Sabtu, 13 Februari 2010

Puisi-Puisi Amis Mardi Luhung

Arif Bagus Prasetyo*
http://www.jawapos.co.id/

SATU ciri khas puisi-puisi Mardi Luhung adalah bahasa puitiknya yang mencong, melenceng dari standar estetika dan etika konvensional. Berspirit anti-romantik, puisi-puisinya menyemburkan diksi maupun imaji yang cenderung dihindari oleh mainstream perpuisian di Tanah Air karena dianggap kasar atau jorok. Puisi penyair sekaligus guru sekolah menengah di Gresik ini terasa mensubversi pandangan konvensional bahwa puisi dan sastra atau seni pada umumnya, adalah ekspresi budaya adiluhung yang menjunjung kehalusan dan keluhuran budi. Mardi Luhung adalah ”penyair yang mabuk sebab jatuh dari bulan / betina-birahi bugil di kebun sambil mengangkangi / kembang… (”Penyair yang Mabuk sebab Jatuh dari Bulan”).

Mardi Luhung berpuisi dengan merayakan hal-hal yang ”tidak luhung” di mata umum. Dia dengan enak berceloteh tentang tai, kencing, kelamin, kelangkang, lubang kakus, pantat, dubur -anasir-anasir realitas yang lazim dinajiskan oleh norma kesantunan literer maupun kesusilaan umum.

Puisi Mardi Luhung mengusung anomali terhadap apa-apa yang umumnya dianggap normal -baik dalam tataran ekspresi, sistem berpikir maupun kerangka nilai-nilai. Puisinya menyodorkan abnormalitas: membongkar standar kemapanan dan kenyamanan umum, mempersetankan kesantunan, mengumbar yang tabu dan tak senonoh. Pendeknya: melanggar tapal-batas normatif yang mendefinisikan ”masyarakat beradab”.

Sebagai penyair, Mardi Luhung mengamalkan semacam etika perversi. Dia meyakini bahwa penyair ”punya mata terbalik / perhitungan-tak-genap, dan yang selalu / menghadapkan tatapannya ke jurang / dan palung, palung dan penjara, / penjara dan daya sengit…” (”Pada Mulanya Bulan adalah Ikan”). Penyair, kata dia selanjutnya, ”tak memerlukan apa-apa / kecuali rumah yang miring / hari yang miring, dan puasa yang / juga miring”. Dan dengan segala kemiringan itu, ”Kami pun hidup sepenuhnya!” Sebuah afirmasi total terhadap penyimpangan.

Tetapi penyimpangan adalah perkara yang relatif. Sesuatu hanya disebut ”menyimpang” jika bertentangan dengan posisi tertentu yang lebih unggul, sehingga punya otoritas memonopoli ”kebenaran”, berhak menentukan apa yang menyimpang dan yang tidak. Tak pernah netral, kasus penyimpangan (atau bahkan kegilaan, sebagaimana dipahami Foucault) baru terjadi manakala pihak berkuasa menjatuhkan penilaian negatif terhadap pihak yang tak berdaya, ketika yang elit menghakimi yang marginal, saat ”kami” memutuskan betapa lain dan buruknya ”mereka”.

Penyimpangan hanyalah efek dari relasi kuasa yang memposisikan pihak tertentu sebagai pengusung Kebenaran (kenormalan, kehalusan, kebaikan, kebersihan, keluhuran, kebajikan, kesucian), dan pihak lain di seberangnya sebagai pembawa Kesalahan (keabnormalan, kekasaran, keburukan, kekotoran, kebejatan, kebatilan, kenajisan). Puisi Mardi Luhung tampak menyimpang karena ditulis dari posisi subaltern, di luar sistem kuasa yang menjaga tatanan dan ketertiban sosial normal.

Mardi berpuisi dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kaum yang kerap dicap berbudaya rendah: ”orang yang dianggap sangat kosro / kurang adat dan keringatnya pun seamis / lendir kakap…”(”Penganten Pesisir”). Jika kejahatan adalah penyimpangan dari kebaikan, sang penyair justru berguru kepada kriminal-pemberontak: ‘’sang begal” yang ”mengajari aku / tentang sebuah kudeta / yang tersusun atas keheningan yang kejam” (”Adakah yang Tahu”).

Manakala puisi, sastra atau seni pada umumnya dipahami sebagai ekspresi artistik yang menandai keberadaban, maka puisi Mardi Luhung adalah ”miring”, abnormal, karena merepresentasikan yang kurang adab, jahiliah, bahkan biadab. Ada puisi tentang istri yang mengebiri suami dan suami yang mengubur potongan penisnya dan mayat anak-anaknya (”Dari Jalanan”), kampung di liang mulut dan teriakan yang memuntahkan monster haus darah (”Kampungmu”), nasihat untuk meledakkan kepala sendiri dengan pistol (”Samadi”), dan seterusnya.

Ketimbang bersibuk dengan moralitas publik, kehidupan estetik Mardi Luhung lebih terkonsentrasi pada moralitas privat: penjelajahan di medan karakter individual. Dengan berpuisi ia menjelajahi-diri. Menyelami diri sendiri untuk mencari bahasanya sendiri dan memaknai hidupnya sendiri.

Namun penjelajahan-diri Mardi Luhung bukanlah sejenis proyek pemurnian-diri demi meraih pengetahuan-diri. Dalam Enneads, sebagaimana dikutip Julia Kristeva dalam Tales of Love, Plotinus menyarankan individu agar mencari jati-diri dengan bertindak ”laksana pematung yang mengiris, memoles, memurnikan, hingga patungnya terhiasi segala nilai keindahan” dan ”memancarkan kemilau ilahiah kebajikan”. Plotinus menasihatkan: ”Singkirkan dari jiwamu sendiri segala kemubaziran, luruskan semua yang bengkok, bersihkan apa yang kabur dan jadikan berkilauan.” Tapi Mardi Luhung justru terjun ke lubuk jiwanya untuk mendulang yang bengkok, bobrok, najis, dan kelam.

Dalam penjelajahan-dirinya, Mardi Luhung menyusuri sisi-gelap diri yang disensor atau direpresi oleh moralitas publik karena dipandang negatif, irasional atau hewani. Puisi-puisinya merongrong sensor represif itu dengan bermain di wilayah obscene. Sang penyair menyentuh yang kotor, yang haram, dan yang bejat. Ia mendobrak tabu yang mengontrol perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.

Dalam khazanah puisi Mardi Luhung, sisi-gelap diri yang paling kuat mendapatkan artikulasi adalah tubuh libidinal. Tubuh dalam puisi-puisi Mardi Luhung seakan meledak oleh tekanan birahi yang menggelegak gila, diamuk ”nafsu janggal tak terkira” (”Pasar”), sehingga tak bisa lagi dijinakkan dan dikuasai. Tapi tubuh libidinal itu tidak menjadi pornografis, justru karena libido telah meledakkannya dengan begitu dahsyat hingga sang tubuh buyar berkeping-keping, lepas dari ikatan integratif yang mengontrolnya: ”apa yang ada di tubuhku saling tuduh // saling lilit, saling nyalak sendiri” (”Keheningan Apakah”).

Meliar tak terkendali, keping-keping tubuh libidinal Mardi Luhung berubah menjadi kekuatan anarkis yang memberontak terhadap tatanan dan otoritas. Sang tubuh hadir bagai binatang jalang yang meradang-menerjang, setelah sekian lama diasingkan dalam kesunyian penjara Cartesian yang menundukkannya di bawah kuasa pikiran.

Mardi Luhung dengan obsesif dan eksesif mengeksplorasi anasir-anasir ketubuhan. Itulah tubuh-pesakitan yang tak lagi bisa telanjang karena telah berantakan, tapi justru dengan begitu ia terbebas dari kesakitan, lepas dari segala kontrol maupun stigma yang menyakitinya, dan dapat berfungsi kembali dengan intens: ”Menyedot sampai tuntas, atau disedot sampai habis” (”Ziarah ke Reruntuhan Makammu”). Tubuh libidinal Mardi Luhung meledakkan dirinya sendiri untuk menjadi ”real”, hadir dengan telak sepenuh-penuh potensinya, tanpa beban moral, dan filosofi apa pun.

Mardi Luhung khususnya tertarik kepada zona erotogenik tubuh di sekitar ”liang lendir” (mulut, kelamin, dubur). Dalam puisi-puisinya, meminjam ungkapan John Rajchman, ”kita kembali melihat kuatnya minat terhadap fungsi-fungsi ketubuhan yang ”jorok” (abject), sebuah kebutuhan untuk membeberkan apa yang tak bisa ditoleransi dalam masyarakat kita dan relasi kita dengan diri sendiri dan sesama, suatu hasrat untuk kembali membicarakan gerakan-gerakan dan sebab-musabab ”real”.

Ketimbang pengetahuan-diri, target proyek penjelajahan-diri Mardi Luhung adalah perluasan-diri dan pengayaan-diri. Semangatnya adalah eksperimentasi kreatif: ”hasrat untuk merengkuh kemungkinan yang lebih jauh, untuk terus-menerus belajar, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada keingintahuan, hingga akhirnya terbayangkan segala kemungkinan masa silam dan masa depan” -mengutip Richard Rorty. Sebagai penyair, Mardi Luhung tak henti memperluas dirinya sampai ke tapal-batas terjauh, bahkan hingga ke yang mustahil.

Dalam konteks eksperimen kreatif untuk memperluas dan mempertajam wawasan tentang realitas inilah anarkisme puitik Mardi Luhung dapat dipahami sebagai kritis. Puisi-puisinya menghunjamkan kritik Nietzschean terhadap hegemoni akal-budi (kesadaran, rasio) yang menumpulkan kepekaan kita akan hangatnya degup-jantung realitas. Puisi Mardi Luhung mengekspresikan hasrat yang berkobar-kobar untuk menjalani hidup dengan intens. Dengan erotik.

Mardi Luhung memang tidak ”miring”, sinting atau gila. Segala abnormalitas dalam puisinya lebih merupakan strategi untuk mengusir kepicikan dan kejumudan, ketunggalan pandangan dan kedangkalan pikiran, di balik klaim tentang Kebenaran beserta segenap turunannya (kebajikan, keluhuran, kesucian dst). Dengan terjun ke ranah gelap di balik kesadaran dan menjelajahi ambang-batas kewarasan, sang penyair melakukan eksorsisme kultural agar mata kita tidak menjadi ”terlalu waras / sehingga tak sanggup menangkap ketakwarasan” (”Ziarah ke Reruntuhan Makammu”).

Dengan puisi-puisi yang amis dan berlendir, Mardi Luhung mengguncang kenormalan, kemapanan, dan kenyamanan, supaya kita awas terhadap tipu-daya setan berwajah malaikat, bajingan berparas pahlawan, jahanam bertampang budiman. Ibarat vaksin, puisi Mardi Luhung menyuntikkan bibit penyakit ke tubuh kebudayaan, justru agar kebudayaan dapat menangkal keganasan penyakit yang sesungguhnya. (*)

*) Kritikus sastra. Alumnus International Writing Program, University of Iowa, Amerika Serikat. Tinggal di Denpasar.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae