Arif Bagus Prasetyo*
http://www.jawapos.co.id/
SATU ciri khas puisi-puisi Mardi Luhung adalah bahasa puitiknya yang mencong, melenceng dari standar estetika dan etika konvensional. Berspirit anti-romantik, puisi-puisinya menyemburkan diksi maupun imaji yang cenderung dihindari oleh mainstream perpuisian di Tanah Air karena dianggap kasar atau jorok. Puisi penyair sekaligus guru sekolah menengah di Gresik ini terasa mensubversi pandangan konvensional bahwa puisi dan sastra atau seni pada umumnya, adalah ekspresi budaya adiluhung yang menjunjung kehalusan dan keluhuran budi. Mardi Luhung adalah ”penyair yang mabuk sebab jatuh dari bulan / betina-birahi bugil di kebun sambil mengangkangi / kembang… (”Penyair yang Mabuk sebab Jatuh dari Bulan”).
Mardi Luhung berpuisi dengan merayakan hal-hal yang ”tidak luhung” di mata umum. Dia dengan enak berceloteh tentang tai, kencing, kelamin, kelangkang, lubang kakus, pantat, dubur -anasir-anasir realitas yang lazim dinajiskan oleh norma kesantunan literer maupun kesusilaan umum.
Puisi Mardi Luhung mengusung anomali terhadap apa-apa yang umumnya dianggap normal -baik dalam tataran ekspresi, sistem berpikir maupun kerangka nilai-nilai. Puisinya menyodorkan abnormalitas: membongkar standar kemapanan dan kenyamanan umum, mempersetankan kesantunan, mengumbar yang tabu dan tak senonoh. Pendeknya: melanggar tapal-batas normatif yang mendefinisikan ”masyarakat beradab”.
Sebagai penyair, Mardi Luhung mengamalkan semacam etika perversi. Dia meyakini bahwa penyair ”punya mata terbalik / perhitungan-tak-genap, dan yang selalu / menghadapkan tatapannya ke jurang / dan palung, palung dan penjara, / penjara dan daya sengit…” (”Pada Mulanya Bulan adalah Ikan”). Penyair, kata dia selanjutnya, ”tak memerlukan apa-apa / kecuali rumah yang miring / hari yang miring, dan puasa yang / juga miring”. Dan dengan segala kemiringan itu, ”Kami pun hidup sepenuhnya!” Sebuah afirmasi total terhadap penyimpangan.
Tetapi penyimpangan adalah perkara yang relatif. Sesuatu hanya disebut ”menyimpang” jika bertentangan dengan posisi tertentu yang lebih unggul, sehingga punya otoritas memonopoli ”kebenaran”, berhak menentukan apa yang menyimpang dan yang tidak. Tak pernah netral, kasus penyimpangan (atau bahkan kegilaan, sebagaimana dipahami Foucault) baru terjadi manakala pihak berkuasa menjatuhkan penilaian negatif terhadap pihak yang tak berdaya, ketika yang elit menghakimi yang marginal, saat ”kami” memutuskan betapa lain dan buruknya ”mereka”.
Penyimpangan hanyalah efek dari relasi kuasa yang memposisikan pihak tertentu sebagai pengusung Kebenaran (kenormalan, kehalusan, kebaikan, kebersihan, keluhuran, kebajikan, kesucian), dan pihak lain di seberangnya sebagai pembawa Kesalahan (keabnormalan, kekasaran, keburukan, kekotoran, kebejatan, kebatilan, kenajisan). Puisi Mardi Luhung tampak menyimpang karena ditulis dari posisi subaltern, di luar sistem kuasa yang menjaga tatanan dan ketertiban sosial normal.
Mardi berpuisi dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kaum yang kerap dicap berbudaya rendah: ”orang yang dianggap sangat kosro / kurang adat dan keringatnya pun seamis / lendir kakap…”(”Penganten Pesisir”). Jika kejahatan adalah penyimpangan dari kebaikan, sang penyair justru berguru kepada kriminal-pemberontak: ‘’sang begal” yang ”mengajari aku / tentang sebuah kudeta / yang tersusun atas keheningan yang kejam” (”Adakah yang Tahu”).
Manakala puisi, sastra atau seni pada umumnya dipahami sebagai ekspresi artistik yang menandai keberadaban, maka puisi Mardi Luhung adalah ”miring”, abnormal, karena merepresentasikan yang kurang adab, jahiliah, bahkan biadab. Ada puisi tentang istri yang mengebiri suami dan suami yang mengubur potongan penisnya dan mayat anak-anaknya (”Dari Jalanan”), kampung di liang mulut dan teriakan yang memuntahkan monster haus darah (”Kampungmu”), nasihat untuk meledakkan kepala sendiri dengan pistol (”Samadi”), dan seterusnya.
Ketimbang bersibuk dengan moralitas publik, kehidupan estetik Mardi Luhung lebih terkonsentrasi pada moralitas privat: penjelajahan di medan karakter individual. Dengan berpuisi ia menjelajahi-diri. Menyelami diri sendiri untuk mencari bahasanya sendiri dan memaknai hidupnya sendiri.
Namun penjelajahan-diri Mardi Luhung bukanlah sejenis proyek pemurnian-diri demi meraih pengetahuan-diri. Dalam Enneads, sebagaimana dikutip Julia Kristeva dalam Tales of Love, Plotinus menyarankan individu agar mencari jati-diri dengan bertindak ”laksana pematung yang mengiris, memoles, memurnikan, hingga patungnya terhiasi segala nilai keindahan” dan ”memancarkan kemilau ilahiah kebajikan”. Plotinus menasihatkan: ”Singkirkan dari jiwamu sendiri segala kemubaziran, luruskan semua yang bengkok, bersihkan apa yang kabur dan jadikan berkilauan.” Tapi Mardi Luhung justru terjun ke lubuk jiwanya untuk mendulang yang bengkok, bobrok, najis, dan kelam.
Dalam penjelajahan-dirinya, Mardi Luhung menyusuri sisi-gelap diri yang disensor atau direpresi oleh moralitas publik karena dipandang negatif, irasional atau hewani. Puisi-puisinya merongrong sensor represif itu dengan bermain di wilayah obscene. Sang penyair menyentuh yang kotor, yang haram, dan yang bejat. Ia mendobrak tabu yang mengontrol perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.
Dalam khazanah puisi Mardi Luhung, sisi-gelap diri yang paling kuat mendapatkan artikulasi adalah tubuh libidinal. Tubuh dalam puisi-puisi Mardi Luhung seakan meledak oleh tekanan birahi yang menggelegak gila, diamuk ”nafsu janggal tak terkira” (”Pasar”), sehingga tak bisa lagi dijinakkan dan dikuasai. Tapi tubuh libidinal itu tidak menjadi pornografis, justru karena libido telah meledakkannya dengan begitu dahsyat hingga sang tubuh buyar berkeping-keping, lepas dari ikatan integratif yang mengontrolnya: ”apa yang ada di tubuhku saling tuduh // saling lilit, saling nyalak sendiri” (”Keheningan Apakah”).
Meliar tak terkendali, keping-keping tubuh libidinal Mardi Luhung berubah menjadi kekuatan anarkis yang memberontak terhadap tatanan dan otoritas. Sang tubuh hadir bagai binatang jalang yang meradang-menerjang, setelah sekian lama diasingkan dalam kesunyian penjara Cartesian yang menundukkannya di bawah kuasa pikiran.
Mardi Luhung dengan obsesif dan eksesif mengeksplorasi anasir-anasir ketubuhan. Itulah tubuh-pesakitan yang tak lagi bisa telanjang karena telah berantakan, tapi justru dengan begitu ia terbebas dari kesakitan, lepas dari segala kontrol maupun stigma yang menyakitinya, dan dapat berfungsi kembali dengan intens: ”Menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis” (”Ziarah ke Reruntuhan Makammu”). Tubuh libidinal Mardi Luhung meledakkan dirinya sendiri untuk menjadi ”real”, hadir dengan telak sepenuh-penuh potensinya, tanpa beban moral, dan filosofi apa pun.
Mardi Luhung khususnya tertarik kepada zona erotogenik tubuh di sekitar ”liang lendir” (mulut, kelamin, dubur). Dalam puisi-puisinya, meminjam ungkapan John Rajchman, ”kita kembali melihat kuatnya minat terhadap fungsi-fungsi ketubuhan yang ”jorok” (abject), sebuah kebutuhan untuk membeberkan apa yang tak bisa ditoleransi dalam masyarakat kita dan relasi kita dengan diri sendiri dan sesama, suatu hasrat untuk kembali membicarakan gerakan-gerakan dan sebab-musabab ”real”.
Ketimbang pengetahuan-diri, target proyek penjelajahan-diri Mardi Luhung adalah perluasan-diri dan pengayaan-diri. Semangatnya adalah eksperimentasi kreatif: ”hasrat untuk merengkuh kemungkinan yang lebih jauh, untuk terus-menerus belajar, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada keingintahuan, hingga akhirnya terbayangkan segala kemungkinan masa silam dan masa depan” -mengutip Richard Rorty. Sebagai penyair, Mardi Luhung tak henti memperluas dirinya sampai ke tapal-batas terjauh, bahkan hingga ke yang mustahil.
Dalam konteks eksperimen kreatif untuk memperluas dan mempertajam wawasan tentang realitas inilah anarkisme puitik Mardi Luhung dapat dipahami sebagai kritis. Puisi-puisinya menghunjamkan kritik Nietzschean terhadap hegemoni akal-budi (kesadaran, rasio) yang menumpulkan kepekaan kita akan hangatnya degup-jantung realitas. Puisi Mardi Luhung mengekspresikan hasrat yang berkobar-kobar untuk menjalani hidup dengan intens. Dengan erotik.
Mardi Luhung memang tidak ”miring”, sinting atau gila. Segala abnormalitas dalam puisinya lebih merupakan strategi untuk mengusir kepicikan dan kejumudan, ketunggalan pandangan dan kedangkalan pikiran, di balik klaim tentang Kebenaran beserta segenap turunannya (kebajikan, keluhuran, kesucian dst). Dengan terjun ke ranah gelap di balik kesadaran dan menjelajahi ambang-batas kewarasan, sang penyair melakukan eksorsisme kultural agar mata kita tidak menjadi ”terlalu waras / sehingga tak sanggup menangkap ketakwarasan” (”Ziarah ke Reruntuhan Makammu”).
Dengan puisi-puisi yang amis dan berlendir, Mardi Luhung mengguncang kenormalan, kemapanan, dan kenyamanan, supaya kita awas terhadap tipu-daya setan berwajah malaikat, bajingan berparas pahlawan, jahanam bertampang budiman. Ibarat vaksin, puisi Mardi Luhung menyuntikkan bibit penyakit ke tubuh kebudayaan, justru agar kebudayaan dapat menangkal keganasan penyakit yang sesungguhnya. (*)
*) Kritikus sastra. Alumnus International Writing Program, University of Iowa, Amerika Serikat. Tinggal di Denpasar.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar