Senin, 04 Mei 2009

PUISI SEBAGAI KATA HATI (2)

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Konon, salah satu fungsi sastra adalah menjadikannya semacam katarsis: pelepasan emosi ketika berbagai masalah melimpah, bertumpuk-tumpuk, membebani, dan menghimpit segala gerak pikir dan gerak rasa kita. Sastra dapat melepaskan sebagian dari segala beban itu. Di samping itu, sastra –dengan atau tanpa pretensi— sering juga dipandang sebagai ungkapan jujur dari perasaan yang terdalam. Bagi kaum romantik, sastra (: puisi) adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam ketenangan –atau juga dalam kegelisahan. Mereka mengusung semangat pengungkapan perasaan yang terdalam, luapan emosi yang spontan, dan ketulusan hati dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.

Bahwa di dalamnya ada campuran bahan lain yang bernama imajinasi, tidaklah serta-merta karya itu membalikkan kejujuran. Ia tetap menduduki posisinya sebagai refleksi evaluatif: mengungkapkan peristiwa dan memaknainya untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan masyarakatnya. Jadi, sebuah potret keseharian Kang Sarta atau Sukri, misalnya, tak berarti merupakan kisah hidup Kang Sarta atau Sukri an sich. Ia mungkin tidak mewakili keseluruhan hidupnya, tetapi sekaligus juga sangat mungkin merepresentasikan keseluruhan hidup orang-orang kecil yang bernasib sama dengan sosok Kang Sarta atau Sukri. Di situlah sastra (: puisi) yang coba mengangkat salah satu sisi kehidupan orang per orang menjadi sangat khas dan unik, dan sekaligus juga berlaku universal, karena orang-orang macam Kang Sarta atau Sukri, tersebar di mana-mana, di belahan bumi ini.

Seperti para guru sufi yang tak berpretensi menjadi penyair, Memed Gunawan niscaya juga tidak berniatan demikian. Jika para guru sufi itu mengungkapkan cintanya kepada Sang Khalik lewat simbol-simbol sufistik, Gunawan sekadar menumpahkan secebis kepedulian atau keberpihakannya dalam bentuk rangkaian galau yang seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Sangat mungkin ia tak berpikir tentang popularitas atau apa pun. Ia sekadar menumpahkan galaunya yang meresahkan. Itu saja. Seolah-olah selepas itu, urusannya selesai sudah sampai di sana. Justru di situlah problemnya. Ketika segala perenungannya dipublikasikan, serempak duduk perkaranya menjadi lain. Karyanya seketika menjadi bagian dari milik masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak untuk memberi apresiasi dan mengungkapkan penilaian terhadapnya.

Itulah risiko publikasi. Meski demikian, di balik itu, ada juga dampak lain yang mungkin jauh lebih dahsyat dari sekadar risiko. Masyarakat memperoleh sesuatu, boleh jadi juga menemukan banyak makna, dan memperoleh gambaran tentang potret zaman.

Ketika karya itu ditulis, dibaca sendiri, dan disimpan rapi dalam lemari besi, ia abadi menjadi artefak beku tak bermakna. Sebaliknya, ketika karya itu dipublikasikan dan kemudian menjadi milik masyarakat, seketika ia siap memasuki segenap ruang publik: terombang-ambing dalam tas sekolah, dilantunkan dalam sebuah panggung, menjadi bahan perdebatan, atau berjejer terjepit di antara deretan buku di perpustakaan. Suatu saat kelak, ia akan keluar dari himpitan itu dan digauli mesra oleh pembaca yang entah siapa. Itulah kekuatan publikasi. Ia seakan-akan sekadar heboh sesaat. Padahal, di sepanjang waktu, ia abadi menjadi dokumen sosial yang mengungkapkan semangat zaman.
***

Memed Gunawan mungkin tak berpikir sampai ke sana. Ia sekadar melihat sebuah peristiwa yang menarik empatinya dan kemudian mengeluarkannya sebagai unek-unek, kegelisahan emosi, luapan kata hati, dan tumpah dalam bentuk puisi. Itulah yang rupanya dilakukannya dalam menyikapi lilitan gurita birokrasi yang menjeratnya. Ia memilih puisi sebagai saluran yang menawarkan alternatif lain. Maka, kita akan melihat serangkaian refleksi nurani yang begitu jujur, tanpa kesan pretensius. Ia sekadar mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Itulah yang kemudian terjadi: ada kisah tentang petani lugu, ada kecintaan yang mendalam, ada gugatan yang tak berjawab, ada pula keberpihakan yang disadarinya tak dapat menyelesaikan masalah. Sebuah panorama kehidupan petani dan kaum terhimpit yang diejawantahkan dalam sejumlah puisi. Dengan tema-tema yang unik dan terasa masih asing, kita seperti diingatkan bahwa semua itu adalah bagian dari kehidupan kita: dunia petani dan orang-orang pinggiran, dengan berbagai problemnya yang tak terpahami, harapannya yang kandas, dan kegetirannya yang tak terucapkan.

Periksa saja, dari 37 puisi yang terhimpun dalam buku Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut ini, nyaris semuanya mengangkat sisi buram, agak kelabu, dan pekat-kelam sosok petani dan kaum yang tersisih. Meski begitu, harus diakui, Gunawan cenderung bertindak sebagai pengamat. Ia memotret, mencatat, dan coba menelusuri nuraninya. Jadi, di satu pihak, kumpulan puisi ini mewujud sebagai representasi kegelisahannya, refleksi jujur kata hati, dan di lain pihak, ia menjadi semacam potret tentang keluguan, kebersahajaan, dan ketersisihan mereka, atau tentang kontras antara mewah—melarat, reputasi dan martabat manusia yang tercampakan di bak sampah.

Lihatlah potret tentang “Hari-Hari Kang Sarta”. Meski kita dapat menangkap keberpihakannya, kesan sebagai pengamat rupanya tak dapat ia sembunyikan. Ada jarak tipis antara subjek dan objek. Maka, kegetiran dan perjuangan panjang Kang Sarta, cukuplah digambarkan dengan Hatinya sepi/Tatapannya datar/Punggung bungkuk keriput … Atau sebagaimana yang terungkap dalam bait terakhir: Dia ada, hidup dan nyata/Dia bicara dan merasa/Dia lelah dan tua// Ada getir mendalam, ada hati yang pecah, dan kita dibawanya berpihak pada empatinya itu.

Simaklah juga paradoks yang sering luput dari perhatian kita. Panen Raya yang mestinya menjadi suka cita petani –warga desa, kini telah berubah bukan lagi milik mereka. Panen Raya menjelma pentas aktor pejabat, dan “… orang-orang desa menonton saja.” Atau dalam bahasa yang lebih eksplisit: “Petani masih barang jualan di makalah” (“Program”). Dari mana datangnya ekspresi itu jika tidak dari empati yang mendalam? Kepedulian itu ternyata tidak berhenti di sana. Di jalanan ketika berhadapan dengan “Pedagang Asongan” yang berkeringat di tengah terik/Tertatih mengintip… Sementara kita sejuk bersandar nyaman tidak peduli//. Bukankah itu merupakan pemandangan sehari-hari yang menusuk mata kita di setiap pelosok jalanan kota di negeri ini? Pastilah kita tak mungkin berujar: “kesian deh lu.” Itu bagian dari tanggung jawab sosial. Kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam undang-undang. Ekspresi kepedulian itu ternyata dibawanya pula sampai ke Den Haag saat ia makan pagi. “Aku bergelimang dalam kelebihan yang tak biasa kualami” sementara mereka (wong cilik yang berbekal cangkul), “…makan sisa dan seadanya.” (“Bayangan Lewat Saat Makan Pagi di Den Haag”).
***

Begitulah, Memed Gunawan dalam antologi puisi Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut yang diberi Kata Pengantar Taufiq Ismail ini, seperti hendak menggugat siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Meski di sana-sini, menyembul nada optimistik, antologi ini –sadar atau tidak—membawa kita pada dunia yang selama ini menjadi bagian dari diri kita, tetapi kerap luput dari perhatian. Atau kita memang telah sekian lama lalai memperhatikan mereka?
***

Masih dengan style yang sama, yaitu bermain dalam persajakan dalam larik, dengan narasi yang mengalir tanpa berkesan pretensius, dalam antologi puisinya yang kedua, Memed Gunawan mengusung kembali refleksi evaluatifnya atas berbagai problem di seputar lingkungan kerja, kehidupan wong cilik, catatan perjalanan, renungan untuk keluarga, nostalgia masa lalu tentang Bogor, Tenaga Kerja Indonesia, sampai renungan tentang bencana Tsunami. Ada 38 puisi dalam antologi yang keduanya ini yang nadanya terasa agak berbeda dengan antologi pertamanya.

Kali ini, Gunawan terkadang lepas kendali, dan cenderung menyajikan suara hatinya tanpa perenungan yang lebih intens. Akibatnya, empati atas kepedihan dan derita kehidupan kaum pinggiran itu, tidak lagi reflektif, melainkan reaktif. Ia lalu menjelma pernyataan, dan bukan narasi yang justru menjadi kekuatannya memancarkan pesona puitik. Bagaimanapun, ketika puisi digunakan sebagai alat ekspresi, usaha menyapa dan menyentuh hati nurani, cenderung efektif jika bangunan estetika menyatu dalam keseluruhannya. Di sinilah limpahan perasaan dan luapan emosi yang spontan, perlu dievaluasi kembali dan dimaknai selepas melewati proses perenungan.

Perhatikanlah beberapa larik awal puisi yang berjudul “Engkau Lari, Sawit pun Busuk dan Mati” berikut ini: Engkau adalah anjing di negeri asing/Engkau adalah kuda tunggang penyakitan/Engkau tak juga bayangan karena kau tak pernah ada/Engkau adalah budak ketika dunia teriak/”Hak Asasi Manusia” … Empati yang kemudian berubah menjadi kemarahan ini bercerita tentang derita Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Meski nada marah tampak di larik-larik awal, secara perlahan narasi yang dibangunnya lebih menyentuh ketika dihadirkan narasi tentang istri dan anak-anak yang menunggu di rumah. Puisi ini kemudian ditutup lewat sebuah harapan romantik: Pulanglah anak Pertiwi/Bunda menanti/Seluruh anak negeri/Memanggilmu kembali//

Dalam sejumlah puisinya yang lain, sebutlah beberapa di antaranya, “Bogor 1968—2005” yang menghadirkan sebuah paradoks masa lalu dan masa kini, “Jembatan Timbang Losarang” yang mencatat tradisi pungli di sana, “Makan Siang Buat Sang Anak” yang bercerita tentang harapan wong cilik pada masa depan anaknya, atau “Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu” yang mengungkapkan kegamangan seseorang yang rindu pada Sang Kekasih (Tuhan), kita merasakan adanya intensitas perenungan yang mendalam. Kita ikut hanyut dalam kontemplasi yang disajikannya. Dalam beberapa puisi yang disebutkan tadi, kecuali puisi “Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu”, potret sosial yang diangkatnya seperti mengalir begitu saja. Tak terlihat empati dan kepedihan si aku lirik menjelma kemarahan. Dengan demikian, sentuhan pada hati nurani kita pun jadi terasa lebih kuat, seolah-olah kisah itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
***

Demikianlah, kehadiran dua antologi karya Memed Gunawan ini, bagaimanapun juga, penting artinya dalam memperkaya khazanah tema perpuisian Indonesia. Ketika ia berbicara tentang petani, sawah, birokrasi pertanian, ternak, proyek, subsidi, TKI, dan kepeduliannya terhadap kehidupan kaum pinggiran, ia jadi terasa khas lantaran ia dihadirkan oleh pejabat penting di departemennya. Mengingat puisi-puisinya disajikan dengan kejujuran kata hati, yang segera muncul ke permukaan adalah sebuah citra yang sama sekali berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap sosok seorang pejabat pemerintah. Sebagian besar puisinya dalam kedua antologi itu seperti merepresentasikan sosok pemegang amanah yang menyadari bahwa kekuasaannya sekadar kepercayaan, amanah. Ia harus mempertanggungjawabkan segalanya kepada hati nuraninya, keluarga, rakyat, bangsa, dan Tuhan. Sebuah teladan yang mengingatkan saya pada sosok Umar bin Khatab. Terlepas dari semua itu, seperti kata Taufiq Ismail, “Betapa dahsyatnya jika Sekjen (: para pejabat dan pemimpin bangsa ini) menulis kumpulan puisi dalam bidangnya masing-masing.” Bukankah puisi (: sastra) merupakan representasi kebudayaan sebuah bangsa. Maka, barang siapa yang mencintai sastra, ia mencintai kebudayaan bangsanya.

*) Pensyarah, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae