Sunlie Thomas Alexander
http://m.suaramerdeka.com/
Untuk Syekh Ahmad Sobri
AKU memang tak pernah tahu kenapa kauceritakan padaku tentang lada, ketika aku memintamu berkisah tentang kopi, tepatnya kisah tentang sebuah keluarga dan tiga cangkir kopi di Turki yang sering kau ceritakan itu untuk terakhir kalinya pada malam itu, Loh. 1)
Kenapa kau harus ceritakan padaku tentang seorang anak lelaki dua belas tahun yang sedang menakik-nakik kayu membuat gasing di ladang untuk menembus kekalahannya dengan kawan sepermainan, padahal bisa saja kauceritakan lebih banyak lagi kisah tentang kopi yang begitu menarik setiap kali aku menghidangkan padamu secangkir kopi pada malam hari. Dari cerita-cerita di kedai La Rotende di Rusia sampai ke Cafe du Dume di Prancis. Dari kisah seorang penggembala domba di Ethiopia hingga kisah sebuah keluarga dan tiga cangkir kopi di Turki pada pertengahan abad kelima belas itu. Bukankah secangkir kopi, seperti katamu suatu ketika, memiliki riwayat begitu panjang yang telah mengubah dunia? Revolusi Prancis pun dimulai dari kedai kopi, tukasmu kalem.
Namun akhirnya kusimak juga kisahmu malam itu dengan agak malas-malasan. Dan tanpa memedulikan wajahku yang mungkin tampak sedikit masam, kau terus bercerita bagaimana sang ayah kemudian muncul dari belakang pondok ladang sambil memikul junjung, batang kayu untuk merambat tanaman lada, dan memanggil anak lelaki dua belas tahun itu lalu mengajaknya memetik lada dengan janji upah dua puluh lima rupiah per kaleng mentega.
Seperti biasanya, juga tak ada yang istimewa dalam ceritamu kali ini, Loh. Tapi entahlah, sebagaimana cerita-ceritamu yang lain tentang kopi, lambat laun aku kembali merasakan ada denyut-denyut yang aneh di dadaku. Denyut yang mencemaskan sekaligus mendatangkan perasaan tenteram. Kenapa seperti ini, Loh? Barangkali kau pun tidak bisa menjawabnya.
Mendengar ceritamu yang mengalir dengan lancar, seolah-olah dapat aku rasakan debar di dada anak lelaki dua belas tahun itu saat menyibak helai demi helai daun lada mencari juntaian buah lada masak yang kadang-kadang tersembunyi. Seakan-akan pula aku dapat mencium wanginya aroma tanaman lada dan bau humus, atau menangkap suara merdu burung-burung srintid yang sesekali terdengar di antara pepohonan.
Demikian juga tatkala kauceritakan bagaimana keterpukauan anak lelaki dua belas tahun itu saat melihat keringat berkilauan yang memercik dari tubuh kekar ayahnya setiap kali sang ayah mengangkat dan menghunjamkan batang-batang junjung ke tanah hingga menimbulkan bunyi yang keras, bluubb! bluuub! Aku seakan merasa benar-benar ikut terpukau meskipun tidak sungguh-sungguh paham.
Ah, tiba-tiba saja aku merasa ceritamu itu begitu menggairahkan. Membuat tubuhku yang penat terasa segar kembali seperti halnya anak lelaki dua belas tahun itu dan ayahnya ketika mereka akhirnya memutuskan mandi di sebuah danau kecil bekas galian penambangan timah usai merendam butir-butir lada yang baru dipetik. Air danau yang dingin itu serasa meresap ke dalam pori-pori kulitku, membuatku sedikit menggigil. Terlebih kemudian membayangkan ayah-anak itu harus menempuh jarak dua puluhan kilometer pulang ke rumah dengan berboncengan vespa butut selepas shalat magrib di Kampung Riau. Betapa udara malam yang dingin merasuk sampai ke tulang sumsumku.
Karena itu mereka mengunyah lada, katamu. Aku terpana menatapmu. Benarkah itu, Loh? Mereka mengunyah lada? Aku tidak tahu bagaimana rasanya mengunyah lada. Pasti pedas sekali di mulut, Loh.
Ya, pedas dan panas, lebih pedas dari cabe kalau tidak terbiasa karena rasa pedas dan panasnya itu akan bertahan sampai lama lalu menjalar ke sekujur badan bersama aliran darah, katamu sambil tersenyum. Tapi karena itu tubuh jadi terasa hangat, kadang-kadang sedikit berkeringat.
Penduduk pulau kecil itu memang punya kebiasaan mengunyah lada untuk menghalau dingin, lanjutmu. Biasanya mereka akan memasukkan tiga butir lada ke mulut tatkala hendak keluar rumah malam hari, lebih-lebih pada malam-malam bulan mati ketika burung-burung kuwek yang selalu terbang terbalik keluar dari sarang dan berkoak-koak nyaring mengabarkan kematian. Mereka percaya jika lada juga berkhasiat menjadi penangkal yang baik untuk hal-hal gaib, katamu lagi-lagi tersenyum.
Aku kian takjub walaupun semakin tidak mengerti.
“Kau mau coba mengunyah lada?” tanyamu tiba-tiba, sekali ini sambil menghirup kopi yang kusediakan.
Aku tidak menggeleng tapi juga tidak mengangguk. Aku hanya tersipu mendengar tawaranmu.
Ah, bagaimana kalau selain cengkeh, kayu manis, kapulaga dan adas manis, sesekali aku campurkan juga lada ke kopimu, Loh?
Untuk Hamidah 2)
AH, aku juga tidak mengerti, Midah, kenapa aku menceritakan tentang lada padamu ketika kau memintaku bercerita tentang kopi…
Aku rasa, lada pun memiliki riwayat tak kalah panjang yang ikut berandil mengubah dunia seperti halnya kopi. Sebagaimana yang pernah kubaca di buku-buku sejarah, lada adalah salah satu jenis rempah-rempah yang menarik para penjelajah dari Eropa untuk menempuh pelayaran separo dunia, Midah. Pada 1519, Magellan misalnya, sudah mendapat perintah rahasia dari pemerintah Spanyol untuk mencari informasi tentang lada.
Atau mungkin kau sudah pernah mendengar bagaimana dulu Belanda memaksa para petani di Banten menanam lada, sekali pun hal itu tidaklah menguntungkan bagi rakyat sehingga kemudian menimbulkan pemberontakan?
Tapi aku tidak ingin membahas sejarah lada denganmu, Midah. Mungkin lain waktu. Aku hanya ingin mengisahkan lagi sebuah cerita lain tentang lada padamu…
Cerita ini mengenai seorang ayah dengan tiga orang anak gadisnya di sebuah kampung kecil bernama Delas di ujung selatan pulau kecil itu. Kampung kecil yang ramai dengan mayoritas penduduk petani lada.
Kau tahu Midah, sudah lama sekali menjadi tradisi di kampung itu, kalau setiap panen tiba, apalagi panen raya yang gemilang, mereka akan menikahkan anak bujang-gadisnya dengan pesta pernikahan yang gegap gempita. Pesta bisa saja berlangsung selama tiga hari tiga malam. Seolah-olah menjadi dosa bagi mereka kalau sebuah penikahan yang sakral tidaklah dirayakan dengan meriah.
Biasanya, setelah upacara adat yang melelahkan dan dipenuhi mitos, pesta resepsi yang mengundang seluruh warga kampung itu pun diadakan dengan aneka hidangan mewah. Dan sebagai hiburan, tuan rumah yang punya hajatan seolah memiliki kewajiban memanggil band dari kota atau minimal organ tunggal. Didirikanlah panggung besar di halaman rumah dan warga kampungóterutama muda-mudi akan berjoget semalam suntuk hingga menjelang subuh. Kau bisa membayangkan betapa besar biayanya bukan, Midah?
Karena itulah, setiap musim panen senantiasa diiringi dengan musim kawin. Sehingga wajar saja apabila selepas panen, kampung kecil itu akan menjadi begitu ramai oleh pesta penikahan. Kadangkala bisa mencapai berpuluh-puluh pasang pengantin, susul-menyusul. Seringkali pula, pasangan-pasangan muda itu dinikahkan secara massal di masjid besar kampung oleh seorang kyai.
Tapi bagaimana dengan yang tak punya ladang atau panennya gagal? Apakah itu alamat buruk si anak bujang bakal menggigit jari melihat pujaan hatinya disambar orang?
Ayah tiga anak gadis itu sudah menikahkan dua orang anak gadisnya selepas panen raya selama dua tahun berturut-turut. Yang paling tua, Fatimah diambil jadi menantu oleh Mang Amri…Ah, siapa pun tahu dia juragan pupuk dan penadah lada sehingga bisa ditebak bagaimana meriah pesta penikahannya. Fathonah, anak nomor dua pun tak kalah semarak pestanya, lantaran sang pacar meskipun bukan anak orang berada, diam-diam menyimpan berton-ton lada di rumah hasil sisihannya pada setiap panen selama bertahun-tahun.
Dan kini tinggallah si bungsu yang manis, Fadhila. Anak yang paling disayanginya, paling cantik dan begitu mirip dengan almarhumah isterinya. Tentu saja si ayah berharap anak gadisnya yang pendiam itu akan memperoleh seorang suami yang baik dan hidup bahagia serba berkecukupan seperti kakak-kakaknya. Tentu pula, hal itu sebetulnya bukanlah perkara yang sulit mengingat si puteri bungsu begitu banyak yang naksir.
Tapi siapa nyana Fadhila, gadis yang sesungguhnya baru beranjak puber itu hatinya telah tertambat pada Zaid, teman sepermainannya semenjak kecil. Mula-mula si ayah memang tidak bercuriga pada kedekatan anak gadisnya dengan Zaid, anak yatim yang telah lama ikut membantunya menggarap ladang itu. Bukankah keduanya telah menjalin keakraban sebelum akil-baliq? Sejak mereka masihlah dua bocah polos yang bertelanjang bulat mandi hujan di ladang atau bermain petak umpet di sela-sela tanaman lada yang rimbun. Sampai suatu siang, dia melihat sendiri kedua anak remaja itu bermesraan di sela rumpun lada!
Begitulah, Midah. Ketika akhirnya si ayah menyadari kenyataan tersebut, cinta si bungsu tampaknya sudah tersangkut erat pada si pembantu. Demikian pula sebaliknya. Seiring dengan waktu, cinta itu pun tumbuh semakin subur di ladang yang gembur serupa tanaman-tanaman lada. Hijau segar dan rimbun. Hmm, mungkin lantaran memang selalu telaten dipupuk. Tentu, tentu inilah persoalannya…
Setelah kedua kakaknya menikah, lambat laun si bungsu mulai merasa risau. Apalagi belakangan, beberapa kali sempat terdengar olehnya namanya disebut-sebut dalam pembicaraan sang ayah dengan orang-orang yang bertamu. Dan tamu yang paling kerap bertandang tak lain adalah Mang Saad. Bukankah pula sudah lama ia tahu kalau Amir anak Mang Saad suka padanya? Ya, si bungsu paham benar apa artinya itu: ia mulai serius dilirik orang!
“Tapi bagaimana aku berani melamarmu, Dhila? Kau tahu, aku bahkan tak sanggup bikin pesta,” si pembantu tampak berputus asa, bersungut-sungut. Namun keningnya berkerut tatkala dilihatnya kekasihnya tersenyum-senyum.
“Bawa aku lari,” kata si bungsu. Si pembantu terbelalak.
“Kau berani atau tidak? Kalau tidak, biarkan saja aku dipinang si Amir!”
“Bukan tidak berani, tapi kita mau lari ke mana? Kita tak punya uang, lalu bagaimana pula dengan biaya hidup kita nantinya sebelum aku dapat kerja?î lelaki muda itu mengusap dahinya yang berkeringat. Gadis itu lagi-lagi tersenyum. Ia tahu ayahnya cukup menyimpan lada di gudang belakang rumah. Tidak banyak memang, tapi ada beberapa karung besar. Sisa panen tahun-tahun lalu yang sengaja dipisahkan. Ia bersijinjit lalu mendekatkan mulut ke telinga lelaki yang dicintainya. Lelaki muda itu kembali terbelalak, wajahnya berubah pucat.
“Aku tidak mau, Dhila. Aku tidak berani,” lelaki muda itu menggeleng, “Terlalu banyak utang budiku pada ayahmu!”
***
“APAKAH mereka akhirnya jadi mencuri lada?”
Ah, kau penasaran dengan ujung cerita ini, Midah? Kulihat kau hanya mengangguk kecil. Tapi aku tidak segera meneruskan. Untuk beberapa saat lamanya aku hanya memperhatikan kopi di cangkirku yang tinggal seperempat, sebelum kemudian meraihnya lalu mendekatkan mulut cangkir ke bibirku dan menyeruput cairan pekat yang wangi itu perlahan. Seperti biasa, terasa agak pahit di lidah. Oh aku memang tak pernah menyukai kopi yang manis, karena itu harus berterima kasih padamu yang mengerti betul takaran kesukaanku ini. Sejenak aku menatapmu.
Ya, mereka akhirnya memang mencuri lada simpanan si ayah, Midah. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mereka mengeluarkan berkarung-karung besar lada itu dari gudang penyimpanannya sebelum melenyapkan diri dari kampung.
“Si ayah pasti marah sekali,” gumammu, seperti pada diri sendiri.
Aku tersenyum. Tentu, Midah, tentu saja si ayah marah. Meskipun pada awalnya masih bisa menguasai diri. Ia baru meledak ketika membuka gudang penyimpan ladanya dan menemukan gudang itu telah kosong-melompong, “Anak-anak kurang ajar!! Padahal lada-lada itu sengaja aku simpan untuk pesta pernikahan kalian nanti!”
Tubuh lelaki separo baya itu sampai bergetar. Terbayang olehnya bagaimana ia menolak pinangan kawannya Saad dengan perasaan malu.
Aku melihat wajahmu agak terperangah. Kedua matamu menatapku sedikit terbelalak. Aku meraih lagi cangkir di atas meja. Lama kita sama terdiam, hanya sesekali saling melirik. Apa yang terjadi selanjutnya, Loh? Ke mana kedua pasangan muda itu melarikan diri? Apakah mereka hidup layak? Seperti biasa, selalu saja kau gemar mengajukan pertanyaan yang bertubi-tubi. TapiÖ Aku menarik nafas panjang, membuangnya pelan-pelan.
Sampai tiga entah empat kali kau mengajukan pertanyaan, aku tak kunjung juga melanjutkan ceritaku. Aku hanya menunduk sembari mempermainkan sendok kecil di dalam cangkir, lalu pelan-pelan menghirup kopiku lagióyang entahlah kali ini rasanya lebih pahit. Lewat ekor mata, aku melihat wajahmu kembali merengut kesal.
Kemudian kulihat kau melemparkan pandangan ke luar rumah melalui pintu yang masih terbuka lebar. Aku mengikuti pandanganmu. Sekeliling pekarangan tampak begitu gelap dan senyap. Pepohonan berbentuk bayang-bayang hitam. Memang sudah dua minggu bolam lampu di teras yang putus belum sempat kuganti. Ah, apakah malam ini malam bulan mati, Midah? Angin yang berhembus masuk mulai terasa dingin dan bertambah kencang.
Hmm, aku jadi merasa ingin sekali mengunyah lada. Ya, mengunyah tiga butir lada hingga mulut kepedasan seperti membara, Midah. Hingga rasa panasnya menjalar ke sekujur badan lewat aliran darah, kemudian meruap keluar bersama keringat. Meruap seperti kenangan! Ai, terbuat dari apakah kenangan?
Aku kembali menatapmu. Wajahmu yang cantik tampak semakin masam. Membuatku jadi bimbang.
Ah, haruskah aku kisahkan padamu kehidupan si bungsu dan si pembantu selanjutnya setelah mencuri lada di gudang penyimpanan sang ayah dan lari dari kampung? Haruskah aku ceritakan bagaimana kemudian mereka menikah di bawah tangan di sebuah kota kecil dan dikarunia seorang anak lelaki? Anak semata wayang yang selalu dibawa ke ladang dan lebih kerap disapa dengan panggilan Loh…
Ah, jangan merengut seperti itu, Midah. Apakah kau masih kepingin mendengar ceritaku yang lain lagi tentang lada?
Kuharap kau mau membuatkan lagi untukku secangkir kopi, Sayang…***
Solo-Yogyakarta, November 2007
Catatan:
Cerita ini diilhami sebuah cerpen Syekh Ahmad Sobri yang berjudul “Secangkir Kopi Terakhir Butir-butir Lada yang Pertama” yang saya baca di sebuah surat kabar kurang-lebih empat tahun silam. Saya membaca lagi cerpen ini di Jurnal Pendar edisi khusus 2006 saat launching Rumah Sastra di Jebres, Solo beberapa waktu lalu.
1. Syekh Ahmad Sobri dilahirkan di Muara Enim, Sumatera Selatan, 1978. Dibesarkan di sejumlah tempat di Pulau Bangka. Sempat melanjutkan studi di UNS Solo.
2. Loh adalah nama anak lelaki dua belas tahun dalam cerpen “Secangkir Kopi Terakhir Butir-butir Lada Yang Pertamaî. Dalam cerita ini, saya sengaja menggunakan nama Loh sebagai panggilan untuk diri Syekh Ahmad Sobri yang saya tuju, sebagaimana saya sempat menafsirkan tokoh Loh sebagai sang pengarang sendiri ketika membaca cerpen tersebut.
3. Hamidah adalah tokoh lain yang hadir sebagai orang yang diceritakan kisah-kisah tentang kopi dan lada dalam cerpen di atas.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar