Jumat, 19 Maret 2010

DUNIA ANOMALI DI MATA MISTIKUS

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Setelah aku kirimkan beberapa buku stensilanku kepada saudara Marhalim Zaini di Riau dan Y. Wibowo di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di bawah ini tanggapan Marhalim Zaini lewat sms, lantas aku buatlah surat untuknya:

Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya (via sms, Marhalim Zaini).

Saudaraku, mungkin begitulah diriku. Ketika sentuhan angin bidadari mengibas rambutku yang ikal memanjang bagai anak-anakan untaian rambut Tagore. Atau kusut tak karuan seperti Nietzsche saat suntuk, pun sekelimis Freud dikala berkarya bercermin terlebih dulu. Jangan-jangan mahkotaku kelak hilang botak serupa tuanku Al-Ghozali.

Tidak apa, kalau membuat leloncatan fikiran perasaanku (yang saudara maksud; Ada lompatan-lompatan makna) sepagi-pagi cahaya khusyuk Suhrawardi merampungkan Hikmah Al-Isyraq. Dan logikaku, sepra-prakteknya Einstein berjalan keluar dari bangku kuliah menuju kampus dunia, segambar tuturan Alan Lightman pada novelnya Einsteins Dreams.

Atau keasingan itu (Ada logika-logika aneh dan asing), sejenis Socrates menenggak racun kenyataan hukum logis Ilahi. Namun bukan konstruksiku sekonstruktivisme Kukla kekanakan, atau karakter gairahku kebalikan dari Marcuse sang ambigu; yang seolah polisi dilain pihak berwajah hakim Bao; memang berhasil membuat penjara tetapi gagal mencipta pencerahan, sebatas pencerita dalam One Dimensional Man. Dan diriku mengatakan, insan adalah jutaan dimensi, tentu atas cakupan berbeda.

Mungkin jiwaku mengharap pesona Don Juan Berrnar Shaw atau Adimanusia Nietzsche; keberanian menarik putar roda torpedo pemikiran hingga ribuan kesan menembus batas diri. Pada lain tempat Nietzsche membabat dialektika Socrates lewat dialektikanya yang lebih kasar dan sembrono, dianggap tidak dialektik, padahal sangat di Senjakala Berhala.

Hasratku tak sepelan Machiavelli juga belum memiliki kejelian Plato pada Republik, atau The End of History and The Last man Fukuyama. Atau The Philosophy of History Hegel, dramatik Camus, lebih-lebih Muqaddimah Ibn Khaldun, namun mudah-mudahan potensi itu terangkat oleh seperangkat kesehatan bekerja keras atas ketentuan rahmat-Nya.

Tapi tidak mau keterlaluan nekat, maka diri ini membutuhkan waktu tepat mujarab demi memakbulkan karya seizin-Nya, seharap Fusus Al-Hikam Ibn Arabi, syukur mencapai kekentalan Ibn Ataillah kala merampungkan karya terbaiknya Al-Hikam.

Mungkin ini saudara harapkan bagiku; mencipta karya tidak sekadar tumpukan kertas berita, tak sembarangan kutip seolah tanpa otak, kerajinan tangan kliping, tentu pula tak hanya menyenangkan teman-teman? Maka doakan agar sampai tahap formula tersendiri, tidak tergiur nyontek Hallaj pun Rumi. Kalau gaya mungkin tak kenapa, yang fatal ruh dari yang sedang kubangun sebanding sama, kan konyol.

Ingin sungguh mengupas kebobrokan diri sehingga tampil menggemuruh di bathin kejujuran pelajar, berharap capaian murid patut disayang. Anak halal dibanggakan serupa termaktub dalam hadits; Menikalah kalian dan beranak cuculah, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan di antara sekalian banyak ummat.

Atau kehilafanku terterima serupa hadits Qudsi; Barangsiapa karena sibuk berdzikir sehingga lupa meminta-minta, Aku beri ia sebelum meminta. Ialah ketokohan patut dibanggakan Muhammad, Rasul punghujung jaman. Bukan nabi palsu yang disangka orang-orang, dirinya gagah atas obyektivitas ilmu pengetahuan.

Kitab apalagi yang ajaib dan membumi kalau bukan Al-Qur’an. Pemampu menjawab soal belum terlahir. Mengandung lautan hikmah dan hamparan falsafah yang patut dipandang cermat, berguna memberi soal jawab masa depan terhormat demi masyarakat madani, bukan medeni atau menakutkan semacam FPI.

Muhammad SAW, sang revolusioner tercepat diakui sejarawan Karen Armstrong di bukunya; Muhammad, Biography the Prophet. Sanggup mewarna perjuangan Diponegoro, jenderal Sudirman. Juga Bung Tomo yang menurut K’tut Tantri se-Abraham Lincoln dalam Revolusi di Nusa Damai. Itu perembesan, belum menghujam banjir sekepribadian Umar bin Abdul Aziz. Atau sahabat empat yang berkilatan menyelamatkan kemanusiaan dari kungkungan jahiliah. Di layar putih berbeda para tuan tanah Texas atas kulit hitam dan Indian. Dan takdir Tuhan menghendaki tiada lagi muka penindas, terkelupas temukan tulang kesadaran, bahasa Erich Fromm dari Freud; insting kematian dari hasrat merusak.

Dari yang belum kusebut ialah cermin, agar selalu mengoreksi; mengemur sesuai baut kita punya. Kesadaran totalitas demi menarik permasalahan yang being dan masuk ke dunia henang-hening-henung, pada nantinya tertampil citraan diri menerang padang njinglang; terang benderang.

Kata saudara; ada sentakan pemberontakan yang ajaib. Marilah bangun keajaiban. Tidakkah dunia berjalan melewati anomali menghemaskan? Kudunya menarik diri menjadi paling ajaib, menanjak seperti tragedi bedah caesar, diawali kebanggaan Sang Caesar yang lahir tanpa melewati anunya wanita (dalam Caesar and Cleopatra, Bernart Shaw).

Aku tak bermanis-manis sedebu kering Salman Rushdie yang spekulatif menghentak-henyak. Paling-paling nyangkut di roda cikar atau gerobak yang ditarik sapi-sapi pongah. Aku tak mau masuk perangkap subyektivitas Max Weber (the Sosiologi of Religiun) yang memakai kacamata kuda, pura-pura kemayu demi sesuap pengakuan. Ingin kubangun realitas kedirian yang digagas Iqbal, kejuntrungan Isa Dawud dalam setiap menerangi penelitiannya, bukan bayangan jauh namun ngeranggehnya harapan.

Oya, aku terkejut saat menyimak Critical & Cultural Theory, Cavallary yang seperti kubayang, namun setelah kuteliti untung isih’ (masih) berjarak dan semoga yang terbayang tidak seampang suguhan John K Roth. Atau aku tak membangun apa-apa dari sana, yang kubeberkan sebagai tonggak jati diri; ini berhubung daya ketahanan suntuk, jangan-jangan aku tertidur sehabis terpuaskan. Sungguh anomali? Kalau sampai diteruskan, apalagi menguap lantas bangun deladapan kesiangan.

Basis eksistensi jelas, kesadaran ruh pemberian Tuhan, amanah terkandung demi melahirkan kemaslahatan mencahayai perjalanan ke alam akhir. Tentu atas syafaat Nabi Muhammad oleh restu Sang Maha Ego. Kita di atas tungku pembakaran was-was malaikat pencabut suka pada jarak kesakitan dunia, luka tradisional; realitas borok kondisional. Bukan dipremak tapi merombak, sebab setiap detikan waktu jungkir-balik kehendak ketentuan-Nya.

Dunia ajaib dari Sang Ajaib; mata cemerlang menatap daun pun benda-benda hidup, hayat tambah bergairah merevolusi diri menciptakan fibrasi gesek-resapan. Tidakkan seluruh jagad mikro kosmos serta kebalikannya ajaib? Realitas tercetak di lembaran biru, dalam matematika perkalian, gairah rindu demi temukan hakikat benda dan misterinya luput ditangkap para empun filsuf juga psikolog di pagi buta. Sebab mereka seperti tukang kursi, mencopoti kaki-kaki kursi, dipasang sesuka pencahayaannya. Sejenis spesies penari di atas tali tambang selukisan Nietzsche. Atau ribuan cacing menjelma seekor naga besar, kata Hitler sewaktu memotivasi anak-anak buahnya.

Mereka kondisikan gairah bersama demi temukan kreativitas pemompaan atau racun sugesti, menggerakkan organ nganggur. Seakan pelari maraton dengan satu tongkat diberikan penerusnya. Benarkah ini daya sesungguhnya? Jangan-jangan rangsangan dihasilkan dunia gaib, sangkaan menyenangkan pewarisnya dengan melucuti tenaga untuk memeras. Kalau permainan sepak bola pesta bersama, bisa-bisa pesta para pemain, wasit, pelatih dan panitia, yang lain ikut ramai. Jikalau sekadar ingin mendapati tepuk tangan, rekam saja pertandingan. Lalu putar di waktu lapar, tentu tanpa makan malam sudah kekenyangan.

Inikah mereka sebut lagu? Pemalsuan alam atau kejujuran dipalsukan. Jika berharap gembirakan diri, sulut saja petasan? Tapi mereka malu. Tidakkah ini penindasan bangsa lebih kuat pada bangsa amburadul tidak terkonsep. Yang tak memiliki jati diri, inginnya cepat menemukan kemeja pas (srek) demi tampil di depan publik. Tidakkah ini pembodohan akademis, mencipta hukum strategi komando untuk mencapai perang akhir manusia. Bungkus hanya paradok diperjualbelikan agar lekas laku, lantas tergiur wajah cantik otak encer atau mengental?

Mereka menyaksikan gejala gunung es meleleh, cepat-cepat menarik diri ke kamar menyelingkuhi kesunyian, lalu keluar bangga sejatinya melompong; menuliskan kesakitan juga kekecewaan berhati haru atau ketawa membadut. Lampaui itu, hasrat tenang atau gembira dari jiwa. Kita tanggalkan kesenangan semu, ketenangan melena demi tetap mawas. Kudu berani tanggalkan kesemerawutan tak juntrung. Kita bukan kosong, tapi kebaharuan tanpa merasakan cuaca ganas menyengat, keindahan taman samping jendela atau ketinggian gunung merayu. Kita pelajari sosok perayu tak merayu, magnit tak mencari besi, deras hujan tak mencari lahan, namun mengikuti angin bertiup segeraian kasih lembut Sang Asih.

Segala tulisan kerentek tanpa suara, gerak munajad tak harus menuju ruang peribadatan, tidak kudu menjajakan dagangan ke kota metropolis. Biarkan para wisatawan berpelesiran mencium harum bunga kita. Meski di tempat lain berkeajaiban. Dunia tak lagi dianggap ajaib oleh penggila dan penggali ilmu. Ini bukan dunia sendiri seperti saudara maksud; ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Namun alam belum terjamah-jemah insani seperti Tagore ngelutus temukan Borobudur. Ngelayapnya diriku bersama mas Suryanto Sastroatmodjo mendapati relief kuda sembrani di Piyungan Yogyakarta tempo dulu. Bukan mbelakraknya Marcopolo mempercayai dunia bundar. Atau pelesirannya K’tut Tantri ke Jawa melewati pesawahan hijau, pebukitan terjal serta keramahan masyarakat Bali. Yang kumaksud lain dan berbeda. Mari kita ajak bermimpi dulu untuk mengetahui keasingan hakiki, sebab masih membawa kelogisan dikala tertidur.

Ialah alam bawah sadar belum terangkat di atas bumi. Bahasa Nietzsche, keajaiban metafisis dalam arti kehendak Hellenis yang melahirkan karya seni Dionysian sekaligus Apollonian, disebutnya tragedy Attik. Semacam fokus piramida lenyap. Dan penggalian kita bukan sejenis arkeolog yang tiada keberanian melewati kebenaran firasat tinggi. Ada buku menarik panduan firasat yang ditulis Ibn Qayyim bertitel Al-Firaasat, mungkin saudaraku belum membacanya.

Saudara katakan; laut yang saling berbalik arah debur ombaknya. Aku tak ingin berhenti setelah hempasan menemui kebuntuan pasir pantai karang ketentuan. Aku tak ambil ini sebab tiadanya awan penjara, meski terlunta sekaligus lelah. Tentu tahu siapa penghiburnya? Ini kian dalam pengulitan bawang merah, kulit-kulit pembungkus dikeluarkan, jika itu pokok bawang. Namun insan ribuan dimensi? Lebih sekadar kulit pun pengulangan sisifus. Tidak lagi mengambil jarak, tapi mengangkat sikap kekinian. Hanya belum mengatakan di depannya, hawatir dianggap pembual mitos atau tali-temali penjerat metet (rapuh).

Cukup menyebut asma-Nya, kata ajaib difikirkan. Segalanya terkendali menjelma seajaib mungkin. Mungkin di sini harus berhati-hati memaknai, sebab bisa kemandekan, kudunya dilumat hingga keajaiban terus. Ini bukan tingkatan hipnotis, apalagi sihir rendah sugesti akal-akalan, tapi kesadaran totalitas mengiyakan; segalanya ajaib. Ini jangan dianggap berhutang pada saudara yang kuutarakan, sebab tiada tahu sebelum sesudah-Nya memberi takdir kita. Anggap ini percobaan kimiawi-manusiawi, pembelajaran pada diri agar ringan melangkahkan kaki, menggarah makna misteri daya rayu yang teridam.

Ingin aku berkesederhanaan Erich Fromm, seolah angkat kursi makan di ruang tamu dengan embun psikoanalisanya, memandangi karya Lorenz didukung tulisan sebelumnya, milik dramawan Robert Ardrey (African Genesis & The Territorial Imperative). Mungkin senada musik Psikofiesta gagasanku (Psikologi Filsafat Sastra & Tasawwuf), bahwa karya Goethe, Faust menjadi mendasar terkuak, berdayaguna kuat sebab usungan idiom Timur dan Barat melewati tragedi nilai nenek moyang. Ini memperbantukan kesadaran demi diakui serta layak.

Aku harap saudara tidak angkat ketukan palu mendadak, mengatakan ini mengusung keranda usang atau menakut-nakuti berkain pocongan. Atau boleh berpandangan itu namun aku percaya, analisa saudara lebih kuduga. Aku masih berkutat menyenangi pertemuan pertama, perkenalan ajaib, perjumpaan tak tersangka hingga mendapati dugaan kuat. Makna itu di sana, gairah meledak-ledak setubuh, bukannya ejakulasi dini atau watak penggerogotan jiwa yang dikembangkan panyair Lebanon.

Kita tahu perkembangan filsafat dari juntrung sampai berjingkrak, dari kesahajaan menuju pengelucutan senjata, hingga menemukan pecahan kepala; menembusi batas yang dibatasi daya insani atau menguap ateis, sebab belum kenyang tidur semalam. Maka doakan diriku tidak deladapan memandang kecantikan, walau kadang mencipta siratan spiritual, seperti keunggulan pelangi yang suatu waktu membentur remuk hujan angin di sekitarnya. Ada unen-unen; di daerah kekuasaan lengkung pelangi selalu meminta tumbal, sederu hujan bersusulan. Atau selembut Cinderawasi menyembunyikan agresi singa sefilosofis Reog Ponorogo, wilayah yang menyeret R. Ng. Ronggowarsito dalam kancah kehitaman panggung, sampai menemukan batu bercekungan air yang tersaksikan Ibnu Hajar Al-haitami, dengan frame berlainan.

Atau aku mengajak mendestruktifkan diri, agar being di kancah sapuan lar bulu sayap, sampai setajam penghilangan diri. Tapi aku kira tidak, sebab saudara memiliki racikan jamu mujarab, resep hidup surgawi bervitalitas tinggi, meski tua tongseng, bukan yang kerapkali dikatakan Bung Hatta; non sen. Kita pakai instingnya anjing Ashabul Kahfi menguntit ketaatan menjumpai dunia lain, dipersembahkan perasaan nalar berkembang di kebun desa. Aku tilik para filsuf anak turun petani atau memotret kesahajaan proletar. Teringatlah sosok Tolstoy, penjelmaan aforisma yang tumbuh berkembangnya kebenaran hakiki.

Keajaiban anomaly se-mak-bedunduk tidak mendadak nunut ngeyop kehujanan. Bukan berhentinya kereta api kelas ekonomi yang tidak di stasiun oleh menanti simpangan kereta api kelas eksekutif, dan bukan pemberhentian atas tradisi (kereta api kelas ekonomi di Jawa, ada yang berhenti tidak di stasiun, tapi juga di tempat yang dulu jadi pemberhentian, stasiun perjuangan). A (anomaly) di sini A besar atau A-Nya dan Y terakhir ialah tukikan ke bawah kemanusiaan, kepasrahan total. Penulis memaknai dalam kacamata matematika berarti min (-). Sebagaimana Isra’ Mi’raj dihasilkan min kali plus berarti min (- x + = -), yakni kian tinggi jumlah nominal, betambah naik ke Arasy, Wallahuaklam.

Kata saudara pada tulisanku; Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Benar aku berfikiran ganda, tapi bukan mengharap dualitas yang mencederai keputusan seenaknya. Tetapi permainan bebas dibatasi, permainan hanya teknik penajam hujam pada pokok persoalan, pembiasaan daya dinaya. Dapat digaris bawahi, aku tak membangun lewat kemisterian. Yang sedang tergarap pembuka, memberi kemungkinan masuk keluar tanpa malu, seperti anak kecil mengalah pada adiknya, tanpa tercampuri iri ingin hadiah kecupan orang tuanya.

Aku harap tulisan ini tidak mengocok otak apalagi perut, sebab keterlaluan geli tukikan miring. Atau saudara anggap badut yang ingin mengenyangkan perut tanpa makan. Mungkin semisal badut pelatih hewan ganas menjadi piaraan; nafsu meliar tidak perlu dicencang, cukup latihan tiap pagi, anjing (keliaran gaya berfikir, keyakinan memburu dari penciuman duga, terkaman menjanjikan daging) juga lincah memasuki lingkaran api, walau mengenai porsi makan tetap sama (ini pengembangan fitroh). Lebih mujur dari anjing gila (para filsuf yatim keimanan) mudah tertular penyakit kudis, sampar pula kelaparan di padang gersang.

Aku suka menggunakan anjing daripada tikus, meski berkelenjar searah manusia. Lagi-lagi dikejutkan penelitian di negeri Matahari Terbit akhir-akhir ini, yang mengatakan usia kucing lebih lama daripada manusia. Aku teringat mata kucing kemerahan magis, pemilik jaket berbulu hitam itu. Di sini terbaca, saudara tertarik atau tidak atas gaya bahasaku bertabrakan, atau fikiran beribu ganda lebih jauh jangkauannya, dengan lemparan jala sejauh sejarah kemanusiaan. Doakan umur ini bermanfaat, agar segala problematik mengintriki jiwa, menjadi asyik di mata berpenuh mistis.

Aku mengakui sketsa saudara mengenai wajah ini menyenangkan, hingga mudah melukis balik, bercorak ekspresionis yang menggebu di kalbu. Atau kata-kata saudara berupa cat bermutu hingga aku bangga melukiskan pada kanvas kali ini. Aku minta maaf jika terlihat berani menuangkan cat bergaya boroime kata. Namun aku percaya, saudara tidak keberatan memberikan cat bermutu di suatu saat nanti. Kemarinnya aku hanya memakai cat berbahan kopi susu, yang tampil kurang bagus, apalagi belum ada kanvas tapi kertas. Untung berkawan denganmu; cermin saudara berikan aku taruh di kamar dan setiap waktu kuberkaca, sebelum menemui Maha Cantik saat hendak berpetualang. Semoga Tuhan senantiasa membimbing kita, apa yang terharap tidak melenceng kehendak mencapai keseimbangan fitroh spiritualitas-Nya.

Aku fikir cukup, terimakasih penggerak darimu bagiku merasai cambukan itu, realitas saudara maksud. Semoga aku dapat mewujudkan ocean ini dalam buku tidak sekadar hitam manis, namun meges, syukur sehitam manggis. Kalau putih tak seputih tulang tapi salju, lebih putih kapas randu di jalan pulang. Makin sehat berkesegaran putih susu. Teruskan membaca saudara, mumpung kantuk belum menyerang dahsyat, atau siang melarat oleh hawa paling pengab.

Ini hanya firasat ngelayap, tanpa juntrung namun menganggap bermuatan filsafat. Ya mudah-mudahan menjadi embrio paling tepat demi berpijak di batuan nekat, terbang setelah penuh siasat. Aku teringat ramalan Voltaire yang serasa kepada waktu kini; “Ia berjanji pada mereka, akan membuatkan sebuah buku filsafat yang bagus dan akan menulis kecil-kecil supaya mereka dapat membacanya.”

Sebagai penutup surat aku tuliskan kata-kata saudara Y. Wibowo yang tidak memberikan komentar lagi selain sms ini: Di sabtu kelabu, kusamak untai mutiaramu, sayangku di temui jauh. Saudara-saudaraku di sekolah kebudayaan Lampung, terhenyak atas kehadiranmu. Tabik.

9 Januari 2005 Lamongan, Indonesia.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae