Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/
Setelah aku kirimkan beberapa buku stensilanku kepada saudara Marhalim Zaini di Riau dan Y. Wibowo di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di bawah ini tanggapan Marhalim Zaini lewat sms, lantas aku buatlah surat untuknya:
Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya (via sms, Marhalim Zaini).
Saudaraku, mungkin begitulah diriku. Ketika sentuhan angin bidadari mengibas rambutku yang ikal memanjang bagai anak-anakan untaian rambut Tagore. Atau kusut tak karuan seperti Nietzsche saat suntuk, pun sekelimis Freud dikala berkarya bercermin terlebih dulu. Jangan-jangan mahkotaku kelak hilang botak serupa tuanku Al-Ghozali.
Tidak apa, kalau membuat leloncatan fikiran perasaanku (yang saudara maksud; Ada lompatan-lompatan makna) sepagi-pagi cahaya khusyuk Suhrawardi merampungkan Hikmah Al-Isyraq. Dan logikaku, sepra-prakteknya Einstein berjalan keluar dari bangku kuliah menuju kampus dunia, segambar tuturan Alan Lightman pada novelnya Einsteins Dreams.
Atau keasingan itu (Ada logika-logika aneh dan asing), sejenis Socrates menenggak racun kenyataan hukum logis Ilahi. Namun bukan konstruksiku sekonstruktivisme Kukla kekanakan, atau karakter gairahku kebalikan dari Marcuse sang ambigu; yang seolah polisi dilain pihak berwajah hakim Bao; memang berhasil membuat penjara tetapi gagal mencipta pencerahan, sebatas pencerita dalam One Dimensional Man. Dan diriku mengatakan, insan adalah jutaan dimensi, tentu atas cakupan berbeda.
Mungkin jiwaku mengharap pesona Don Juan Berrnar Shaw atau Adimanusia Nietzsche; keberanian menarik putar roda torpedo pemikiran hingga ribuan kesan menembus batas diri. Pada lain tempat Nietzsche membabat dialektika Socrates lewat dialektikanya yang lebih kasar dan sembrono, dianggap tidak dialektik, padahal sangat di Senjakala Berhala.
Hasratku tak sepelan Machiavelli juga belum memiliki kejelian Plato pada Republik, atau The End of History and The Last man Fukuyama. Atau The Philosophy of History Hegel, dramatik Camus, lebih-lebih Muqaddimah Ibn Khaldun, namun mudah-mudahan potensi itu terangkat oleh seperangkat kesehatan bekerja keras atas ketentuan rahmat-Nya.
Tapi tidak mau keterlaluan nekat, maka diri ini membutuhkan waktu tepat mujarab demi memakbulkan karya seizin-Nya, seharap Fusus Al-Hikam Ibn Arabi, syukur mencapai kekentalan Ibn Ataillah kala merampungkan karya terbaiknya Al-Hikam.
Mungkin ini saudara harapkan bagiku; mencipta karya tidak sekadar tumpukan kertas berita, tak sembarangan kutip seolah tanpa otak, kerajinan tangan kliping, tentu pula tak hanya menyenangkan teman-teman? Maka doakan agar sampai tahap formula tersendiri, tidak tergiur nyontek Hallaj pun Rumi. Kalau gaya mungkin tak kenapa, yang fatal ruh dari yang sedang kubangun sebanding sama, kan konyol.
Ingin sungguh mengupas kebobrokan diri sehingga tampil menggemuruh di bathin kejujuran pelajar, berharap capaian murid patut disayang. Anak halal dibanggakan serupa termaktub dalam hadits; Menikalah kalian dan beranak cuculah, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan di antara sekalian banyak ummat.
Atau kehilafanku terterima serupa hadits Qudsi; Barangsiapa karena sibuk berdzikir sehingga lupa meminta-minta, Aku beri ia sebelum meminta. Ialah ketokohan patut dibanggakan Muhammad, Rasul punghujung jaman. Bukan nabi palsu yang disangka orang-orang, dirinya gagah atas obyektivitas ilmu pengetahuan.
Kitab apalagi yang ajaib dan membumi kalau bukan Al-Qur’an. Pemampu menjawab soal belum terlahir. Mengandung lautan hikmah dan hamparan falsafah yang patut dipandang cermat, berguna memberi soal jawab masa depan terhormat demi masyarakat madani, bukan medeni atau menakutkan semacam FPI.
Muhammad SAW, sang revolusioner tercepat diakui sejarawan Karen Armstrong di bukunya; Muhammad, Biography the Prophet. Sanggup mewarna perjuangan Diponegoro, jenderal Sudirman. Juga Bung Tomo yang menurut K’tut Tantri se-Abraham Lincoln dalam Revolusi di Nusa Damai. Itu perembesan, belum menghujam banjir sekepribadian Umar bin Abdul Aziz. Atau sahabat empat yang berkilatan menyelamatkan kemanusiaan dari kungkungan jahiliah. Di layar putih berbeda para tuan tanah Texas atas kulit hitam dan Indian. Dan takdir Tuhan menghendaki tiada lagi muka penindas, terkelupas temukan tulang kesadaran, bahasa Erich Fromm dari Freud; insting kematian dari hasrat merusak.
Dari yang belum kusebut ialah cermin, agar selalu mengoreksi; mengemur sesuai baut kita punya. Kesadaran totalitas demi menarik permasalahan yang being dan masuk ke dunia henang-hening-henung, pada nantinya tertampil citraan diri menerang padang njinglang; terang benderang.
Kata saudara; ada sentakan pemberontakan yang ajaib. Marilah bangun keajaiban. Tidakkah dunia berjalan melewati anomali menghemaskan? Kudunya menarik diri menjadi paling ajaib, menanjak seperti tragedi bedah caesar, diawali kebanggaan Sang Caesar yang lahir tanpa melewati anunya wanita (dalam Caesar and Cleopatra, Bernart Shaw).
Aku tak bermanis-manis sedebu kering Salman Rushdie yang spekulatif menghentak-henyak. Paling-paling nyangkut di roda cikar atau gerobak yang ditarik sapi-sapi pongah. Aku tak mau masuk perangkap subyektivitas Max Weber (the Sosiologi of Religiun) yang memakai kacamata kuda, pura-pura kemayu demi sesuap pengakuan. Ingin kubangun realitas kedirian yang digagas Iqbal, kejuntrungan Isa Dawud dalam setiap menerangi penelitiannya, bukan bayangan jauh namun ngeranggehnya harapan.
Oya, aku terkejut saat menyimak Critical & Cultural Theory, Cavallary yang seperti kubayang, namun setelah kuteliti untung isih’ (masih) berjarak dan semoga yang terbayang tidak seampang suguhan John K Roth. Atau aku tak membangun apa-apa dari sana, yang kubeberkan sebagai tonggak jati diri; ini berhubung daya ketahanan suntuk, jangan-jangan aku tertidur sehabis terpuaskan. Sungguh anomali? Kalau sampai diteruskan, apalagi menguap lantas bangun deladapan kesiangan.
Basis eksistensi jelas, kesadaran ruh pemberian Tuhan, amanah terkandung demi melahirkan kemaslahatan mencahayai perjalanan ke alam akhir. Tentu atas syafaat Nabi Muhammad oleh restu Sang Maha Ego. Kita di atas tungku pembakaran was-was malaikat pencabut suka pada jarak kesakitan dunia, luka tradisional; realitas borok kondisional. Bukan dipremak tapi merombak, sebab setiap detikan waktu jungkir-balik kehendak ketentuan-Nya.
Dunia ajaib dari Sang Ajaib; mata cemerlang menatap daun pun benda-benda hidup, hayat tambah bergairah merevolusi diri menciptakan fibrasi gesek-resapan. Tidakkan seluruh jagad mikro kosmos serta kebalikannya ajaib? Realitas tercetak di lembaran biru, dalam matematika perkalian, gairah rindu demi temukan hakikat benda dan misterinya luput ditangkap para empun filsuf juga psikolog di pagi buta. Sebab mereka seperti tukang kursi, mencopoti kaki-kaki kursi, dipasang sesuka pencahayaannya. Sejenis spesies penari di atas tali tambang selukisan Nietzsche. Atau ribuan cacing menjelma seekor naga besar, kata Hitler sewaktu memotivasi anak-anak buahnya.
Mereka kondisikan gairah bersama demi temukan kreativitas pemompaan atau racun sugesti, menggerakkan organ nganggur. Seakan pelari maraton dengan satu tongkat diberikan penerusnya. Benarkah ini daya sesungguhnya? Jangan-jangan rangsangan dihasilkan dunia gaib, sangkaan menyenangkan pewarisnya dengan melucuti tenaga untuk memeras. Kalau permainan sepak bola pesta bersama, bisa-bisa pesta para pemain, wasit, pelatih dan panitia, yang lain ikut ramai. Jikalau sekadar ingin mendapati tepuk tangan, rekam saja pertandingan. Lalu putar di waktu lapar, tentu tanpa makan malam sudah kekenyangan.
Inikah mereka sebut lagu? Pemalsuan alam atau kejujuran dipalsukan. Jika berharap gembirakan diri, sulut saja petasan? Tapi mereka malu. Tidakkah ini penindasan bangsa lebih kuat pada bangsa amburadul tidak terkonsep. Yang tak memiliki jati diri, inginnya cepat menemukan kemeja pas (srek) demi tampil di depan publik. Tidakkah ini pembodohan akademis, mencipta hukum strategi komando untuk mencapai perang akhir manusia. Bungkus hanya paradok diperjualbelikan agar lekas laku, lantas tergiur wajah cantik otak encer atau mengental?
Mereka menyaksikan gejala gunung es meleleh, cepat-cepat menarik diri ke kamar menyelingkuhi kesunyian, lalu keluar bangga sejatinya melompong; menuliskan kesakitan juga kekecewaan berhati haru atau ketawa membadut. Lampaui itu, hasrat tenang atau gembira dari jiwa. Kita tanggalkan kesenangan semu, ketenangan melena demi tetap mawas. Kudu berani tanggalkan kesemerawutan tak juntrung. Kita bukan kosong, tapi kebaharuan tanpa merasakan cuaca ganas menyengat, keindahan taman samping jendela atau ketinggian gunung merayu. Kita pelajari sosok perayu tak merayu, magnit tak mencari besi, deras hujan tak mencari lahan, namun mengikuti angin bertiup segeraian kasih lembut Sang Asih.
Segala tulisan kerentek tanpa suara, gerak munajad tak harus menuju ruang peribadatan, tidak kudu menjajakan dagangan ke kota metropolis. Biarkan para wisatawan berpelesiran mencium harum bunga kita. Meski di tempat lain berkeajaiban. Dunia tak lagi dianggap ajaib oleh penggila dan penggali ilmu. Ini bukan dunia sendiri seperti saudara maksud; ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Namun alam belum terjamah-jemah insani seperti Tagore ngelutus temukan Borobudur. Ngelayapnya diriku bersama mas Suryanto Sastroatmodjo mendapati relief kuda sembrani di Piyungan Yogyakarta tempo dulu. Bukan mbelakraknya Marcopolo mempercayai dunia bundar. Atau pelesirannya K’tut Tantri ke Jawa melewati pesawahan hijau, pebukitan terjal serta keramahan masyarakat Bali. Yang kumaksud lain dan berbeda. Mari kita ajak bermimpi dulu untuk mengetahui keasingan hakiki, sebab masih membawa kelogisan dikala tertidur.
Ialah alam bawah sadar belum terangkat di atas bumi. Bahasa Nietzsche, keajaiban metafisis dalam arti kehendak Hellenis yang melahirkan karya seni Dionysian sekaligus Apollonian, disebutnya tragedy Attik. Semacam fokus piramida lenyap. Dan penggalian kita bukan sejenis arkeolog yang tiada keberanian melewati kebenaran firasat tinggi. Ada buku menarik panduan firasat yang ditulis Ibn Qayyim bertitel Al-Firaasat, mungkin saudaraku belum membacanya.
Saudara katakan; laut yang saling berbalik arah debur ombaknya. Aku tak ingin berhenti setelah hempasan menemui kebuntuan pasir pantai karang ketentuan. Aku tak ambil ini sebab tiadanya awan penjara, meski terlunta sekaligus lelah. Tentu tahu siapa penghiburnya? Ini kian dalam pengulitan bawang merah, kulit-kulit pembungkus dikeluarkan, jika itu pokok bawang. Namun insan ribuan dimensi? Lebih sekadar kulit pun pengulangan sisifus. Tidak lagi mengambil jarak, tapi mengangkat sikap kekinian. Hanya belum mengatakan di depannya, hawatir dianggap pembual mitos atau tali-temali penjerat metet (rapuh).
Cukup menyebut asma-Nya, kata ajaib difikirkan. Segalanya terkendali menjelma seajaib mungkin. Mungkin di sini harus berhati-hati memaknai, sebab bisa kemandekan, kudunya dilumat hingga keajaiban terus. Ini bukan tingkatan hipnotis, apalagi sihir rendah sugesti akal-akalan, tapi kesadaran totalitas mengiyakan; segalanya ajaib. Ini jangan dianggap berhutang pada saudara yang kuutarakan, sebab tiada tahu sebelum sesudah-Nya memberi takdir kita. Anggap ini percobaan kimiawi-manusiawi, pembelajaran pada diri agar ringan melangkahkan kaki, menggarah makna misteri daya rayu yang teridam.
Ingin aku berkesederhanaan Erich Fromm, seolah angkat kursi makan di ruang tamu dengan embun psikoanalisanya, memandangi karya Lorenz didukung tulisan sebelumnya, milik dramawan Robert Ardrey (African Genesis & The Territorial Imperative). Mungkin senada musik Psikofiesta gagasanku (Psikologi Filsafat Sastra & Tasawwuf), bahwa karya Goethe, Faust menjadi mendasar terkuak, berdayaguna kuat sebab usungan idiom Timur dan Barat melewati tragedi nilai nenek moyang. Ini memperbantukan kesadaran demi diakui serta layak.
Aku harap saudara tidak angkat ketukan palu mendadak, mengatakan ini mengusung keranda usang atau menakut-nakuti berkain pocongan. Atau boleh berpandangan itu namun aku percaya, analisa saudara lebih kuduga. Aku masih berkutat menyenangi pertemuan pertama, perkenalan ajaib, perjumpaan tak tersangka hingga mendapati dugaan kuat. Makna itu di sana, gairah meledak-ledak setubuh, bukannya ejakulasi dini atau watak penggerogotan jiwa yang dikembangkan panyair Lebanon.
Kita tahu perkembangan filsafat dari juntrung sampai berjingkrak, dari kesahajaan menuju pengelucutan senjata, hingga menemukan pecahan kepala; menembusi batas yang dibatasi daya insani atau menguap ateis, sebab belum kenyang tidur semalam. Maka doakan diriku tidak deladapan memandang kecantikan, walau kadang mencipta siratan spiritual, seperti keunggulan pelangi yang suatu waktu membentur remuk hujan angin di sekitarnya. Ada unen-unen; di daerah kekuasaan lengkung pelangi selalu meminta tumbal, sederu hujan bersusulan. Atau selembut Cinderawasi menyembunyikan agresi singa sefilosofis Reog Ponorogo, wilayah yang menyeret R. Ng. Ronggowarsito dalam kancah kehitaman panggung, sampai menemukan batu bercekungan air yang tersaksikan Ibnu Hajar Al-haitami, dengan frame berlainan.
Atau aku mengajak mendestruktifkan diri, agar being di kancah sapuan lar bulu sayap, sampai setajam penghilangan diri. Tapi aku kira tidak, sebab saudara memiliki racikan jamu mujarab, resep hidup surgawi bervitalitas tinggi, meski tua tongseng, bukan yang kerapkali dikatakan Bung Hatta; non sen. Kita pakai instingnya anjing Ashabul Kahfi menguntit ketaatan menjumpai dunia lain, dipersembahkan perasaan nalar berkembang di kebun desa. Aku tilik para filsuf anak turun petani atau memotret kesahajaan proletar. Teringatlah sosok Tolstoy, penjelmaan aforisma yang tumbuh berkembangnya kebenaran hakiki.
Keajaiban anomaly se-mak-bedunduk tidak mendadak nunut ngeyop kehujanan. Bukan berhentinya kereta api kelas ekonomi yang tidak di stasiun oleh menanti simpangan kereta api kelas eksekutif, dan bukan pemberhentian atas tradisi (kereta api kelas ekonomi di Jawa, ada yang berhenti tidak di stasiun, tapi juga di tempat yang dulu jadi pemberhentian, stasiun perjuangan). A (anomaly) di sini A besar atau A-Nya dan Y terakhir ialah tukikan ke bawah kemanusiaan, kepasrahan total. Penulis memaknai dalam kacamata matematika berarti min (-). Sebagaimana Isra’ Mi’raj dihasilkan min kali plus berarti min (- x + = -), yakni kian tinggi jumlah nominal, betambah naik ke Arasy, Wallahuaklam.
Kata saudara pada tulisanku; Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Benar aku berfikiran ganda, tapi bukan mengharap dualitas yang mencederai keputusan seenaknya. Tetapi permainan bebas dibatasi, permainan hanya teknik penajam hujam pada pokok persoalan, pembiasaan daya dinaya. Dapat digaris bawahi, aku tak membangun lewat kemisterian. Yang sedang tergarap pembuka, memberi kemungkinan masuk keluar tanpa malu, seperti anak kecil mengalah pada adiknya, tanpa tercampuri iri ingin hadiah kecupan orang tuanya.
Aku harap tulisan ini tidak mengocok otak apalagi perut, sebab keterlaluan geli tukikan miring. Atau saudara anggap badut yang ingin mengenyangkan perut tanpa makan. Mungkin semisal badut pelatih hewan ganas menjadi piaraan; nafsu meliar tidak perlu dicencang, cukup latihan tiap pagi, anjing (keliaran gaya berfikir, keyakinan memburu dari penciuman duga, terkaman menjanjikan daging) juga lincah memasuki lingkaran api, walau mengenai porsi makan tetap sama (ini pengembangan fitroh). Lebih mujur dari anjing gila (para filsuf yatim keimanan) mudah tertular penyakit kudis, sampar pula kelaparan di padang gersang.
Aku suka menggunakan anjing daripada tikus, meski berkelenjar searah manusia. Lagi-lagi dikejutkan penelitian di negeri Matahari Terbit akhir-akhir ini, yang mengatakan usia kucing lebih lama daripada manusia. Aku teringat mata kucing kemerahan magis, pemilik jaket berbulu hitam itu. Di sini terbaca, saudara tertarik atau tidak atas gaya bahasaku bertabrakan, atau fikiran beribu ganda lebih jauh jangkauannya, dengan lemparan jala sejauh sejarah kemanusiaan. Doakan umur ini bermanfaat, agar segala problematik mengintriki jiwa, menjadi asyik di mata berpenuh mistis.
Aku mengakui sketsa saudara mengenai wajah ini menyenangkan, hingga mudah melukis balik, bercorak ekspresionis yang menggebu di kalbu. Atau kata-kata saudara berupa cat bermutu hingga aku bangga melukiskan pada kanvas kali ini. Aku minta maaf jika terlihat berani menuangkan cat bergaya boroime kata. Namun aku percaya, saudara tidak keberatan memberikan cat bermutu di suatu saat nanti. Kemarinnya aku hanya memakai cat berbahan kopi susu, yang tampil kurang bagus, apalagi belum ada kanvas tapi kertas. Untung berkawan denganmu; cermin saudara berikan aku taruh di kamar dan setiap waktu kuberkaca, sebelum menemui Maha Cantik saat hendak berpetualang. Semoga Tuhan senantiasa membimbing kita, apa yang terharap tidak melenceng kehendak mencapai keseimbangan fitroh spiritualitas-Nya.
Aku fikir cukup, terimakasih penggerak darimu bagiku merasai cambukan itu, realitas saudara maksud. Semoga aku dapat mewujudkan ocean ini dalam buku tidak sekadar hitam manis, namun meges, syukur sehitam manggis. Kalau putih tak seputih tulang tapi salju, lebih putih kapas randu di jalan pulang. Makin sehat berkesegaran putih susu. Teruskan membaca saudara, mumpung kantuk belum menyerang dahsyat, atau siang melarat oleh hawa paling pengab.
Ini hanya firasat ngelayap, tanpa juntrung namun menganggap bermuatan filsafat. Ya mudah-mudahan menjadi embrio paling tepat demi berpijak di batuan nekat, terbang setelah penuh siasat. Aku teringat ramalan Voltaire yang serasa kepada waktu kini; “Ia berjanji pada mereka, akan membuatkan sebuah buku filsafat yang bagus dan akan menulis kecil-kecil supaya mereka dapat membacanya.”
Sebagai penutup surat aku tuliskan kata-kata saudara Y. Wibowo yang tidak memberikan komentar lagi selain sms ini: Di sabtu kelabu, kusamak untai mutiaramu, sayangku di temui jauh. Saudara-saudaraku di sekolah kebudayaan Lampung, terhenyak atas kehadiranmu. Tabik.
9 Januari 2005 Lamongan, Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar