis itu begitu anggun dengan badan tinggi semampai dan rambut panjang terurai, sorot matanya begitu indah dengan lekukan alis yang membingkai bentuk bulan sabit bagaikan seorang bidadari yang baru turun dari kayangan, entah apa lagi yang bisa buat menggambarkan sesosok gadis itu. Jatmiko begitu terpesona melihat gadis itu dan desakan dalam hati kecilnya membuatnya ia memberanikan diri untuk menyapa gadis itu dengan suara lembut “ada yang bisa saya bantu mbak?” (dengan cuek gadis itu memalingkan muka). Jatmiko menggiring lagi pertanyaanya “namanya siapa mbak? Rumahnya mana?” (gadis itu tetap tidak menggubris Jatmiko, seakan dia ketakutan dengan tampang Jatmiko yang mirip preman).
Hari berikutnya tepatnya di pagi hari tanpa sengaja Jatmiko bertemu lagi dengan gadis itu di jalan ketika gadis itu mengendarai mobil yang begitu mewah untuk ukuran orang kaya dengan merek BMW. Jatmiko mencoba untuk menyapanya tetapi lagi-lagi Jatmiko tidak diperhatikan seakan gadis itu ketakutan dengan tampang Jatmiko yang terlihat tidak rapi dan acak-acakan seakan penampilannya mewakili sebuah gambaran kebobrokan akan moralnya. Sikap apatis itu telah merobohkan pertahanan hati Jatmiko menjadi kejengkelan yang membeku . Hati Jatmiko berontak dengan lontaran-lontaran suara “Kenapa gadis itu melihatnya hanya dari tampangku yang mirip preman?, kenapa semuanya harus hanya dilihat dari kulit luarnya saja?adakah tidak ada sedikitpun pandangan positif terhadap orang yang bertampang preman?”.
Dibalik tampangnya yang tidak meyakinkan, sebenarnya Jatmiko adalah pemuda yang punya kecerdasan dan ketajaman pemikiran. Tampangnya yang seperti sekarang ini adalah pengaruh dari cara berfikir dia yang lebih mendahulukan substansi daripada kulit luar belaka. Penampilannya sebenarnya hanya digunakan untuk mengelabuhi siapa dia sebenarnya. Itulah manusia seringkali sampul luarnya yang dilihat dan menjastifikasi sesuai dengan penampilan tanpa mau tahu hati dan kepribadiannya. Orang akan lebih menghormati pengusaha yang berdandan rapi dan berkendaraan mewah dari pada seorang pahlawan yang menyamar jadi seorang gembel, ataupun seorang wali yang menyamar jadi pengemis. Tentu itu adalah sebuah cara berfikir yang tidak adil karena keluasan pengetahuan yang dimiliki ternyata tidak mempengaruhi untuk berfikir secara holistik tidak berfikir secara parsial saja.
Jatmiko seorang pemuda yang bisa dibilang kritis. Seringkali dia melakukan inovasi pemikiran, melahirkan ide-ide baru yang cemerlang, akan tetapi mungkin karena ketererbatasannya seringkali perkataannya tidak dihiraukan orang. Dia hanya dianggap orang yang tidak waras dan membual saja. Mungkin karena penampilannya yang sangat tidak meyakinkanlah yang membuat dia seringkali tidak dihargai, padahal pemikirannya selalu cemerlang dan penuh dengan pembaharuan. Dalam hati kecilnya Jatmiko bergumam dan menyimpan dendam positif yang terbingkai dalam pemberontakan akan kemapanan yang sangat menjengkelkannya. Dalam hati kecilnya tersimpan rapi ungkapan “suatu hari nanti ia ingin membuktikan bahwa dibalik bentuk kulit rambutan yang kasar menyimpan isi yang begitu lembut, dibalik penampilan luar seseorang tidak selalu merepresentasikan kepribadian seseorang”. Lingkungan kehidupan Jatmiko masih kental dengan kultur yang ada di jawa yang seringkali beranggapan bahwa penampilan luar menentukan isi, sehinggah ketika ada rambutan yang luarnya kasar maka dalamnya juga dianggap kasar, begitu juga dengan kedondong yang luarnya halus maka dalamnya pasti juga halus. Itulah kebiasaan asumsi yang salah dari orang jawa dan Jatmiko ingin meruntuhkan semua persepsi-persepsi salah yang sudah mendarah daging itu.
Dalam guratan kejengkelan hatinya pada sang gadis, sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa disadari ada benih-benih cinta yang terkubur dalam relung hati yang paling dalam. Keangkuhan gadis itu telah memotivasi seorang Jatmiko untuk menunjukkan pada dunia bahwa seorang yang selama ini diannggap preman dan sampah bisa membalik dunia dengan telapak tangannya. Kecuekan itu juga telah mencubiti otak jatmiko yang telah lama tertidur dan segera bangun untuk terbang ke angkasa. Seakan-akan dalam kehidupan Jatmiko yang kurang terarah karena keliaran pemikirannya berubah arah Sembilan puluh derajat untuk berlari kencang mencapai puncak gunung es cita-cita dan menyambut pagi yang cerah. Seringkali seseorang baru akan bangun dari ketidaksadaran dan tidur yang panjang manakala ada kekuatan kontradiktif yang dahsyat, walaupun dimulai dengan kekecewaan dan pemberontakan akan tetapi hal itu akan segera berubah menjadi hawa segar yang menyeret ketidaksadaran yang tidak disadari dalam asupan cahaya terang dan segera bangun untuk memperbaiki diri.
Sore itu angin berhembus begitu berirama berpadu dengan kicauan burung yang begitu menggema dan rancak, tiba-tiba ada kekuatan dahsyat yang menggiring hati Jatmiko untuk menuntunnya menuju sebuah tempat yang selama ini ia rindukan yaitu lembah pandalawangi. Tempat itu merupakan sebuah ruang kontemplasi yang tepat untuk menyegarkan otaknya sembari mencari inspirasi buat ide-ide barunya atau sekedar untuk refleksi diri. Hatinya begitu gundah dengan peristiwa yang baru saja menimpahnya, seakan ada pertarungan yang begitu dahsyat antara hati dan nafsunya. Maka hati Jatmiko berhasil mengalahkan nafsunya dan kemenagan itu telah menuntunnya menuju tempat itu. Suasana di lembah yang begitu ekspressif dan membuat Jatmiko terbang dalam dunia imaginasi. Jatmiko sering menyebutnya lembah itu sebagai taman surga karena keindahannya dan hatinya begitu tenang saat berada di dalamnya.
Dalam posisinya yang demikian itu tiba-tiba sesosok pemuda sebayanya dengan pakaian panjang serba putih dan mata yang berbinar cahaya keteduhan membawa buku dan bulpoin tinta emas menghampirinya. Pemuda itu mendekat menepuk pundak Jatmiko. Jatmiko begitu kaget karena kedatangannya begitu tiba-tiba. Pemuda tua itu begitu bersahaja dengan perawakan yang begitu berwibawa dan penuh dengan ketenangan. Seakan ada kekuatan ghoib yang mengetuk hati Jatmiko bagaikan setruman aliran listrik yang mengalir lewat kabel putih dalam letupan cahaya putih. Hati kecil Jatmiko berkata “pemuda itu kok seakan begitu dekat dengan aku, apakah dia merupakan bagian dariku?
Dalam ketakjubannya pemuda itu tiba-tiba berkata dengan begitu santun dan bjaksananya “wahai saudaraku kamu sebenarnya punya kelebihan yang belum tersalurkan”, Jatmiko menjawab “maksudnya bakat apa mas?”. Pemuda tua itu hanya tersenyum dan memberikan sebuah Bulpoin bertinta emas “ini terimalah hadiah buat kelebihanmu yang terpendam”. Kakek tua itu menambahkan dalam perkataannya yang terakhir sebelum ia pergi yaitu “ngelmu iku kelakone kanthi laku” Jatmiko bertanya lagi “saya tidak mengerti maksud kamu?” (tiba-tiba pemuda tadi menghilang tanpa bekas) Jatmiko memanggil kakek tadi dengan keras “mas kamu dimana? Pembicaraan kita belum selesai”. Namun keinginan Jatmiko untuk menemukan pemuda yang misterius tadi sia-sia. Jatmiko berjalan menyusuri lika-liku jalan di sekitar lembah itu, tapi tidak ketemu juga. Jatmikopun merasa begitu lemas karena kecapekan melakukan penyusuran sampai kakinya terasa mau patah.
Hari sudah semakin sore dan matahari sudah mulai melaju ke ufuk barat. Jatmiko melihat sebuah telaga jernih di belakang dimana dia tadi bertemu dengan sang kakek. Telaga itu begitu indah dengan dihiasi cahaya guratan pelangi yang mengelilinginya. Dia begitu kagum dan segera menuju telaga itu karena sudah merasa haus seharian belum sempat meneguk air. Setelah minum air telaga tersebut Jatmiko merasa sudah lebih tenang dan segar lagi otaknya. Lalu dia duduk di bawah pohon rindang disamping telaga sambil berfikir (“sebenarnya apa maksud perkataan pemuda tadi? mengapa dia memberikan sebuah bulpoin bertinta emas? Lalu apa hubungannya dengan kelebihanku yang terpendam?, ditambah lagi kakek itu juga mengatakan dalam istilah jawa “ngelmu iku kelakone kanti laku”, kalau tidak salah arti dari kalimat itu adalah manfaat ilmu itu bisa dirasakan ketika sudah dipraktekkan atau diamalkan ) hati Jatmiko terus berdiskusi tentang apa yang baru saja dialaminya tadi. Seakan semua terbungkus dalam kalimat yang singkat, rapi akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam.
Hari semakin larut, Jatmiko segera bergegas pulang karena hari semakin gelap. Dia segera masuk rumah dan merebahkan tubuhnya yang lemas dan letih karena kecapekan yang menyelimutinya. Dalam suasana sepi di dalam kamar Jatmiko melamun, tiba-tiba otaknya tergiring bersama terjemahan-terjemahan dari kejadian yang ia alami ketika bertemu dengan kakek tua di lembah pandalawangi tadi. Seakan relung hatinya menuntun otaknya untuk menerjemahkan arti dari semua ini. Dia teringat bahwa sebenarnya dia punya keinginan dan ide-ide cemerlang yang belum pernah ia tulis dan bukukan. Selama ini ide-idenya hanya terhenti pada retorika dan wacana saja. Hatinya kembali menggelitik “Apakah yang dimaksud dengan kelebihan tadi adalah kelebihan untuk menulis? Kemudian maksud dari kalimat jawa itu tadi adalah dia harus segera memulai apa yang menjadi keinginannya selama ini dalam bentuk sebuah praktek, kalau dalam konteks ini berarti segera mulai menulis”. Pertanyaan itu semakin kuat mencekik relung hatinya berbaris berjubel-jubel untuk menunggu jawaban.
Otak Jatmiko kembali digiring relung hatinya untuk menemukan jawabannya, bagaikan seorang striker yang menggiring bola menuju gawang untuk mencapai goal jawaban. Dia tiba-tiba ingat dengan bulpoin bertinta emas yang diberikan kakek tua itu, bulpoin adalah lambang menulis atau alat yang dipakai untuk menulis,sedangkan tinta emas adalah sebuah hikmah atau sebuah manfaat dari sebuah tulisan. Emas adalah benda berharga yang disukai dan dicari. Berarti suatu saat sebuah tulisan akan bernilai sama dengan emas. “Subhanalloh apakah aku akan jadi seorang penulis?” (Jatmiko bergumam dalam hati). “Jika itu benar maka keinginan-keinginanku yang selama ini tidak tersampaikan bisa saya wakilkan lewat bahasa tulisan, sedangkan kalimat terkhir yang berbahasa jawa dari kakek itu adalah sebuah hentakan yang berarti ia harus segera memulai keinginanya dalam bentuk tindakan yaitu menulis. Jatmikom berfikir begitu cemerlang seakan ada wahyu atau ilham yang menghampiri pikirannya. Dia juga berfikir walaupun suatu saat nanti jasadnya hilang terkubur tanah, akan tetapi karyanya akan tetap hidup dan dbaca orang. Sunggguh sebuah anugerah yang luar biasa.
Tanpa berfikir panjang Jatmiko segera menuliskan apa yang selama ini menjadi unek-uneknya. Maka jadilah beberapa tulisan diantaranya; novel, cerpen, puisi, artikel, essai dan sebagainya. Lambat laun Jatmiko menjadi penulis besar dan semakin banyak orang yang mengenalnya. Sampai suatu saat dia diundang ke acara bedah buku di suatu lembaga seni dan sastra sebagai pembicara. Dalam penampilannya yang sama kayak dulu (low profile) tapi lebih percaya diri, dia berjalan dengan santainya menuju tempat acara dilaksanakan. Para hadirin menyambut dengan hangat atas kedatangan Jatmiko. Pada saat acara bedah buku dimulai dia merasa kaget ketika bertemu dengan gadis yang angkuh dulu. Ternyata dia diundang sebagai pembanding. Jatmiko mengetahuinya setelah pembuka acara menyebut nama gadis itu, namanya Angelia. Sebuah nama yang indah seindah orangnya. Angelia ternyata adalah juga seorang penulis yang terkenal karena kekayaan karyanya.
Yang belum terungkap adalah kenapa Angelia begitu tidak nyaman dengan orang yang berpenampilan tidak rapi dan alakadarnya. Kenapa dibalik keapatisannya yang menurut asumsi Jatmiko tidak pantas menjadi seorang penulis berbalik arah dan sangat kontradiktif. Ini berarti anggapan Jatmiko yang meramu menjadi sebuah kejengkelan terhadap gadis itu salah. Jatmiko terdiam seribu bahasa di depan para audience. Tiba- tiba suara lembut dari moderator memanngil namanya “para hadirin inilah seseorang yang telah kita tunggu kedatangannya, namanya mas Jatmiko, tentu kalian semunya sudah mengenalnya lewat karya-karyanya bukan?” sang moderator begitu antusias untuk memperkenalkan Jatmiko pada para audience. Tetapi Jatmiko masih terhipnotis dengan kebetulan-kebetulan nyang ditemuinya mengenai dirinya dan Angelia.
Suasana heningpun tiba-tiba mendarah menjadi berjubel-jubel tanda tanya diantara keduanya. Seakan sebuah mimpi yang mengganjal Angelia, rasa tidak percaya kepada sosok preman yang selama ini dia tidak pedulikan pada saat dia disapa. Gadis itu merasa bersalah dan minta maaf pada Jatmiko karena telah melihat dia hanya dari penampilannya bukan hati dan otaknya. Jatmiko yang sekarang lebih bijaksana dalam bertindak, perkataanya membawa kesejukan pada siapa saja yang diajak bicara termasuk gadis itu. Dengan sikap bijaksana Jatmiko berkata “tidak ada yang bersalah kok mbak, masa lalu adalah pembelajaran untuk masa sekarang untuk jadi lebih baik”, gadis itu menjawab “terimakasih mas Jatmiko kamu begitu bijaksana”. Keduanyapun tersenyum manis seakan menggiring benih-benih cinta diantara keduanya.
Dalam arus pembicaraan diantara keduanya Jatmiko segera mengeluarkan rasa penasaranya dengan lemparan pertanyaan : “Angelia apakah saya boleh bertanya?” Silahkan mas Jatmiko (Suara lembut keluar dari bibir indah Angelia). Jatmiko kembali merespon Angelia begini “Angelia saya terus terang berada pada ruang diantara percaya dan tidak yang membuat kamu seperti yang sekarang ini?” Angelia segera menyahutnya dengan perkataan yang begitu lugas dan bijaksana “begini mas Jatmiko dulu ketika saya berada pada keluraga yang serba berkecukupan saya selalu berfikir bahwa segala sesuatu hanya diukur dengan uang dan penampilan, tetapi suatu hari saya mengalami sebuah kebosanan yang luar biasa,” Jatmiko menyahutnya dengan mata melotot “kenapa bias begitu?” Angelia menambahkan “Kebosanan saya akan kemewaan hidup telah mengantarkan saya pada pencarian jatidiri yang dibimbing lewat saudara saya”, “ Saudara yang mana?” (sahut Jatmiko) “saudara yang mungkin mas pernah bertemu dengannya.”
Percakapan dari keduanyapun terhenti ketika moderator sekonyong-konyong membuka acara bedah buku “Menembus Kabut Hitam” karya Jatmiko. Acara bedah buku pun dimulai, keduanya begitu interaktif dan luas penjelasannya bagaikan matahari yang memberikan cahaya di siang hari dan rembulan yang memberikan keindahan cahaya di malam hari. Percikan kata-kata Jatmiko begitu penuh daya tarik dan membus siapa saja yang mendengarnya. Begitupulah Angelia penjelasannya sebagai pembanding begitu runtut dan luas. Suasana bedah buku saat itu begitu menyenangkan dan penuh dengan manfaat apalagi dihadiri oleh penulis terkenal seperti Jatmiko dan Angelia. Setelah selesai acara lalu keduanya bertemu di sebuah lesehan dekat acara dilaksanakan, Jatmiko dan Angelia merasa bersyukur dan berterimakasih atas augerah Tuhan dan juga dengan dipertemukannya keduanya di tempat yang penuh dengan makna. Akhirnya Jatmiko mengeluarkan benda berharga yang selama ini menjadi inspirasinya untuk terus belajar dan berkarya. Hal ini juga dilakukan oleh Angelia dia juga mau memberikan benda yang selama ini memberika inspirasi untuk terus belajar dan berkarya.
Senja itu langit begitu indah, seakaan berkompromi untuk menyambut mereka dalam kebahagiaan yang tak terukur. Akhirnya Jatmiko dan Angelia sama-sama memberikan satu sama lain. Keduanya kaget ternyata benda yang mereka berikan satu sama lain adalah sama yaitu bulpoin yang berisi tinta emas. Ternyata bulpoin yang mereka miliki saat ini adalah titipan dari sosok saudara mereka yang telah menemui mereka di lembah pandalawangi. Mereka adalah jelmaan dari salah satu saudara Jatmiko dan Angelia yang dalam jawa sering disebut “dulur papat limo pancer”. Manusia akan mampu bertemu dengan saudara-saudara mereka pada saat yang tidak bisa diduga dan itu merupakan kuasa dari Tuhan sang pencipta yang menciptakan makhluknya penuh dengan keserasian. Tuhan tidak memberi apa yang kita inginkan tetapi memberi apa yang kita butuhkan. Sebuah kebesaran Tuhan lewat perantara saudara dari Jatmiko dan Angelia yang memberikan sepasang tinta emas itu telah membawa mereka untuk menemukan dunia mereka. Sepasang tinta emas dalam bingkai bulpoin yang telah mengasilkan beratus-ratus karya. Sepasang tinta emas yang menggiring dan mengantarkan keduanya untuk jadi seperti yang sekarang ini. Sepasang tinta emas yang telah membawa mereka menemukan jati diri mereka untuk jadi seorang penulis.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar