Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Konon, salah satu fungsi sastra adalah menjadikannya semacam katarsis: pelepasan emosi ketika berbagai masalah melimpah, bertumpuk-tumpuk, membebani, dan menghimpit segala gerak pikir dan gerak rasa kita. Sastra dapat melepaskan sebagian dari segala beban itu. Di samping itu, sastra –dengan atau tanpa pretensi— sering juga dipandang sebagai ungkapan jujur dari perasaan yang terdalam. Bagi kaum romantik, sastra (: puisi) adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam ketenangan –atau juga dalam kegelisahan. Mereka mengusung semangat pengungkapan perasaan yang terdalam, luapan emosi yang spontan, dan ketulusan hati dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.
Bahwa di dalamnya ada campuran bahan lain yang bernama imajinasi, tidaklah serta-merta karya itu membalikkan kejujuran. Ia tetap menduduki posisinya sebagai refleksi evaluatif: mengungkapkan peristiwa dan memaknainya untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan masyarakatnya. Jadi, sebuah potret keseharian Kang Sarta atau Sukri, misalnya, tak berarti merupakan kisah hidup Kang Sarta atau Sukri an sich. Ia mungkin tidak mewakili keseluruhan hidupnya, tetapi sekaligus juga sangat mungkin merepresentasikan keseluruhan hidup orang-orang kecil yang bernasib sama dengan sosok Kang Sarta atau Sukri. Di situlah sastra (: puisi) yang coba mengangkat salah satu sisi kehidupan orang per orang menjadi sangat khas dan unik, dan sekaligus juga berlaku universal, karena orang-orang macam Kang Sarta atau Sukri, tersebar di mana-mana, di belahan bumi ini.
Seperti para guru sufi yang tak berpretensi menjadi penyair, Memed Gunawan niscaya juga tidak berniatan demikian. Jika para guru sufi itu mengungkapkan cintanya kepada Sang Khalik lewat simbol-simbol sufistik, Gunawan sekadar menumpahkan secebis kepedulian atau keberpihakannya dalam bentuk rangkaian galau yang seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Sangat mungkin ia tak berpikir tentang popularitas atau apa pun. Ia sekadar menumpahkan galaunya yang meresahkan. Itu saja. Seolah-olah selepas itu, urusannya selesai sudah sampai di sana. Justru di situlah problemnya. Ketika segala perenungannya dipublikasikan, serempak duduk perkaranya menjadi lain. Karyanya seketika menjadi bagian dari milik masyarakat. Dengan demikian, masyarakat mempunyai hak untuk memberi apresiasi dan mengungkapkan penilaian terhadapnya.
Itulah risiko publikasi. Meski demikian, di balik itu, ada juga dampak lain yang mungkin jauh lebih dahsyat dari sekadar risiko. Masyarakat memperoleh sesuatu, boleh jadi juga menemukan banyak makna, dan memperoleh gambaran tentang potret zaman.
Ketika karya itu ditulis, dibaca sendiri, dan disimpan rapi dalam lemari besi, ia abadi menjadi artefak beku tak bermakna. Sebaliknya, ketika karya itu dipublikasikan dan kemudian menjadi milik masyarakat, seketika ia siap memasuki segenap ruang publik: terombang-ambing dalam tas sekolah, dilantunkan dalam sebuah panggung, menjadi bahan perdebatan, atau berjejer terjepit di antara deretan buku di perpustakaan. Suatu saat kelak, ia akan keluar dari himpitan itu dan digauli mesra oleh pembaca yang entah siapa. Itulah kekuatan publikasi. Ia seakan-akan sekadar heboh sesaat. Padahal, di sepanjang waktu, ia abadi menjadi dokumen sosial yang mengungkapkan semangat zaman.
***
Memed Gunawan mungkin tak berpikir sampai ke sana. Ia sekadar melihat sebuah peristiwa yang menarik empatinya dan kemudian mengeluarkannya sebagai unek-unek, kegelisahan emosi, luapan kata hati, dan tumpah dalam bentuk puisi. Itulah yang rupanya dilakukannya dalam menyikapi lilitan gurita birokrasi yang menjeratnya. Ia memilih puisi sebagai saluran yang menawarkan alternatif lain. Maka, kita akan melihat serangkaian refleksi nurani yang begitu jujur, tanpa kesan pretensius. Ia sekadar mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakannya. Itulah yang kemudian terjadi: ada kisah tentang petani lugu, ada kecintaan yang mendalam, ada gugatan yang tak berjawab, ada pula keberpihakan yang disadarinya tak dapat menyelesaikan masalah. Sebuah panorama kehidupan petani dan kaum terhimpit yang diejawantahkan dalam sejumlah puisi. Dengan tema-tema yang unik dan terasa masih asing, kita seperti diingatkan bahwa semua itu adalah bagian dari kehidupan kita: dunia petani dan orang-orang pinggiran, dengan berbagai problemnya yang tak terpahami, harapannya yang kandas, dan kegetirannya yang tak terucapkan.
Periksa saja, dari 37 puisi yang terhimpun dalam buku Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut ini, nyaris semuanya mengangkat sisi buram, agak kelabu, dan pekat-kelam sosok petani dan kaum yang tersisih. Meski begitu, harus diakui, Gunawan cenderung bertindak sebagai pengamat. Ia memotret, mencatat, dan coba menelusuri nuraninya. Jadi, di satu pihak, kumpulan puisi ini mewujud sebagai representasi kegelisahannya, refleksi jujur kata hati, dan di lain pihak, ia menjadi semacam potret tentang keluguan, kebersahajaan, dan ketersisihan mereka, atau tentang kontras antara mewah—melarat, reputasi dan martabat manusia yang tercampakan di bak sampah.
Lihatlah potret tentang “Hari-Hari Kang Sarta”. Meski kita dapat menangkap keberpihakannya, kesan sebagai pengamat rupanya tak dapat ia sembunyikan. Ada jarak tipis antara subjek dan objek. Maka, kegetiran dan perjuangan panjang Kang Sarta, cukuplah digambarkan dengan Hatinya sepi/Tatapannya datar/Punggung bungkuk keriput … Atau sebagaimana yang terungkap dalam bait terakhir: Dia ada, hidup dan nyata/Dia bicara dan merasa/Dia lelah dan tua// Ada getir mendalam, ada hati yang pecah, dan kita dibawanya berpihak pada empatinya itu.
Simaklah juga paradoks yang sering luput dari perhatian kita. Panen Raya yang mestinya menjadi suka cita petani –warga desa, kini telah berubah bukan lagi milik mereka. Panen Raya menjelma pentas aktor pejabat, dan “… orang-orang desa menonton saja.” Atau dalam bahasa yang lebih eksplisit: “Petani masih barang jualan di makalah” (“Program”). Dari mana datangnya ekspresi itu jika tidak dari empati yang mendalam? Kepedulian itu ternyata tidak berhenti di sana. Di jalanan ketika berhadapan dengan “Pedagang Asongan” yang berkeringat di tengah terik/Tertatih mengintip… Sementara kita sejuk bersandar nyaman tidak peduli//. Bukankah itu merupakan pemandangan sehari-hari yang menusuk mata kita di setiap pelosok jalanan kota di negeri ini? Pastilah kita tak mungkin berujar: “kesian deh lu.” Itu bagian dari tanggung jawab sosial. Kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam undang-undang. Ekspresi kepedulian itu ternyata dibawanya pula sampai ke Den Haag saat ia makan pagi. “Aku bergelimang dalam kelebihan yang tak biasa kualami” sementara mereka (wong cilik yang berbekal cangkul), “…makan sisa dan seadanya.” (“Bayangan Lewat Saat Makan Pagi di Den Haag”).
***
Begitulah, Memed Gunawan dalam antologi puisi Sajak Resah Petani di atas Awan: Ladang Berselimut Kabut yang diberi Kata Pengantar Taufiq Ismail ini, seperti hendak menggugat siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Meski di sana-sini, menyembul nada optimistik, antologi ini –sadar atau tidak—membawa kita pada dunia yang selama ini menjadi bagian dari diri kita, tetapi kerap luput dari perhatian. Atau kita memang telah sekian lama lalai memperhatikan mereka?
***
Masih dengan style yang sama, yaitu bermain dalam persajakan dalam larik, dengan narasi yang mengalir tanpa berkesan pretensius, dalam antologi puisinya yang kedua, Memed Gunawan mengusung kembali refleksi evaluatifnya atas berbagai problem di seputar lingkungan kerja, kehidupan wong cilik, catatan perjalanan, renungan untuk keluarga, nostalgia masa lalu tentang Bogor, Tenaga Kerja Indonesia, sampai renungan tentang bencana Tsunami. Ada 38 puisi dalam antologi yang keduanya ini yang nadanya terasa agak berbeda dengan antologi pertamanya.
Kali ini, Gunawan terkadang lepas kendali, dan cenderung menyajikan suara hatinya tanpa perenungan yang lebih intens. Akibatnya, empati atas kepedihan dan derita kehidupan kaum pinggiran itu, tidak lagi reflektif, melainkan reaktif. Ia lalu menjelma pernyataan, dan bukan narasi yang justru menjadi kekuatannya memancarkan pesona puitik. Bagaimanapun, ketika puisi digunakan sebagai alat ekspresi, usaha menyapa dan menyentuh hati nurani, cenderung efektif jika bangunan estetika menyatu dalam keseluruhannya. Di sinilah limpahan perasaan dan luapan emosi yang spontan, perlu dievaluasi kembali dan dimaknai selepas melewati proses perenungan.
Perhatikanlah beberapa larik awal puisi yang berjudul “Engkau Lari, Sawit pun Busuk dan Mati” berikut ini: Engkau adalah anjing di negeri asing/Engkau adalah kuda tunggang penyakitan/Engkau tak juga bayangan karena kau tak pernah ada/Engkau adalah budak ketika dunia teriak/”Hak Asasi Manusia” … Empati yang kemudian berubah menjadi kemarahan ini bercerita tentang derita Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Meski nada marah tampak di larik-larik awal, secara perlahan narasi yang dibangunnya lebih menyentuh ketika dihadirkan narasi tentang istri dan anak-anak yang menunggu di rumah. Puisi ini kemudian ditutup lewat sebuah harapan romantik: Pulanglah anak Pertiwi/Bunda menanti/Seluruh anak negeri/Memanggilmu kembali//
Dalam sejumlah puisinya yang lain, sebutlah beberapa di antaranya, “Bogor 1968—2005” yang menghadirkan sebuah paradoks masa lalu dan masa kini, “Jembatan Timbang Losarang” yang mencatat tradisi pungli di sana, “Makan Siang Buat Sang Anak” yang bercerita tentang harapan wong cilik pada masa depan anaknya, atau “Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu” yang mengungkapkan kegamangan seseorang yang rindu pada Sang Kekasih (Tuhan), kita merasakan adanya intensitas perenungan yang mendalam. Kita ikut hanyut dalam kontemplasi yang disajikannya. Dalam beberapa puisi yang disebutkan tadi, kecuali puisi “Ragu Menggantung di Depan Pintu-Mu”, potret sosial yang diangkatnya seperti mengalir begitu saja. Tak terlihat empati dan kepedihan si aku lirik menjelma kemarahan. Dengan demikian, sentuhan pada hati nurani kita pun jadi terasa lebih kuat, seolah-olah kisah itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
***
Demikianlah, kehadiran dua antologi karya Memed Gunawan ini, bagaimanapun juga, penting artinya dalam memperkaya khazanah tema perpuisian Indonesia. Ketika ia berbicara tentang petani, sawah, birokrasi pertanian, ternak, proyek, subsidi, TKI, dan kepeduliannya terhadap kehidupan kaum pinggiran, ia jadi terasa khas lantaran ia dihadirkan oleh pejabat penting di departemennya. Mengingat puisi-puisinya disajikan dengan kejujuran kata hati, yang segera muncul ke permukaan adalah sebuah citra yang sama sekali berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap sosok seorang pejabat pemerintah. Sebagian besar puisinya dalam kedua antologi itu seperti merepresentasikan sosok pemegang amanah yang menyadari bahwa kekuasaannya sekadar kepercayaan, amanah. Ia harus mempertanggungjawabkan segalanya kepada hati nuraninya, keluarga, rakyat, bangsa, dan Tuhan. Sebuah teladan yang mengingatkan saya pada sosok Umar bin Khatab. Terlepas dari semua itu, seperti kata Taufiq Ismail, “Betapa dahsyatnya jika Sekjen (: para pejabat dan pemimpin bangsa ini) menulis kumpulan puisi dalam bidangnya masing-masing.” Bukankah puisi (: sastra) merupakan representasi kebudayaan sebuah bangsa. Maka, barang siapa yang mencintai sastra, ia mencintai kebudayaan bangsanya.
*) Pensyarah, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar