Sitor Situmorang. Pewawancara: Bagja Hidayat, Qaris Tajudin
http://www.ruangbaca.com/
Suaranya masih bergemuruh di usia yang menanjak 82. Gayanya juga masih khas: menggebrak, menunjuk, atau mengguncang pundak lawan bicara sambil terkekeh—terutama jika menyangkut soal politik di sekitar tahun 1965. Sitor Situmorang memang tak bisa dipisahkan dari situasi politik ketika itu yang membuat dua kubu seniman berhadapan secara tegas. Di satu sisi ada seniman-seniman realisme-sosialis yang mendukung kebijakan Presiden Soekarno dan di seberangnya berdiri para seniman muda yang kemudian disebut kelompok Manikebu (Manifes Kebudayaan). “Situasi dunia akibat perang dingin antara Amerika dan Soviet yang membuat politik seperti itu,” katanya.
Banyak yang mengkritik, atau menyayangkan, terjunnya Sitor ke politik sehingga “mengganggu” bakat kepenyairannya. Pada awal-awalnya, puisi-puisi Sitor membawa gaya sendiri dengan menengok kembali tradisi lama berupa pantun, dengan renungan personal yang sublim. Setelah Sitor aktif di Lembaga Kebudayaan Nasional sajak-sajaknya lebih banyak menyuarakan pujipujian politik, terutama setelah ia melawat ke Tiongkok. A. Teeuw dan Asrul Sani menyebut Sitor sebagai “penyair yang hebat tapi politikus picisan.”
Karena aktivitasnya itu, Sitor kemudian mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun sejak 1966. Selepas dari bui, ia melanglang ke berbagai kota di dunia. Terakhir ia menetap di Belanda dan mendapat istri seorang diplomat di sana, sambil mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden dari 1978 sampai 1988. Sitor berseloroh, kepulangannya ke Indonesia kali ini untuk mengantarkan teman-temannya ke alam baka. Sejak ia di Indonesia, para sahabatnya meninggal dunia: Ramadhan KH disusul Pramoedya Ananta Toer.
Menurut Ajip Rosidi, Sitor mungkin penyair yang paling banyak menghasilkan sajak. Dari dua jilid kumpulan sajak yang terentang antara 1948 hingga 2005, ada 605 sajak yang pernah dibuat Sitor. Belum lagi sajak yang tercecer sebagai hadiah ulang tahun seseorang atau kado di sebuah pesta. “Kalau dilihat dari umur seharusnya saya bisa menghasilkan puisi dua atau tiga kali lipat lebih banyak,” katanya.
Berikut ini perbincangan Bagja Hidayat dan Qaris Tajudin dari Tempo dengan penyair Angkatan 45 ini. Percakapan dilakukan tiga kali, dengan tidak berangkat dari satu pokok, tetapi menampung pelbagai segi. Percakapan pertama di MP Book Point ketika dua jilid kumpulan sajaknya diluncurkan dua pekan lalu, kedua di rumah salah seorang anaknya di daerah Sawangan yang sepi tempat Sitor selama ini tinggal sepekan kemudian, lalu dilengkapi dengan percakapan lewat telepon.
Apa yang anda lakukan sekarang?
Saya sedang mengumpulkan data sejarah tentang perang Batak antara 1883-1907. Keluarga besar saya ikut langsung dalam perlawanan di baratlaut Danau Toba. Belanda maju dari Sibolga tahun 1878 dan mulai ke Aceh tahun 1872. Jika Pramoedya menulis periode itu di Jawa, saya di Batak, ha-ha-ha. Ternyata kolonilaisme itu satu pola saja. Jadi, perlawanan budaya lokal itu harus ditulis.
Bagaimana mencari bahan-bahannya?
Di Belanda itu bahannya lengkap sekali. Dokumentasi penjajah itu efesien. Tiap pelor harus dipertanggungjawabkan. Laporan sampai tingkat kecamatan itu ada. Sangat lengkap jika ingin menulis soal sosial, ekonomi, pemerintahan, bencana alam. Semua ada. Seluruh Indonesia.
Akan jadi novel sejarah?
Saya belum tahu bentuknya seperti apa.
Kapan selesai?
Wah, kalau pakai target saya bisa senewen. Lihat saja nanti.
Novel sejarah sekarang sedang diminati. Apakah sastra yang baik harus mengaitkan diri dengan realitas?
Sastra yang baik itu harus bermanfaat bagi pembaca. Pembaca mendapat kesempatan menghayati keragaman manusia. Pram sudah mempraktekkannya dengan sangat baik. Ia mengolah sejarah dan hidup manusia Indonesia yang bisa bicara ke dunia luar. Dia lahir dari sejarah manusia Indonesia.
Sebagai penyair Angkatan 45, apa sesungguhnya yang digarap angkatan ini?
Angkatan 45 ingin merintis jalan sendiri. (Sitor berdiri sambil menunjuk-nunjuk) Chairil Anwar teriak-teriak, “Apa itu Takdir Alisjahbana? Polemik Pujangga Baru bukan urusan kami lagi. Kami punya jalan sendiri.” Tapi itu kelancangan remaja saja meskipun ada artinya. Kami lebih diilhami oleh semangat kemerdekaan. Semangat pemberontakan.
Chairil dianggap sebagai pelopor modernisme. Dia menggarap sajak bebas, citraan baru, kekuatan bahasa, kenapa anda malah balik ke tradisi lama di tahun 1950-an?
Chairil itu orang kota, saya pedalaman, ha-ha-ha. Kalau modern sudah pasti diterima. Modernitas di Pujangga Baru itu baru tahap ambisi. Angkatan 45 memang meninggalkan gaya sajak sebelumnya. Tapi itu hanya di antaranya saja. Dalam budaya ada perhitungan faktor penerimaan bentuk baru. Menerima pengaruh dari luar dengan daya cipta sendiri. Tidak sekadar nyontek. Penghayatan generasi 45 itu terungkap jelas dalam karya mereka, terutama sajak-sajak Chairil. Ada yang terlewat, yaitu Amir Hamzah yang meskipun berakar pada sastra klasik melayu, dia sudah masuk dunia modern. Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantunpantun. Saya menggarap itu, meskipun saya juga bikin puisi bebas.
Sajak anda banyak sekali ditujukan untuk seseorang, tidak cuma satu, tapi banyak…
Sebuah tema bisa dikembangkan berkali-kali.
Terutama sajak untuk perempuan. Apakah perempuan memang ilham anda?
Bayangkan saja bagaimana sajaknya. Perasaan ke perempuan itu beraneka ragam: kasih sayang dan syahwat-erotik. Saya sekarang lebih berminat ke mistik. Menyatu dengan asal. Kematian. Mungkin karena sudah dekat, ha-ha-ha. Memandang gunung. Alam yang mengacu kepada jagatraya. Gunung itu perlambang budaya lokal kita. (Sitor kemudian membacakan sajak 1 Syuro dan Parangtritis 1 Syuro sembari menjelaskan maksudnya).
Kabarnya anda menulis sajak karena pesanan?
Pesanan hati saya. Bukan pesanan orang, meski boleh saja. Kalau berkenan saya tulis. Yang penting pesanan hati itu selalu yang utama. Ada juga yang pesan secara main-main. Kalau mampir ke rumah teman, kemudian ada yang ulang tahun lalu meminta dibuatkan puisi, kadang-kadang saya buat. Perkara mutu, silakan nilai sendiri.
Anda juga bisa mengubah sebuah sajak yang sudah jadi sewaktu akan diterbitkan kembali sehingga orisinalitasnya sudah tak ada…
Umumnya membuat sajak itu seperti menggubah lagu. Kalau saya, pergulatan dengan tema bisa satu-dua hari. Saya menangkap tema dari pengalaman, pengamatan atau pendengaran yang mengharukan perasaan. Lalu menyembul katakata. Setelah itu sambungannya biasanya mengalir. Dalam 12 jam jadi. Besoknya ketika dibaca lagi sudah mendapat bentuk yang final. Tapi sebuah sajak yang dianggap sudah selesai masih mungkin diubah lagi setelah sekian tahun dibaca dan kurang pas. Ada juga pembaca yang lebih senang versi pertama, itu terserah saja.
Pantas anda sangat produktif…
Lima-belas tahun terakhir sudah tinggal menetes saja, dulu itu mengalir deras.
Kenapa?
Susah menerangkannya. Ini tidak berlaku umum. Ini berhubungan dengan bahasa. Soal kepekaan. Bahasa itu bentuk budaya yang hidup dalam diri kita lewat pendengaran, pengalaman, dengan manusia lain. Ada bunyi, irama. Kalau makin tambah umur, kepekaan menerima suara-suara, nada-nada, dan irama itu menurun.
Karena tinggal lama di luar negeri?
Tidak juga.
Apa sih kriteria sebuah puisi dikatakan berhasil?
Jika sudah menyentuh hati pembaca. Kepekaan membaca itu merupakan hasil pengalaman dan penghayatan setelah secara rutin main-main dengan bahasa.
Ada yang menilai kualitas sajak anda menurun setelah beranjak ke puisi bebas…
Sajak itu banyak bentuknya. Saya menerima segala bentuk. Waktu itu, saya berpikir kita punya warisan pantun kenapa itu tak dipakai. Bukan karena saya memilih sebuah gaya, tapi memang suasana puisinya menuntut seperti itu. Saya pelopor pemakaian pantun dengan isi baru. Sajak saya yang paling banyak dibincangkan adalah Lagu Gadis Itali. Itu memang saya menggunakan kekuatan pantun. (Lihat Asal Usul Gadis Itali).
Lebih menurun lagi setelah anda berpolitik…
Saya tidak bisa dipisahkan dari politik. Silakan nilai puisi saya dari puisi, bukan dari politiknya. Saya memang menulis puisi politik, ada juga yang tidak. Jika politik dinilai merusak bakat saya, itu kesimpulan mereka. Tapi banyak orang yang memaksakan penilaian dengan hanya membaca puisi politik saya. Padahal dia juga baca puisi saya yang baik, tapi tidak masuk penilaian. Ini tidak bagus. Jika sajak saya dianggap tidak berhasil, silakan. Tapi itu bukan karena aktivitas saya di politik.
Terutama sejak anda berkunjung ke Tiongkok (periode 1956-1967)?
Sekarang kita lihat, Tiongkok besar dan mengancam Amerika. Karena mereka berjuang dengan caranya sendiri. Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita. Jika ada ekonom yang menilai ekonomi Tiongkok bakal rusak karena menganut komunisme, omong kosong itu. Orang Tiongkok menganut komunis itu hak mereka. Lihat, sekarang mereka bangkit.
Apakah karena pandangan itu, anda ikut bergabung dengan kelompok yang berhadapan dengan seniman Manifes Kebudayaan?
Begini. Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika.
Bukankah Bung Karno memang berkiblat ke Soviet?
Itu penilaian Amerika. Padahal itu tidak ada. Prasangka ini yang dibakar-bakar oleh Amerika di Indonesia. Boleh kami dituduh. Tapi kalau Bung Karno disamakan dengan komunis, itu tuduhan konyol.
Kenapa kisruh itu merembet ke dalam kesenian?
Karena sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh berlagak tak ada urusan dengan politik nasional. Kalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan. Bagi kami imperialis itu Amerika. Sebab Cina dan Soviet itu negara besar, tapi untuk dirinya sendiri.
Manikebu menolak politik sebagai panglima, termasuk dalam kesenian…
Boleh saja. Tapi jangan berlagak politik itu tidak perlu. Itu naif namanya. Karena mereka juga sebenarnya sudah berpolitik. Tapi tidak terang-terangan seperti kami ini. Kalau mau melawan politik komunis, lawanlah dengan sikap politik juga. Bukan lantas mengaku-ngaku tidak berpolitik padahal sebenar iya.
Kenapa sampai ada bredel membredel karya seni?
Situasinya berkelahi. Mereka juga omong kosong. Ketika buku Pram dilarang, orang-orang Manikebu diam saja. Wiratmo Sukito, kapten Manikebu itu, katanya kirim surat ke Jaksa Agung supaya tak melarang buku Pram. Kenapa dia tak kumpulkan itu orang-orang Manikebu, bikin tanda tangan seperti dulu, lalu melawan pembredelan? Kenapa tak dilakukan? Itu sikap sangat memalukan dari seorang intelektual paling militan. Apakah ada yang bersuara ketika saya dan ratusan ribu orang dipenjara tanpa pengadilan? Tidak ada! Mana humanisme universal itu. Kalau mereka diam, berarti mereka setuju dengan cara-cara seperti itu. Apakah saya ini tidak dianggap human? Karena itu dalam satu tulisannya, Goenawan Mohamad merasa malu dengan uraian Wiratmo ketika merumuskan filsafat humanisme universal. Malu karena tak cukup kuat alasannya.
Kalau saya tanya, apakah Sitor Situmorang seorang komunis? Apa jawab anda?
Berarti saudara belum tahu saya. Tapi kalau pertanyaan itu untuk menguji, saya katakan saya ini tokoh PNI. Semua orang yang mendukung Soekarno bisa saja komunis. Tapi itu bahasa perang dingin.
Apakah Pramoedya juga seorang komunis?
Mana ada karya-karyanya yang menyuarakan komunisme. Tidak ada. Dia hanya ingin menyuarakan kaum tertindas. Bagaimana melawan penjajah, dan seterusnya. Dan itu sangat dipengaruhi oleh kehidupan pribadinya waktu di Blora. Dia itu baca buku-buku Marxisme saja tidak tamat, ha-ha-ha
O ya? Kalau anda sendiri?
Saya baca Marxisme lewat saringannya Bung Karno.
Kenapa anda tak menulis situasi ketika itu sekarang dari perspektif kelompok anda?
Saya tak punya kecakapan sebagai sejarawan. Menulis sejarah itu harus netral menyampaikan fakta dari dua sisi.
Sebagai korban Orde Baru, apa yang sebaiknya dilakukan kepada Soeharto?
Ada dua, yaitu pengadilan sejarah dan pengadilan hukum. Harus diungkap apa yang terjadi selama 33 tahun dia berkuasa. Harus terbuka dan didebat oleh para pendukungnya. Kesalahan Orde Baru itu membangun rezim dengan sistem kediktatoran, mengkhianati cita-cita Undang- Undang Dasar 1945. Peristiwa Tanjung Priok, siapa yang memerintakan penembakan? Lalu penembak misterius. Pasti ada yang punya pelor dan senjata. Siapa? Ini tak pernah jelas. Pengadilan harus membuka itu. Dari awal kami sudah omong, Soeharto ini bakal jadi diktator dengan fasisme-militerisme. Perlu dimaafkan? Memaafkan ya. Tapi memaafkan atas kesalahan apa? Harus dibuka dulu apa kesalahan Soeharto di depan hakim. Ada kelambanan dalam budaya kita, yaitu budaya bapakisme. Ini terjadi sekarang. Seorang bapak itu tak pernah salah. Kalaupun salah harus dimaafkan. Ini budaya bapakisme yang tidak pada tempatnya.
Kalau diminta hakim, apakah anda mau jika dipanggil sebagai saksi?
Kalau dipanggil saya siap.
Sampai kapan berada di Indonesia?
Mungkin sampai September. Setelah itu saya kembali ke Belanda.
Omong-omong, sekeluar dari Salemba anda punya impian mengguncang Paris. Apa sudah tercapai?
Sebelum masuk penjara saya sudah ke Paris. Mengguncang itu urusan tahun 1950-an. Setelah masuk penjara urusan sudah lain.
Mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir?
Sangat sedikit. Saya cuma baca buku seorang penyair dari Jogja. Tetapi kalau sastra ingin berkembang kita harus meniru apa yang sudah dilakukan Takdir yaitu menerjemahkan karya dunia. Kita harus sebanyak mungkin mencerap khasanah sastra dunia. Ini untuk mengimbangi globalisasi negatif dalam bidang lain. Sekarang, sastra sangat ditentukan oleh pasar. Orang bebas menulis apa saja.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar